Rabu, Februari 27, 2008

kang profesor [cerpen]



Kang Profesor

Tepuk tangan gemuruh memenuhi sebuah aula besar salah satu perguruan tinggi. Sebagian besar orang bertepuk tangan sambil berdiri, hampir lima menit gemuruh itu berlangsung. Itulah yang terjadi, ketika Prof. Dr. Sutrimo, M.Sc (41 tahun) selesai menyampaikan orasi pengukuhan guru besarnya. Dialah profesor doktor yang terlahir di sebuah desa terpencil dari sepasang petani miskin. Dan akulah, Misdi, adik kandung satu-satunya.
Ketika gemuruh tepuk tangan belum reda, kulihat raut wajah Kang Trimo memancarkan kebahagiaan dan kebangaan yang dalam. Tetapi bagiku, itu bukan hanya wajah bangga Kang Sutrimo tetapi wajah kesombongan yang luar biasa. Teringat kedua orang tuaku, orang tua Kang Trimo juga, pada jam-jam seperti ini sedang melepas lelah dengan tubuh ringkihnya di bawah sebuah pohon di tegalan yang gersang. Entah, aku tak tahu, bahagiakah bapak dan emak seperti kebahagian Kang Trimo saat ini.
Aku, adik kandung Kang Trimo, seorang guru SMP swasta di desa dimana Prof. Dr. Sutrimo, M.Sc pernah dilahirkan. Sebagai satu-satunya saudara kandung, aku dengan Kang Trimo tidaklah dekat hubungan kami saat ini. Itu terjadi setelah Kang Trimo memutuskan kuliah dan menjadi dosen di kota. Sebelumnya aku dan Kang Trimo merasakan kedekatan selayaknya saudara pada umumnya.
***
Hari itu, empat hari sebelum pengukuhan guru besar Kang Trimo, seperti biasa aku mengajar di kelasku.
“Permisi Pak Misdi, ada telpon untuk Bapak”, kata Sono, pesuruh di sekolahan. Setelah pamit ke murid-muridku, bergegas aku menyusul Sono menuju kantor.
“Dari siapa No?, “Kok kelihatannya penting banget”, tanyaku ketika aku telah berhasil menyusulnya.
“Kata orang yang telpon, dari Profesor Sutrimo Pak!”, jawab Sono sambil jalan, “Pak Misdi disuruh nunggu sebentar nanti profesor itu akan telepon lagi”.
Aku duduk di kursi sebelah pesawat telpon. Lima menit kutunggu, baru telepon berdering. Kuangkat.
“Halo, ini Profesor Sutrimo. Misdi ya?!! Di!, empat hari lagi aku akan dikukuhkan jabatan profesorku, usahakan kamu datang. Kukirim uang untuk tiket kereta. Bapak dan Emak beritahu kalau aku sudah jadi profesor. Tetapi aku tidak memaksa kamu harus datang, jika kamu tidak jadi datang, uang yang terlanjur kukirim kasihkan saja Emak. Ya sudah!”. Klak bunyi akhir suara telepon Kang Trimo. Aku belum berkata apa-apa.
***
Kereta api kelas ekonomi membawaku ke kota dimana Kang Trimo mengajar. Uang yang dikirim Kang Trimo memang hanya cukup untuk membeli tiket kereta api kelas ekonomi ini.Uang sakupun harus pinjam dari koperasi sekolah. Panas yang menyengat akibat kereta yang penuh sesak, terasa semakin menyiksaku. Mengapa aku harus datang ke acara Kang Trimo ini? Sebuah pertanyaan yang selalu menuntut jawaban semenjak aku naik ojek menuju stasiun. Sampai setengah perjalan belum kutemukan jawabannya.
Sepanjang perjalanan pikiranku berkelebat-kelebat teringat masa laluku dengan Kang Trimo.
Empat bulan setelah pulang dari Amerika, Kang Trimo sempat pulang ke desa. Kepulangan yang terakhir sampai saat ini.
“Di, aku sekarang sudah doktor dan mampu menjadi kaya tanpa bantuan bapak dan emak” kata Kang Trimo di teras rumah. “Seandainya nanti bapak dan emak meninggal, rumah dan ladang biarlah seluruhnya jadi milikmu aku tidak minta, permintaanku satu, janganlah aku kau repoti dengan masalah bapak, emak dan kau”.
Aku tersenyum getir mengingatnya. Itulah kata-kata Kang Trimo terakhir sebelum kudengar suaranya lagi pada telponnya kemarin. Semenjak itu Kang Trimo tidak pernah memberikan kabar apapun tentang dirinya, demikian pula aku, tidak satupun kabar yang pernah aku sampaikan kepadanya. Bagiku merawat bapak dan emak adalah kewajiban dan tanggung jawabku, tetapi yang aku sesalkan adalah mengapa Kang Trimo sampai hati mengatakan jangan kau repoti aku dengan…….ah Kang Trimo memang keterlaluan.
Dulu Kang Trimo rajin membantu bapak di ladang. Membawa sabit dan keranjang untuk tempat rumput bagi tiga ekor kambing kami.
“Ayo Di! cepat jalannya! Nanti bapak keburu lapar!”, katanya, ketika aku ikut Kang Trimo yang disuruh emak mengantar makanan untuk bapak di ladang, “Nanti, waktu bapak makan, kita nyari rumput untuk kambing-kambing kita”, katanya lagi, “Kata bapak kan, kambing-kambing itu untuk mbayar sekolah kita”. Ketika bapak istirahat, Kang Trimo giat sekali mencari rumput, sebentar saja keranjang yang dibawanya penuh.
Teringat pula ketika aku dan Kang Trimo bermain layang-layang di tengah ladang bapak sehabis sekolah. Bersenda gurau, saling ejek, akrab sekali. Bapak sambil mencangkul sesekali melihat dan menimpali senda gurau kami. Emak sibuk membetulkan lanjaran kacang panjang yang bapak tanam. Ah, ingatan itu menambah getir hatiku. Ingatkah kau Kang Trimo?
Entah, apa yang membuat Kang Trimo berubah sikapnya, jadi seperti sekarang ini.
“Mo!, bapak sama emakmu tidak sangup membiayai kamu sekolah di perguruan tinggi!, kata bapak pada Kang Trimo suatu ketika, saat Kang Trimo baru lulus SMA.
“Bapakmu ini miskin, mampu menyekolahkan kamu sampai SMA saja sudah syukur, nanti belum biaya adikmu yang masih SD kelas 4 ini”, lanjut bapak sambil melihat ke arahku.
“Dengan caraku, aku tetap akan kuliah Pak?!”, tekad Kang Trimo.
Semenjak itu Kang Trimo ke kota, ikut Pak Rasman tetanggaku yang berhasil jualan tahu campur di kota, dimana nanti Kang Trimo akan kuliah. Kang Trimo membantu Pak Rasman di tenda kaki limanya. Setelah dua tahun, pada tahun yang ketiga Kang Trimo mencoba tes masuk perguruan tinggi. Dan berhasil. Pada semester pertama dan kedua, Kang Trimo masih tinggal dan membantu Pak Rasman. Berikutnya Kang Trimo berturut-turut mendapatkan beasiswa untuk biaya pendidikannya. Karena prestasi yang baik, Kang Trimo diangkat menjadi dosen di almamaternya. Tak berselang lama, beasiswapun datang lagi untuk S-2 dan S-3 di Amerika.
Ketika kuliah dan menjadi dosen di kota, Kang Trimo sudah jarang pulang ke desa. Sesekali lewat Pak Rasman, yang kebetulan pulang kampung, menitipkan surat kepadaku. Singkat dan kering.
“Kang Parto! Kang Parto!, teriak Pak Jumali, tetanggaku, memanggil bapak. “Trimo masuk TV tadi malam, diwawancarai wartawan”, lanjut Pak Jumali bersemangat. “Sudah hebat dia sekarang, necis, pakai dasi Kang, kayak menteri!”, katanya.
Bapakku cuma tersenyum, emakku yang mendengarpun tampak tidak semangat menanggapinya. Besok, lusa dan hari-hari sesudahnya, Pak Jumali sudah tidak pernah berteriak-teriak lagi jika Kang Trimo masuk TV atau koran, karena hampir tiap hari wajah Kang Trimo ditayangkan di TV maupun dipajang di koran-koran. Kang Trimo sudah menjadi seorang pakar, yang menjadi langganan berita.
Suatu ketika Kang Trimo, muncul dalam dialog tentang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa di sebuah TV Swasta dengan beberapa menteri. Bapak yang kebetulan menyalakan TV itu, tidak lebih dari semenit menonton, kemudian mengalihkan channel-nya ke TVRI, acara Campursari. Emakpun ikut-ikutan menyanyi.
Mereka dan aku, telah kehilangan Kang Trimo.
“Mas bangun!, kita sudah sampai stasiun terakhir!”, kata seseorang yang duduk disampingku. Aku telah sampai, Kang Trimo!.
***
Prosesi pengukuhan guru besar, sudah berakhir. Tinggal acara pemberian ucapan selamat. Kulihat beberapa menteri kabinet hadir dan memberikan ucapan selamat. Aku mendapatkan giliran hampir akhir untuk memberikan ucapan selamat Kang Trimo. Kujabat tangan Kang Trimo.
“Selamat!” hanya itu yang kuucapkan, aku binggung mau menyebut Selamat Kang Trimo, Selamat Pak Profesor atau Selamat Kang Profesor.
Seperti tak mendengar ucapanku, Kang Trimo tak berekspresi apa-apa.
“Aku ada titipan untuk bapak dan emak” bisiknya lirih. Aku cukup mengangguk.
Pemberian ucapan selamat dengan bersalam-salaman itu memakan waktu lebih dari tiga jam. Aku menunggu Kang Trimo menyerahkan titipan untuk bapak dan emak. Setelah beberapa saat menunggu, Kang Trimo tampak dengan membawa bungkusan sebesar tempat kotak sepatu baru.
“Ini untuk bapak dan emak”, ucapnya.
Beberapa wartawan menyerbu Kang Trimo dengan kamera dan menyorongkan recorder. Kang Trimo memberi isyarat padaku untuk meninggalkannya dengan lambaian tangan. Aku langsung ngeloyor pergi dengan membawa kotak sepatu baru yang terbungkus kertas batik.
Di stasiun sambil menunggu keberangkatan kereta api, penasaran, dan kubuka bungkusan itu. Isinya sebuah sarung untuk bapak, dan kerudung untuk emak. Hanya itu. Tidak lebih.
Sepanjang perjalanan di kereta aku tertidur, tanpa mimpi.
Ketika mau masuk rumah, baru aku ingat sarung dan kerudung dalam kotak sepatu baru dari Kang Trimo tertinggal di kereta. Kuceritakan hal itu kepada bapak dan emak.
“Biarlah yang penting kau dan kakangmu sehat-sehat saja”, kata emak lirih.
***
Setelah acara pengukuhan itu, Kang Trimo malah sering tambil di TV dan koran-koran. Kata beberapa orang, yang kubaca dari koran, Kang Trimo bisa dipastikan menduduki jabatan menteri mengantikan seorang menteri yang dicopot dalam resuffle kabinet mendatang.
Namun, enam bulan setalah pengukuhan itu. Kang Trimo tewas tertembak oleh orang yang tidak dikenal. Aku kaget, bapak terguncang dan emak menangis meraung-raung, sesekali malah pingsan.
“Bukan kematian profesor doktor yang kutangisi, tetapi anakku Sutrimo, karena akulah yang pernah melahirkannya”, kata Emak lirih sekali.
***
Dalam interogasi polisi, beberapa saat setelah penembak Kang Trimo tertangkap.
“Prof. Trimo yang menyuruh saya menembaknya, karena ia ingin mati disaat puncak pencapaian hidupnya!”.
???

RSI Aisyah, Pebruari 2006

Tidak ada komentar: