Rabu, Februari 27, 2008

lik nah melabrak tuhan [cerpen]


Lik Nah Melabrak Tuhan

Perempuan itu berbaring resah. Dipan reot dengan kasur tipis di sebuah bilik rumah gedheg menjadi tempat peraduannya. Orang-orang kampung memanggil perempuan itu Lik Nah. Berusia 57 tahunan dengan tubuh kurus, dibalut kulit kering kecoklatan. Dalam terang nyala lampu 10 watt, masih tampak sedikit guratan kecantikan waktu mudanya.
Lik Nah hidup dengan lima orang anaknya, tetapi ia tidak bersuami, dan bukan pula menjanda. Ia memang tidak pernah menikah. Kelima anaknya sekarang sudah besar. Sakip si sulung adalah anak Sanusi yang memperkosanya dulu ketika ia berumur 16 tahun. Sedangkan Minto, Janur, Tarmin dan Gito adalah anak-anaknya yang lahir selama ia menjadi PSK di sebuah lokalisasi, yang iapun tidak tahu siapa bapak dari anak-anaknya itu.
Rumah Lik Nah berada di pinggir kampung dibawah barongan bambu di pinggir sungai kecil yang airnya hanya mengalir ketika musim hujan. Hanyalah gedheg yang menjadi pimisah antara dalam dan luar rumahnya, itupun dibeberapa tempat sudah berlubang. Disepanjang hari daun-daun bambu berserakan memenuhi halaman rumahnya yang sempit, genting usangpun tak luput dari hingapnya daun-daun itu. Hanya sebuah dipan, perabot rumah itu, yang saat ini tampak letih menyangga tubuh ringkih Lik Nah.
Sepi sunyi adalah karib sehari-hari Lik Nah dan rumah gedheg itu. Anak-anaknya tiada pernah pulang ke rumah. Mereka bertebaran entah dimana, yang Lik Nah tidak pernah tahu. Sebagai ibu, Lik Nah selalu memikirkan dan merindukan mereka. Tetangga Lik Nah pun tiada yang peduli dengannya, meskipun sekedar bertegur sapa. Lik Nah seorang diri, dalam selimut masa lalu yang selalu membekabnya. Masa lalu yang teramat kelam.
***
Tubuh kurus Lik Nah terbaring gelisah. Di bawah temaram 10 watt, di sudut mata Lik Nah keluar air mata. Matanya terpejam. Masa lalu menariknya. Dengan punggung tangan diusapnya air mata itu. Matanya masih terpejam. Air mata telah menjadi sahabat akrab Lik Nah semenjak Lik Nah diperkosa Sanusi.
Selepas SD, Lik Nah tidak melanjutkan sekolah. Ketiadaan biaya menghapuskan harapan Lik Nah menjadi seorang guru. Bapak dan emaknya, seorang buruh miskin yang setiap hari didera kekurangan untuk sekedar memberi makan bagi enam orang anaknya. Pak Sarip, itulah nama bapak Lik Nah. Pak Sarip menjadi buruh tani di perkebunan tebu Haji Mukri, orang terkaya di kampungnya.
Membayangkan Haji Sukri, air mata Lik Nah mengucur lagi. Raut mukanya geram. Dialah orang tua Sanusi, yang dulu pernah merampok impian-impian Lik Minah dan menghancurkan kehormatan Lik Nah. “Bajingan itu memperkosaku!!”. Bermula dari perkosaan itu, Lik Nah hamil. “Duh Gusti!”, itulah kata Pak Sarip ketika Lik Nah menceritakan kehamilannya. “Belum cukupkah derita ini, Gusti?!!”.
Tahu apa yang terjadi, Haji Sukri memanggil Pak Sarip. “Usir Minah dari rumahmu jauh-jauh dengan membawa rapi aib-nya, atau kau kehilangan sumber pangan untuk anak-anakmu yang lain!!!” kata Haji Sukri di hadapan bapak Lik Nah. Pak Sarip, resah dan takut. Dilihatnya anak-anaknya, Minah dan adik-adiknya yang masih kecil-kecil itu. “Minah” kata bapaknya. Lik Nahpun pergi meninggalkan rumahnya tanpa berbekal apa-apa, hanya perut yang telah bersemayam janin Sanusi yang berumur dua bulan.
Tubuh kurus kering itu terguncang. Lik Nah menangis!.
***
Bunyi derit dipan usang bercakap dengan isak tangis Lik Nah. Masih sendiri, sepi sunyi, nyala lampu seakan lebih redup. Di sebuah bilik kamar gedheg 2x2 meter. Selimut masa lalu masih membawa hangat linang air mata Lik Nah.
Kepergian Lik Nah dari kampung halamannya tertambat di sebuah lokalisasi pinggir kota. Tanpa bekal, tanpa saudara dan mungkin tanpa do’a orang tua. Di lokalisasi ia menemukan kehidupan baru, bagi Lik Nah dan anak Sanusi yang sedang dikandungnya. Bu Mila, demikian Lik Nah memanggilnya, seorang wanita mucikari yang menampung dan memperkerjakannya. “Minah, sayang jika kamu hanya menjadi tukang cuci pakaian di sini, lihatlah Asih, Sarmi, Minul” terngiang perkataan Mila suatu ketika. “Mereka sudah hidup enak di sini, padahal mereka tidak lebih cantik darimu!”.
Punggung tangan Lik Nah kembali menyapu air matanya.
Setelah itu, dengan mengandung anak yang belum dikehendakinya. Lik Nah mulai melayani tamu-tamunya. Dalam keadaaan hamil, Lik Nah menjadi primadona. Tujuh bulan kemudian, Sakip lahir. Bu Mila, mucikari itu, yang memberi nama anaknya. Belum hilang sakitnya, Bu Mila sudah memaksanya melayani tamu. “Minah, ada tamu mencarimu, biar Sakip kugendongnya”. “Duh Gusti!”, suara Lik Nah lirih.
Dalam keremangan lampu 10 watt, punggung tangan Lik Nah kembali menyapu air matanya.
***
Lik Nah kembali menjadi primadona.
Lelaki yang datang selalu mengajak Lik Nah untuk menjadi lawan pelampiasan nafsu mereka. Lik Nah tetap mendesah dan merintih, ketika menjalan pengabdiannya. “Suara-suara dari mulutmu, mendesah dan merintih, itu meninggikan martabat kelaki-lakian, Minah” nasehat Bu Mila pada Lik Nah. Lik Nah mematuhinya, tetapi hatinya semakin teriris, pilu dan sesak.
Entah, benih siapa. Lik Nah mengandung lagi. Masih melayani tamu-tamu kembali. Tetap di lokalisasi itu, tetap dengan Bu Mila sebagai mucikarinya, Lik Nah melahirkan berturut-turut Minto, Janur, Tarmin dan Gito. “Minah, ada tamu mencarimu, biar anakmu kugendong”. “Duh Gusti!”, suara Lik Nah lirih.
Semua anak Lik Nah besar di lokalisasi itu.
Dalam keremangan lampu 10 watt, punggung tangan Lik Nah kembali menyapu air matanya.
***
Setelah Gito, anak bungsunya berumur 14 tahun, Lik Nah meninggalkan lokalisasi itu. Lik Nah diusir Bu Mila. Telah tiada tamu yang tertarik dengan Lik Nah lagi. Saat itu, seringkali seminggu penuh tiada tamu bagi Lik Nah. Tubuhnya semakin tua dan kosong. Bu Mila memberi uang Lik Nah yang hanya sebatas cukup membeli rumah gedheg yang ditempatinya saat ini. “Uangmu sudah habis untuk menghidupi anak-anakmu Minah!”, kata Bu Mila sambil menyerahkan uang itu.
Air mata kembali diusap, dengan ujung selimutnya. Tubuhnya bergetar, seperi orang menggigil. Lik Minah tidak kedingingan, Lik Minah menangis tertahan. Kedua tangan diusapkan ke wajah. Lama tangan itu menempel di sana.
***
Lik Nah semakin resah. Telah beberpa kali ia memindahkan posisi rebahnya. Di bawah nyala lampu 10 watt, wajahnya terlihat semakin tua, jauh lebih tua dari umur sebenarnya. Bebarapa kali terlihat bibirkan komat-kamit, seperti mengatakan sesuatu, tetapi tidak terdengar, lirih. Dipan berjericit kembali. Lik Nah melengkuh.
Selimut masa lalu mengingatkan anak-anaknya. Sarip, Minto, Janur, Tarmin dan Gito. Anak-anak yang besar di lokalisasi, anak-anak yang tidak pernah tahu siapa bapaknya. Dan mereka sekarang entah dimana.
Teringat Lik Nah, ketika ia masih di lokalisasi. Sarip mencari hidup sendiri, menjadi tukang semir di lokalisasi. Tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Dialah cucu Haji Mukri. Ketika beranjak remaja, keperjakaannya diminta oleh Tupi, teman PSK Lik Nah, untuk penglaris dan awet muda. Minto menjadi pencopet di terminal kota, Janur menjadi preman pasar, Tarmin dan Gito hidup dengan menenggadahkan tangan, sebagai pengemis di pinggir jalan. “Duh Gusti!” desah Lik Nah.
***
Malam semakin larut. Lik Nah bangun dari dipannya.
Nyala lampu 10 watt semakin buram, sepi sunyi. Batang-batang bambu di belakang dan samping rumah Lik Nah berayun tertiup angin malam. Daun-daunnya berguguran, jatuh di halaman dan genting rumah Lik Nah. Angin malam semakin kencang.
Lik Nah berdiri disamping dipannya. Ia menghadap ke barat. Wajahnya keras dan tegang. Sejenak ia rapikan rambutnya yang beberapa bagian terlihat putih karena uban. Lik Nah berdiri tegak, ia ambil sesuatu dari meja sebelah dipannya.
“Aku pamit anak-anakku”, Lik Nah setengah berteriak.
“Aku akan melabrak Tuhan, untuk menuntut KEADILAN yang selalu ia sembunyikan!!!”, Lik Nah berteriak.
Belati ditancapkan di dada Lik Nah, tangan kirinya mengepal.
Mati, sepi, sunyi. Kembali .........


ndokosari, riyoyo kupat 2007

Tidak ada komentar: