Kamis, Februari 28, 2008

alam, si tertuduh


Alam, si Tertuduh


Menyimak beberapa kejadian akhir-akhir ini, seperti terlambatnya pasokan bbm dan batu bara bagi pembangkit listrik milik PLN (yang menurut PLN dikatakan disebabkan oleh faktor cuaca) dan juga semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang menurut pengadilan dikatakan sebagai akibat alam, juga kesimpulan tim khusus yang dibentuk oleh DPR juga mengatakan hal sama. Alam menjadi si tertuduh atas segala persoalan dan penderiaan.

Tentunya, alam yang dituduh ini bukanlah Alam yang seorang penyanyi yang mempopulerkan tembang ‘mbah dukun’, apalagi St. Ahmad Abdi Raja Semesta Alam (karena dia adalah seorang anak laki-laki yang masih kelas 1 SDI Sabilillah Malang dan merupakan anak penulis). Alam yang dituduh adalah badai Nicholas yang menyebabkan hempasan angin di wilayah perairan kita beberapa waktu terakhir ini dan gempa bumi di Yogyakarta dua tahun silam.


Si Nicholas telah membuat gelombang tinggi di beberapa kawasan perairan dan bahkan ada sebuah kapal tangker yang kandas karena hempasan ini. Gelombang tinggi seperti ini yang menyebabkan kapal pembawa BBM dan batu bara bagi kebutuhan energi pembangkit milik PLN tidak bisa mengirim pasokan tepat waktu. Hal ini berlanjut kepada kemampuan pasokan listrik PLN berkurang dan ditempuhlah kebijakan pemadaman bergilir di Jawa dan Bali. Alam si Tertuduh. Tapi benarkah? (lihat artikel ‘kedamaian sesaat’).


Sedangkan gempa bumi atau lindu Yogyakarta telah dituduh pula sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo. Lapindo yang saat gempa itu terjadi sedang melakukan kegiatan eksplorasi di Sumur Banjarpanji I Porong-Sidoarjo yang pada akhirnya kegiatan itu menimbulkan semburan lumpur dan menenggelamkan Porong (dan menginspirasi seorang penyanyi untuk menciptakan lagu dengan judul Porong Ajur-Porong Hancur), dikatakan oleh Lapindo bahwa semburan itu bukan karena kesalahan eksplorasi tetapi karena lindu Ngayogyakarto.


Pernyataan Lapindo ini didukung oleh banyak pihak/institusi termasuk institusi peradilan dan legislatif (Tim Khusus DPR). Tetapi pernyataan Lapindo ini juga ditolak oleh lebih banyak pihak/institusi. Benarkah alam yang salah dan layak menjadi kambing hitam dan sekaligus terdakwa?


Telah banyak pakar geologi yang terlibat dalam mengurai masalah siapakah yang layak menyandang gelar ‘bersalah’. Tetapi pakar-pakar inipun terbelah simpulannya, ada yang menyalahkan alam dan ada yang menyalahkan Lapindo. Lapindo-pun, tidak tinggal diam. Lapindo membombardir persepsi publik bahwa Lapindo tidak salah dan alam-lah yang salah. Iklan dan seminar ilmiah banyak diadakan oleh Lapindo.


Tidaklah cukup kemampuan saya untuk memberikan kejelasan apakah Lapindo yang curang atau alam yang salah. (sepanjang saya pahami: Lapindo mengaibaikan banyak hal terkait dengan kegiatan eksplorasi yang dilakukan seperti; jarak sumur eksplorasi dengan pemukiman, kewajiban secara empirik untuk menutup sumur dengan ‘chasing’, pelaporan harian kegiatan eksplorasi kepada BP Migas dan lain-lain yang tidak saya pahami).


Tetapi yang pasti, akibat semburan lumpur tersebut telah banyak manusia yang terbunuh (baca: meninggal), telah banyak manusia yang termiskinkan, telah banyak manusia yang ter-dzalimi. Kerugian ekonomi memanglah sangat besar dan memberikan efek berlipat (multiplier effect) yang dahsyat. Tetapi kerugian sosial lebih besar lagi dari itu semua. Saya sepakat dengan mas penyanyi itu porong dadi segoro lumpur. Porong Ajur!
Tentulah boleh kalau saya memakai penafsiran a contrario atas pernyataan Lapindo, sehingga semburan lumpur di Sidoarjo bukanlah akibat lindu Ngayogyakarto. Apakah boleh? Secara logika ilmiah tidakboleh, tapi peduli amat wong kata nurani saya, silahkan dan monggo-monggo saja.

Tidak ada komentar: