Jumat, Februari 29, 2008

'agama" publik-nya ulil



“Agama” Publik-nya Ulil


Ulil Abshar Abdalla, pendiri JIL dan pegiat Freedom Institute Jakarta yang saat ini tengah menempuh pendidikan Ph.D di Universitas Harvard, tempo hari menulis di Kompas tentang “agama” publik yang membutuhkan “jihad” bagi inflitrasi nilai kepada masyarakat.


“Agama” Publik menurut Ulil adalah Etika Publik atau Etika Sosial. Saat ini, kita sebagai manusia dan warga negara memang telah diatur dan harus tunduk pada hukum. Tetapi, apa lacur hukum itu belum “menghunjam” ke dalam kesadaran masyarakat. Sehingga hukum berjalan secara artifisial dan tidak sampai kepada penumbuhan kesadaran pribadi untuk taat kepada hukum. Hukum menjadi sepintas lalu.


Sehingga yang diperlukan tidak hanya hukum yang positif dan rigid itu, tetapi masih sangat dibutuhkan suatu masyarakat yang memiliki kesadaran dan ketaatan terhadap norma dan etika publik. Norma dan etika publik inilah yang dimaksudkan Ulil dengan “agama publik”.


Memang, semakin modern suatu masyarakat maka mereka cenderung untuk me-marginalkan norma dan etika dalam tingkah laku hidupnya. Norma dan etika menjadi pertimbangan yang kesekian belas dalam pengambilan keputusan bertingkah laku dan bersikap.Dan ini akan melahirkan masyarakat yang tidak ber-norma dan ber-etika.


Yang terlihat disekitar kita banyak yang bisa menunjukkan dan menjelaskan kepada kita tentang telah tiadanya “agama” publik-nya Ulil ini. Apakah iya? Iya… saksikanlah. Apa yang terjadi pada tingkah laku anak-anak, kemampuan bekerja sama (kolaborasi) diantara mereka rendah, karena permainan yang merebut minatnya bersifat individual. Telah hilang saat ini, permainan tradisional (betengan, njlumpritan, begtor, engkleng, benthik, nekeran dan lain-lain) yang mampu mengajarkan pentingnya kolaborasi dalam sebuah kompetisi. Ini berimplikasi pada sikap anak yang acuh dan cuek terhadap keadaan yang mengitarinya.


Apa yang terjadi pada remaja kita? Parah! Remaja kita telah menjadi "etalase" dan "manekin" bagi produk-produk kapitalisme. Budaya komsumtif yang teramat akut. Kompetisi diantara mereka adalah kompetisi atas tingkat pencapaian komsumsinya. Dalam pergaulan, sikap hidup kelompok ini juga relatif telanjang dari norma dan etika.


Selanjutnya, bagaimana orang-orang dewasa? Idem alias sami mawon. Golongan ini juga sebagian telah membuang norma dan etika, entah kemana…


Secara hukum memang tidaklah bersalah jika kita tidak gemar membaca, rajin kerja, jujur, hormat kepada orang lain, terbiasa mengucapkan terima kasih, terbiasa antre, membuang sampah ditempatnya, kencing disembarang tempat, meludah disembarang tempat dan lain sebagainya. Iya memang… tapi norma dan etika mengatur itu.


Kata Ulil, “…etika publik tak akan muncul secara alamiah dan gratis; ia harus diajarkan secara sadar. Dan dalam konteks ini saya sepakat dengan Ulil.

Tidak ada komentar: