Rabu, Februari 27, 2008

terpingkal bercucuran air mata [cerpen]



Terpingkal Bercucuran Air Mata

Sebuah rumah besar dengan bangunan sederhana, berdiri letih di pojok jalan pinggiran kota.. Putih kusam, tampak jika beberapa tahun terakhir tak tersentuh kuas dan cat tembok. Pepohonan sekenanya tumbuh dan bunga-bunga bertebaran liar menambah keruh pandang rumah besar sederhana itu.
Dialah Kasmin, pemilik rumah besar sederhana itu. Istrinya lima orang, Minah, Misah, Miring, Miskin dan Misuh. Kelima istrinya hidup bersama dalam satu atap. Mereka, istri-istri Kasmin telah memberikan anak 27 orang. Ada yang masih balita, remaja dan dewasa. Kedua puluh tujuh anak mereka juga tinggal dalam satu atap rumah besar sederhana itu.
Rumah itu terlihat berat dan payah untuk menampung sekian banyak anggota keluarga. Hanya dengan tiga kamar tidur, memaksa Kasmin dengan istri-istrinya serta anak-anaknya selalu berebut untuk bisa sekedar telentang bermimpi di kamar. Tiada hiasan, tiada lukisan kecuali mainan yang berserakan bercampur dengan bekas bungkus makanan, onggokan pakaian lusuh dan kotor. Belum lagi ditambah, suara tangis anak-anak akibat berkelahi atau sekedar rebutan mainan, bentak dan hardik dari ayah, ibu-ibu atau anak-anak yang merasa lebih tua, sekali empat kali juga sering piring terbang menyertai hari-hari rumah besar sederhana itu.
Kasmin, seorang pengangur yang pernah menikmati nikmatnya warisan orang tuanya. Rumah besar sederhana itu adalah satu-satunya warisan Kasmin yang masih tersisa. Tanah-tanahnya telah habis dijual. Tinggal sebidang tanah yang disewa sebuah mall untuk lahan parkir yang menjadi satu-satunya penghasilan Kasmin, yang tentu tak bermakna dengan lima orang istri dan puluhan anak-anaknya.
***
“Kita telah mencapai puncak kehebatan dan prestasi yang luar biasa!” kata Kasmin membuka percakapan dengan kelima istrinya disuatu senja yang kelam. “Telah banyak anak yang kita lahirkan, tiada seorangpun yang mampu menandingi prestasi ini. Aku yakin se yakin yakinnya banyak anak banyaklah rejeki, sehingga setiap tahun kita harus menambah dan menambah jumlah anak kita”, lanjut Kasmin, sambil menghisap rokok kretek Djarum 76 dan menghembuskan asapnya dengan kuat ke atas.
“Banyak anak adalah simbol kejantanan dan keperkasaan, banyak anak adalah perwujudan dari keberadaan kita”.
“Banyak anak, membuat kita seperti raja dan ratu yang selalu bisa dilayani. Semunya tinggal suruh anak kita. Beres!. Masak, ngepel, nyuci baju, setrika, nguras kamar mandi, bersihkan WC biarlah anak-anak kita yang lakukan”. “Kewajiban kita hanyalah melahirkan mereka dan memberi sedikit bekal agar mereka tetap bisa hidup. Selesai!”.
“Hi hi hi” tawa istri-istri Kasmin hampir serampak. “Iya Pak e, aku sih setuju dengan Pak e, kita-kita kan sudah taruhan nyawa ketika melahirkan mereka dan Pak e kan juga sudah pontang panting meladeni kita-kita, jadi selesailah tugas kita, biarlah anak-anak itu mencari hidupnya sendiri”, timpal Misuh, istri termuda Kasmin dengan senyum dimanis-maniskan.
“Udah dilahirkan saja, mestinya mereka harus berterima kasih pada kita. Karena kita, mereka bisa menikmati tahu tempe, rempela ati dan oseng-oseng” imbuh Miring dengan melemparkan-lemparkan tanganya ke mulut.
“Ha ha ha”, “Hi hi hi”, bergantian mereka terpingkal-pingkal.
***
Kasmin dan istri-istrinya tiada pernah tahu –atau tidak mau tahu-, anak-anak mereka yang telah dewasa telah memiliki profesi yang bermacam-macam. Ada yang menjadi tukang parkir, preman pasar, perampok, pencopet, bandar togel, pengedar narkoba, pencuri dan beragam lagi profesi yang menyeramkan. Merakalah buah karya Kasmin dan istri-istrinya.
Di suatu malam sepi sunyi, di rumah kosong sebelah rumah besar sederhana, berkumpulah anak-anak Kasmin. Nidi, anak tertua yang menjadi perampok menjadi koordinator dalam pertemuan itu.
“Biadab, kita semua ini seperti terlahir dari batu, tiada orang tua” kata Nidi dengan marah dan dendam. “Orang tua kita tak pernah merasa, apalagi bertanggung jawab, bahwa kita pernah dilahirkannya”.
“Mereka bukan orang tua, mereka pendusta!”, teriak Jeru, preman pasar, adik Nidi. “Apa yang pernah diberikannya adalah bualan tanpa makna”, sambung Jeru dengan menginjak-injak puntung rokok yang baru diselesaikan hisapan terakhirnya.
“Mereka melahirkan kita tanpa hati, hanya dengan tenaga dan nafsu semata!” tambah Sinu, si pengedar narkoba.
“Mereka pernah memberi kita, tetapi untuk sekedar menggugurkan kewajiban.. Mereka memberi bukan yang kita inginkan tetapi yang mereka maui. Mereka super egois!!, tambah Gino, si bandar togel keras. “Mereka menyuruh-nyuruh kita, bukan untuk mendidik kita, tetapi hanya menunjukkan bahwa mereka punya kuasa atas kita”.
“Gaya mereka sungguh menyebalkan, berlagak sok sibuk tatkala kita mau bicara dengan mereka. Padahal kerjanya cuma minum jamu kuat dan telentang” ujar Tuki tak kalah sinis. “Berlagak super pinter, tapi sebenarnya, semuanya itu hanyalah bualan melompong”.
“Kita adalah korban, kita harus melawan demi adik-adik kita yang mungkin masih akan lahir belakangan” seru Jito si pencopet.
“Ya ya ya, kita harus hentikan kebiadaban ini”, suara Nidi lirih tapi untuk sementara mampu melerai deru dendam kemarahan adik-adiknya.
***.
Malam semakin sepi sunyi, binatang malam enggan bersuara. Kabut mengores sedikit cahaya temaram lampu jalan yang menyala kekuning-kuningan. Nidi dan adik-adiknya masih berkumpul di rumah kosong itu. Serius tegang dan entah apa yang sedang mereka rasa dan rencanakan. Asap rokok membumbung menambah temaramnya malam.
Sementara itu, dirumah besar sederhana Kasmin, istri-istrinya dan juga puluhan anaknya yang lain tengah asyik terlelap membangun harapan bersama mimpi-mimpi mereka. Terlihat Kasmin, tidur diantara dua istrinya yang hanya berselimut sarung. Semua dari mereka tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, sebuah rencana yang tengah disusun di sebelah rumah mereka.Hanya satu lampu 15 watt yang masih terjaga di rumah besar sederhana itu.
Menjelang subuh memanggil, enam orang tergesa dengan langkah-langkah kasar menuju rumah besar sederhana. Langkah itu dari rumah kosong sebelah, mereka adalah anak-anak Kasmin, Nidi dan adik-adiknya. Bruakkkk!!!! Pintu depan rumah Kasmin didobrak kasar oleh Nidi dan Jeru. Nidi mencari bapaknya, dan kelima saudaranya mencari ibu kandungnya masing-masing. Belum sempat menyadari keterkejutannya, di dada Kasmin dan kelima istrinya telah tertancap belati putih dengan darah merah hangat dibawah bayang temaram lampu 15 watt. Tiada sempat mengeluh, mereka roboh, mati. “Demi adikku yang mungkin masih akan lahir” kata Jito. Nidi dan kelima adik-adiknya terpingkal-pingkal puas tetapi dari matanya bercucuran air mata, deras sekali.
ndokosari, maret 2007

Tidak ada komentar: