Jumat, Februari 29, 2008

[bakul paku] teras pembuka

[bakul adalah istilah kami untuk menyebut bahan kuliah, terdapat beberapa macam 'bakulan' , ada “jahe” untuk aspek hukum dalam ekonomi-hukum bisnis, “paku” untuk pasar keuangan dan “nasi” untuk manajemen keuangan internasional]
teras pembuka
Pasar dan Sistem Keuangan
Dalam setiap sistem perekonomian suatu negara diperlukan adanya sistem keuangan yang sehat. Sistem keuangan ini dapat di-analog-kan dengan urat nadi dalam sebuah tubuh manusia. Ia memiliki fungsi vital, jika mau membunuh atau bunuh diri cukup potong saja urat nadinya. Selesai. Demikian pula sistem perekonomian yang sistem keuangannya tidak sehat (ngrik-ngrik en), maka ekonomi negara itu dapat dipastikan akan memiliki masalah "komplikasi" yang hebat.
Krisis yang melanda negara kita (dan beberapa negara lain) 10 tahun yang lalu, didahului dengan penyakit 'urat nadi' ini. Sistem keuangan kita tidak sehat. Demikian pula saat ini, ekonomi AS sedang mengalami "demam tinggi" yang dimulai dengan kasus subprime mortgage-nya (subprime mortgage adalah bagian dari sub sistem keuangan) dan negara kita sudah mulai ketularan dan lagi "meriang". Imbas ini dapat dijelaskan dengan teori efek domino (bukan kartu domino lho). Simpulannya; dengan semakin terintegrasinya sistem keuangan negara satu dengan negara lainnya (dalam sebuah pasar global) maka kondisi yang terjadi di suatu negara akan berimbas di negara lain dengan derajad yang tidak sama. Seperti di rumah kita, jika ayahnya flu maka ibu-nya juga terkena flu dan demikian pula anaknya.
Sistem Keuangan (Financial System)
Sistem Keuangan adalah kumpulan pasar, institusi, peraturan dan teknik dimana surat berharga diperdagangan, tingkat bunga ditentukan dan jasa keuangan dihasilkan dan ditawarkan. (Rose, 1997).
Dari pengertian yang diberikan Rose (1997) diatas, maka sebenarnya dalam sebuah sistem keuangan itu terdapat kumpulan pasar. Pasar apa? Yaitu pasar sebagai tempat atau sistem yang mentransaksikan aset keuangan. Dalam sistem keuangan itu juga terdapat insitusi/pihak yang terlibat dalam transasi di pasar, ada peraturan yang mengikatnya. Terdapat pula aturan tentang mekanisme transaksi dan terdapat proses "produksi"/emisi (penerbitan) jasa keuangan dan penawaran jasa keuangan.
Dari pengertiannya saja kita sudah terbayang kompleksitas yang ada dalam sistem keuangan tersebut. Dalam sistem keuangan banyak terdapat pertautan antara sub-sub sistem yang membentuknya.
Apa saja sub-sub sistem keuangan itu?
Terdapat 3 sub sistem keuangan, ketiga sub sistem tersebut adalah:
1. Pasar Keuangan (Financial Market)
Pasar Keuangan adalah pasar dimana dana dipindahkan dari surplus unit kepada defisit unit. (Miskhin, 2003). Dalam konteks ini maka pasar keuangan merupakan sebuah media bertemunya antara aliran dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dengan pihak yang kekurangan dana (defisit unit).
Sebenarnya, proses aliran dana ini dapat dijelaskan dengan 2 bentuk aliran, yaitu: (Miskhin, 2003) (1) Aliran Tidak Langsung, yaitu aliran dana dari surplus unit ke defisit unit melalui lembaga perantara keuangan (perbankan). Dana surplus unit masuk melalui simpanan (bisa tabungan atau deposito) dan oleh perbankan disalaurkan kepada defisit unit dalam bentuk kredit. (2) Aliran Tidak Langsung, yaitu aliran dana dari surplus unit ke defisit unit melalui pasar keuangan. Bagaimana caranya? Defisit unit sebagai pihak yang membutuhkan dana melakukan penerbitan-emisi aset keuangan (bisa ekuitas atau instrument hutang) dan menawarkan istrument itu kepada surplus unit melalui pasar keuangan. Dari proses inilah aliran dana itu terjadi.
Apa fungsinya Pasar Keuangan?
Pasar ini memiliki fungsi antara lain: (1) sebagai media mengakses dana (kebijakan pendanaan-funding) (2) sebagai media investasi (kebijakan investasi-investment) dan (3) sebagai media reduksi risiko. (ingak ingak... bahwa dalam dunia riil pasti ada ketidaksesuaian (mismatcht) antara cash inflow dengan cash out flow). Jika menemui hal yang demikian pasar keuangan bisa menjadi solusi. Perlukah contoh?
Jika perusahaan saya saat ini memiliki uang menganggur (idle fund) sebesar Rp. 1.000.000.000; dan uang itu akan diperlukan 6 bulan yang akan datang, terjadi mismatch to? Bagaimana kalau uang tetap disimpan aja di kas sampai dibutuhkan 6 bulan lagi? Ya rugi Bos... Lebih baik uang itu diinvestasikan di pasar keuangan dengan membeli instrumen berjangka pendek. Uang kita tidak terkena penurunan daya beli akibat inflasi dan kita tidak dihadapkan pada opportunity cost. Hayo.. siapa tahu? Bagus... semua sudah tahu... he he he. Adalah potensi pendapatan yang hilang karena kita tidak memanfaatkan suatu kesempatan.
Bagaimana Pasar Keuangan di negara kita?
Menjawab masalah ini, terlebih dahulu, kita klasifikasikan dulu pasar keuangan itu meliputi apa saja? Secara garis besar pasar keuangan bisa dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu pasar modal (capital market) dan pasar uang (money market). Bedanya apa? Pasar modal adalah pasar keuangan yang menjual instrumen keuangan jangka panjang (jatuh tempo/maturity lebih dari 1 tahun) dan pasar uang adalah pasar yang menjual instrumen keuangan jangka pendek (jatuh tempo/maturity kurang dari 1 tahun).
Di Indonesia, pasar modal kita telah berkembang pesat dan termasuk pasar modal yang dinilai memiliki kinerja terbaik di kawasan asia (Tempo, Pebruari 2008). Tahun lalu kita memiliki 2 pasar modal yaitu Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Tetapi diawal tahun kemarin, kedua bursa itu telah merger menjadi 1 bursa dengan nama Bursa Efek Indonesia (BEI). Yang bisa anda lihat di www.idx.co.id. Instrumen yang dijual juga telah mengalami perkembangan yang signifikan.
Kalau Pasar Uang? Pasar uang itu bukanlah pasar yang bisa kita tunjuk "hidungnya". Dalam pasar uang transaksi dilakukan antar dealer dengan instrumen yang terstandard dan otoritas keuangan hanya memberikan aturan tentang mekanisme yang harus dipatuhi. Sehingga proses transaksi di pasar uang tidak fokus disatu titik "bursa", tetapi menyebar dan cair.
Pasar uang kita merupakan pasar yang menarik bagi investor (mungkin lebih tepat kita sebut mereka spekulan) asing dengan dana durasi jangka pendek untuk memborong insrumen keuangan pasar uang kita. Kita tingkat bunga kita lebih tinggi dari negara lain maka itu merupakan insentif bagi pemilik modal untuk datang ke negera kita (meskipun ada titik batas maksimalnya). Kondisi inilah yang sering dipahami dengan dana hot money.
2. Instrumen Keuangan (Financial Instrument)
Apa itu? Instrumen keuangan adalah aset keuangan yang ditransaksikan di pasar keuangan.
Apa itu aset keuangan? yaitu surat berharga yang memiliki klaim/hak yang melekat bagi pemiliknya dan dapat diperjual-belikan.
Apa saja yang bisa disebut sebagai aset keuangan?
Ada beberapa penggolongan aset keuangan, ada yang menggolongan dengan aset ekuitas dan aset hutang, aset jangka pendek dan aset jangka panjang dan banyak lagi penggolongan yang lain. Semua bentuk penggolongan itu akan bermuara pada hal yang sama. Ya instrumen keuangan itu sendiri.
Kita ambil contoh saja, penggolongan aset keuangan berdasarkan lama jatuh tempo/maturity-nya. Dengan kriteria ini, instrumen keuangan dibedakan atas (1) instrumen keuangan yang memiliki jatuh tempo jangka panjang (lebih dari 1 tahun) dan (2) instrumen keuangan yang memiliki jatuh tempo jangka pendek (kurang dari 1 tahun).
Yang jangka panjang?
Banyak instrumen yang memiliki durasi jatuh tempo yang panjang, yaitu: obligasi, saham dan instrumen turunannya.
Obligasi merupakan surat hutang jangka panjang yang memiliki kharakteristik memiliki tingkat bunga (kupon) yang dapat berbentuk fixed rate maupun variable rate. Mengharuskan adanya sinking fund bagi penerbitnya dan memiliki 3 jenis yield (nominal yield, current yield dan yield to maturity).
Obligasi juga bisa digolongkan menurut penerbitnya: Obligasi Pemerintah (Treasury Bond), Obligasi Pemerintah Daerah (Municipal Bond) dan Obligasi Swasta (Corporate Bond). Apakah negara kita menerbitkan obligasi? Lihat di www.dmo.or.id.
Jika Saham? Piye?
Saham ini relatif sudah populer di masyarakat kita. Saham merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang menerbitkannya. Kalau saya memiliki 5 lot (1 lot 500 lmbar untuk saham non perbankan dan 5000 lembar untuk saham perbankan) saham PT. Gudang Garam, Tbk (yang di BEI ditulis dengan kode emiten GGRM) maka saya memiliki sebagai aset perusahaa dan berhak untuk menghadiri RUPS dan mendapatkan 2.500 hak suara (one share one vote). Dan yang pasti RUPS tidaklah mungkin dilakukan di warungnya Pak Japan? Pasti di hotel berbintang dan makanannya pun berbintang pula.
Yang jangka pendek?
Banyak juga ini, ada surat berharga komersial (commercial paper) yang memiliki kharakteristik mirip dengan obligasi, SBI (sertifikat Bank Indonesia) yang digunakan oleh BI sebagai instrumen untuk melakukan kebijakan moneter, SBI Repo (Repurchase Agreement) yaitu sama dengan SBI tetapi ada perjanjian tambahan untuk dibeli kembali, SBPU (Surat Berharga Pasar Uang), Sertifikat Deposito (Certificate of Deposit) dan lainnya.
3. Institusi Keuangan (Financial Institution)
Institusi keuangan adalah pihak yang terlibat dalam transaksi di pasar keuangan. Di negara kita, kalau kita lihat dalam struktur sistem keuangan maka terdapat institusi keuangan perbankan dan non perbankan.
Institusi perbankan dengan otoritas tertinggi pada Bank Indonsia dan Institusi Non Perbankan dengan otoritas tertinggi Menteri Keuangan (Pasar Modal, Perusahaan Pembiayaan, Asuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Permodalan). Mereka adalah pelaku-pelaku transaksi instrumen keuangan di pasar keuangan. Selain itu ada pula pemerintah, investor asing dan investor individu.
Jika sistem keuangan tidak baik, bersiapkan kita dengan selimut. Karena kemungkinan kita akan meriang.
selamat kuliah sahabat mahasiswaku

[bakul jahe] teras pembuka

[bakul adalah istilah kami untuk menyebut bahan kuliah, terdapat beberapa macam 'bakulan', ada "jahe" untuk aspek hukum dalam ekonomi-hukum bisnis, "paku" untuk pasar keuangan dan "nasi" untuk manajemen keuangan internasional]
teras pembuka
Hukum dan Sumber Hukum
Sebagian besar tindakan bisnis merupakan tindakan hukum. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan bisnis yang dilakukan oleh pelaku bisnis akan melahirkan implikasi atau konsekwensi hukum. Sehingga jika ada pelaku bisnis yang tidak paham terhadap koridor hukum bisnis yang mengaturnya atau mengabaikan aturan hukum maka pelaku bisnis itu akan mendapatkan sanksi hukum.
Mata kuliah ini, adalah mata kuliah dengan nama "aspek hukum dalam ekonomi" yang diperuntukkan bagi mahasiswa fakultas ekonomi. Sehingga mata kuliah ini tidak memiliki pretensi untuk menjadikan mahasiswa enomi yang juga ahli hukum, tetapi mahasiswa ekonomi yang paham terhadap hukum yang mengaturnya jika suatu saat mereka menjadi pelaku bisnis.
Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan banyaknya materi yang harus disampaikan. Sehingga yang akan disampaikan nanti dalam mata kuliah ini hanyalah hightlight-nya saja. Seperti halnya kita melihat hightlight liga Inggris, yang kita lihat hanyalah bagian-bagian terpenting saja, sesaat dan setelah terjadinya gol. Untuk peluit pertama sampai peluit terakhir biarlah sahabat-sahabat kita di fakultas hukum yang membahasnya.
Untuk memahami apa itu hukum bisnis maka kitapun harus memahami terlebih dulu apa itu hukum, nonsens kita dapat paham hukum bisnis jika pengertian hukum saja kita belum memahaminya. Pun nonsens kita akan bisa mendapatkan apa yang menjadi koridor bisnis, jika kita tidak paham apa itu sumber hukum. Maka pada bagian ini kita bahas terlebih dahulu hukum dan sumber hukum.
Hukum
Jika 10 orang ahli hukumdiundang disebuah tempat dan waktu yang sama untuk mendefinisikan hukum maka akan lahir 10 definisi tentang hukum. Tetapi marilah kita simak definisi hukum dibawah ini.
Hukum adalah segala peraturan yang bersifat memaksa yang dibuat oleh pejabat/lembaga resmi yang berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat dan memiliki sanksi yang jelas dan tegas.
Itulah salah satu definisi hukum, jika kita urai dari definisi tadi maka kita akan menemukan beberapa unsur hukum, yaitu : segala peraturan yang bersifat memaksa. Hukum karena sifatnya haruslah memiliki kekuatan daya paksa. Sebuah peraturan yang tidak memiliki daya paksa maka peraturan itu tidak akan memiliki daya ikat dalam masyarakat yang diaturnya, Sehingga sebuah peraturan itu layak dikatakan hukum jika peraturan itu memiliki daya paksa. Dibuat oleh pejabat/lembaga resmi yang berwenang. Ini merupakan konsekuensi dari sebuah masyarakat modern, hukum yang mengatur mereka dituntut oleh mereka sendiri untuk dibuat secara tertulis, formal dan menjadi positif/berlaku setelah pejabat atau lembaga resmi yang berwenng itu menyetujui atau mengesahkannya. Dibuat untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat. Tiada hukum yang disusun untuk menciptakan ketidakteraturan dalam masyarakat atau disusun untuk mengatur bukan manusia. Memiliki sanksi yang jelas dan tegas. Tidak layak dikatakan bahwa peraturan itu adalah hukum jika peraturan itu sama sekali tidak memberikan sanksi bagi yang mengabaikannya. Pemberian sanksi ini juga merupakan konsekwensi logis dari sifat hukum yang memaksa.
Termasuk didalam uraian diatas, apa yang disebut dengan hukum bisnis. Secara azas hukum bisnis itu sama dengan hukum dan unsur hukum diatas, tetapi yang membedakan adalah hukum bisnis memiliki fokus pengaturan pada masalah kegiatan bisnis yang ada dan mungkin akan timbul di dunia bisnis.
Sumber Hukum
Apa itu sumber hukum? Jika sumber air bisa kita katakan sebagai tempat dimana kita bisa menemukan air maka sumber hukumpun kita bisa pahami sebagai tempat dimana kita bisa menemukan hukum.
Perundang-undangan kita sudah menciptakan 5 (lima) sumber hukum bagi kita. Kelima sumber hukum ini memiliki prioritas secara hierarki, sehingga sumber hukum yang berada diatasnya diakui oleh hukum kedudukannya lebih tinggi dari sumber hukum dibawahnya. Kelima sumber hukum tersebut adalah:
1. Peraturan perundangan-undangan
Ini adalah sumber hukum yang pertama dan utama bagi kita. Ketika kita menemui suatu masalah hukum, maka langkah kita pertama adalah mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana hukum mengaturnya? maka kita cari ada tidak peraturan perundang-undangannya. Jika ada maka itulah yang kita gunakan. Peraturan perundang-undanganpun memiliki hierarki, yaitu undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lain dibawahnya. Pun peraturan perundangan-undangan memiliki kekuatan yang ditentukan oleh peraturan perundangan-undangan yang bersifat khusus memiliki kedudukan lebih tingi daripada perundangan yang bersifat umum (misalnya: KUHD dengan UU Perseroan Terbatas) dan perundangan yang lahir belakangan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada perundangan yang lahir lebih dulum (misalnya UU Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995 dengan UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2008). Jika masalah hukum kita telah ada perundangan yang mengaturnya maka kita tidak perlu lagi untuk mencari sumber hukum lain dibawahnya.
2. Kebiasaan
Kebiasaan bisa menjadi sumber hukum jika masalah hukum kita belum ada pengaturannya dalam perundangan dan kebiasaan itu memenuhi 2 syarat, yaitu (1) syarat material: bahwa kebiasaan itu harus dilakukan berulang-ulang dan terus menerus, (2) syarat psikologis: jika kebiasaan itu dilanggar oleh seseorang maka persepsi publik mengatakan bahwa orang itu sudah melanggar hukum. Apakah hukum bisnis terdapat suatu kebiasaan yang menjadi sumber hukum. Jawabnya adalah iya, terkait dengan tanggung jawab atas risiko jasa angkutan. Secara kebiasaan maka pihak pengangkutlah (penjual jasa) yang harus bertanggung jawab atas risiko jika barang yang diangkut hilang/rusak dan lain-lain.
3. Yurisprudensi.
Apa itu yurisprudensi? Yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan diacu oleh hakim yang lain untuk memutus masalah yang sama.
Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetapi itu seperti apa? Yaitu putusan yang sudah diterima oleh para pihak yang bersengketa. Semua pihak telah menerima putusan itu, tidak ada pihak yang sedang melakukan upaya hukum lain seperti banding atau kasasi.
Kapan yurisprudensi bisa menjadi sumber hukum? Jika suatu masalah hukum belum diatur oleh perundangan dan belum ada kebiasaan terkait dengan masalah hukum tersebut. Ini merupakan konsekuensi dari kewenangan hakim untuk menemukan hukum (rechtfinding) dan larangan bagi hakim untuk menolak perkara yang diajukan dengan alasan belum ada hukumnya. Jika belum ada hukumnya, maka tugas hakim untuk menemukannya.
4. Perjanjian Internasional.
Kesepekatan internasional baik secara bilateral maupun multilateral menjadi sumber hukum jika suatu masalah hukum itu belum diatur dalam perundangan, kebiasaan belum ada dan yurisprudensipun belum pernah ada.
5. Pendapat Sarjana Hukum/Ahli Hukum
Ini merupakan sumber hukum yang terakhir dan merupakan sumber hukum sapu jagad. Jika belum ada perundangan, kebiasaan, yurisprudensi dan perjanjian internasional, maka masalah hukum bisa diselesaian dengan meminta pendapat sarjana hukum/ahli hukum. Dan pendapat mereka adalah doktrin dan menjadi sumber hukum.
Tetapi ada batasan, yaitu hanya pendapat sarjana hukum/ahli hukum yang diakui kredibilitas/kepakarannya saja yang pendapatnya berupa dokrin dan juga pendapatnya tersebut banyak dibenarkan oleh sarjana hukum/ahli hukum lainnya.
[selamat kuliah sahabat mahasiswaku]

ustadz rozikin: gelap dan resah hati



Ustazd Rozikin: Gelap dan Resah Hati

Jum’at yang lalu, tampillah seorang ustadz muda (sekitar 25 tahunan) yang bernama Rozikin dalam khutbah di masjid Desa Karangwidoro. Penampilannya tampak lebih belia dari umurnya, pembawaannya kalem, tenang, suaranya mantab dan begitu mengesankan. Beliau bicara tidak lebih dari 30 menit. Dan khutbah itu membuat saya memikirkan ulang atas substansi yang beliau utarakan.

Diiringi dengan gerimis, disebuah masjid yang berhimpitan dengan Universitas Machung, ustadz Rozikin berbicara tentang 3 hal yang menyebabkan hati gelap. Sungguh sebuah pesan, yang bermakna bagi saya (karena menjadi tertuduh dalam pesan itu). Merasa menjadi tertuduh dalam sebuah pesan, tentulah baik daripada dituduh tetapi tidak pernah merasa tertuduh.

Menurut beliau, Tuhan akan selalu menghukum kita dengan memberi kita hati yang resah dan gelap ketika kita melakukan 3 perbuatan. Hati yang resah adalah hati yang merasa tidak tentram, tidak damai dan ada kekhawatiran yang kadang tiada bersebab. Pernahkah saya merasakan yang seperti itu, jawabnya iya dan bahkan sering kali. Mengapa kita dihukum seperti itu oleh Tuhan kita?

Pertama, kita dihukum dengan hati yang resah karena kita terlalu banyak bicara. Apakah tidak boleh bicara? Boleh, tetapi dengan batasan secara substansi itu memang perlu kita bicarakan, wajar cara menyampaikan dan benar apa yang kita sampaikan. Jika kita banyak bicara dengan substansi yang seringkali tidak perlu, tidak wajar cara menyampaikan (takabur) dan tidak benar apa yang kita sampaikan (mengandung fitnah, gosip, adu domba) maka kita akan dihadiahi hati yang resah oleh Tuhan. Waduh… ustazd Rozikin ini menuduh saya nih. Benar-benar saya menjadi pesakitan dalam hal ini, saya selalu banyak bicara, tidak bersedia dan iklas untuk gantian ngomong, bicara agar tampak cerdik pandai apalagi dihadapan mahasiswa dan teman dusun saya yang sekarang jadi buruh tani (waduh… betapa sombongnya!) dan seringkali pula, apa yang saya bicarakan tidak benar (mengada-ada dan bohong). Waduh… ampun!

Kedua, kita akan dihadiahi keresahan hati oleh Tuhan karena kita terlalu banyak memikirkan dunia. Apakah tidak boleh memikirkan dunia? Boleh, kata ustadz Rozikin. Tetapi jika hidup kita terforsir hanya untuk pencapaian dunia, itulah yang tidak boleh. Harus ada keseimbangan. Manusia yang selalu terobsesi dunia (materialism), manusia itu akan selalu resah hatinya. Ia selalu takut dan khawatir atas harta yang telah dipunyai dan harta yang masih ingin dipunyainya. Jika hal ini terjadi, maka akan berimplikasi pada sikap tidak jujur, tidak amanah, munafik, korup/maling, mbandit, menjilat, kikir, pamrih, dusta dan sikap-sikap negatif lainnya. Waduh… dimana posisi saya? Kalau yang pertama tadi saya tertuduh, untuk yang kedua ini ustadz Rozikin tidak hanya menuduh tetapi langsung “menangkap dan memborgol saya”. Ampun….!.

Ketiga, kita akan mendapatkan keresahan hati karena kita melakukan perbuatan maksiat. Tentulah banyak jenis dan ragam dari perbuatan maksiat ini. Dari maksiat yang berdaya ledak rendah (low explosive) maupun yang berdaya ledak tinggi (high explosive). Kedua-duanya, jika kita melakukannya maka kita akan dikasih hati yang tidak pernah tentram. Jika mau jujur terhadap dirinya sendiri, pernahkah hatinya tentram bagi orang yang telah mencuri uang negara? Tidak, ia akan terus dihinggapi rasa takut atas perbuatannya itu. Sungguh mahal harga sebuah maksiat. Saya? “E e e, low explosive-lah”. Lengkaplah sudah ke- ndableg-an saya.


Tetapi bagi saya, rasa tertuduh, tertangkap dan terborgol merupakan awal baik untuk memulai lebih baik (bagi saya dan mungkin bagi kita). Daripada kita memiliki hati yang gelap dan tidak pernah mau menerima kebenaran. Semoga dan Amin.

'agama" publik-nya ulil



“Agama” Publik-nya Ulil


Ulil Abshar Abdalla, pendiri JIL dan pegiat Freedom Institute Jakarta yang saat ini tengah menempuh pendidikan Ph.D di Universitas Harvard, tempo hari menulis di Kompas tentang “agama” publik yang membutuhkan “jihad” bagi inflitrasi nilai kepada masyarakat.


“Agama” Publik menurut Ulil adalah Etika Publik atau Etika Sosial. Saat ini, kita sebagai manusia dan warga negara memang telah diatur dan harus tunduk pada hukum. Tetapi, apa lacur hukum itu belum “menghunjam” ke dalam kesadaran masyarakat. Sehingga hukum berjalan secara artifisial dan tidak sampai kepada penumbuhan kesadaran pribadi untuk taat kepada hukum. Hukum menjadi sepintas lalu.


Sehingga yang diperlukan tidak hanya hukum yang positif dan rigid itu, tetapi masih sangat dibutuhkan suatu masyarakat yang memiliki kesadaran dan ketaatan terhadap norma dan etika publik. Norma dan etika publik inilah yang dimaksudkan Ulil dengan “agama publik”.


Memang, semakin modern suatu masyarakat maka mereka cenderung untuk me-marginalkan norma dan etika dalam tingkah laku hidupnya. Norma dan etika menjadi pertimbangan yang kesekian belas dalam pengambilan keputusan bertingkah laku dan bersikap.Dan ini akan melahirkan masyarakat yang tidak ber-norma dan ber-etika.


Yang terlihat disekitar kita banyak yang bisa menunjukkan dan menjelaskan kepada kita tentang telah tiadanya “agama” publik-nya Ulil ini. Apakah iya? Iya… saksikanlah. Apa yang terjadi pada tingkah laku anak-anak, kemampuan bekerja sama (kolaborasi) diantara mereka rendah, karena permainan yang merebut minatnya bersifat individual. Telah hilang saat ini, permainan tradisional (betengan, njlumpritan, begtor, engkleng, benthik, nekeran dan lain-lain) yang mampu mengajarkan pentingnya kolaborasi dalam sebuah kompetisi. Ini berimplikasi pada sikap anak yang acuh dan cuek terhadap keadaan yang mengitarinya.


Apa yang terjadi pada remaja kita? Parah! Remaja kita telah menjadi "etalase" dan "manekin" bagi produk-produk kapitalisme. Budaya komsumtif yang teramat akut. Kompetisi diantara mereka adalah kompetisi atas tingkat pencapaian komsumsinya. Dalam pergaulan, sikap hidup kelompok ini juga relatif telanjang dari norma dan etika.


Selanjutnya, bagaimana orang-orang dewasa? Idem alias sami mawon. Golongan ini juga sebagian telah membuang norma dan etika, entah kemana…


Secara hukum memang tidaklah bersalah jika kita tidak gemar membaca, rajin kerja, jujur, hormat kepada orang lain, terbiasa mengucapkan terima kasih, terbiasa antre, membuang sampah ditempatnya, kencing disembarang tempat, meludah disembarang tempat dan lain sebagainya. Iya memang… tapi norma dan etika mengatur itu.


Kata Ulil, “…etika publik tak akan muncul secara alamiah dan gratis; ia harus diajarkan secara sadar. Dan dalam konteks ini saya sepakat dengan Ulil.

berharga 300 milyar lho!



Berharga 300 Milyar Lho!


Dalam terbitan Tempo edisi yang lalu, diberitakan pesta perkawinan putri seorang konglomerat Indonesia yang resepsinya dilangsungkan disebuah hotel mewah di Singapura. Konglomerat Indonesia lainnya juga hadir dalam acara itu, bahkan ada yang menggunakan pesawat jet pribadi segala. Jika aset tamu yang hadir dalam pesta itu ditotal maka akan menghasilkan nilai aset US$ 1.000.000.000.000 (satu triliyun US$) atau Rp. 9.000.000.000.000.000 (sembilan ribu triliyun rupiah). Sebuah pesta perkawinan yang sangat mewah seperti yang digambarkan lebih hiperbolik lagi oleh Tempo.


Yang lebih mencengangkan lagi adalah sebuah kalung berlian 100 karat senilai US$ 35.000.000 atau Rp. 300.000.000.000 (tiga ratus miliar) yang dipakai oleh ibu mempelai putri. Sungguh perhiasan yang teramat mahal. Tentulah sah saja, beliau memakai kalung itu, toh beliau mampu dan bisa beli. Tetapi juga sah juga dong, kalau saya membayangkan kalung “setan” itu.


Terbayang terdapat seorang perempuan yang mengantungkan 1200 unit mobil kijang Innova di lehernya atau menggantungkan 30.000 sepeda motor Supra X di lehernya atau menggantungkan 300.000 gerobak bakmi/bakso/nasi goreng di lehernya yang jenjang. Waduh…. sungguh nilai yang teramat besar.


Saya jadi ingat tentang “Agama” Publik-nya Ulil (lihat artikel “agama” publik-nya Ulil), tambah terang terbaca (jelas lengo gas) bahwa norma dan etika publik telah menjauh dari diri kita. Norma dan etika menjadi terbenam dan gelap dan saya yakin tidak akan terbitlah terang.


Emak saya yang tak beritahu tentang kalung “setan” itu, malah beliau mengatakan “lha laopo ngurusi donyane uwong, ngitung rejekine wong liyo iku ora oleh, nggarai iri drengki” (mengapa harus mengurus harta-nya orang, menghitung rejeki orang lain itu tidak boleh karena akan membuat munculnya sifat iri dan dengki). Nggih sampun!

Kamis, Februari 28, 2008

le.. ngomongo ibumu


le.. ngomongo ibumu


Anak kami, yang kami beri nama St. Ahmad Abdi Raja Semesta Alam dan semua yang tinggal di rumah kami, telah empat bulan ini "puasa" untuk menyaksikan televisi. Bukan puasa pada siang hari saja tetapi puasa total. TV sudah di-kandangkan. Hal ini karena banyak pertimbangan.


Dalam kenyataannya, televisi telah memonopoli perhatian anak kami. Sepulang sekolah perhatian 'beliau' tercurah kepada si televisi. Televisi jadi teman yang akrab baginya. Tentunya dalam batasan tertentu hal itu bukanlah suatu masalah yang signifikan. Tetapi untuk dijadikan menjadi seorang teman akrab dan apalagi sahabat oleh anak saya, televisi bukanlah sosok yang ideal menjadi sahabat anak kami yang baik dan mencerahkan.


Acara televisi, dipenuhi acara yang secara substansial tidak membawa pesan bagus bagi pertumbuhan anak (secara sosial, psikologis dan apalagi moral). Ada juga acara yang secara substansi pesan yang disampaikan bagus tetapi cara penyampaian (proses) tidak dilakukan secara wajar. Wajar bisa diartikan dengan batasan rasional tetapi tidak pula meminggirkan imajinasi anak.


Hampir semua televisi menayangkan film, sinetron, info-tainment dan lain sebagainya, yang semakin hari semakin tidak layak untuk dikonsumsi. Jika dengan dalih kesehatan jasmani, kita saklek-tegas terhadap kebersihan makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh anak kita agar terhindar dari bakteri dan semacam-nya, tetapi sekarang mestinya kita juga harus tegas terhadap "bakteri sosial" dan "kuman moral" yang kemungkinan akan dikomsumsi oleh anak kita melalui televisi.


Pada awalnya memang sulit, karena televisi telah menjadi anggota inti keluarga kami. Saya tidak ketemu dengan Emak (ibu kandung saya) saya yang tinggal di dusun seminggu bahkan sebulan juga tidak apa-apa (gak gupoh), tetapi kalau televisi tidak ada, waduh.... puyengnya mak nyeng!. Jadi pada awalnya memang membutuhkan usaha keras pula.


Tapi sekarang, 4 bulan berjalan, televisi bukan barang berharga bagi keluarga kami. Televisi sudah kami gantikan dengan media baca. Entah itu apa saja. Ada majalah (mentari dan momby bagi Alam), koran (untuk bapak dan ibuknya, kecuali kompas minggu yang karena ada kompas anaknya bisa juga dikonsumsi oleh Alam), buku (komik avatar untuk Alam dan bapaknya yang juga suka, kumpulan cerpen dan novel bagi bapak dan ibu Alam dan ada sedikit lagi lainnya).


Kami sepakat, tidak ada televisi di rumah kami. Televisi telah berganti menjadi susu bagi anak kami, yang semakin hari semakin mahal. "le.. ngomongo ibumu televisinya sudah bapak jual".






alam, si tertuduh


Alam, si Tertuduh


Menyimak beberapa kejadian akhir-akhir ini, seperti terlambatnya pasokan bbm dan batu bara bagi pembangkit listrik milik PLN (yang menurut PLN dikatakan disebabkan oleh faktor cuaca) dan juga semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang menurut pengadilan dikatakan sebagai akibat alam, juga kesimpulan tim khusus yang dibentuk oleh DPR juga mengatakan hal sama. Alam menjadi si tertuduh atas segala persoalan dan penderiaan.

Tentunya, alam yang dituduh ini bukanlah Alam yang seorang penyanyi yang mempopulerkan tembang ‘mbah dukun’, apalagi St. Ahmad Abdi Raja Semesta Alam (karena dia adalah seorang anak laki-laki yang masih kelas 1 SDI Sabilillah Malang dan merupakan anak penulis). Alam yang dituduh adalah badai Nicholas yang menyebabkan hempasan angin di wilayah perairan kita beberapa waktu terakhir ini dan gempa bumi di Yogyakarta dua tahun silam.


Si Nicholas telah membuat gelombang tinggi di beberapa kawasan perairan dan bahkan ada sebuah kapal tangker yang kandas karena hempasan ini. Gelombang tinggi seperti ini yang menyebabkan kapal pembawa BBM dan batu bara bagi kebutuhan energi pembangkit milik PLN tidak bisa mengirim pasokan tepat waktu. Hal ini berlanjut kepada kemampuan pasokan listrik PLN berkurang dan ditempuhlah kebijakan pemadaman bergilir di Jawa dan Bali. Alam si Tertuduh. Tapi benarkah? (lihat artikel ‘kedamaian sesaat’).


Sedangkan gempa bumi atau lindu Yogyakarta telah dituduh pula sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo. Lapindo yang saat gempa itu terjadi sedang melakukan kegiatan eksplorasi di Sumur Banjarpanji I Porong-Sidoarjo yang pada akhirnya kegiatan itu menimbulkan semburan lumpur dan menenggelamkan Porong (dan menginspirasi seorang penyanyi untuk menciptakan lagu dengan judul Porong Ajur-Porong Hancur), dikatakan oleh Lapindo bahwa semburan itu bukan karena kesalahan eksplorasi tetapi karena lindu Ngayogyakarto.


Pernyataan Lapindo ini didukung oleh banyak pihak/institusi termasuk institusi peradilan dan legislatif (Tim Khusus DPR). Tetapi pernyataan Lapindo ini juga ditolak oleh lebih banyak pihak/institusi. Benarkah alam yang salah dan layak menjadi kambing hitam dan sekaligus terdakwa?


Telah banyak pakar geologi yang terlibat dalam mengurai masalah siapakah yang layak menyandang gelar ‘bersalah’. Tetapi pakar-pakar inipun terbelah simpulannya, ada yang menyalahkan alam dan ada yang menyalahkan Lapindo. Lapindo-pun, tidak tinggal diam. Lapindo membombardir persepsi publik bahwa Lapindo tidak salah dan alam-lah yang salah. Iklan dan seminar ilmiah banyak diadakan oleh Lapindo.


Tidaklah cukup kemampuan saya untuk memberikan kejelasan apakah Lapindo yang curang atau alam yang salah. (sepanjang saya pahami: Lapindo mengaibaikan banyak hal terkait dengan kegiatan eksplorasi yang dilakukan seperti; jarak sumur eksplorasi dengan pemukiman, kewajiban secara empirik untuk menutup sumur dengan ‘chasing’, pelaporan harian kegiatan eksplorasi kepada BP Migas dan lain-lain yang tidak saya pahami).


Tetapi yang pasti, akibat semburan lumpur tersebut telah banyak manusia yang terbunuh (baca: meninggal), telah banyak manusia yang termiskinkan, telah banyak manusia yang ter-dzalimi. Kerugian ekonomi memanglah sangat besar dan memberikan efek berlipat (multiplier effect) yang dahsyat. Tetapi kerugian sosial lebih besar lagi dari itu semua. Saya sepakat dengan mas penyanyi itu porong dadi segoro lumpur. Porong Ajur!
Tentulah boleh kalau saya memakai penafsiran a contrario atas pernyataan Lapindo, sehingga semburan lumpur di Sidoarjo bukanlah akibat lindu Ngayogyakarto. Apakah boleh? Secara logika ilmiah tidakboleh, tapi peduli amat wong kata nurani saya, silahkan dan monggo-monggo saja.

Rabu, Februari 27, 2008

kedamaian yang lahir sesaat



kedamaian yang lahir sesaat

Akhir-akhir ini, kita disuguhi oleh krisis listrik yang melanda negeri ‘gemah ripah loh jinawi’ ini. Di beberapa kawasan di daerah Jawa dan Bali mengalami pemadaman bergilir karena pasokan listrik yang turun. Menurunnya pasokan listrik ini, menurut keterangan PLN, diakibatkan oleh adanya cuaca yang tidak kondusif bagi kapal yang membawa pasokan bbm dan batubara untuk pembangkit listrik PLN.
Tentunya yang menjadi pertanyaan adalah ‘layakkah cuaca menjadi terdakwa dalam masalah ini?’. Jawabnya bisa ya dan mungkin bisa tidak.

Ya dan tidak, mungkin cuaca menjadi pangkal masalah terkendalanya pasokan bbm dan batu bara bagi pembangkit PLN. Tetapi apakah faktor cuaca ini tidak bisa diperkirakan atau mungkin belum pernah terjadi sebelumnya sehingga kejadiannya bersifat memaksa (overmacht)?. Apakah tidak ada informasi dari BMG yang bisa dipakai oleh PLN untuk membuat perencanaan pasokan? Ataukah karena faktor lain?

Apakah faktor lain itu? PLN memang tidak siap menjadi penyedia listrik bagi kebutuhan Indonesia. PLN sudah dalam taraf kelelahan dan tidak sanggup lagi memberikan pelayanan. PLN sudah K.O. Bukan hanya karena cuaca, tetapi karena pembangkit yang dimiliki PLN sudah tua dan belum ada upaya signifikan untuk berinvestasi pembangkit listrik baru saat ini. Ibarat manusia, PLN seperti seorang lelaki 70 tahun yang memiliki istri yang masih 25 tahun, kewalahan. Terlebih dopping-nya (bbm dan batubara) kurang.

Tetapi…………..
Ketika PLN memutuskan aliran listrik di suatu kawasan, di situlah lahir kedamaian.
Jika kita rasakan saat listrik tidak ada, suasana di dalam rumah dan di luar rumah jadi gelap dan hening. Tidak ada lampu listrik yang menyala (saat itu digantikan dengan nyala lilin) dan televisi-pun tidak bisa bersuara sama sekali. Suara-suara binatang malamlah yang saat itu terdengar nyaring. Damai rasanya.

Suasana itu seperti melempar kesuatu waktu di saat kecil dulu, damai. Hanya nyanyian ‘kalong-kalong ndang muliho, omahmu silak kobong’ yang kuteriakkan menjelang malam. Dan saat itu, anak kecil masih belum sibuk memelototi televisi dan main play station seperti sekarang. Jadi, terima kasih juga untuk PLN (tapi jangan dikau matikan listriknya jika lagi banyak pekerjaan atau arsenal mau bertanding).

mengapa ndokosari istimewa



mengapa ‘ndokosari’ istimewa?

Sebagai sebuah dusun kecil yang terletak di kawasan malang selatan, Dokosari (dilafalkan dengan Ndokosari dan sering disingkat dengan Ndoko) menyimpan potensi dan aksi keindahan sebagai alam pedusunan secara fisik maupun keindahan sosial masyarakat penghuninya.

Dusun ini merupakan bagian dari wilayah hukum Desa Sumberrjo Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang. Secara geografis dusun ini berjarak kurang lebih 17 km dari Pantai Balaikambang, 14 km dari Pantai Kondangmerak, 23 km dari Pantai Bajul Mati dan 52 km dari Kota Malang. Sebagain besar penduduknya menjalankan ritual keseharian sebagai petani dan buruh tani.

Sebagai daerah agraris, dusun ini sebagian besar tanahnya ditanami dengan tanaman tebu. Hanya sedikit, areal yang ditanami dengan komoditas selain tebu. Hal ini disebabkan karena tanah di dusun ini berupa tanah ‘tegalan’ yang kering. Petani hanya mengharapkan limpahan hujan sebagai sumber pengairan satu-satunya bagi tanamannya.

Bagian barat dan selatan dusun ini dibatasi oleh hutan jati (yang alhamdulillah masih utuh) milik Perhutani. Wilayahnya berbukit-bukit. Terdapat komunitas masyarakat yang berdiam di bawah bukit yang akses ke jalan rayanya, mereka harus melalui jalan (yang saat ini masih terjal – jalan ‘makadam’) dan menanjak tajam. Daerah ini disebut masyarakat ndoko dengan daerah ‘Lor Dadap’.

Di sebelah timur, terdapat daerah yang disebut dengan ‘Ndoko Etan’ yang merupakan bagian terluas dari dusun ini. Di wilalah ini, telah terbangun jalan dusun yang relatif baik. Di wilalah ini pula terdapat ‘kali’ (bukan sungai yang mengalir-tetapi sebuah sumur yang menjadi milik umum) yang disebut dengan ‘kali epek’. Sungai ini belum pernah kehabisan air meskipun dusun mengalami kemarau yang panjang.

Selain memiliki keindahan alam, dusun Ndoko juga memiliki keindahan sosial dari masyarakatnya. Suasana kekeluargaan masih ada dan bisa dirasakan oleh masyarakat. Misalnya untuk membangun ‘kandang’ (tempat ternak) atau bahkan rumah, masih membudaya apa yang disebut dengan istilah ‘sayan’ yaitu membantu membangun ‘kandang’ atau rumah tanpa dibayar. Demikian juga saat ada keluarga yang mengadakan hajatan (sunatan/khitan, mantenan atau selamatan kematian), masyarakat selalu terpanggil untuk membantu, yang laki-laki disebut dengan ‘sinoman’ dan yang perempuan disebut dengan ‘biodo’. Bahkan untuk panen (selain komoditas tebu), kegiatan ‘sayan’ masih ada dan pihak yang panen (pihak yang dibantu) hanya menyediakan makanan dan minuman yang berupa ‘dawet’ (minuman seperti kolak dari beras jawa).

Suasana ini, sungguh selalu memanggil para ‘perantau’ untuk pulang, ditengah deru kapitalisme-materialisme yang berkobar. Sungguh tentram disana.

pil karet [cerpen]





Pil Karet

Sebuah kampung dihuni oleh lima puluh kepala keluarga dengan 227 warga. Meskipun terletak di desa, penghuni kampung itu tidak seluruh warganya bekerja sebagai petani. Sebagian ada yang bekerja sebagai guru SD, staf kecamatan, pengusaha penggilingan padi, tukang kayu dan lain-lain.
Perempuannya juga tidak melulu berperan sebagai ibu rumah tangga semata, tetapi banyak pula yang menjadi wanita karir. Ada yang menjadi perias pengantin, pengusaha toko kelontong, pengusaha mlijo dan lain-lain. Sebuah kampung yang penuh warna dengan berbagai corak!.
***
Hari-hari belakangan ini, kampung itu kelihatan lebih semarak dari biasanya. Berbagai warna umbul-umbul menghiasi jalan-jalan kampung. Tidak hanya dijalan utama, bahkan di gang-gang sempit juga terpasang umbul-umbul. Warna-warni. Ukuran umbul-umbul dan bentuk yang tidak sama menambah suasana semakin semarak.
Dimalam hari, suasana kampung juga ramai. Seakan kehidupan tidak mau terburu-buru mati.Beberapa lampu penerangan jalan dipasang. Kampung dimalam hari semakin terang, lebih benderang. Warga kampung itu tidak seperti kebiasaan mereka. Mereka bergerombol, membentuk kelompok-kelompok, berdiskusi dan sesekali diselingi sebuah perdebatan. Tidak tua, pemuda dan anak-anak. Mereka, warga kampung itu, tidak lagi terbuai dengan televisi. Televisi menjadi sesuatu tidak menarik lagi bagi mereka.
Tempo hari di ujung jalan utama, didirikan terop dengan sebuah panggung besar. Terlihat kursi-kursi tertata rapi. Di panggung berdiri tiga podium. Malam itu panggung masih sepi. Memang, disepakati terop didirikan dan hanya boleh diduduki tepat pada waktunya nanti.
Malam-malam berikutnya kemeriahan masih tetap berlanjut. Diskusi-diskusi, perdebatan-perdebatan masih silih berganti.
***
Kemeriahan kampung itu bermula dari keluarnya Surat Keputusan Kepala Desa setempat. Isinya seperti ini:
Menimbang : Peraturan Daerah No:......... dst
Mengingat : Jumlah kepala keluarga dan jumlah warga
Memutuskan : Memberikan kewenangan warga untuk memisahkan diri dan
membentuk kepengurusan RT sendiri.
Akhirnya disepakatilah oleh warga untuk menyelenggarakan Pil Karet, Pemilihan Ketua RT. Tidak berselang lama, pohon-pohon, tiang listrik, tiang telpon, pagar-pagar rumah terpampang wajah-wajah orang, terdiam dan dimanis-maniskan.
***
Hari pelaksanaan Pil Karet telah disepakati, yang dilaksanakan pada malam hari karena pada siang hari warga kampung itu disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Semua warga memiliki hak suara termasuk anak-anak dan bayi sekalipun. Sehingga total jumlah suara pemilih adalah 227 suara. Untuk anak-anak dan bayi panitia telah menetapkan mekanismenya. Setiap anak dan bayi akan disodori dengan permen yang dibungkus dengan kertas warna masing-masing calon. Anak dan bayi itu disuruh mengambil, jika ia mengambil warna kuning berarti tambahan satu suara bagi calon dengan warna kuning. Itulah demokrasi mereka.
Tiga calon telah siap bertanding!.
Mereka adalah Tomo, seorang guru SD dan ketua takmir masjid. Sulis, seorang pengusaha penggilingan padi dan Wati, satu-satunya calon perempuan, yang sehari-hari berprofesi sebagai pengusaha mlijo. Gambar wajah mereka sudah menyebar, menempel di seluruh wajah kampung.
***
Malam itu, terop untuk Pil Karet telah dipenuhi warga kampung. Beberapa lampu merkuri 500 watt terpasang di beberapa bagian terop dan satu buah tepat diatas panggung. Tomo, Sulis dan Wati sudah berdiri gagah dan menebar senyum di belakang podium-nya masing-masing. Sesekali dari mereka mengangkat kedua tangan untuk sekedar memberi salam dan penghormatan kepada simpatisannya masing-masing.
Sebelum pemunggutan suara, disepakati setiap calon mempunyai hak untuk berkampanye. Berdasarkan undian yang dilakukan oleh panitia, maka berturut-turut akan berkampanye Wati, Sulis dan giliran terakhir Tomo. Mereka bertiga tetap berdiri di belakang podium masing-masing, senyum tetap ditebarkan dengan maksud sebagai perangkap.
“Saudara-saudara sekalian” Wati membuka kampenye. Tepuk tangan dan teriakan dukungan ramai terdengar, sebagian besar ibu-ibu.
“Saya tidak biasa dan bisa berpidato!” katanya lagi.
“Singkat saja saya berbicara, pilihlah saya!, sebagai pengusaha mlijo, jika saya terpilih, saya akan memberikan harga murah atas barang-barang jualan saya.” berapai-apai di berkata.
“Tidakkah itu akan meringankan beban bapak-bapak dan ibu-ibu semua! Coba anda pikirkan!!. “Tiap pagi, ketika ibu-ibu, istri bapak-bapak sekalian, baru saja cuci muka, siapa yang ditunggu?! Saya! Untuk apa, ya untuk menyerahkan sebagian, mungkin sebagian besar dari penghasilan bapak-bapak ini. Belanja!!. Jika saya diskon, maka bapak-bapak enak dan ibu-ibu tidak terlalu pusing ngatur uang belanjannya. Iya kan??,tepuk tangan lebih meriah.
“Untuk kami apa Bu??!!” tanpa seorang remaja.
“Jangan kuatir, kamu bisa makan lebih dari biasanya!”, tepuk tangan kembali membahana. “Merdeka!!!”, Wati menutup pidatonya.
Sekarang tiba giliran Sulis, juragan selep padi. Tepuk tangan menyambutnya.
Ia hanya tersenyum dengan mengangkat kedua tangan. Kelihatan, .ia menunggu tepuk tangan pendukungnya reda. Ia belum berbicara, meskipun tepuk tangan sudah lama reda. Warga menunggu dan terus menatapnya. Sulis menikmatinya. Lama ia hanya senyum-senyum saja.
Sulis tidak berpidato. Tangan kanan diangkat, ibu jari diadu dengan jari telunjuk dan jari tengah, tangan kiri memegang uang baru, seratus ribuan, yang dikipas-kipaskan seperti orang kegerahan. “Vulus vulus vulus” hanya itu katanya berulang-ulang. Tepuk tangan membahana, disertai teriakan dukungan yang sangat keras. Hampir semua orang berdiri menatapnya. Beberapa orang mengacungkan jempol tanganya, sambil menoleh kanan-kiri menunjukkan dukungan dan persetujuannya.
Tepuk tangan masih berlangsung, meskipun Sulis sudah lama mennurunkan tangan dan kembali memasukkan uangnya ke saku celana. Bahkan ketika Tomo akan memulai kampanye, tepuk tangan untuk Sulis belum berakhir. Tomo binggung, ini tepuk tangan untuknya atau untuk Sulis???.
“Assalamu’alaikum!” salam Tomo memulai kampanye.
Warga menjawab salam Tomo serempak. Tapi tiada tepuk tangan. Terop menjadi sepi. Beberapa warga malah berbicara sendiri, Sulis dan Wati juga sekali-kali mengangkat kedua tangan, mereka, Wati dan Sulis, masih menjadi pusat perhatian. Tomo kikuk dan menjadi serba salah.
“Saudaraku sebangsa setanah air!!” Tomo memulai pidato.
“Pengabdian dan niat yang tulus untuk memajukan kampung dan meyejahterakan anda sekalian adalah maksud saya maju dalam Pil Karet ini!”
“Tidak karena mengincar jabatan dan uang, bukan itu!! Jabatan sudah cukup bagi saya. Jabatan wali kelas di SD dan ketua takmir masjid bagi saya sudah cukup”. “Tetapi karena saya merasa terpanggil untuk memimpin kampung ini dalam membangun dirinya, saya ikhlas untuk menambah satu jabatan lagi, menjadi Ketua RT”.
Warga kampung itu masih menatap Tomo, sesekali bertepuk tangan. Bukan untuk Tomo, tapi buat Sulis yang masih belum lelah mengangkat kedua tangganya. Tomo meneruskan pidato.
“Kampung ini sebenarnya sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk membangun. Hanya satu yang diperlukan, yaitu seorang pemimpin yang jujur, wibawa, taat hukum, sepi ing pamrih trengginas ing gawe, tidak korup dan bertanggung jawab. Semua ciri pemimpin itu ada dalam diri saya, maka pilihlah saya!! Bukan untuk saya tapi demi kampung kita tercinta ini!”. Tetap sepi, tidak ada riuh tepuk tangan.


karangwidoro, september 2008

terpingkal bercucuran air mata [cerpen]



Terpingkal Bercucuran Air Mata

Sebuah rumah besar dengan bangunan sederhana, berdiri letih di pojok jalan pinggiran kota.. Putih kusam, tampak jika beberapa tahun terakhir tak tersentuh kuas dan cat tembok. Pepohonan sekenanya tumbuh dan bunga-bunga bertebaran liar menambah keruh pandang rumah besar sederhana itu.
Dialah Kasmin, pemilik rumah besar sederhana itu. Istrinya lima orang, Minah, Misah, Miring, Miskin dan Misuh. Kelima istrinya hidup bersama dalam satu atap. Mereka, istri-istri Kasmin telah memberikan anak 27 orang. Ada yang masih balita, remaja dan dewasa. Kedua puluh tujuh anak mereka juga tinggal dalam satu atap rumah besar sederhana itu.
Rumah itu terlihat berat dan payah untuk menampung sekian banyak anggota keluarga. Hanya dengan tiga kamar tidur, memaksa Kasmin dengan istri-istrinya serta anak-anaknya selalu berebut untuk bisa sekedar telentang bermimpi di kamar. Tiada hiasan, tiada lukisan kecuali mainan yang berserakan bercampur dengan bekas bungkus makanan, onggokan pakaian lusuh dan kotor. Belum lagi ditambah, suara tangis anak-anak akibat berkelahi atau sekedar rebutan mainan, bentak dan hardik dari ayah, ibu-ibu atau anak-anak yang merasa lebih tua, sekali empat kali juga sering piring terbang menyertai hari-hari rumah besar sederhana itu.
Kasmin, seorang pengangur yang pernah menikmati nikmatnya warisan orang tuanya. Rumah besar sederhana itu adalah satu-satunya warisan Kasmin yang masih tersisa. Tanah-tanahnya telah habis dijual. Tinggal sebidang tanah yang disewa sebuah mall untuk lahan parkir yang menjadi satu-satunya penghasilan Kasmin, yang tentu tak bermakna dengan lima orang istri dan puluhan anak-anaknya.
***
“Kita telah mencapai puncak kehebatan dan prestasi yang luar biasa!” kata Kasmin membuka percakapan dengan kelima istrinya disuatu senja yang kelam. “Telah banyak anak yang kita lahirkan, tiada seorangpun yang mampu menandingi prestasi ini. Aku yakin se yakin yakinnya banyak anak banyaklah rejeki, sehingga setiap tahun kita harus menambah dan menambah jumlah anak kita”, lanjut Kasmin, sambil menghisap rokok kretek Djarum 76 dan menghembuskan asapnya dengan kuat ke atas.
“Banyak anak adalah simbol kejantanan dan keperkasaan, banyak anak adalah perwujudan dari keberadaan kita”.
“Banyak anak, membuat kita seperti raja dan ratu yang selalu bisa dilayani. Semunya tinggal suruh anak kita. Beres!. Masak, ngepel, nyuci baju, setrika, nguras kamar mandi, bersihkan WC biarlah anak-anak kita yang lakukan”. “Kewajiban kita hanyalah melahirkan mereka dan memberi sedikit bekal agar mereka tetap bisa hidup. Selesai!”.
“Hi hi hi” tawa istri-istri Kasmin hampir serampak. “Iya Pak e, aku sih setuju dengan Pak e, kita-kita kan sudah taruhan nyawa ketika melahirkan mereka dan Pak e kan juga sudah pontang panting meladeni kita-kita, jadi selesailah tugas kita, biarlah anak-anak itu mencari hidupnya sendiri”, timpal Misuh, istri termuda Kasmin dengan senyum dimanis-maniskan.
“Udah dilahirkan saja, mestinya mereka harus berterima kasih pada kita. Karena kita, mereka bisa menikmati tahu tempe, rempela ati dan oseng-oseng” imbuh Miring dengan melemparkan-lemparkan tanganya ke mulut.
“Ha ha ha”, “Hi hi hi”, bergantian mereka terpingkal-pingkal.
***
Kasmin dan istri-istrinya tiada pernah tahu –atau tidak mau tahu-, anak-anak mereka yang telah dewasa telah memiliki profesi yang bermacam-macam. Ada yang menjadi tukang parkir, preman pasar, perampok, pencopet, bandar togel, pengedar narkoba, pencuri dan beragam lagi profesi yang menyeramkan. Merakalah buah karya Kasmin dan istri-istrinya.
Di suatu malam sepi sunyi, di rumah kosong sebelah rumah besar sederhana, berkumpulah anak-anak Kasmin. Nidi, anak tertua yang menjadi perampok menjadi koordinator dalam pertemuan itu.
“Biadab, kita semua ini seperti terlahir dari batu, tiada orang tua” kata Nidi dengan marah dan dendam. “Orang tua kita tak pernah merasa, apalagi bertanggung jawab, bahwa kita pernah dilahirkannya”.
“Mereka bukan orang tua, mereka pendusta!”, teriak Jeru, preman pasar, adik Nidi. “Apa yang pernah diberikannya adalah bualan tanpa makna”, sambung Jeru dengan menginjak-injak puntung rokok yang baru diselesaikan hisapan terakhirnya.
“Mereka melahirkan kita tanpa hati, hanya dengan tenaga dan nafsu semata!” tambah Sinu, si pengedar narkoba.
“Mereka pernah memberi kita, tetapi untuk sekedar menggugurkan kewajiban.. Mereka memberi bukan yang kita inginkan tetapi yang mereka maui. Mereka super egois!!, tambah Gino, si bandar togel keras. “Mereka menyuruh-nyuruh kita, bukan untuk mendidik kita, tetapi hanya menunjukkan bahwa mereka punya kuasa atas kita”.
“Gaya mereka sungguh menyebalkan, berlagak sok sibuk tatkala kita mau bicara dengan mereka. Padahal kerjanya cuma minum jamu kuat dan telentang” ujar Tuki tak kalah sinis. “Berlagak super pinter, tapi sebenarnya, semuanya itu hanyalah bualan melompong”.
“Kita adalah korban, kita harus melawan demi adik-adik kita yang mungkin masih akan lahir belakangan” seru Jito si pencopet.
“Ya ya ya, kita harus hentikan kebiadaban ini”, suara Nidi lirih tapi untuk sementara mampu melerai deru dendam kemarahan adik-adiknya.
***.
Malam semakin sepi sunyi, binatang malam enggan bersuara. Kabut mengores sedikit cahaya temaram lampu jalan yang menyala kekuning-kuningan. Nidi dan adik-adiknya masih berkumpul di rumah kosong itu. Serius tegang dan entah apa yang sedang mereka rasa dan rencanakan. Asap rokok membumbung menambah temaramnya malam.
Sementara itu, dirumah besar sederhana Kasmin, istri-istrinya dan juga puluhan anaknya yang lain tengah asyik terlelap membangun harapan bersama mimpi-mimpi mereka. Terlihat Kasmin, tidur diantara dua istrinya yang hanya berselimut sarung. Semua dari mereka tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, sebuah rencana yang tengah disusun di sebelah rumah mereka.Hanya satu lampu 15 watt yang masih terjaga di rumah besar sederhana itu.
Menjelang subuh memanggil, enam orang tergesa dengan langkah-langkah kasar menuju rumah besar sederhana. Langkah itu dari rumah kosong sebelah, mereka adalah anak-anak Kasmin, Nidi dan adik-adiknya. Bruakkkk!!!! Pintu depan rumah Kasmin didobrak kasar oleh Nidi dan Jeru. Nidi mencari bapaknya, dan kelima saudaranya mencari ibu kandungnya masing-masing. Belum sempat menyadari keterkejutannya, di dada Kasmin dan kelima istrinya telah tertancap belati putih dengan darah merah hangat dibawah bayang temaram lampu 15 watt. Tiada sempat mengeluh, mereka roboh, mati. “Demi adikku yang mungkin masih akan lahir” kata Jito. Nidi dan kelima adik-adiknya terpingkal-pingkal puas tetapi dari matanya bercucuran air mata, deras sekali.
ndokosari, maret 2007

kang profesor [cerpen]



Kang Profesor

Tepuk tangan gemuruh memenuhi sebuah aula besar salah satu perguruan tinggi. Sebagian besar orang bertepuk tangan sambil berdiri, hampir lima menit gemuruh itu berlangsung. Itulah yang terjadi, ketika Prof. Dr. Sutrimo, M.Sc (41 tahun) selesai menyampaikan orasi pengukuhan guru besarnya. Dialah profesor doktor yang terlahir di sebuah desa terpencil dari sepasang petani miskin. Dan akulah, Misdi, adik kandung satu-satunya.
Ketika gemuruh tepuk tangan belum reda, kulihat raut wajah Kang Trimo memancarkan kebahagiaan dan kebangaan yang dalam. Tetapi bagiku, itu bukan hanya wajah bangga Kang Sutrimo tetapi wajah kesombongan yang luar biasa. Teringat kedua orang tuaku, orang tua Kang Trimo juga, pada jam-jam seperti ini sedang melepas lelah dengan tubuh ringkihnya di bawah sebuah pohon di tegalan yang gersang. Entah, aku tak tahu, bahagiakah bapak dan emak seperti kebahagian Kang Trimo saat ini.
Aku, adik kandung Kang Trimo, seorang guru SMP swasta di desa dimana Prof. Dr. Sutrimo, M.Sc pernah dilahirkan. Sebagai satu-satunya saudara kandung, aku dengan Kang Trimo tidaklah dekat hubungan kami saat ini. Itu terjadi setelah Kang Trimo memutuskan kuliah dan menjadi dosen di kota. Sebelumnya aku dan Kang Trimo merasakan kedekatan selayaknya saudara pada umumnya.
***
Hari itu, empat hari sebelum pengukuhan guru besar Kang Trimo, seperti biasa aku mengajar di kelasku.
“Permisi Pak Misdi, ada telpon untuk Bapak”, kata Sono, pesuruh di sekolahan. Setelah pamit ke murid-muridku, bergegas aku menyusul Sono menuju kantor.
“Dari siapa No?, “Kok kelihatannya penting banget”, tanyaku ketika aku telah berhasil menyusulnya.
“Kata orang yang telpon, dari Profesor Sutrimo Pak!”, jawab Sono sambil jalan, “Pak Misdi disuruh nunggu sebentar nanti profesor itu akan telepon lagi”.
Aku duduk di kursi sebelah pesawat telpon. Lima menit kutunggu, baru telepon berdering. Kuangkat.
“Halo, ini Profesor Sutrimo. Misdi ya?!! Di!, empat hari lagi aku akan dikukuhkan jabatan profesorku, usahakan kamu datang. Kukirim uang untuk tiket kereta. Bapak dan Emak beritahu kalau aku sudah jadi profesor. Tetapi aku tidak memaksa kamu harus datang, jika kamu tidak jadi datang, uang yang terlanjur kukirim kasihkan saja Emak. Ya sudah!”. Klak bunyi akhir suara telepon Kang Trimo. Aku belum berkata apa-apa.
***
Kereta api kelas ekonomi membawaku ke kota dimana Kang Trimo mengajar. Uang yang dikirim Kang Trimo memang hanya cukup untuk membeli tiket kereta api kelas ekonomi ini.Uang sakupun harus pinjam dari koperasi sekolah. Panas yang menyengat akibat kereta yang penuh sesak, terasa semakin menyiksaku. Mengapa aku harus datang ke acara Kang Trimo ini? Sebuah pertanyaan yang selalu menuntut jawaban semenjak aku naik ojek menuju stasiun. Sampai setengah perjalan belum kutemukan jawabannya.
Sepanjang perjalanan pikiranku berkelebat-kelebat teringat masa laluku dengan Kang Trimo.
Empat bulan setelah pulang dari Amerika, Kang Trimo sempat pulang ke desa. Kepulangan yang terakhir sampai saat ini.
“Di, aku sekarang sudah doktor dan mampu menjadi kaya tanpa bantuan bapak dan emak” kata Kang Trimo di teras rumah. “Seandainya nanti bapak dan emak meninggal, rumah dan ladang biarlah seluruhnya jadi milikmu aku tidak minta, permintaanku satu, janganlah aku kau repoti dengan masalah bapak, emak dan kau”.
Aku tersenyum getir mengingatnya. Itulah kata-kata Kang Trimo terakhir sebelum kudengar suaranya lagi pada telponnya kemarin. Semenjak itu Kang Trimo tidak pernah memberikan kabar apapun tentang dirinya, demikian pula aku, tidak satupun kabar yang pernah aku sampaikan kepadanya. Bagiku merawat bapak dan emak adalah kewajiban dan tanggung jawabku, tetapi yang aku sesalkan adalah mengapa Kang Trimo sampai hati mengatakan jangan kau repoti aku dengan…….ah Kang Trimo memang keterlaluan.
Dulu Kang Trimo rajin membantu bapak di ladang. Membawa sabit dan keranjang untuk tempat rumput bagi tiga ekor kambing kami.
“Ayo Di! cepat jalannya! Nanti bapak keburu lapar!”, katanya, ketika aku ikut Kang Trimo yang disuruh emak mengantar makanan untuk bapak di ladang, “Nanti, waktu bapak makan, kita nyari rumput untuk kambing-kambing kita”, katanya lagi, “Kata bapak kan, kambing-kambing itu untuk mbayar sekolah kita”. Ketika bapak istirahat, Kang Trimo giat sekali mencari rumput, sebentar saja keranjang yang dibawanya penuh.
Teringat pula ketika aku dan Kang Trimo bermain layang-layang di tengah ladang bapak sehabis sekolah. Bersenda gurau, saling ejek, akrab sekali. Bapak sambil mencangkul sesekali melihat dan menimpali senda gurau kami. Emak sibuk membetulkan lanjaran kacang panjang yang bapak tanam. Ah, ingatan itu menambah getir hatiku. Ingatkah kau Kang Trimo?
Entah, apa yang membuat Kang Trimo berubah sikapnya, jadi seperti sekarang ini.
“Mo!, bapak sama emakmu tidak sangup membiayai kamu sekolah di perguruan tinggi!, kata bapak pada Kang Trimo suatu ketika, saat Kang Trimo baru lulus SMA.
“Bapakmu ini miskin, mampu menyekolahkan kamu sampai SMA saja sudah syukur, nanti belum biaya adikmu yang masih SD kelas 4 ini”, lanjut bapak sambil melihat ke arahku.
“Dengan caraku, aku tetap akan kuliah Pak?!”, tekad Kang Trimo.
Semenjak itu Kang Trimo ke kota, ikut Pak Rasman tetanggaku yang berhasil jualan tahu campur di kota, dimana nanti Kang Trimo akan kuliah. Kang Trimo membantu Pak Rasman di tenda kaki limanya. Setelah dua tahun, pada tahun yang ketiga Kang Trimo mencoba tes masuk perguruan tinggi. Dan berhasil. Pada semester pertama dan kedua, Kang Trimo masih tinggal dan membantu Pak Rasman. Berikutnya Kang Trimo berturut-turut mendapatkan beasiswa untuk biaya pendidikannya. Karena prestasi yang baik, Kang Trimo diangkat menjadi dosen di almamaternya. Tak berselang lama, beasiswapun datang lagi untuk S-2 dan S-3 di Amerika.
Ketika kuliah dan menjadi dosen di kota, Kang Trimo sudah jarang pulang ke desa. Sesekali lewat Pak Rasman, yang kebetulan pulang kampung, menitipkan surat kepadaku. Singkat dan kering.
“Kang Parto! Kang Parto!, teriak Pak Jumali, tetanggaku, memanggil bapak. “Trimo masuk TV tadi malam, diwawancarai wartawan”, lanjut Pak Jumali bersemangat. “Sudah hebat dia sekarang, necis, pakai dasi Kang, kayak menteri!”, katanya.
Bapakku cuma tersenyum, emakku yang mendengarpun tampak tidak semangat menanggapinya. Besok, lusa dan hari-hari sesudahnya, Pak Jumali sudah tidak pernah berteriak-teriak lagi jika Kang Trimo masuk TV atau koran, karena hampir tiap hari wajah Kang Trimo ditayangkan di TV maupun dipajang di koran-koran. Kang Trimo sudah menjadi seorang pakar, yang menjadi langganan berita.
Suatu ketika Kang Trimo, muncul dalam dialog tentang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa di sebuah TV Swasta dengan beberapa menteri. Bapak yang kebetulan menyalakan TV itu, tidak lebih dari semenit menonton, kemudian mengalihkan channel-nya ke TVRI, acara Campursari. Emakpun ikut-ikutan menyanyi.
Mereka dan aku, telah kehilangan Kang Trimo.
“Mas bangun!, kita sudah sampai stasiun terakhir!”, kata seseorang yang duduk disampingku. Aku telah sampai, Kang Trimo!.
***
Prosesi pengukuhan guru besar, sudah berakhir. Tinggal acara pemberian ucapan selamat. Kulihat beberapa menteri kabinet hadir dan memberikan ucapan selamat. Aku mendapatkan giliran hampir akhir untuk memberikan ucapan selamat Kang Trimo. Kujabat tangan Kang Trimo.
“Selamat!” hanya itu yang kuucapkan, aku binggung mau menyebut Selamat Kang Trimo, Selamat Pak Profesor atau Selamat Kang Profesor.
Seperti tak mendengar ucapanku, Kang Trimo tak berekspresi apa-apa.
“Aku ada titipan untuk bapak dan emak” bisiknya lirih. Aku cukup mengangguk.
Pemberian ucapan selamat dengan bersalam-salaman itu memakan waktu lebih dari tiga jam. Aku menunggu Kang Trimo menyerahkan titipan untuk bapak dan emak. Setelah beberapa saat menunggu, Kang Trimo tampak dengan membawa bungkusan sebesar tempat kotak sepatu baru.
“Ini untuk bapak dan emak”, ucapnya.
Beberapa wartawan menyerbu Kang Trimo dengan kamera dan menyorongkan recorder. Kang Trimo memberi isyarat padaku untuk meninggalkannya dengan lambaian tangan. Aku langsung ngeloyor pergi dengan membawa kotak sepatu baru yang terbungkus kertas batik.
Di stasiun sambil menunggu keberangkatan kereta api, penasaran, dan kubuka bungkusan itu. Isinya sebuah sarung untuk bapak, dan kerudung untuk emak. Hanya itu. Tidak lebih.
Sepanjang perjalanan di kereta aku tertidur, tanpa mimpi.
Ketika mau masuk rumah, baru aku ingat sarung dan kerudung dalam kotak sepatu baru dari Kang Trimo tertinggal di kereta. Kuceritakan hal itu kepada bapak dan emak.
“Biarlah yang penting kau dan kakangmu sehat-sehat saja”, kata emak lirih.
***
Setelah acara pengukuhan itu, Kang Trimo malah sering tambil di TV dan koran-koran. Kata beberapa orang, yang kubaca dari koran, Kang Trimo bisa dipastikan menduduki jabatan menteri mengantikan seorang menteri yang dicopot dalam resuffle kabinet mendatang.
Namun, enam bulan setalah pengukuhan itu. Kang Trimo tewas tertembak oleh orang yang tidak dikenal. Aku kaget, bapak terguncang dan emak menangis meraung-raung, sesekali malah pingsan.
“Bukan kematian profesor doktor yang kutangisi, tetapi anakku Sutrimo, karena akulah yang pernah melahirkannya”, kata Emak lirih sekali.
***
Dalam interogasi polisi, beberapa saat setelah penembak Kang Trimo tertangkap.
“Prof. Trimo yang menyuruh saya menembaknya, karena ia ingin mati disaat puncak pencapaian hidupnya!”.
???

RSI Aisyah, Pebruari 2006

nitip salam [cerpen]




Nitip Salam

“To, upahmu ambil minggu depan saja!” seru Haji Asnam, juragan tebu, pada Marto buruh taninya. “Sekalian upah istrimu”. Ucapan yang berulang kali hingap di telingga Marto. Marto diam saja dan tidak bisa apa apa. Terbayang, hutang istrinya di warung yang harus segera dibayar, uang sekolah Tari anak perempuannya yang sudah menunggak empat bulan. Marto gelisah. Sempat terpikir, apakah memang benar Haji Asnam tidak punya cukup uang untuk membayar upahnya, yang lebih kecil jumlahnya dari uang saku Pono anak Haji Asnam?. “Abah, minta uang lima ratus ribu, aku mau ganti handphone!”, teriak Pono pada abahnya, Haji Asnam. Berdesir darah di hati Marto, ia hanya bisa menggigit bibir.
***
Marto adalah buruh tani di sebuah desa, dimana tanaman tebu menghiasi hampir seluruh wajah desa. Rumahnya bersebelahan dengan rumah Haji Asnam, juragannya. Sudah puluhan tahun Marto bekerja untuk Haji Asnam, mencangkul, mupuk, roges dan tebang saat panen. Karena rumahnya bersebelahan, ia seringkali mendapatkan pekerjaan tambahan. Mengambilkan kelapa di pohon, mencari petai di kebun dan lain-lain. Pekerjaan tambahan tanpa upah tambahan. Marto tak menghiraukannya.
Meskipun bersebelahan, rumah Marto dan Haji Asnam tampak tajam beda kelihatan. Rumah Haji Asnam mewah bertingkat dengan halaman luas, ditanami sejumlah bunga yang membentuk taman yang indah. Garasi besar tepat berhimpitan tembok rumah Marto. Garasi yang dipenuhi mobil dan truk. Dua sedan, dua kijang dan satu panther serta lima buah truk, untuk mengangkut tebu-tebu Haji Asnam saat panen. Rumah itu dikelilingi pasar besi yang tinggi besar sebagai pembatas dan yang tampak semakin mengucilkan rumah Marto.
Rumah Marto, berdiri kerdil menempel di sebelah tembok garasi Haji Asnam. Luasnya tidak lebih dari luas halaman rumah Haji Asnam. Temboknya telah usang dan tampak di beberapa bagian dindingnya telah terkelupas. Tanpa pagar tanpa taman. Persis dibelakang rumah Minto, berdiri sebuah gazebo Haji Asnam. Dulu tanah gazebo itu adalah tanahnya. Untuk biaya pengobatan Tari di rumah sakit, Marto terpaksa melepas tanah itu, karena hutang pada Haji Asnam tidak mampu dibayarnya.
***
Marto tinggal bersama istri dan Tari anak satu-satunya. Istrinya pembantu di rumah Haji Asnam dan Tari masih sekolah kelas empat sekolah dasar. Tiada hari minggu bagi pekerjaaan Marto dan Ijah istrinya. Setiap pagi Marto sudah berangkat dengan cangkul di pundak dan sebuah arit diselipkan pada celana di balik punggungnya. Topi dengan gambar dan warna sebuah partai politik hingap di kepalanya. Baju dan celana lusuh menjadi seragam hariannya. Berbekal sebungkus nasi yang pagi-pagi sudah disiapkan istrinya. Langkahnya pasti tetapi hatinya selalu gontai. Azan asar baru ia berangkat pulang ke rumah, dengan membawa lelah dan beban yang tiada pernah lepas.
Ijah, setelah selesai membersihkan rumah dan memasak untuk bekal suami dan anaknya, langsung berangkat pula ke rumah Haji Asnam. Pagi-pagi sekali ia harus sudah ada di sana. Untuk menunggu Tari berangkat sekolah pun, jarang sekali ia mendapatkannya. Setiap pagi, pekerjaan rumah tangga telah antri menunggu kecekatan tangannya. Belanja, memasak, menyiapkan sarapan, mencuci piring, baju, menyapu halaman, membereskan tempat tidur Haji Asnam dan istrinya, kamar Pono dan segala macam pekerjaan yang lain. Ketika keluarga Haji Asnam makan pagi, Ijah selalu menyapu halaman Haji Asnam yang luas itu. Karena pada waktu itulah, sering Tari, anaknya berangkat sekolah. Ijah, selalu melambaikan tangannya dari balik pagar tinggi Haji Asnam. Tari pun melambaikan tangannya. Tari tidak pernah masuk ke halaman itu, karena istri Haji Asnam pernah memarahinya. Senyum dengan berbagai macam do’a dan harapan selalu Ijah berikan pada Tari saat melambaikan tangannya. Taripun hilang dari pandangan Ijah. Kembali Ijah melanjutkan pekerjaannya. “Duh Pengeran!” batin Ijah merintih. Selalu setelah Ijah selesai membereskan bekas makan malam, dan rampung membikinkan kopi untuk Haji Asram dan Pono serta menyajikan segelas susu kalsium untuk istri Haji Asram, Ijah baru boleh pulang. Selalu seperti itu, bertahun-tahun.
Tari yang belum genap 10 tahun, harus menanggung beban yang tidak kalah peliknya dengan masalah bapak dan emaknya. Gerbang sekolah selalu menakutkan bagi Tari. Uang sekolah yang belum dibayar, guru-gurunya yang teramat galak bagi orang semacam Tari, yang tidak terlalu pandai. Dengan hati rapuh selalu Tari memasuki gerbang itu. Setiap hari bertahun-tahun. Sepulang sekolahpun, Tari selalu bermain dengan sepi. Meskipun ibunya bekerja di tembok sebelah, ibunya tidak sekalipun pernah menengoknya. Tari tahu, itu bukanlah kehendak ibunya. Tetapi memang selalu istri Haji Asnam melarangnya. Tiada kegembiraan disepanjang hari Tari, kecuali malam-malam ibunya memeluknya kala ia telah tertidur pulas. “Emak sudah disampingmu Tari?!”.
***
Musim haji tahun ini, kembali Haji Asnam, istri dan anaknya berangkat menunaikan haji. Entah sudah yang keberapa, seingat Marto, itu sudah keberangkatannya yang keempat.
Seperti biasanya, keberangkatan haji Haji Asnam kali ini, juga didahului dengan acara do’a. Semua orang-orang kampung itu diundangnya. Mereka berkumpul di rumah besar nan mewah. Makanan disuguhkan, minuman disajikan. Seorang ustadzpun didatangkan. Marto dan istrinya mendapatkan pekerjaan tambahan yang teramat banyak. Menyiapkan makanan, mengelar tikar, membantu Ijah memersihkan piring. Tak sempat sedikitpun, ia mendengarkan wejangan Ustadz Bakri. Ia terlalu sibuk, acara itu berlangsung sampai malam. Di rumahnya, Tari kedinginan, perutnya perih belum makan. Ibunya tadi mengira, istri Haji Asnam akan menyuruhnya mengirim makanan untuk Tari. Sehingga ia tidak masak untuk Tari. Tetapi, menjelang tengah malampun, ucapan itu tidak pernah datang. “Duh Pengeran!” desah Ijah lagi.
***
Esoknya, Haji Asnam dan keluarganya berangkat.
Sebelum naik mobil, Marto mendekati Haji Asnam.
“Ada apa Marto?!, “Upahmu dan istrimu,nanti saja setelah pulang aku dari haji!” ucap Haji Asnam kepada Marto.
“Bukan itu maksud saya Pak Haji” kata Marto. “Saya hanya mau bilang”.
“Jika disana Bapak bertemu Tuhan, sampaikan salam saya dan tolong tanyakan dimana Ia sembunyikan KEADILAN!!!”.
?????
Karangwidoro, November 2007


lik nah melabrak tuhan [cerpen]


Lik Nah Melabrak Tuhan

Perempuan itu berbaring resah. Dipan reot dengan kasur tipis di sebuah bilik rumah gedheg menjadi tempat peraduannya. Orang-orang kampung memanggil perempuan itu Lik Nah. Berusia 57 tahunan dengan tubuh kurus, dibalut kulit kering kecoklatan. Dalam terang nyala lampu 10 watt, masih tampak sedikit guratan kecantikan waktu mudanya.
Lik Nah hidup dengan lima orang anaknya, tetapi ia tidak bersuami, dan bukan pula menjanda. Ia memang tidak pernah menikah. Kelima anaknya sekarang sudah besar. Sakip si sulung adalah anak Sanusi yang memperkosanya dulu ketika ia berumur 16 tahun. Sedangkan Minto, Janur, Tarmin dan Gito adalah anak-anaknya yang lahir selama ia menjadi PSK di sebuah lokalisasi, yang iapun tidak tahu siapa bapak dari anak-anaknya itu.
Rumah Lik Nah berada di pinggir kampung dibawah barongan bambu di pinggir sungai kecil yang airnya hanya mengalir ketika musim hujan. Hanyalah gedheg yang menjadi pimisah antara dalam dan luar rumahnya, itupun dibeberapa tempat sudah berlubang. Disepanjang hari daun-daun bambu berserakan memenuhi halaman rumahnya yang sempit, genting usangpun tak luput dari hingapnya daun-daun itu. Hanya sebuah dipan, perabot rumah itu, yang saat ini tampak letih menyangga tubuh ringkih Lik Nah.
Sepi sunyi adalah karib sehari-hari Lik Nah dan rumah gedheg itu. Anak-anaknya tiada pernah pulang ke rumah. Mereka bertebaran entah dimana, yang Lik Nah tidak pernah tahu. Sebagai ibu, Lik Nah selalu memikirkan dan merindukan mereka. Tetangga Lik Nah pun tiada yang peduli dengannya, meskipun sekedar bertegur sapa. Lik Nah seorang diri, dalam selimut masa lalu yang selalu membekabnya. Masa lalu yang teramat kelam.
***
Tubuh kurus Lik Nah terbaring gelisah. Di bawah temaram 10 watt, di sudut mata Lik Nah keluar air mata. Matanya terpejam. Masa lalu menariknya. Dengan punggung tangan diusapnya air mata itu. Matanya masih terpejam. Air mata telah menjadi sahabat akrab Lik Nah semenjak Lik Nah diperkosa Sanusi.
Selepas SD, Lik Nah tidak melanjutkan sekolah. Ketiadaan biaya menghapuskan harapan Lik Nah menjadi seorang guru. Bapak dan emaknya, seorang buruh miskin yang setiap hari didera kekurangan untuk sekedar memberi makan bagi enam orang anaknya. Pak Sarip, itulah nama bapak Lik Nah. Pak Sarip menjadi buruh tani di perkebunan tebu Haji Mukri, orang terkaya di kampungnya.
Membayangkan Haji Sukri, air mata Lik Nah mengucur lagi. Raut mukanya geram. Dialah orang tua Sanusi, yang dulu pernah merampok impian-impian Lik Minah dan menghancurkan kehormatan Lik Nah. “Bajingan itu memperkosaku!!”. Bermula dari perkosaan itu, Lik Nah hamil. “Duh Gusti!”, itulah kata Pak Sarip ketika Lik Nah menceritakan kehamilannya. “Belum cukupkah derita ini, Gusti?!!”.
Tahu apa yang terjadi, Haji Sukri memanggil Pak Sarip. “Usir Minah dari rumahmu jauh-jauh dengan membawa rapi aib-nya, atau kau kehilangan sumber pangan untuk anak-anakmu yang lain!!!” kata Haji Sukri di hadapan bapak Lik Nah. Pak Sarip, resah dan takut. Dilihatnya anak-anaknya, Minah dan adik-adiknya yang masih kecil-kecil itu. “Minah” kata bapaknya. Lik Nahpun pergi meninggalkan rumahnya tanpa berbekal apa-apa, hanya perut yang telah bersemayam janin Sanusi yang berumur dua bulan.
Tubuh kurus kering itu terguncang. Lik Nah menangis!.
***
Bunyi derit dipan usang bercakap dengan isak tangis Lik Nah. Masih sendiri, sepi sunyi, nyala lampu seakan lebih redup. Di sebuah bilik kamar gedheg 2x2 meter. Selimut masa lalu masih membawa hangat linang air mata Lik Nah.
Kepergian Lik Nah dari kampung halamannya tertambat di sebuah lokalisasi pinggir kota. Tanpa bekal, tanpa saudara dan mungkin tanpa do’a orang tua. Di lokalisasi ia menemukan kehidupan baru, bagi Lik Nah dan anak Sanusi yang sedang dikandungnya. Bu Mila, demikian Lik Nah memanggilnya, seorang wanita mucikari yang menampung dan memperkerjakannya. “Minah, sayang jika kamu hanya menjadi tukang cuci pakaian di sini, lihatlah Asih, Sarmi, Minul” terngiang perkataan Mila suatu ketika. “Mereka sudah hidup enak di sini, padahal mereka tidak lebih cantik darimu!”.
Punggung tangan Lik Nah kembali menyapu air matanya.
Setelah itu, dengan mengandung anak yang belum dikehendakinya. Lik Nah mulai melayani tamu-tamunya. Dalam keadaaan hamil, Lik Nah menjadi primadona. Tujuh bulan kemudian, Sakip lahir. Bu Mila, mucikari itu, yang memberi nama anaknya. Belum hilang sakitnya, Bu Mila sudah memaksanya melayani tamu. “Minah, ada tamu mencarimu, biar Sakip kugendongnya”. “Duh Gusti!”, suara Lik Nah lirih.
Dalam keremangan lampu 10 watt, punggung tangan Lik Nah kembali menyapu air matanya.
***
Lik Nah kembali menjadi primadona.
Lelaki yang datang selalu mengajak Lik Nah untuk menjadi lawan pelampiasan nafsu mereka. Lik Nah tetap mendesah dan merintih, ketika menjalan pengabdiannya. “Suara-suara dari mulutmu, mendesah dan merintih, itu meninggikan martabat kelaki-lakian, Minah” nasehat Bu Mila pada Lik Nah. Lik Nah mematuhinya, tetapi hatinya semakin teriris, pilu dan sesak.
Entah, benih siapa. Lik Nah mengandung lagi. Masih melayani tamu-tamu kembali. Tetap di lokalisasi itu, tetap dengan Bu Mila sebagai mucikarinya, Lik Nah melahirkan berturut-turut Minto, Janur, Tarmin dan Gito. “Minah, ada tamu mencarimu, biar anakmu kugendong”. “Duh Gusti!”, suara Lik Nah lirih.
Semua anak Lik Nah besar di lokalisasi itu.
Dalam keremangan lampu 10 watt, punggung tangan Lik Nah kembali menyapu air matanya.
***
Setelah Gito, anak bungsunya berumur 14 tahun, Lik Nah meninggalkan lokalisasi itu. Lik Nah diusir Bu Mila. Telah tiada tamu yang tertarik dengan Lik Nah lagi. Saat itu, seringkali seminggu penuh tiada tamu bagi Lik Nah. Tubuhnya semakin tua dan kosong. Bu Mila memberi uang Lik Nah yang hanya sebatas cukup membeli rumah gedheg yang ditempatinya saat ini. “Uangmu sudah habis untuk menghidupi anak-anakmu Minah!”, kata Bu Mila sambil menyerahkan uang itu.
Air mata kembali diusap, dengan ujung selimutnya. Tubuhnya bergetar, seperi orang menggigil. Lik Minah tidak kedingingan, Lik Minah menangis tertahan. Kedua tangan diusapkan ke wajah. Lama tangan itu menempel di sana.
***
Lik Nah semakin resah. Telah beberpa kali ia memindahkan posisi rebahnya. Di bawah nyala lampu 10 watt, wajahnya terlihat semakin tua, jauh lebih tua dari umur sebenarnya. Bebarapa kali terlihat bibirkan komat-kamit, seperti mengatakan sesuatu, tetapi tidak terdengar, lirih. Dipan berjericit kembali. Lik Nah melengkuh.
Selimut masa lalu mengingatkan anak-anaknya. Sarip, Minto, Janur, Tarmin dan Gito. Anak-anak yang besar di lokalisasi, anak-anak yang tidak pernah tahu siapa bapaknya. Dan mereka sekarang entah dimana.
Teringat Lik Nah, ketika ia masih di lokalisasi. Sarip mencari hidup sendiri, menjadi tukang semir di lokalisasi. Tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Dialah cucu Haji Mukri. Ketika beranjak remaja, keperjakaannya diminta oleh Tupi, teman PSK Lik Nah, untuk penglaris dan awet muda. Minto menjadi pencopet di terminal kota, Janur menjadi preman pasar, Tarmin dan Gito hidup dengan menenggadahkan tangan, sebagai pengemis di pinggir jalan. “Duh Gusti!” desah Lik Nah.
***
Malam semakin larut. Lik Nah bangun dari dipannya.
Nyala lampu 10 watt semakin buram, sepi sunyi. Batang-batang bambu di belakang dan samping rumah Lik Nah berayun tertiup angin malam. Daun-daunnya berguguran, jatuh di halaman dan genting rumah Lik Nah. Angin malam semakin kencang.
Lik Nah berdiri disamping dipannya. Ia menghadap ke barat. Wajahnya keras dan tegang. Sejenak ia rapikan rambutnya yang beberapa bagian terlihat putih karena uban. Lik Nah berdiri tegak, ia ambil sesuatu dari meja sebelah dipannya.
“Aku pamit anak-anakku”, Lik Nah setengah berteriak.
“Aku akan melabrak Tuhan, untuk menuntut KEADILAN yang selalu ia sembunyikan!!!”, Lik Nah berteriak.
Belati ditancapkan di dada Lik Nah, tangan kirinya mengepal.
Mati, sepi, sunyi. Kembali .........


ndokosari, riyoyo kupat 2007