Rabu, Februari 27, 2008

pil karet [cerpen]





Pil Karet

Sebuah kampung dihuni oleh lima puluh kepala keluarga dengan 227 warga. Meskipun terletak di desa, penghuni kampung itu tidak seluruh warganya bekerja sebagai petani. Sebagian ada yang bekerja sebagai guru SD, staf kecamatan, pengusaha penggilingan padi, tukang kayu dan lain-lain.
Perempuannya juga tidak melulu berperan sebagai ibu rumah tangga semata, tetapi banyak pula yang menjadi wanita karir. Ada yang menjadi perias pengantin, pengusaha toko kelontong, pengusaha mlijo dan lain-lain. Sebuah kampung yang penuh warna dengan berbagai corak!.
***
Hari-hari belakangan ini, kampung itu kelihatan lebih semarak dari biasanya. Berbagai warna umbul-umbul menghiasi jalan-jalan kampung. Tidak hanya dijalan utama, bahkan di gang-gang sempit juga terpasang umbul-umbul. Warna-warni. Ukuran umbul-umbul dan bentuk yang tidak sama menambah suasana semakin semarak.
Dimalam hari, suasana kampung juga ramai. Seakan kehidupan tidak mau terburu-buru mati.Beberapa lampu penerangan jalan dipasang. Kampung dimalam hari semakin terang, lebih benderang. Warga kampung itu tidak seperti kebiasaan mereka. Mereka bergerombol, membentuk kelompok-kelompok, berdiskusi dan sesekali diselingi sebuah perdebatan. Tidak tua, pemuda dan anak-anak. Mereka, warga kampung itu, tidak lagi terbuai dengan televisi. Televisi menjadi sesuatu tidak menarik lagi bagi mereka.
Tempo hari di ujung jalan utama, didirikan terop dengan sebuah panggung besar. Terlihat kursi-kursi tertata rapi. Di panggung berdiri tiga podium. Malam itu panggung masih sepi. Memang, disepakati terop didirikan dan hanya boleh diduduki tepat pada waktunya nanti.
Malam-malam berikutnya kemeriahan masih tetap berlanjut. Diskusi-diskusi, perdebatan-perdebatan masih silih berganti.
***
Kemeriahan kampung itu bermula dari keluarnya Surat Keputusan Kepala Desa setempat. Isinya seperti ini:
Menimbang : Peraturan Daerah No:......... dst
Mengingat : Jumlah kepala keluarga dan jumlah warga
Memutuskan : Memberikan kewenangan warga untuk memisahkan diri dan
membentuk kepengurusan RT sendiri.
Akhirnya disepakatilah oleh warga untuk menyelenggarakan Pil Karet, Pemilihan Ketua RT. Tidak berselang lama, pohon-pohon, tiang listrik, tiang telpon, pagar-pagar rumah terpampang wajah-wajah orang, terdiam dan dimanis-maniskan.
***
Hari pelaksanaan Pil Karet telah disepakati, yang dilaksanakan pada malam hari karena pada siang hari warga kampung itu disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Semua warga memiliki hak suara termasuk anak-anak dan bayi sekalipun. Sehingga total jumlah suara pemilih adalah 227 suara. Untuk anak-anak dan bayi panitia telah menetapkan mekanismenya. Setiap anak dan bayi akan disodori dengan permen yang dibungkus dengan kertas warna masing-masing calon. Anak dan bayi itu disuruh mengambil, jika ia mengambil warna kuning berarti tambahan satu suara bagi calon dengan warna kuning. Itulah demokrasi mereka.
Tiga calon telah siap bertanding!.
Mereka adalah Tomo, seorang guru SD dan ketua takmir masjid. Sulis, seorang pengusaha penggilingan padi dan Wati, satu-satunya calon perempuan, yang sehari-hari berprofesi sebagai pengusaha mlijo. Gambar wajah mereka sudah menyebar, menempel di seluruh wajah kampung.
***
Malam itu, terop untuk Pil Karet telah dipenuhi warga kampung. Beberapa lampu merkuri 500 watt terpasang di beberapa bagian terop dan satu buah tepat diatas panggung. Tomo, Sulis dan Wati sudah berdiri gagah dan menebar senyum di belakang podium-nya masing-masing. Sesekali dari mereka mengangkat kedua tangan untuk sekedar memberi salam dan penghormatan kepada simpatisannya masing-masing.
Sebelum pemunggutan suara, disepakati setiap calon mempunyai hak untuk berkampanye. Berdasarkan undian yang dilakukan oleh panitia, maka berturut-turut akan berkampanye Wati, Sulis dan giliran terakhir Tomo. Mereka bertiga tetap berdiri di belakang podium masing-masing, senyum tetap ditebarkan dengan maksud sebagai perangkap.
“Saudara-saudara sekalian” Wati membuka kampenye. Tepuk tangan dan teriakan dukungan ramai terdengar, sebagian besar ibu-ibu.
“Saya tidak biasa dan bisa berpidato!” katanya lagi.
“Singkat saja saya berbicara, pilihlah saya!, sebagai pengusaha mlijo, jika saya terpilih, saya akan memberikan harga murah atas barang-barang jualan saya.” berapai-apai di berkata.
“Tidakkah itu akan meringankan beban bapak-bapak dan ibu-ibu semua! Coba anda pikirkan!!. “Tiap pagi, ketika ibu-ibu, istri bapak-bapak sekalian, baru saja cuci muka, siapa yang ditunggu?! Saya! Untuk apa, ya untuk menyerahkan sebagian, mungkin sebagian besar dari penghasilan bapak-bapak ini. Belanja!!. Jika saya diskon, maka bapak-bapak enak dan ibu-ibu tidak terlalu pusing ngatur uang belanjannya. Iya kan??,tepuk tangan lebih meriah.
“Untuk kami apa Bu??!!” tanpa seorang remaja.
“Jangan kuatir, kamu bisa makan lebih dari biasanya!”, tepuk tangan kembali membahana. “Merdeka!!!”, Wati menutup pidatonya.
Sekarang tiba giliran Sulis, juragan selep padi. Tepuk tangan menyambutnya.
Ia hanya tersenyum dengan mengangkat kedua tangan. Kelihatan, .ia menunggu tepuk tangan pendukungnya reda. Ia belum berbicara, meskipun tepuk tangan sudah lama reda. Warga menunggu dan terus menatapnya. Sulis menikmatinya. Lama ia hanya senyum-senyum saja.
Sulis tidak berpidato. Tangan kanan diangkat, ibu jari diadu dengan jari telunjuk dan jari tengah, tangan kiri memegang uang baru, seratus ribuan, yang dikipas-kipaskan seperti orang kegerahan. “Vulus vulus vulus” hanya itu katanya berulang-ulang. Tepuk tangan membahana, disertai teriakan dukungan yang sangat keras. Hampir semua orang berdiri menatapnya. Beberapa orang mengacungkan jempol tanganya, sambil menoleh kanan-kiri menunjukkan dukungan dan persetujuannya.
Tepuk tangan masih berlangsung, meskipun Sulis sudah lama mennurunkan tangan dan kembali memasukkan uangnya ke saku celana. Bahkan ketika Tomo akan memulai kampanye, tepuk tangan untuk Sulis belum berakhir. Tomo binggung, ini tepuk tangan untuknya atau untuk Sulis???.
“Assalamu’alaikum!” salam Tomo memulai kampanye.
Warga menjawab salam Tomo serempak. Tapi tiada tepuk tangan. Terop menjadi sepi. Beberapa warga malah berbicara sendiri, Sulis dan Wati juga sekali-kali mengangkat kedua tangan, mereka, Wati dan Sulis, masih menjadi pusat perhatian. Tomo kikuk dan menjadi serba salah.
“Saudaraku sebangsa setanah air!!” Tomo memulai pidato.
“Pengabdian dan niat yang tulus untuk memajukan kampung dan meyejahterakan anda sekalian adalah maksud saya maju dalam Pil Karet ini!”
“Tidak karena mengincar jabatan dan uang, bukan itu!! Jabatan sudah cukup bagi saya. Jabatan wali kelas di SD dan ketua takmir masjid bagi saya sudah cukup”. “Tetapi karena saya merasa terpanggil untuk memimpin kampung ini dalam membangun dirinya, saya ikhlas untuk menambah satu jabatan lagi, menjadi Ketua RT”.
Warga kampung itu masih menatap Tomo, sesekali bertepuk tangan. Bukan untuk Tomo, tapi buat Sulis yang masih belum lelah mengangkat kedua tangganya. Tomo meneruskan pidato.
“Kampung ini sebenarnya sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk membangun. Hanya satu yang diperlukan, yaitu seorang pemimpin yang jujur, wibawa, taat hukum, sepi ing pamrih trengginas ing gawe, tidak korup dan bertanggung jawab. Semua ciri pemimpin itu ada dalam diri saya, maka pilihlah saya!! Bukan untuk saya tapi demi kampung kita tercinta ini!”. Tetap sepi, tidak ada riuh tepuk tangan.


karangwidoro, september 2008

Tidak ada komentar: