Kamis, Januari 08, 2009

Harga Saham dan Perilaku Investor

Perspektif Behavioural Finance

Bumi berputar.
Ia selalu bergerak.
Seiring bergerak dan berputarnya bumi, manusia-pun berubah. Dan memang tiada sesuatupun yang abadi kecuali P-E-R-U-B-A-H-A-N itu sendiri.

Sepeda "pancal" atau sering pula disebut dengan sepeda angin, juga mengalami beraneka perubahan, tidak hanya bervariasi-nya bentuk tetapi juga beragam-nya fungsi. Kala lampau, sepeda masih menjadi alat transportasi dominan dalam lalu lintas hidup manusia. Ia menjadi alat antar ke pasar, sekolah, kuliah, mengabdi dan aneka fungsi lain yang melekat padanya. Saat ini, fungsi dominan itu sudah mulai mengalami pergeseran. Sepeda relatif semakin banyak yang dipakai sebagai media ber-olah raga. Kondisi itu menuntut berubahnya bentuk. Dan sepeda yang sudah "terlanjur" terbentuk dengan model "usang" mengalami "promosi" menjadi barang antik yang eksklusif dan aji.

Tetapi, itu tidak berlaku sepenuhnya bagi Mbah Seran, tetanggaku.
"Mbah, kok masih pakai sepeda pancal?" tanya saya suatu tempo.
"Lha… piye to Su, wong punya-nya Mbah cuma ini!" jawabnya.
"Masih bagus sepeda-nya Mbah!" kataku memuji.
"Alhamdulillah Su, ini memang gazelle asli!, Disamping bagus, sepeda ini sekarang juga mulyo lho Su!"
"Mulyo dos pundhi Mbah?!"
"Lha gimana, sepeda ini kerjone mung entheng!"
"Ringan?! Ringan gimana Mbah?!"
"Wis ora tau tak tumpak-i, tetapi cuma Mbah pakai teken!"
???

Itulah Mbah Seran, yang perginya selalu dengan sepeda pancal-nya, tidak pernah dinaiki tetapi hanya dipakai sebagai "tongkat" bagi-nya untuk berjalan. Usia tua dan ke-"gengsi"-an beliau menggunakan tongkat ketika jalan, mendorong sepeda-pun berevolusi menjadi…T-O-N-G-K-A-T. Manusiapun demikian, selalu berubah bergeser dibombardir dan akhirnya "berdamai" dengan produk kapitalisme!
***********

Harga saham selalu berfluktuasi. Dalam retang menit bahkan detik, harga saham bisa bergerak naik tajam dan bisa pula turun curam. Fluktuasi ini tidak hanya terkadang membuat kinerja jantung investor overcapacity tetapi juga bisa menelan nilai investasi yang telah dibenamkannya. Krisis keuangan membuat fluktuasi harga saham semakin tidak predictable dan terkadang menanjak tidak terduga dan menurun tidak terkira. Masalahnya adalah mengapa semua itu bisa terjadi?

Confidence VS Expectation
Investor pasar keuangan adalah investor yang beragam. Keberagaman yang dikontibusikan oleh beberapa aspek, yaitu: motivasi investasi, daya beli (purchasing power) terhadap sekuritas, pengalaman, tingkat pengetahuan dan kematangan investasi serta perilaku investasi. Keberagaman ini akan membuat perbedaan tingkat keyakinan (confidence) dan harapan (expectation) atas return dan risk atas invetasi yang dilakukannya. Adanya keberagaman inilah yang sesungguhnya mendorong terjadinya transaksi. Bayangkan jika semua investor memiliki keyakinan dan ekspektasi yang sama. Mungkinkah ada transaksi?

Keyakinan dan harapan inilah yang melahirkan perilaku investasi yang beragam. Dorsey dalam Daniri (2008) mengatakan "human behaviour is the key determinants of the market". Premis ini bukan berarti menihilkan faktor fundamental dan teknikal investasi sama sekali tetapi memberikan penekanan bahwa perilaku investor menentukan "abang irenge" pasar keuangan. Dengan bersepakat atas premis inilah maka disiplin ilmu keuangan tidak bisa secara kaku dan angkuh berdiri sendiri dalam memformulasi rekomendasi investasi tetapi juga harus melibatkan ilmu perilaku manusia yaitu psikologi.

Hipotesis Pasar Efisien?
Adam Smith, Mbah-nya kapitalisme, dalam bukunya The Money Game (Daniri, 2008) mengatakan bahwa perilaku investor itu didorong oleh 2 hal, yaitu fear (ketakutan) dan greed (keserakahan). Perilaku yang didorong dengan kedua hal ini relatif akan mengacaukan bangunan hipotesis pasar efisien yang telah banyak diyakini oleh peneliti ilmu keuangan. Efisiensi pasar secara informasi hanyalah dibentuk oleh tipologi investor yang rasional dalam memandang informasi, baik data historis, data publik ataupun private infrmation. Sedangkan ketakutan dan keserakahan merupakan variabel yang tidak terkontrol oleh ketiga jenis informasi itu. Pada tikungan inilah, lahirnya masalah!

Keyakinan dan harapan yang beragam serta didorong oleh ketakuan dan keserakahan investor melahirkan fenomena pasar keuangan saat ini. Dalam kondisi pasar keuangan sedang bullish (kinerjanya meningkat) maka menanjaklah harga dan kapitalisasi saham sampai menjulang bahkan bubble. Tetapi sebaliknya, ketika pasar keuangan sedang bearish (kinerjanya menurun) maka meluncurlah harga dan kapitalisasi saham mendekati dasar. Meskipun faktor fundamental emiten maupun ekonomi baik. Apakah pada titik ini, ilmu keuangan masih sanggup memberikan penjelasan?

Herding Behaviour, Run with Herd
Paul Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008, mengatakan bahwa perilaku investor global adalah perilaku yang mengikuti isyarat kawanan (run with herd). Perilaku ini dinamainya dengan Herding Behaviour (Daniri, 2008). Dan tampaknya, pola herding behaviour ini tidak bisa dicermati hanya oleh ilmu keuangan semata tetapi ilmu psikologi dapat berperan untuk mengidentifikasi perilaku investasi seperti ini. Terlebih pada pasar keuangan yang masuk dalam kualifikasi emerging market seperti pasar keuangan kita, perilaku investasinya juga sangat dipengaruhi oleh rumor, yang disebut dengan Noise Trading Behaviour (Asri dalam Kompas, 8/12).

Pasar keuangan digerakkan oleh informasi, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam proses pemaknaan informasi itu ada unsur subjektivitas, emosi dan faktor psikologis lainnya. Terlebih dalam emerging market yang masih banyak dipenuhi oleh investor yang tidak rasional. Untuk itu, ilmu psikologi harus memberikan kontribusi sehingga penelitian keuangan tidak hanya bisa menjawab apa (what) tetapi bisa pula menjelaskan mengapa (why) dan bagaimana (how) secara lebih komprehensif. Maka dengan berlatar seperti itulah saat ini berkembang displin ilmu yang namanya Behavioural Finance.

Apa itu BF atau Behavioural Finance itu?
Perkembangan pasar keuangan dengan kompleksitas yang melatarinya tidak memungkinkan teori investasi/keuangan untuk berdiri angkuh seorang diri dan kaku. Tetapi dipandang perlu untuk mengajak serta disiplin ilmu lain, yaitu psikologi untuk membantu melihat fenomena perilaku investor dalam membuat keputusan investasi.

Sewell (2008) mendefinisikan BF adalah "study of the influence of psichology on the bahaviour of financial practitioners and the subsequent effect on market". Dari definisi BF yang diberikan oleh Sewell ini, terdapat 2 hal yang menarik disikapi. Pertama, perilaku investor merupakan objek amatan. Secara individual, aspek psikologis investor dalam memandang risiko dan imbal hasil (return) tentulah beragam. Toleransi investor terhadap risiko (risk appetite) selalu berbeda. Amatan terhadap aspek psikologis ini secara individual diperlukan untuk menentukan sekuritas yang sesuai dengan keadaan psikologis investor yang dimiliki saat itu. Dan dalam pespektif lain, hasil amatan itu dapat digunakan sebagai bahan prediksi atas kemungkinan transaksi yang mesti dilakukannya. Kedua, perilaku investor itu menentukan pasar. Secara komunal dan bersama-sama, perilaku investor ini akan menentukan harga dan kapitalisasi saham. Sehingga trend pergerakan IHSG dapat diprediksi dengan analisa BF ini. Hal ini akan meminimalisasi potensi loss atau risiko yang ditanggung oleh investor.

Secara historis sebenarnya displin BF ini telah dimulai sejak tahun 1912, saat Selden menulis buku yang berjudul "Psychology of The Stock Market" (Sewell, 2008). Dalam buku itu, Selden mengatakan bahwa "pergerakan harga saham dipengaruhi oleh sikap mental investor". Dimana sikap mental ini lebih kompleks daripada sekedar faktor fundamental (ekonomi, industri dan emiten) maupun faktor teknikal. Hal ini terkait pula dengan risiko penurunan harga saham karena efek sentimen pasar yang lebih banyak diakibatkan oleh pengaruh faktor psikologis investor.

Heuristic dan Framing
Investor rasional secara teori dikatakan mendasarkan keputusan investasinya pada informasi, baik itu informasi historis, publik ataupun private. Masalahnya adalah "pada titik waktu itu" informasi yang beredar di pasar teramat banyak. Penuh! Sehingga investor "dipaksa" memproses informasi itu untuk mendapatkan solusi yang cepat tetapi belum tentu optimal. Itulah Heuristic! ( Frensendy, Bisnis Indonesia, 4/1). Tentunya tidak semua informasi yang beredar di pasar itu dipergunakan dalam analisis. Secara psikologi, manusia hanya mampu memproses 7 (tujuh) macam informasi dalam waktu yang bersamaan. Sehingga masih dimungkinkan hasil eksekusi investasi yang telah dilakukan mengandung representative bias, karena ada kesalahan dalam memilih dan meng-eliminasi informasi.

Jika sekuritas tunggal dalam keranjang portolio kita mengalami kecenderungan penurunan harga yang tajam, maka investor rasional akan melakukan Cut Loss. Yaitu langkah memotong kerugian yang kemungkinan lebih parah jika tidak kita lakukan. secara riil memang masih rugi, tetapi kerugian itu bukan kerugian yang maksimal. Secara psikologis, terdapat investor yang tidak mau melakukan Cut Loss. Bukan disebabkan oleh substansi tetapi masalah teknis penyampaian. Cut Loss tetapi disampaikan dengan ungkapan "switch dana anda ke istrumen lain!". Itu lebih dikehendaki, daripada Cut Loss. Itu hanya sebagian contoh framing. Tetapi dalam konteks lebih luas, framing merupakan cara penyampaian data/informasi pasar kepada investor. Cara penyampaian akan menentukan reaksi investor. Informasi yang biasa tetapi disampaikan dengan cara yang "luar biasa" akan mengimplikasi perilaku investasi yang "luar biasa" pula. Sehingga framing juga sama pentingnya dengan substansi. Heuristic dan Framing, kami minta tolong kepada teman-teman psikologi. Ughhh……..
***************

Ini sebuah kisah nyata perilaku aneh.
Ada seorang pria nekat mencuri boneka seks yang bernama Jane Rimba.
Jane Rimba adalah boneka plastik yang perlu ditiup sebelum "dipergunakan".
Si Pencuri itu, mengambil, meniup agar Jane Rimba mengembang, MEMPERKOSA-nya dan terakhir membuang-nya!.
Kejadian ini terjadi di Cairns, Negara Bagian Queensland, Australia. (Kompas, 8/1).
Kasus ini, sepertinya bukan BF (Behavioural Finance) tapi BF sungguhan! (tentunya jika ada CCTV-nya).
Polisi saat ini lagi berusaha menangkap pelaku-nya.
Mudah-mudahan bukan orang Indonesia. Ha ha ha…. (ma’af)

Selasa, Januari 06, 2009

January Effect, Bargain Hunter dan Bellwethers Ekonomi

Refleksi Atas Perdagangan Perdana BEI 5/01/09

Ngopi atau ngobrol sambil minum kopi sudah merupakan kebiasaan lama saya yang mentradisi dan mendarah daging. Bahkan dulu sewaktu masih kuliah, meskipun tidak ada kegiatan kuliah, saya mesti ke kampus untuk minum kopi di salah satu warung di samping fakultas. Ternyata ngopi tidak-lah hanya sekedar mencecap hasil adukan antara pahit-nya kopi dengan manis-nya gula, tetapi cecap-pan nikmatnya nggobrol-lah yang mendorong lebih kuat untuk selalu….. ngopi di warung!

Di kantor kebiasaan itu-pun makin berkembang tumbuh. Kadang ngopi di Pujasera FIP, Pujasera KPN, sering pula di warung Pak Japan atau terkadang di WS. Salah satu sohib ngopi saya adalah Pak Suamo. Seorang pegawai administrasi di Subag Akademik FE UM. Pak Suamo merupakan sosok yang mudah bergaul dengan siapapun, memiliki rasa humor yang tinggi dan "spesialnya": suka menertawakan "kegetiran" hidup.

Disamping sebagai PNS, iapun menjadi "pengepul" besi tua, pengrajin keramik (yang saat ini lagi kempis-kempis tidak kembang), makelaran mobil dan sepeda motor, pemilik toko pracangan, menawarkan jasa terkait dengan pelayanan SAMSAT serta pimpinan sebuah kelompok musik terbang jidor. Aktivitas yang beragam merupakan indikator dari beragamnya komunitas pergaulan yang ia miliki. Ia sering memanggilku dengan sebutan "B-O-S" (sayapun tidak begitu mempedulikan dipanggil demikian) dan iapun ku panggil dengan sebutan "T-E-H" (sebutan khas, karena ia orang Madura).

Suatu hari, ketika ngopi di Pujasera FIP yang sejuk.
"Bos!, mobil sampeyan tak beli-nya po’o!" katanya.
"Ora tak jual Teh!"
"Wis talah!"
Dimulai dari dua kata "wis talah", ia tanpa lelah mulai "menggedor pendirian" saya , dari tidak niat menjual mobil menjadi "perlu" menjual mobil.
"Piro?!" tanya saya.
"Tiga puluh!"
"Ngawur peno iki!"
"Wis talah!"
Dimulai sesi II dengan dua kata "wis talah" lagi, iapun mulai lagi menggerilya "kekukuhan" saya.
"Terus?!
"Gampang! Besok tak carikan ganti!"
???
Begitulah Pak Suamo, benar-benar BARGAIN HUNTER sejati yang selalu memburu barang-barang murah!, yang sesungguhnya belum tentu murah!.
Meskipun pada akhirnya, mampu juga saya berkata "T-I-D-A-K!"
**************

Dalam dunia investasi di pasar keuangan terdapat fenomena yang disebut dengan Efek Januari (January Effect). Meskipun beberapa penelitian tidak banyak yang bisa membuktikan adanya January Effect ini di Pasar Modal Indonesia, tetapi dalam tataran praktis terkadang masih dipakai sebagai salah satu dasar pertimbangan pengambilan keputusan investasi oleh sebagian kecil investor. Sedikitnya keberadaan justifikasi ilmiah atas fenomena January Effect menyebabkan sebagian besar investor menganggap bahwa fenomena itu hanyalah sekedar mitos belaka!.

Apa sebenarnya January Effect itu?
January Effect
merupakan kecenderungan terjadinya kenaikan harga saham pekan pertama bulan Januari. Adanya kenaikan harga ini didorong oleh aktivitas investor untuk kembali menyusun portofolio-nya setelah mereka "terbenam" selama liburan akhir tahun. Permintaan investor yang meningkat terhadap instrumen keuangan inilah yang mnyebabkan harga mengalami kenaikan. Kenaikan permintaan ini didorong oleh ekspektasi investor yang positif. January Effect ini sering juga disebut dengan Year End Effect.

Secara historis, January Effect hanya akan berdampak pada saham-saham yang memiliki kapitalisasi kecil (small caps) daripada saham dengan kapitalisasi menengah (mid caps) dan besar (big caps). Hal ini secara teori dapat dijelaskan bahwa saham dengan kapitalisasi rendah memiliki akselarasi yang lebih cepat untuk meningkat harganya meskipun volume dan nilai transaksi-nya relatif tidak besar. Tetapi saham mid caps dan big caps membutuhkan volume dan nilai transaksi yang relatif lebih besar untuk menggerakkan harga sahamnya.

Akhir-akhir ini, eksistensi January Effect ini sering "digugat" dengan keberadaan Santa Claus Rally atau Desember Effect. Hal ini dikarenakan perubahan periode waktu terjadinya trend kenaikan harga saham, peningkatan harga saham sudah mulai terjadi di pekan terakhir bulan Desember. (Wikipedia). Perkembangan ini sudah mulai menggeser kekuatan bulan Januari dalam memberikan pengaruh terhadap harga saham. Dan secara empiris, saat ini sulit bagi investor untuk mendapatkan abnormal return hanya dengan berpegang pada tiang January Effect, seperti definisi-definisi mengenai January Effect masa lampau.

Apa pula Bargain Hunter itu?
Bargain Hunter
adalah pemburu saham-saham yang berharga murah. Di pasar keuangan harga murah tidak identik dengan harga rendah, keduanya berbeda signifikan. Harga rendah belum tentu murah dan harga murah belum tentu rendah. Mengapa bisa begitu? Untuk menggambarkan masalah tersebut kita ambil contoh sebagai berikut: PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memiliki sifat dan kondisi yang identik, yaitu sektor bisnis, jumlah modal disetor, total hutang, pendapatan, laba bersih dan lain-lain. Kecuali harga saham dan jumlah saham beredar, kedua perusahaan itu adalah identik.

PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memiliki modal disetor sebesar Rp. 10 miliar. Yang berbeda adalah nilai nominal sahamnya. PT. X Tbk menetapkan nilai nominal sahamnya adalah sebesar Rp. 1000 per lembar sedangkan PT. Z Tbk adalah Rp. 100 per lembar. Dari data tersebut maka jumlah saham PT. X Tbk adalah sebesar 10.000.000 (Rp.10 miliar/ Rp.1000) lembar dan PT. Z Tbk memiliki 100.000.000 (Rp. 10 miliar/Rp. 100) lembar saham. Jika diasumsikan bahwa harga saham di pasar (current market price) sama dengan nilai nominalnya, apakah bisa disimpulkan bahwa harga saham PT. Z Tbk lebih murah daripada harga saham PT. X Tbk?

Tidak sesederhana itu cara pengambilan kesimpulannya! Sekarang kita lanjutkan, seandainya PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 2 miliar dan semuanya didistribusikan sebagai dividen, apa yang terjadi? Saham PT. X Tbk akan memberi dividen per lembar sebesar Rp. 200 per lembar sedangkan saham PT. Z Tbk akan memberikan dividen per lembar sebesar Rp. 2000 per lembar. Apakah anda masih akan mengatakan harga saham PT. Z Tbk lebih murah daripada harga saham PT. X Tbk? Tentu tidak!. Karena itu mahal dan murahnya saham harus pula dilihat secara lebih komprehensif, faktor fundamental dan rasio kinerja saham seperti PER (Price Earning Ratio) dan EPS (Earning Per Share) perlu diperhatikan.

Bargain Hunter ini memburu saham yang harganya murah tetapi belum tentu harga saham yang harganya rendah. Tetapi relatif paradoksal dengan investor ritel dengan dana investasi terbatas. Mereka akan menjadi Bargain Hunter dengan memburu saham dengan harga murah dan (kalau ada!) harganya juga rendah. Perilaku Bargain Hunter ini juga akan memiliki kontribusi untuk meningkatkan harga saham, khususnya saham-saham yang secara fundamental masuk dalam kualifikasi undervalue. Indikasi hadirnya kontribusi mereka dapat dirasakan pada awal perdagangan ini.

Bellwethers Ekonomi
Pernahkah anda melihat gerombolan kambing yang sedang di-"angon" (apa ya bahasa Indonesia-nya?) oleh pemiliknya?. Tanpa perlu "permufakatan" diantara mereka, kambing-kambing itu akan relatif mengikuti induknya. Kemana induknya berjalan, maka para follower ini mengikutinya. Demikian pula, jika sore sudah menjelang, si pemilik kambing itu harus mengantar pulang ke kandang. Ia hanya me-"nuntun" (apa juga ya bahasa Indonesia-nya?) induknya, dan spontan kambing-kambing yang lain mengikutinya di belakang. Itulah yang dinamakan BELLWETHERS.

Dalam bidang ekonomi, terlebih saat krisis seperti ini, pemerintah dan Bank Indonesia-lah yang menjadi bellwethers tersebut. Mereka adalah induk, dan langkah kebijakan mereka akan selalu dicermati, dianalisa, diantisipasi dan diikuti oleh pelaku pasar keuangan. Sehingga apa yang akan terjadi di pekan pertama Januari, ada atau tidaknya January Effect serta perilaku Bargaian Hunter dalam memburu saham murah akan selalu dipengaruhi oleh langkah kebijakan bellwethers ekonomi itu.

Dalam tataran investasi saham, ada pula saham yang memegang posisi sebagai bellwethers. Apa yang terjadi dan menimpa saham itu akan menjadi acuan (atau bell) bagi investor untuk menentukan kebijakan investasinya. Misalnya saham PT. Telkom Tbk (TLKM). Kapitalisasi besar yang dimiliki oleh TLKM membuat kontribusi dia dalam menciptakan Indeks Harga Saham relatif besar. Pun, saham unggulan macam TLKM merupakan rujukan utama bagi investor institusional untuk mengisi keranjang portofolio-nya. Atas keadaan yang melekat seperti ini, TLKM pun bisa berperan sebagai bellwethers saham.

January Effect, Bargain Hunter dan Bellwethers Ekonomi:
Dalam Perdagangan Perdana BEI 2009

Perdagangan perdana BEI yang dibuka oleh Presiden SBY, berhasil menaikkan IHSG sebesar 81.93 poin atau 6.04% ke level 1.437,34. (Bisnis Indonesia, 5/1). Kenaikan ini merupakan kenaikan terbesar kedua se-Asia Pasifik setelah indeks saham Thailand yang naik sebesar 6.39%. Kenaikan IHSG di awal tahun 2009 ini begitu diharapkan oleh pemerintah dan pelaku pasar keuangan. Dalam bagian pidato pembukaan, Presiden SBY meminta pelaku pasar agar tetap yakin dan optimis dalam memandang krisis keuangan global yang saat ini terjadi. Meskipun relatif hiperbolik, mudah-mudahkan kenaikan IHSG di awal tahun sebagai wujud dari optimisme itu.

Perdagangan perdana BEI 2009 ini tidak hanya mampu meningkatkan nilai IHSG tetapi nilai transaksi-nya juga mencapai angka yang relatif tinggi yaitu Rp. 2,87 triliun, lebih tinggi dari rata-rata nilai transaksi harian yang "hanya" Rp. 1 triliun saja. (Kontan, 6/1). Dan investor asing ikut berkontribusi dalam pencapaian nilai transaksi itu sebesar Rp. 63.10 miliar. Kapitalisasi yang relatif besar ini merupakan indikator awal yang baik bagi proses rebound kinerja pasar modal kita.

Terdapat beberapa penyebab dari peningkatan kapitalisasi perdagangan dan nilai IHSG ini, yaitu: Pertama, pasar regional dan global yang sedang dalam trend naik. Kedua, adanya kenaikan harga minyak yang mencapai US$ 46.60 per barel. Ketiga, faktor pengumuman BPS yang menyatakan bahwa pada bulan Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0.04% dan Keempat, (mungkin!) akibat January Effect dimana investor telah mulai kembali berperan sebagai Bargain Hunter untuk memenuhi keranjang portofolio investasinya.

Indeks bursa global hampir semuanya mengalami kenaikan. Nasdaq naik dari 1.577,03 menjadi 1.632.21, Frankfurt Dax dari 4.810,20 menjadi 4.973,07, DJIA dari 8.776,39 menjadi 9.034,69, Seoul Composite dari 1.157,40 menjadi 1.173,57, NYSE Composite dari 5.575,05 menjadi 5.915,73, Stock Exchange of Thai dari 449,96 menjadi 476,95, Taipei Weighted dari 4.591,22 menjadi 4.693,31 dan FTSE 100 dari 4.434,17 menjadi 4.561,79. (Kompas, 6/1). Kenaikan ini akibat diumumkan dan dimulai-nya paket stimulus untuk meredam dampak krisis dari berbagai negara, termasuk AS yang mengguyurkan dana stimulus sebesar US$ 1 triliun. Hal ini berimbas ke pasar keuangan negara kita yang dapat terjelaskan melalui mekanisme contangion effect atau domino effect.

Kenaikan harga minyak menyebabkan harga saham emiten yang bergerak dalam industri tersebut juga mengalami peningkatan. Harga saham PT. Bumi Resources Tbk naik Rp.30 menjadi Rp.940, PT. Perusahaan Gas Negara Tbk menguat Rp.100 menjadi Rp1.960 dan PT. Tambang Batubara Bukit Asam terbang Rp. 900 menjadi Rp. 7.800 (Bisnis Indonesia, 6/1). Kenaikan harga saham ini turut memiliki kontribusi yang relatif besar dalam peningkatan kapitalisasi dan nilai IHSG.

Pengumuman BPS tentang deflasi sebesar 0.04% pada bulan Desember 2008 yang lalu, mendorong ekspekstasi positif investor terkait dengan harapan adanya penurunan BI Rate yang signifikan pada bulan ini. Jika dalih otoritas moneter menetapkan BI Rate yang "masih" relatif tinggi digunakan untuk meredam inflasi, setelah inflasi berhasil di redam maka tidak diperlukan "dalih lain" lagi untuk tidak menurunkan BI Rate. Penurunan BI Rate akan memberikan injeksi positif bagi pasar modal dengan peningkatan kapitalisasi, harga dan IHSG karena adanya switching dana dari instrumen perbankan ke pasar modal, dan stimulus bagi sektor riil (emiten) dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Hal ini diharapkan akan berujung pada peningkatan kinerja emiten.

Sedangkan January Effect? Meskipun masihperlu diteliti lebih lanjut secara empiris, maka kenaikan kapitalisasi dan IHSG juga akibat dari efek Januari ini. Dimana pada saat ini, investor sedang asyik melakukan revisi portofolio dan kembali menyusun portofolio-nya. Kegairahan investor inilah yang mendorong peningkatan kapitalisasi dan IHSG itu. Sudah merupakan kebiasaan di awal tahun, investor selalu menata ulang portofolion-nya dan memborong saham incarannya (Kontan, 6/1).

Bellwethers Ekonomi? Kemanakah?
Gerak-gerik pemerintah tentunya mendapatkan perhatian lebih dari investor di pasar keuangan terlebih disaat krisis seperti ini. Paket stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan nilai Rp. 50 triliun pastilah tidak luput sebagai input investor dalam melakukan analisis investasi. Tidak hanya berkisar pada besaran dana stimulus tetapi implementasi dari stimulus yang dilakukan.

Belanja pemerintah juga menjadi perhatian investor karena pada tahun 2009 ini, belanja pemerintah merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi dengan kontrubusi 10.4%, naik dari tahun 2008 sebesar 10.7% (Kontan, 6/1). Belanja pemerintah ini akan berdampak kepada semakin likuid-nya pasar keuangan karena mendorong secara masif jumlah uang yang beredar dalam transaksi ekonomi yang terjadi. Belanja pemerintah ini juga diharapkan mampu sebagai "infus" bagi masyarakat agar tetap memiliki daya beli (purchasing power) yang baik. Daya beli masyarakat yang baik akan berakibat secara tidak langsung kepada tingkat pendapatan emiten atas barang dan jasa yang diproduksinya. Dan putaran itu akan terus bersiklus!

Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter juga merupakan bellwethers ekonomi. Hal yang paling ditunggu investor adalah kebijakan BI tentang bunga acuan (BI Rate). BI Rate memiliki peran yang besar dalam menyelesaikan masalah tipis-nya likuiditas yang ada di pasar keuangan dan sektor riil. Padahal likuiditas diperlukan untuk tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi. Dan BI Rate mampu pula mendorong perubahan orientasi pemilik dana (surplus unit) dari penempatan di instrumen keuangan perbankan ke instrumen keuangan pasar keuangan. Sehingga peningkatan kapitalisasi tidak-lah hanya dibaca karena January Effect dan aktivitas Bargain Hunter tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku investor yang mengikuti arah gerak Bellwethers Ekonomi.
************

Kemarin di teras Masjid Sabilillah, sambil menunggu Alam (yang saat ini lagi UAS) pulang, saya mengobrol dengan beberapa sopir pribadi yang bertugas menjemput anak-anak majikannya. Dari beberapa sopir itu ada yang majikannya juragan emas, Pak Di namanya. Ada Pak Jais, yang majikannya seorang dokter spesialis dan sekaligus dealer pulsa, Pak Isman yang ber-majikan juragan spare part mobil, ada pula Pak Tar yang majikannya mantan bupati Jombang dan Pak Samsul yang juragan-nya seorang kontraktor dan pemilik butik. Obrolan ngalor ngidul yang sering kami akhiri dengan ngakak bersama!.

Seringkali pula kami memiliki "bellwethers" yang sama yang menuntun kompak-nya gerakan mata kami. Yaitu ketika sebuah mobil Toyota Fortuner warna silver meluncur masuk gerbang masjid. Selalu kami tunggu si empu-nya mobil membuka pintu dan turun. Dan mak jleg! Sebuah kaki menginjak tanah. Dan….. muncullah dia!. Seorang perempuan! Selalu ia, selalu ramah wajahnya, tak angkuh seperti mobil-nya! Tak seorang-pun dari kami mengenalnya, yang hanya kami tahu ia selalu datang menjemput pula.

Ha ha ha ………………
Bellwethers macam apa pula itu!
Kemarin ketika ibuk-nya Alam ikut menjemput Alam, ia-pun kuberitahu sosok itu. Kutenggok iapun tersenyum……..
(Teringat sebuah kisah dimana seorang dewa menolak untuk menciptakan keindahan lagi, karena dewa itu barusan menciptakan seorang perempuan…….)
Ketika kuceritakan "bellwethers" ini kepada Lik Mo, komentarnya:
"Iku pertondho sampeyan jik urip lan jik arupo manungso!!! S-Y-U-K-U-R!!!"
?????

Minggu, Januari 04, 2009

50 : 50

Sekeping 50 Rupiah Untuk 50 Saham

Salah satu karib saya saat kuliah di Unibraw adalah Iwan "Topeng" Setiawan. Seorang yang "unik" sehingga dijuluki dengan sebutan Mr. "Topeng". Sebutan ini selaras dengan keahlian dia yang mampu "berenang" dalam berbagai jenis "kolam". Dalam komunitas mahasiswa yang borjuis, si Mr. Topeng ini mampu menempatkan dirinya dengan baik, dalam komunitas mahasiswa yang hedonis diapun mampu ber-"renang" dengan cekatan. Dalam "kubangan" mahasiswa yang aktivis-idealis, si Mr. Topeng ini mampu pula menunjukkan kiprah-nya dan dalam komunitas mahasiswa proletaris, "tokoh" kita inipun ber-kawan dengan "ciamik" pula.

Saat ini, ia telah menjadi salah satu eksekutif muda di AXIS, setelah sebelumnya berlabuh di SIEMENS dan FREN. Di Brawijaya, dia juga salah satu penggagas dan pendiri FORKOMMI (Forum Komunikasi Mahasiswa Miskin Indonesia), sebuah forum karikatural yang dalam realitas "gerakan" memiliki "militansi" akut dan sampai saat ini bahkan "denyut" FORKOMMI ini masih ada disana, meskipun dalam "ruang" yang terbatas. Karena singungan dalam berbagai macam aktivitas-lah yang menyebabkan saya dan dia memiliki kedekatan "fungsional", bahkan sampai saat ini.

Pernah suatu hari, sekitar akhir 1993 (semester pertama kuliah), saya dan dia hanya memiliki uang Rp. 450. Dan dengan uang itu, masuklah kita ke sebuah warung di jalan MT. Haryono Gang XVII. Berdua kita makan dengan menu sangat "minimalis", yaitu nasi putih, sayur pepaya (jangan kates) dan sebuah krupuk bleg. Dan uang Rp. 450 itulah yang kami gunakan untuk membayar-nya. Ternyata cukup dan ndilalah P-A-S! Betapa bernilainya 7 keping koin lima puluhan itu, sehingga lapar kami pun bisa terusir saat itu.

Masih berhargakah sekeping koin Rp. 50; itu saat ini? Jawabannya adalah M-A-S-I-H!. Dengan uang Rp. 50;, kita bisa mendapatkan selembar saham!. Bahkan kita masih bisa memilih dengan 50 pilihan saham. Betulkah? Betul! Hampir tidak masuk akal, bagaimana mungkin sekeping Rp. 50; masih bisa kita gunakan untuk "belanja" saham. Untuk membeli permen saja, sekarang sudah teramat jarang yang "mau" dihargai dengan Rp. 50;. Fenomena ini terjadi sebagai salah satu buah krisis keuangan global yang terjadi saat ini. Mari kita bahas!
***********

Banting Harga atau Terbanting Terpelanting!
Imbas krisis keuangan global sudah meluber kemana-mana, salah satu yang terimbas parah adalah pasar modal kita. Selama tahun 2008, nilai IHSG telah mengalami penurunan lebih dari 50%, penurunan IHSG ini disertai pula dengan penurunan kapitalisasi perdagangan. Dan data menyebutkan bahwa 13% dari seluruh emiten yang terdaftar di BEI, memiliki harga Rp. 50 per lembar sahamnya. Harga Rp. 50 per lembar ini merupakan harga terendah yang diperkenankan oleh BEI (Kontan, 3/1).

Jika diperbandingkan dengan tahun 2007, maka saham emiten yang masuk katagori harga terbawah (50 rupiah) telah mengalami peningkatan sebesar 5000% pada tahun 2008. Pada tahun 2007 hanya ada satu saham yang dijual dengan harga Rp. 50, yaitu PT. MYOH Technology Tbk. Tetapi pada tahun 2008, jumlah itu meningkat menjadi 50 emiten. Kenaikan 5000% ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena krisis keuangan global saat ini.

Krisis telah memaksa aliran modal lari keluar (capital out flow) sehingga dominasi 60% dana asing di pasar modal kita turun. Penurunan ini menimbulkan excess supply instrumen keuangan sehingga harga juga mengalami kejatuhan. Penurunan harga komoditas juga memicu turunnya harga dan sekaligus kapitalisasi saham emiten yang bergerak di sektor komoditas yang bersangkutan. Serta kinerja emiten yang memiliki sensitifitas tinggi (nilai beta/risiko pasar/unsystematic risk) terhadap krisis keuangan global semakin menyuramkan harga saham emiten tersebut.

Dari 50 saham dengan harga Rp. 50-an itu, sebenarnya terdapat beberapa saham yang memiliki "pamor" baik dan memiliki kontribusi signifikan dalam mendukung pergerakan IHSG. Sebagian emiten ber-"pamor" tersebut adalah PT. Bakrie & Brother Tbk (BNBR), PT. Truba Alam Manunggal Enginering Tbk (TRUB), PT. Darma Henwa Tbk (DEWA), PT. Kawasan Industri JABABEKA Tbk (KIJA), PT. Indofarma Tbk (INAF) dan PT. Mobile-8 Telecom Tbk (FREN) (Kontan, 3/1). Tetapi krisis telah menempatkan mereka dalam rangking terendah dalam nilai perusahaan (value of the firm) jika di-proxy-kan dengan harga saham yang terjadi saat ini.

Sebagai gambaran, jika saat ini anda membeli saham BNBR, maka setiap 1 lot (500 lembar) saham yang anda beli, anda hanya membutuhkan uang sebanyak Rp. 25.000; saja!. Dan dengan nilai investasi sebesar itu, maka anda bisa meng-klaim bahwa anda memiliki posisi "sejajar" dengan Aburizal Bakrie sebagai pemilik PT. Bakrie & Brother Tbk. Hal ini karena karakteristik saham yang bersifat ekuitas atau kepemilikan. Andapun memiliki kesempatan untuk memperoleh imbal hasil investasi (berupa capital gain atau dividen) disamping kemungkinan timbulnya risiko yang harus anda tanggung. Pun anda berhak untuk menghadiri RUPS yang dilakukan perusahaan. Hebat kan?

Pistol Moneter, Amunisi Yang Terbatas
Tiga "raksasa" yang menjadi kontributor besar bagi perkembangan ekonomi dunia saat ini, yaitu AS, Jepang dan Uni Eropa diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi minus pada tahun 2009 ini (Kontan, 3/1). AS diprediksi mengalami pertumbuhan minus sebesar 1.6%, Jepang 1.8% dan Uni Eropa 2.6%. Jika pertumbuhan minus ini terjadi maka secara tidak langsung akan berimbas pada pasar modal kita. Salah satunya adalah kinerja emiten yang berbasis produk ekspor dengan pangsa pasar ketiga "raksasa" tersebut, hilangnya dana asing dari ketiga "raksasa" tersebut di pasar modal karena mereka lebih berorientasi pada kecukupan likuditas dengan dogma Cash is The King, dan pelambatan serapan energi konvensional akan menyebabkan pula kinerja saham emiten berbasis komoditas ikut mengalami penurunan. Jika ini yang terjadi maka, kelimapuluh emiten dengan saham lima puluhan per lembar akan sulit terangkat naik.

"Pistol Moneter" telah digunakan dengan masif oleh ketiga "raksasa" ini untuk melepaskan dirinya dari dekapan krisis keuangan global ini, selain kebijakan fiskal tentunya. Mereka telah monurunkan bunga acuanya dalam nilai yang "hampir" mendekati NOL. The Fed AS mematok bunga acuan dalam nilai 0.25%, (BoJ) Bank of Japan sebesar 0.1% dan Europen Central Bank (ECB) sebesar 2.5% (Kontan, 3/1). Penurunan ini diharapkan dapat memulihkan sektor riil ekonomi mereka yang diterkam oleh badai kesulitan likuiditas (lack of liquidity). Tetapi amunisi ‘Pistol Moneter" milik mereka sudah mendekati H-AB-I-S!. Bagaimana tidak, koridor kebijakan moneter melalui instrumen bunga yang mereka lakukan telah hampir mendekati NOL.
Pertanyaannya adalah apakah mungkin mereka akan menetapkan bunga acuan NOL atau NEGATIF? Kalau amunisi moneter habis maka tinggallah kebijakan fiskal yang menjadi media stimulan ekonomi.

Bagaimana imbas "Pistol Moneter" ini terhadap ekonomi Indonesia? Kita berharap dengan semakin tipis-nya amunisi moneter mereka akan ada aliran dana masuk ke pasar keuangan kita. Harapan ini tidak berlebihan, karena BI Rate kitas masih relatif tinggi dan masih memberikan premi yang baik bagi pemilik dana asing. Aliran dana masuk ini diharapkan dapat meningkatkan likuiditas pasar keuangan meskipun relatif berisiko. Aspek yang lain, penurunan bunga acuan mereka memberikan sedikit "keleluasaan" bagi otoritas moneter kita untuk ikut pula menurunkan bunga acuan-nya karena spread masih relatif lebar. Jika bunga BI Rate turun, maka akan berimplikasi pada semakin likuid-nya pasar keuangan kita. Hal ini akan berdampak baik bagi sektor riil maupun sektor keuangan. Bunga yang menurun akan menyebabkan harga SUN, ORI serta Obligasi Korporasi akan semakin meningkat dan likuid.

Portofolio dan Risiko
Mengapa harus portofolio? Kredo investasi mengatakan bahwa " Don’t Put Your Eggs in One Basket". Diversifikasi mutlak diperlukan dalam investasi untuk meminimalkan risiko. Secara teori banyak dijabarkan model-model untuk menyusun portofolio optimal, misalnya Safety First Model, Utility Model, Single Index Market Model, Markowitz Model dan lain-lain. Tetapi secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk membentuk portofolio harus diperhatikan Toleransi Risiko (Risk Appetite) dan Jangka Waktu (Time Horizon) investasi. (Prasetijo, 2008).

Toleransi Risiko merupakan preferensi investor dalam memandang dan menyikapi sebuah risiko investasi. Teori mengklasifikasi 3 tipe investor berdasarkan preferensi-nya terhadap risiko, yaitu konvervatif, moderat dan agresif. Investor konservatif adalah investor dengan tipe penghindar risiko (risk averse). Kredo yang mereka yakini adalah "pelan-pelan asal selamat". Investor moderat memandang risiko secara netral atau proporsional (risk neutral) dan investor agresif merupakan investor yang menyukai tantangan dan memiliki "adrenalin" investasi yang besar. Investor jenis ini sering juga disebut dengan risk seeker. Ketiga tipe investor ini tetap dalam pelangi investasi "high return high risk, low return low risk".

Jangka Waktu investasi terkait dengan karakteristik dana investasi dan kebutuhan dana tunai (kas) dari investor. Dana investasi yang benar-benar menganggur (iddle fund) dapat digunakan untuk melakukan investasi dengan time horizon jangka panjang. Investasi jangka panjang tidak perlu terpengaruh oleh isu atau rumor yang terjadi di pasar. Analisis investasi yang cocok dilakukan adalah dengan menggunakan analisis fundamental untuk mencari nilai intrinsik (nilai riil atau sesungguhnya) dan misprices instrumen keuangan. Sebaliknya jika dana itu memiliki karakteristik "dana akan segera dibutuhkan kembali" maka time horizon investasi yang layak dilakukan adalah jangka pendek. Investasi jangka pendek ini relatif lebih berisiko dari investasi jangka penajang karena relatif mudah terpengaruh oleh isu atau rumor yang terjadi di pasar. Analisis yang relevan dengan time horizon ini adalah analisis teknikal, yang dilakukan untuk mencari timing atau waktu yang tepat untuk melakukan transaksi instrumen keuangan.

Terdapat beberapa ragam instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk mengisi portofolio investasi (selain saham). Berikut beberapa instrumen itu dengan data kinerja yang mereka miliki tahun 2008 yang lalu, yaitu Reksa Dana dan Obligasi.

Reksa Dana
Reksa Dana merupakan instrumen investasi yang relatif baik bagi investor pemula. Hal ini disebabkan dana investasi yang kita tanamkan dikelola oleh Manajer Investasi yang profesional. Sehingga investor "relatif" tidak perlu dibingungkan dengan berbagai macam analisis investasi yang merepotkan dan menyita waktu. Kinerja Reksa Dana pada tahun 2008 mengalami penurunan yang signifikan dalam hal rekor jumlah dana kelolaan yang diperolehnya.
Reksa Dana Saham, dana kelolaan pada bulan Januari sebesar Rp. 38,006 trilun dan pada bulan Oktober 2008 menurun menjadi Rp. 23,426 triliun. Reksa Dana Pendapatan Tetap, pada bulan Januari sebesar Rp. 16,422 triliun dan pada bulan Oktober 2008 sebesar Rp. 13,668 triliun. Berturut-turut, Reksa Dana Campuran dari Rp. 12,761 triliun menjadi Rp. 10.041 triliun, Reksa Dana Pasar Uang dari Rp. 5,656 triliun menjadi Rp. 3.305 triliun, Reksa Dana Indeks dari Rp. 0,181 triliun menjadi 0,119 triliun, Exchange Trade Fund (ETF) dari 0,615 triliun menjadi 0,565 triliun dan Reksa Dana Terproteksi dari Rp. 20,730 triliun naik menjadi Rp. 24,524 triliun (Infovesta Utama dalam Kontan, 3/1). Secara total, dana kelolaan Reksa Dana dari bulan Januari 2008 sampai Oktober 2008 turun sebanyak Rp. 19,121 triliun atau 20.26%.

Kinerja Reksa Dana yang menurun ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, harga dan kinerja instrumen penyusun portofolio investasi yang melemah sehingga menurunkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana. Kedua, aksi penjualan kembali (redemption) yang dilakukan oleh pemegang reksa dana KIK (Kontrak Investasi Kolektif) ikut menekan kinerja Reksa Dana. Ketiga, kebijakan pemerintah yang terkait dengan pajak. Tetapi dari data diatas, kinerja Reksa Dana Terproteksi mengalami peningkatan, hal ini wajar, karena dalam kondisi ketidakpastian akibat krisis keuangan global seperti saat ini, banyak investor yang memilih reksa dana yang memberikan tingkat keuntungan minimal atas dana yang ditanamkannya.

Obligasi
Obligasi merupakan instrumen pendapatan tetap dengan maturity (jatuh tempo) jangka panjang. Kinerja obligasi selama tahun 2008 juga mengalami penurunan. Kapitalisasi Surat Utang Negara (SUN) dan ORI (Obligasi Ritel Indonesia) dari semula Rp. 1.234,72 triliun menjadi 949,47 triliun. Transaksi harian juga mengalami penurunan sebesar 20% dari rata-rata Rp. 5,02 triliun menjadi Rp. 3,91 triliun (Kontan, 3/1). Demikian pula untuk obligasi korporasi, kapitalisasi transaksi turun sebesar 23% selama tahun 2008 dan berada dalam level Rp. 52,98 triliun. Transaksi harian juga turun dari rata-rata Rp. 279 miliar turun menjadi Rp. 218 miliar.

Kinerja obligasi ini secara teori atau fundamental sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga dan tingkat inflasi. Tingkat bunga memiliki korelasi negatif dengan harga obligasi. Tingkat bunga yang tinggi akan menyebabkan investor memindahkan dananya dari istrumen obligasi ke instrumen perbankan, hal ini akan mendorong terjadinya excess supply obligasi di pasar sehingga harga turun. Sebaliknya jika tingkat bunga turun maka akan menimbulkan permintaan atas obligasi baik, karena ada premi atau insentif bagi investor untuk kembali menempatkan dananya di instrumen obligasi ini. Terjadinya excess demand menyebabkan harga obligasi naik.

Sebagai instrumen ivestasi berpendapatan tetap, maka inflasi sangat mempengaruhi orientasi dan perilaku investor. Tingginya tingkat inflasi akan berdampak pada turunya nilai investasi investor. Hal ini dikarenakan adanya penurunan daya beli uang investor terhadap barang dan jasa. Keadaan ini akan mendorong investor rasional untuk merubah kebijakan investasinya ke instrumen yang lain yang relatif tidak tergerus oleh tinggi-nya inflasi. Sebaliknya jika gempuran inflasi sudah mereka, maka kinerja obligasi akan membaik. Keadaan saat ini memungkinkan kinerja obligasi akan segera "pulih" dengan indikator pada gelagat Bank Indonesia yang akan kembali menurunkan bunga acuannya dan besaran inflasi yang sudah relatif moderat. Semoga!
**********

Setelah diberondong dengan rangkaian gerbong liburan Natal, Tahun Baru Hijriyah dan Tahun Baru Masehi, besok sampai pula-lah dalam luapan tugas kantor yang sudah menunggu. Untuk menyambut kembalinya "rutinitas" kampus, dikutip 2 nasehat yang relevan dan mudah-mudahan bermakna bagi kita.

Nasehat Martin Luther King Jr:
"Seandainya seseorang terpanggil menjadi tukang sapu, maka seharusnya ia menyapu sebagaimana halnya Michelangelo melukis, atau Bethoven mengomposisi musiknya, atau Shakespeare menuliskan puisinya".

Nasehat Lao Tzu:
"Jika engkau hanya mengerjakan segala sesuatu sebatas apa yang diharapkan darimu, maka engkau tak ubahnya seorang B-U-D-A-K. Namun, jika engkau mengerjakannya lebih dari yang diharapkan, barulah engkau menjadi manusia B-E-B-A-S".
(dua nasehat ini dikutip dari Tjahjono dalam Kompas, 3/1)

Terbersit kemungkinan komentar Lik Mo perihal 2 nasehat ini "Kelincipen Cak!!!,
jan S-O-K tenanan!!!"………….

Kamis, Januari 01, 2009

Baseline Ekonomi di Annus Horribilis 2009

Sebuah Guratan Sketsa Ekonomi di Awal Tahun

Penghujung tahun 2008 ini, masih juga diwarnai dengan rutinitas kerja dan rutinitas sebagai seorang ayah. Di kantor masih menyelesaikan tugas menguji komprehensif bagi mahasiswa tingkat akhir sampai tengah hari dan pada sore harinya masih juga “dipaksa” menunaikan kewajiban menjemput Si Alam dari sekolahnya di SDI Sabilillah. Wuihhh!!.
Sambil menunggu Si Alam keluar, saya mengobrol dengan kolega “sopir-sopir” antar jemput. Saat itu, ibunya Alam juga ikut menemani obrolon kami. Ditengah asyik mengobrol, Lik Mo menelopon. Kringgggg…….

“Cak Su, piye tahun baru-nya?”
Lho… sekarang kan belum tahun baru Lik!”
Iyo.. ngerti! Apa acara Cak Su menyambut tahun 2009?!”
“Biasa Lik, masang kalender baru!”
Welah… sampeyan iki!! Piye tahun baruan?!!”
Gak eruh aku Lik! Paling-paling ya main kartu sama Alam dan Ibu-nya Alam!”
“Lha! Kok malah main kartu?!”
Lha… kudu piye to Lik, kan terserah aku to?!
“Acara tahun baru kok main kartu! Ora kualitas iku!
“Lha! Sing kualitas iku, acara sing kepiye?!
“Yo… renungan opo piye ngono tah?!
“Lha… main kartu kan yo acara renungan to Lik!”
Renungan opo?! Renungan nggombali iku!
Kanggoku main kartu dengan Alam dan ibu-nya Alam itu renungan Lik!”
“Renungan opo?!
“Renungan betapa indahnya sebuah kebersamaan, begitu berharganya kebersamaan, betapa mahal dan sulitnya untuk sebuah kebersamaan!!”
Jan… tetep nggombali!!
????

Sebagai awal coretan ini, kembali dikutip Petuah Raja George VI saat menyambut Tahun Baru 1939, “Aku memohon kepada seorang tua yang bersiri diambang Tahun Baru, ‘Berilah aku cahaya yang memungkinkan melangkah aman menuju kegelapan!’. Orang itupun menjawab ‘Pergilah menuju kegelapan dan letakkan tanganmu pada tangan T-U-H-A-N. Hal itu akan lebih baik bagimu ketimbang cahaya dan lebih aman daripada jalan yang dikenal”. (Latif, 2008).

Ungkapan Raja George VI ini secara terang mengajak kita semua untuk selalu berpegang pada tangan Tuhan untuk menjalani kehidupan di Annus Horribilis (Tahun yang Menyeramkan) ini. Berpegang kepada tangan Tuhan dapat dipersepsikan sebagai tindakan untuk tetap berperilaku dalam batas koridor dogmatis yang berasal dari Tuhan, tentunya menurut keyakinan masing-masing individu. Ungkapan Paus saat meyambut Natal untuk T-I-D-A-K S-E-R-A-K-A-H layak mendapat tempat bagi perenungan (kontemplasi) kita diawal tahun ini. Keserakahan (greedy) memiliki kontribusi besar dalam terciptanya krisis keuangan, ekonomi, politik dan kemanusiaan saat ini.

Ritual pergantian tahun 2008 ke 2009 diwarnai beragam ekspresi. Terompet telah menjadi simbol umum sebagai penanda datangnya tahun baru. Ekspresi gegap gempita mengiringi penurunan kalander 2008 dan pemasangan kalender 2009. Sebuah kewajaran sikap!. Di Thailand, fajar 2009 diiringi dengan ratapan dan regangan nyawa dari manusia yang terpanggang di sebuah hotel tempat pesta menyambut tahun baru. Di Palestina, tahun baru disambut dengan bombardir kebiadaban Israel. Lebih dari 400 manusia meninggal karena K-E-S-E-R-A-K-A-H-A-N itu. Di negara kita, beragam ekspresi dan hiburan melengkapi gempita ini. Ber-miliar rupiah telah terdistribusi untuk menyambutnya, ber-juta liter BBM telah terhambur, ber-juta ton batubara tergerus “hanya” untuk menyediakan listrik bagi kilauan lampu menyambut tahun baru. Itulah kerja industri yang direkayasa oleh kapitalis dan dibalut dengan semangat hedonisme. Sungguh artifisial!

Tentunya penyikapan tahun baru yang lebih substansial dan proporsional banyak pula dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Acara yang dikemas dalam ranah kontemplatif substansial juga mewarnai penyambutan Annus Horribilis 2009 ini. Salah satunya adalah kampus kita ini. UM selalu mengisi dengan acara renungan akhir tahun yang diselenggarakan di Masjid Al Hikmah UM. Rektor mengundang seluruh civitas untuk melakukan kontemplasi akhir tahun secara bersama. Sebuah acara yang sarat makna!. Mudah-mudahan tidak terjebak dalam rutinitas dan seremoni yang artifisial semata.

Beragamnya ekspresi menyambut Annus Horribilis 2009 adalah sebuah kewajaran. Dan setiap ekspresi memiliki alasan pembenar masing-masing. Dalam guratan skesta awal tahun ini, disajikan beberapa keadaan ekonomi kita dipenghujung 2008 dan diawal 2009 ini. Dan sifat dari sebuah sketsa adalah tidak memberikan sebuah gambar yang detail tentang ekonomi secara keseluruhan, tetapi mudah-mudahan beberapa indikator utama ekonomi dapat diuraikan secara lebih proporsional.

Pasar Modal sebagai Leading Indicator Ekonomi
Pada seremoni penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia tanggal 30 Desember 2008 yang lalu, tiupan terompet tidak menghiasi acara penutupan perdagangan akhir tahun 2008 itu. Ini merupakan simbol dari kinerja pasar modal kita yang menurun karena imbas krisis keuangan global dan menyeruaknya tantangan besar yang harus dihadapi oleh pasar modal kita ditahun 2009. (Kontan, 31/12). Sebuah simbol reflektif yang bijak. Sebagai salah satu perantara (intermediary) keuangan, pasar modal memiliki peran yang signifikan dalam melancarkan sirkulasi dana untuk mengatasi masalah likuiditas yang menjadi salah satu “energi alternatif” bagi tumbuhnya ekonomi negara kita.

Kinerja pasar modal tahun 2008 dapat dilihat dari beberapa indikator. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merupakan indikator utama yang dapat digunakan untuk mengevaluasi-nya. Selama setahun, IHSG telah mengalami penurunan sebesar 50.64% (Kontan,31/12), dan pada akhir tahun IHSG bercokol pada titik 1.355. Titik ini merupakan hasil dari fluktuasi yang terjadi dari nilai tertinggi yang pernah tercapai yaitu 2.830 dan terandah 1.111. Terdapat 2 penyebab utama dari penurunan IHSG ini, yaitu krisis keuangan global telah memaksa investor asing untuk menarik dananya dari Indonesia dengan berbagai faktor pendorong. Dominasi kapitalisasi asing di pasar modal Indonesia dengan proporsi 60% ini rentan terhadap terjadinya fluktuasi IHSG. Terlebih sifat investor lokal yang bersifat pengikut (follower) atas kebijakan investasi yang ditempuh oleh investor asing. Hal ini memperparah keterpurukan IHSG.

Penyebab kedua adalah turunnya harga beberapa komoditas di pasar internasional. Penurunan harga komoditas ini juga menurunkan kapitalisasi pasar dari emiten yang bergerak dalam bisnis inti komoditas-komoditas tersebut. Penurunan kapitalisasi ini juga memberikan kontribusi signifikan bagi rontok-nya IHSG.

Selain IHSG, nilai kapitalisasi perdagangan yang terjadi juga mengalami penurunan yang signifikan, yaitu dari Rp. 1.984,92 triliun pada awal tahun, menjadi “hanya” Rp. 1.028,85 triliun pada akhir tahun (Kontan, 31/12). Sehingga selama setahun berjalan, nilai kapitalisasi telah turun sebesar Rp. 956,07 triliun.atau turun sebesar 48.2%. Penurunan kapitalisasi ini meyebabkan harga sekuritas mengalami penurunan karena adanya excess supply dan mendorong perusahaan calon emiten menunda pelaksanaan IPO (Initial Public Offering) sampai kinerja pasar modal membaik. Terdapat 11 perusahaan yang menunda IPO yang direncanakan akan dilakukan pada tahun 2008 yang lalu. (Kompas, 31/12).

Nilai IHSG yang rontok 50.64% tersebut dapat diidentifikasi lagi sebagai berikut: PT. Bumi Resources Tbk (BUMI) merupakan emiten yang paling besar kontribusinya dalam menggerus nilai IHSG (Kontan, 31/12). Pada awal tahun, produsen batubara milik Aburizal Bakrie ini, harga per lembar sahamnya mencapai Rp. 6000. Pada akhir tahun, harganya merosot menjadi Rp. 910 per lembar. Atau dalam satu tahun, harga saham BUMI telah turun sebesar 84.83%. Dan karena kapitalisasi saham BUMI sangat besar, maka penurunan harga saham BUMI ini memberikan kontribusi penurunan IHSG sebesar 128.53 poin.

Selain BUMI, terdapat PT. International Nickel Indonesia Tbk (INCO) yang juga berkontribusi besar dalam merongrong nilai IHSG. Pada awal tahun harga saha INCO per lembar adalah Rp. 9.625 tetapi pada akhir tahun, harga saham INCO merosot pada titik Rp. 1.930 per lembar atau menurun sebesar 79.95%. Berturut-turut PT. Astra International Tbk (ASII), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT. Aneka Tambang TBK (ANTM), PT. Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT. Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT. Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) merupakan Sepuluh Emiten Penggerus IHSG Selama 2008 (Kontan, 31/12).

Meskipun kesepuluh emiten tadi merupakan emiten penggerus IHSG, tetapi dalam perspektif investor, kecuali saham BNBR, kesembilan emiten tersebut bukanlah emiten yang paling merugikan investor. PT. Truba Alam Manunggal Enginering Tbk (TRUB) merupakan emiten yang paling besar merampas nilai investasi investor yaitu sebesar 96.48%. Berturut-turut PT. Polysindo Eka Perkasa Tbk (POLY) sebesar 95%, PT. Energi Mega Persada Tbk (ENRG) sebesar 94.36%, PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI) sebesar 94.26%, PT. Darma Henwa Tbk (DEWA) sebesar 92.65%, PT. Bakrie & Brother Tbk (BNBR) sebesar 91.23%, PT. Sentul City Tbk (BKSL) sebesar 90%, PT. Modernland Realty Tbk (MDLN) sebesar 89.9%, PT. ATPK Resources Tbk (ATPK) sebesar 89.51% dan PT. Bakrie Sumatera Plantatition Tbk (UNSP) sebesar 88.57%. (Kontan, 31/12)

Hal yang menarik dari sajian data diatas adalah betapa dominannya Group Bakrie dalam pasar modal kita, baik sebagai kontributor sepuluh saham penggerus IHSG dan sepuluh saham “perampok” nilai investasi investor. Dari sisi sepuluh saham penggerus IHSG, Group Bakrie menempatkan 2 perusahaannya yaitu PT. Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT. Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Sedangkan disisi sepuluh perusahaan “perampok” nilai investasi investor, Group Bakrie menempatkan 4 perusahaannya, yaitu PT. Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT. Darma Henwa Tbk (DEWA), PT. Bakrie & Brothers (BNBR) dan PT. Bakrie Sumatra Plantations Tbk (UNSP) (Kontan 31/12).

Bagaimana pasar modal di Annus Horribilis 2009 ini? Kinerjanya masih tetap dibayangi oleh imbas krisis keuangan global. Likuditas dan kapitalisasi di pasar modal masih rentan terhadap prosesi krisis keuangan tersebut. Tetapi dengan kondisi dimana masih tingginya selisih BI Rate dengan bunga acuan negara lain (The Fed, misalnya) maka masih membuka peluang yang besar bagi masuk-nya dana asing ke dalam pasar keuangan kita (salah satunya pasar modal). Hal ini akan mendorong likuditas dan kapitalisasi pasar meskipun relatif berisiko. Disamping itu stimulus yang diberikan oleh pemerintah pada sektor riil, secara tidak langsung, juga akan berdampak pada kinerja pasar modal. Dalam tataran ekonomi dimana sektor riil mengalami kondisi membaik, maka akan menciptakan ekspesktasi investor juga meningkat (positif). Dan ekspektasi itu akan dieksekusi dengan peningkatan harga penawaran jual dan beli instrumen keuangan pasar modal. Hal ini akan menimbulkan peningkatan likuiditas dan kapitalisasi pasar. Geliat krisis keuangan global dan langkah antisipasi serta reaksi atas geliat krisis yang dilakukan pemerintah dan pelaku bisnis akan selalu memberikan imbas bagi kinerja pasar modal kita. Pasar modal akan terus mengalir!

Sektor Riil, Akanlah Terjadi Decoupling?!
Kinerja sektor riil, juga masih dibayangioleh krisis keuangan global. Perlambatan ekonomi dunia merupakan tantangan sektor riil yang terdepan. Ekonomi yang melambat akan menyebabkan permintaan agregat atas barang dan jasa mengamai penurunan. Penurunan permintaan ini akan berimplikasi kepada semakin sempitnya pasar atas barang dan jasa yang diproduksi. Atas kondisi tersebut minimal ada 2 hal yang kemungkinan terjadi yaitu, penurunan kapasitas produksi disesuaikan dengan akses pasar dan kedua, penghentian produksi karena tidak kuat masuk dalam perang dagang global.

Kedua kemungkinan diatas, akan melahirkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif, dan tataran selanjutnya adalah menurunnya daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa. Jika ini terjadi, maka siklus setan ini akan berputar terus! dan akan berimbas juga kepada sektor riil yang bergerak hanya di pasar domestik. Untuk itu langkah antisipatif pemerintah perlu dilakukan dalam bentuk pemberian stimulus dan insentif perlu dilakukan dengan lebih padu.

Stimulus fiskal yang digunakan sebagai antisipasi dampak krisis keuangan global terhadap sektor riil sebesar Rp. 32.5 tiliun diharapkan mampu membuat stabilisasi kinerja sektor riil. Dana stimulus ini meningkat dari yang direncanakan sebesar Rp. 12.5 triliun, yang disumbang oleh dana dari Sisa Anggaran Lebih (Silpa) tahun 2008. (Kontan, 31/12). Dengan tambahan dana stimulus ini diharapkan pertumbuhan ekonomi 2009 bisa mencapa angka 4.5%. Jika angka pertumbuhan ini berhasil maka akan bermakna signifikan bagi kinerja ekonomi Indonesia di Annus Horribilis ini.

Presiden SBY telah menetapkan Tujuh Prioritas Ekonomi 2009, yaitu Pertama, mencegah pengangguran akibat krisis keuangan dunia. Kedua, mengelola laju inflasi. Ketiga, menjaga pergerakan sektor riil. Keempat, mempertahankan daya beli masyarakat. Kelima, melindungi ekonomikaum miskin. Keenam, memlihara kecukupan pangan dan energi dan Ketujuh, memililhara pertumbuhan ekonomi. (www.ri.go.id). Ketujuh prioritas ekonomi ini akan didukung oleh dana stimulus fiskal tersebut diatas. Diluar dana Rp. 32.5 triliun diatas, juga disediakan Rp. 32 trilun untuk membenahan infrastuktur di Departemen Pekerjaan Umum dan Rp. 16 triliun untuk membenahan infrastruktur di Departemen Perhubungan.

Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter memperkirakan dampak krisis keuangan global terhadap sektor riil akan terjadi hingga 2 tahun mendatang. Adapaun dampak krisis terhadap sektor keuangan akan selesai dalam waktu sekitar 6 bulan mendatang. (Makmun, 2008). Sehingga stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah akan disinergikan dengan kebijakan moneter dari Bank Indonesia untuk tetap menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi dan stabilitas moneter 2009. Stabilitas suku bunga, kurs rupiah dan inflasi merupakan tugas yang harus dituntaskan oleh BI. Jika agenda ini berjalan dengan baik, maka kinerja sektor riil juga akan berjalan lancar.

Tetapi jika sektor riil akselerasi pertumbuhannya lambat, maka kemungkinan terjadi decoupling antara sektor riil dan keuangan akan terjadi kembali. Terlebih kinerja pasar keuangan akan sudah kembali pulih dalam 6 bulan yang akan datang. Untuk itu keterpaduan kebijakan sangat diperlukan dalam kondisi seperti ini. Rasa optimisme terhadap kinerja ekonomi Indonesia juga ditiupkan oleh Prof. David O’Dapice (Kontan, 31/12), seorang guru besar Harvard University. Prof. David mengatakan bahwa kinerja ekonomi Indonesia sedikit lebih baik daripada negara Asia lainnya dalam menghadapi krisis keuangan global saat ini. Hal ini disebabkan oleh, Pertama, nilai ekspor Indonesia hanyalah 35% dari PDB. Artinya pelemahan permintaan agregat akibat pelambatan ekonomi dunia tidak begitu signifikan mempengaruhi makro ekonomi Indonesia. Kedua, rasio aliran modal asing hanya 7% dari PDB. Data ini berarti bahwa penuruan aliran modal tidak akan berpengaruh banyak terhadap kinerja ekonomi Indonesia, karena kontibusinya hanya 7% dari PDB dan Ketiga, rasio kapitalisasi pasar modal lebih kecil dari 30% dari PDB. Data ini merupakan indikasi bahwa penurunan kapitalisasi perdagangan di pasar modal kita bukanlah akhir dari segala-galanya. Kita mungkin masih bisa “berpesta” suatu saat kelak!!!.

Saat mengedit draft tulisan ini, anak saya, St. Ahmad Abdi Raja Semesta Alam menyela:

“Yah… kenapa kalau mau tahun baru banyak orang berjualan trompet?!”
“Ya… karena kalau tahun baru banyak orang yang akan membeli trompet Nak!”
“Mengapa orang-orang itu membeli trompet Yah?!”
“Karena mereka butuh trompet untuk merayakan tahun baru Nak!”
“Kenapa harus dengan trompet Yah?!”
“Itu kebiasaan Nak! Ayah juga tidak tahu pasti mengapa?!”
“Kok kita tidak beli trompet Yah?!”
“Karena kita merayakan tahun baru tidak dengan trompet Nak!”
“Mengapa tidak Yah?!”
“Karena kita tidak perlu harus seperti mereka Nak!”
“Mengapa Yah?! Apakah beda kita dengan mereka yang membeli trompet?!”
“Tidak beda Nak!, hanya kita tidak ingin saja!”
“Tapi Alam ingin Yah!”
“Oo… Iya nanti kita bikin trompet untuk Alam!”
“Makasih ya Yah!”
???
(betapa ayah sering tidak sadar telah memaksa Alam untuk selalu larut dalam “gaya”, kemauan serta kehendak ayah …. Maafkan ayah… Alam!! Ayah selalu merasa pilihan ayah selalu benar dan terbaik untukmu!! Ma’afkan….)
Kucium Alam, lama….sekali …….!!!