Rabu, Februari 27, 2008

mengapa ndokosari istimewa



mengapa ‘ndokosari’ istimewa?

Sebagai sebuah dusun kecil yang terletak di kawasan malang selatan, Dokosari (dilafalkan dengan Ndokosari dan sering disingkat dengan Ndoko) menyimpan potensi dan aksi keindahan sebagai alam pedusunan secara fisik maupun keindahan sosial masyarakat penghuninya.

Dusun ini merupakan bagian dari wilayah hukum Desa Sumberrjo Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang. Secara geografis dusun ini berjarak kurang lebih 17 km dari Pantai Balaikambang, 14 km dari Pantai Kondangmerak, 23 km dari Pantai Bajul Mati dan 52 km dari Kota Malang. Sebagain besar penduduknya menjalankan ritual keseharian sebagai petani dan buruh tani.

Sebagai daerah agraris, dusun ini sebagian besar tanahnya ditanami dengan tanaman tebu. Hanya sedikit, areal yang ditanami dengan komoditas selain tebu. Hal ini disebabkan karena tanah di dusun ini berupa tanah ‘tegalan’ yang kering. Petani hanya mengharapkan limpahan hujan sebagai sumber pengairan satu-satunya bagi tanamannya.

Bagian barat dan selatan dusun ini dibatasi oleh hutan jati (yang alhamdulillah masih utuh) milik Perhutani. Wilayahnya berbukit-bukit. Terdapat komunitas masyarakat yang berdiam di bawah bukit yang akses ke jalan rayanya, mereka harus melalui jalan (yang saat ini masih terjal – jalan ‘makadam’) dan menanjak tajam. Daerah ini disebut masyarakat ndoko dengan daerah ‘Lor Dadap’.

Di sebelah timur, terdapat daerah yang disebut dengan ‘Ndoko Etan’ yang merupakan bagian terluas dari dusun ini. Di wilalah ini, telah terbangun jalan dusun yang relatif baik. Di wilalah ini pula terdapat ‘kali’ (bukan sungai yang mengalir-tetapi sebuah sumur yang menjadi milik umum) yang disebut dengan ‘kali epek’. Sungai ini belum pernah kehabisan air meskipun dusun mengalami kemarau yang panjang.

Selain memiliki keindahan alam, dusun Ndoko juga memiliki keindahan sosial dari masyarakatnya. Suasana kekeluargaan masih ada dan bisa dirasakan oleh masyarakat. Misalnya untuk membangun ‘kandang’ (tempat ternak) atau bahkan rumah, masih membudaya apa yang disebut dengan istilah ‘sayan’ yaitu membantu membangun ‘kandang’ atau rumah tanpa dibayar. Demikian juga saat ada keluarga yang mengadakan hajatan (sunatan/khitan, mantenan atau selamatan kematian), masyarakat selalu terpanggil untuk membantu, yang laki-laki disebut dengan ‘sinoman’ dan yang perempuan disebut dengan ‘biodo’. Bahkan untuk panen (selain komoditas tebu), kegiatan ‘sayan’ masih ada dan pihak yang panen (pihak yang dibantu) hanya menyediakan makanan dan minuman yang berupa ‘dawet’ (minuman seperti kolak dari beras jawa).

Suasana ini, sungguh selalu memanggil para ‘perantau’ untuk pulang, ditengah deru kapitalisme-materialisme yang berkobar. Sungguh tentram disana.

Tidak ada komentar: