Rabu, Februari 27, 2008

nitip salam [cerpen]




Nitip Salam

“To, upahmu ambil minggu depan saja!” seru Haji Asnam, juragan tebu, pada Marto buruh taninya. “Sekalian upah istrimu”. Ucapan yang berulang kali hingap di telingga Marto. Marto diam saja dan tidak bisa apa apa. Terbayang, hutang istrinya di warung yang harus segera dibayar, uang sekolah Tari anak perempuannya yang sudah menunggak empat bulan. Marto gelisah. Sempat terpikir, apakah memang benar Haji Asnam tidak punya cukup uang untuk membayar upahnya, yang lebih kecil jumlahnya dari uang saku Pono anak Haji Asnam?. “Abah, minta uang lima ratus ribu, aku mau ganti handphone!”, teriak Pono pada abahnya, Haji Asnam. Berdesir darah di hati Marto, ia hanya bisa menggigit bibir.
***
Marto adalah buruh tani di sebuah desa, dimana tanaman tebu menghiasi hampir seluruh wajah desa. Rumahnya bersebelahan dengan rumah Haji Asnam, juragannya. Sudah puluhan tahun Marto bekerja untuk Haji Asnam, mencangkul, mupuk, roges dan tebang saat panen. Karena rumahnya bersebelahan, ia seringkali mendapatkan pekerjaan tambahan. Mengambilkan kelapa di pohon, mencari petai di kebun dan lain-lain. Pekerjaan tambahan tanpa upah tambahan. Marto tak menghiraukannya.
Meskipun bersebelahan, rumah Marto dan Haji Asnam tampak tajam beda kelihatan. Rumah Haji Asnam mewah bertingkat dengan halaman luas, ditanami sejumlah bunga yang membentuk taman yang indah. Garasi besar tepat berhimpitan tembok rumah Marto. Garasi yang dipenuhi mobil dan truk. Dua sedan, dua kijang dan satu panther serta lima buah truk, untuk mengangkut tebu-tebu Haji Asnam saat panen. Rumah itu dikelilingi pasar besi yang tinggi besar sebagai pembatas dan yang tampak semakin mengucilkan rumah Marto.
Rumah Marto, berdiri kerdil menempel di sebelah tembok garasi Haji Asnam. Luasnya tidak lebih dari luas halaman rumah Haji Asnam. Temboknya telah usang dan tampak di beberapa bagian dindingnya telah terkelupas. Tanpa pagar tanpa taman. Persis dibelakang rumah Minto, berdiri sebuah gazebo Haji Asnam. Dulu tanah gazebo itu adalah tanahnya. Untuk biaya pengobatan Tari di rumah sakit, Marto terpaksa melepas tanah itu, karena hutang pada Haji Asnam tidak mampu dibayarnya.
***
Marto tinggal bersama istri dan Tari anak satu-satunya. Istrinya pembantu di rumah Haji Asnam dan Tari masih sekolah kelas empat sekolah dasar. Tiada hari minggu bagi pekerjaaan Marto dan Ijah istrinya. Setiap pagi Marto sudah berangkat dengan cangkul di pundak dan sebuah arit diselipkan pada celana di balik punggungnya. Topi dengan gambar dan warna sebuah partai politik hingap di kepalanya. Baju dan celana lusuh menjadi seragam hariannya. Berbekal sebungkus nasi yang pagi-pagi sudah disiapkan istrinya. Langkahnya pasti tetapi hatinya selalu gontai. Azan asar baru ia berangkat pulang ke rumah, dengan membawa lelah dan beban yang tiada pernah lepas.
Ijah, setelah selesai membersihkan rumah dan memasak untuk bekal suami dan anaknya, langsung berangkat pula ke rumah Haji Asnam. Pagi-pagi sekali ia harus sudah ada di sana. Untuk menunggu Tari berangkat sekolah pun, jarang sekali ia mendapatkannya. Setiap pagi, pekerjaan rumah tangga telah antri menunggu kecekatan tangannya. Belanja, memasak, menyiapkan sarapan, mencuci piring, baju, menyapu halaman, membereskan tempat tidur Haji Asnam dan istrinya, kamar Pono dan segala macam pekerjaan yang lain. Ketika keluarga Haji Asnam makan pagi, Ijah selalu menyapu halaman Haji Asnam yang luas itu. Karena pada waktu itulah, sering Tari, anaknya berangkat sekolah. Ijah, selalu melambaikan tangannya dari balik pagar tinggi Haji Asnam. Tari pun melambaikan tangannya. Tari tidak pernah masuk ke halaman itu, karena istri Haji Asnam pernah memarahinya. Senyum dengan berbagai macam do’a dan harapan selalu Ijah berikan pada Tari saat melambaikan tangannya. Taripun hilang dari pandangan Ijah. Kembali Ijah melanjutkan pekerjaannya. “Duh Pengeran!” batin Ijah merintih. Selalu setelah Ijah selesai membereskan bekas makan malam, dan rampung membikinkan kopi untuk Haji Asram dan Pono serta menyajikan segelas susu kalsium untuk istri Haji Asram, Ijah baru boleh pulang. Selalu seperti itu, bertahun-tahun.
Tari yang belum genap 10 tahun, harus menanggung beban yang tidak kalah peliknya dengan masalah bapak dan emaknya. Gerbang sekolah selalu menakutkan bagi Tari. Uang sekolah yang belum dibayar, guru-gurunya yang teramat galak bagi orang semacam Tari, yang tidak terlalu pandai. Dengan hati rapuh selalu Tari memasuki gerbang itu. Setiap hari bertahun-tahun. Sepulang sekolahpun, Tari selalu bermain dengan sepi. Meskipun ibunya bekerja di tembok sebelah, ibunya tidak sekalipun pernah menengoknya. Tari tahu, itu bukanlah kehendak ibunya. Tetapi memang selalu istri Haji Asnam melarangnya. Tiada kegembiraan disepanjang hari Tari, kecuali malam-malam ibunya memeluknya kala ia telah tertidur pulas. “Emak sudah disampingmu Tari?!”.
***
Musim haji tahun ini, kembali Haji Asnam, istri dan anaknya berangkat menunaikan haji. Entah sudah yang keberapa, seingat Marto, itu sudah keberangkatannya yang keempat.
Seperti biasanya, keberangkatan haji Haji Asnam kali ini, juga didahului dengan acara do’a. Semua orang-orang kampung itu diundangnya. Mereka berkumpul di rumah besar nan mewah. Makanan disuguhkan, minuman disajikan. Seorang ustadzpun didatangkan. Marto dan istrinya mendapatkan pekerjaan tambahan yang teramat banyak. Menyiapkan makanan, mengelar tikar, membantu Ijah memersihkan piring. Tak sempat sedikitpun, ia mendengarkan wejangan Ustadz Bakri. Ia terlalu sibuk, acara itu berlangsung sampai malam. Di rumahnya, Tari kedinginan, perutnya perih belum makan. Ibunya tadi mengira, istri Haji Asnam akan menyuruhnya mengirim makanan untuk Tari. Sehingga ia tidak masak untuk Tari. Tetapi, menjelang tengah malampun, ucapan itu tidak pernah datang. “Duh Pengeran!” desah Ijah lagi.
***
Esoknya, Haji Asnam dan keluarganya berangkat.
Sebelum naik mobil, Marto mendekati Haji Asnam.
“Ada apa Marto?!, “Upahmu dan istrimu,nanti saja setelah pulang aku dari haji!” ucap Haji Asnam kepada Marto.
“Bukan itu maksud saya Pak Haji” kata Marto. “Saya hanya mau bilang”.
“Jika disana Bapak bertemu Tuhan, sampaikan salam saya dan tolong tanyakan dimana Ia sembunyikan KEADILAN!!!”.
?????
Karangwidoro, November 2007


Tidak ada komentar: