tag:blogger.com,1999:blog-4742897137780301782024-02-20T08:13:33.728-08:00Cak SU Cah NdokoCak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.comBlogger78125tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-65096361257849083832009-01-08T14:56:00.000-08:002009-01-08T15:07:04.579-08:00Harga Saham dan Perilaku Investor<em><span style="font-size:130%;color:#663300;">Perspektif Behavioural Finance</span></em><br /><em><span style="font-size:130%;color:#663300;"></span></em><br />Bumi berputar.<br />Ia selalu bergerak.<br />Seiring bergerak dan berputarnya bumi, manusia-pun berubah. Dan memang tiada sesuatupun yang abadi kecuali P-E-R-U-B-A-H-A-N itu sendiri.<br /><br />Sepeda <em>"pancal"</em> atau sering pula disebut dengan sepeda angin, juga mengalami beraneka perubahan, tidak hanya bervariasi-nya bentuk tetapi juga beragam-nya fungsi. Kala lampau, sepeda masih menjadi alat transportasi dominan dalam lalu lintas hidup manusia. Ia menjadi alat antar ke pasar, sekolah, kuliah, mengabdi dan aneka fungsi lain yang melekat padanya. Saat ini, fungsi dominan itu sudah mulai mengalami pergeseran. Sepeda relatif semakin banyak yang dipakai sebagai media ber-olah raga. Kondisi itu menuntut berubahnya bentuk. Dan sepeda yang sudah "terlanjur" terbentuk dengan model "usang" mengalami "promosi" menjadi barang antik yang eksklusif dan<em> aji.</em><br /><br />Tetapi, itu tidak berlaku sepenuhnya bagi Mbah Seran, tetanggaku.<br />"Mbah, kok masih pakai sepeda <em>pancal</em>?" tanya saya suatu tempo.<br />"Lha… <em>piye to</em> Su, <em>wong</em> punya-nya Mbah cuma ini!" jawabnya.<br />"Masih bagus sepeda-nya Mbah!" kataku memuji.<br />"<em>Alhamdulillah</em> Su, ini memang <em>gazelle</em> asli!, Disamping bagus, sepeda ini sekarang juga <em>mulyo lho </em>Su!"<br />"<em>Mulyo dos pundhi</em> Mbah?!"<br />"Lha gimana, sepeda ini <em>kerjone</em> mung <em>entheng</em>!"<br />"Ringan?! Ringan gimana Mbah?!"<br />"<em>Wis ora tau tak tumpak-i,</em> tetapi cuma Mbah pakai teken!"<br />???<br /><br />Itulah Mbah Seran, yang perginya selalu dengan sepeda <em>pancal</em>-nya, tidak pernah dinaiki tetapi hanya dipakai sebagai "tongkat" bagi-nya untuk berjalan. Usia tua dan ke-"gengsi"-an beliau menggunakan tongkat ketika jalan, mendorong sepeda-pun berevolusi menjadi…T-O-N-G-K-A-T. Manusiapun demikian, selalu berubah bergeser dibombardir dan akhirnya "berdamai" dengan produk kapitalisme!<br />***********<br /><br />Harga saham selalu berfluktuasi. Dalam retang menit bahkan detik, harga saham bisa bergerak naik tajam dan bisa pula turun curam. Fluktuasi ini tidak hanya terkadang membuat kinerja jantung investor overcapacity tetapi juga bisa menelan nilai investasi yang telah dibenamkannya. Krisis keuangan membuat fluktuasi harga saham semakin tidak <em>predictable </em>dan terkadang menanjak tidak terduga dan menurun tidak terkira. Masalahnya adalah mengapa semua itu bisa terjadi?<br /><br /><strong><em>Confidence VS Expectation</em></strong><br />Investor pasar keuangan adalah investor yang beragam. Keberagaman yang dikontibusikan oleh beberapa aspek, yaitu: motivasi investasi, daya beli <em>(purchasing power)</em> terhadap sekuritas, pengalaman, tingkat pengetahuan dan kematangan investasi serta perilaku investasi. Keberagaman ini akan membuat perbedaan tingkat keyakinan <em>(confidence)</em> dan harapan <em>(expectation)</em> atas return dan risk atas invetasi yang dilakukannya. Adanya keberagaman inilah yang sesungguhnya mendorong terjadinya transaksi. Bayangkan jika semua investor memiliki keyakinan dan ekspektasi yang sama. Mungkinkah ada transaksi?<br /><br />Keyakinan dan harapan inilah yang melahirkan perilaku investasi yang beragam. Dorsey dalam Daniri (2008) mengatakan <em>"human behaviour is the key determinants of the market".</em> Premis ini bukan berarti menihilkan faktor fundamental dan teknikal investasi sama sekali tetapi memberikan penekanan bahwa perilaku investor menentukan <em>"abang irenge"</em> pasar keuangan. Dengan bersepakat atas premis inilah maka disiplin ilmu keuangan tidak bisa secara kaku dan angkuh berdiri sendiri dalam memformulasi rekomendasi investasi tetapi juga harus melibatkan ilmu perilaku manusia yaitu psikologi.<br /><br /><strong><em>Hipotesis Pasar Efisien?<br /></em></strong>Adam Smith, Mbah-nya kapitalisme, dalam bukunya <em>The Money Game</em> (Daniri, 2008) mengatakan bahwa perilaku investor itu didorong oleh 2 hal, yaitu <em>fear</em> (ketakutan) dan <em>greed </em>(keserakahan). Perilaku yang didorong dengan kedua hal ini relatif akan mengacaukan bangunan hipotesis pasar efisien yang telah banyak diyakini oleh peneliti ilmu keuangan. Efisiensi pasar secara informasi hanyalah dibentuk oleh tipologi investor yang rasional dalam memandang informasi, baik data historis, data publik ataupun private infrmation. Sedangkan ketakutan dan keserakahan merupakan variabel yang tidak terkontrol oleh ketiga jenis informasi itu. Pada tikungan inilah, lahirnya masalah!<br /><br />Keyakinan dan harapan yang beragam serta didorong oleh ketakuan dan keserakahan investor melahirkan fenomena pasar keuangan saat ini. Dalam kondisi pasar keuangan sedang bullish (kinerjanya meningkat) maka menanjaklah harga dan kapitalisasi saham sampai menjulang bahkan <em>bubble</em>. Tetapi sebaliknya, ketika pasar keuangan sedang bearish (kinerjanya menurun) maka meluncurlah harga dan kapitalisasi saham mendekati dasar. Meskipun faktor fundamental emiten maupun ekonomi baik. Apakah pada titik ini, ilmu keuangan masih sanggup memberikan penjelasan?<br /><br /><em><strong>Herding Behaviour, Run with Herd<br /></strong></em>Paul Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008, mengatakan bahwa perilaku investor global adalah perilaku yang mengikuti isyarat kawanan <em>(run with herd).</em> Perilaku ini dinamainya dengan <em>Herding Behaviour</em> (Daniri, 2008). Dan tampaknya, pola <em>herding behaviour</em> ini tidak bisa dicermati hanya oleh ilmu keuangan semata tetapi ilmu psikologi dapat berperan untuk mengidentifikasi perilaku investasi seperti ini. Terlebih pada pasar keuangan yang masuk dalam kualifikasi emerging market seperti pasar keuangan kita, perilaku investasinya juga sangat dipengaruhi oleh rumor, yang disebut dengan <em>Noise Trading Behaviour</em> (Asri dalam Kompas, 8/12).<br /><br />Pasar keuangan digerakkan oleh informasi, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam proses pemaknaan informasi itu ada unsur subjektivitas, emosi dan faktor psikologis lainnya. Terlebih dalam <em>emerging market</em> yang masih banyak dipenuhi oleh investor yang tidak rasional. Untuk itu, ilmu psikologi harus memberikan kontribusi sehingga penelitian keuangan tidak hanya bisa menjawab apa <em>(what)</em> tetapi bisa pula menjelaskan mengapa <em>(why)</em> dan bagaimana (how) secara lebih komprehensif. Maka dengan berlatar seperti itulah saat ini berkembang displin ilmu yang namanya <em>Behavioural Finance</em>.<br /><br /><em><strong>Apa itu BF atau Behavioural Finance itu?<br /></strong></em>Perkembangan pasar keuangan dengan kompleksitas yang melatarinya tidak memungkinkan teori investasi/keuangan untuk berdiri angkuh seorang diri dan kaku. Tetapi dipandang perlu untuk mengajak serta disiplin ilmu lain, yaitu psikologi untuk membantu melihat fenomena perilaku investor dalam membuat keputusan investasi.<br /><br />Sewell (2008) mendefinisikan BF adalah <em>"study of the influence of psichology on the bahaviour of financial practitioners and the subsequent effect on market".</em> Dari definisi BF yang diberikan oleh Sewell ini, terdapat 2 hal yang menarik disikapi. Pertama, perilaku investor merupakan objek amatan. Secara individual, aspek psikologis investor dalam memandang risiko dan imbal hasil <em>(return)</em> tentulah beragam. Toleransi investor terhadap risiko<em> (risk appetite)</em> selalu berbeda. Amatan terhadap aspek psikologis ini secara individual diperlukan untuk menentukan sekuritas yang sesuai dengan keadaan psikologis investor yang dimiliki saat itu. Dan dalam pespektif lain, hasil amatan itu dapat digunakan sebagai bahan prediksi atas kemungkinan transaksi yang mesti dilakukannya. Kedua, perilaku investor itu menentukan pasar. Secara komunal dan bersama-sama, perilaku investor ini akan menentukan harga dan kapitalisasi saham. Sehingga trend pergerakan IHSG dapat diprediksi dengan analisa BF ini. Hal ini akan meminimalisasi potensi loss atau risiko yang ditanggung oleh investor.<br /><br />Secara historis sebenarnya displin BF ini telah dimulai sejak tahun 1912, saat Selden menulis buku yang berjudul <em>"Psychology of The Stock Market"</em> (Sewell, 2008). Dalam buku itu, Selden mengatakan bahwa "pergerakan harga saham dipengaruhi oleh sikap mental investor". Dimana sikap mental ini lebih kompleks daripada sekedar faktor fundamental (ekonomi, industri dan emiten) maupun faktor teknikal. Hal ini terkait pula dengan risiko penurunan harga saham karena efek sentimen pasar yang lebih banyak diakibatkan oleh pengaruh faktor psikologis investor.<br /><br /><em><strong>Heuristic dan Framing</strong></em><br />Investor rasional secara teori dikatakan mendasarkan keputusan investasinya pada informasi, baik itu informasi historis, publik ataupun private. Masalahnya adalah "pada titik waktu itu" informasi yang beredar di pasar teramat banyak. Penuh! Sehingga investor "dipaksa" memproses informasi itu untuk mendapatkan solusi yang cepat tetapi belum tentu optimal. Itulah <em>Heuristic!</em> ( Frensendy, Bisnis Indonesia, 4/1). Tentunya tidak semua informasi yang beredar di pasar itu dipergunakan dalam analisis. Secara psikologi, manusia hanya mampu memproses 7 (tujuh) macam informasi dalam waktu yang bersamaan. Sehingga masih dimungkinkan hasil eksekusi investasi yang telah dilakukan mengandung representative bias, karena ada kesalahan dalam memilih dan meng-eliminasi informasi.<br /><br />Jika sekuritas tunggal dalam keranjang portolio kita mengalami kecenderungan penurunan harga yang tajam, maka investor rasional akan melakukan <em>Cut Loss</em>. Yaitu langkah memotong kerugian yang kemungkinan lebih parah jika tidak kita lakukan. secara riil memang masih rugi, tetapi kerugian itu bukan kerugian yang maksimal. Secara psikologis, terdapat investor yang tidak mau melakukan <em>Cut Loss</em>. Bukan disebabkan oleh substansi tetapi masalah teknis penyampaian.<em> Cut Loss</em> tetapi disampaikan dengan ungkapan "<em>switch</em> dana anda ke istrumen lain!". Itu lebih dikehendaki, daripada <em>Cut Loss</em>. Itu hanya sebagian contoh<em> framing</em>. Tetapi dalam konteks lebih luas, framing merupakan cara penyampaian data/informasi pasar kepada investor. Cara penyampaian akan menentukan reaksi investor. Informasi yang biasa tetapi disampaikan dengan cara yang "luar biasa" akan mengimplikasi perilaku investasi yang "luar biasa" pula. Sehingga <em>framing</em> juga sama pentingnya dengan substansi. <em>Heuristic</em> dan <em>Framing</em>, kami minta tolong kepada teman-teman psikologi. Ughhh……..<br />***************<br /><br />Ini sebuah kisah nyata perilaku aneh.<br />Ada seorang pria nekat mencuri boneka seks yang bernama Jane Rimba.<br />Jane Rimba adalah boneka plastik yang perlu ditiup sebelum "dipergunakan".<br />Si Pencuri itu, mengambil, meniup agar Jane Rimba mengembang, MEMPERKOSA-nya dan terakhir membuang-nya!.<br />Kejadian ini terjadi di Cairns, Negara Bagian Queensland, Australia. (Kompas, 8/1).<br />Kasus ini, sepertinya bukan BF <em>(Behavioural Finance)</em> tapi BF sungguhan! (tentunya jika ada CCTV-nya).<br />Polisi saat ini lagi berusaha menangkap pelaku-nya.<br />Mudah-mudahan bukan orang Indonesia. Ha ha ha…. <em>(ma’af)</em>Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-72391520538354349452009-01-06T14:55:00.000-08:002009-01-06T15:15:30.916-08:00January Effect, Bargain Hunter dan Bellwethers Ekonomi<span style="font-size:130%;color:#333300;"><em>Refleksi Atas Perdagangan Perdana BEI 5/01/09</em></span><br /><em><span style="font-size:130%;color:#003300;"></span></em><br /><span style="color:#000000;"><em>Ngopi</em> atau ngobrol sambil minum kopi sudah merupakan kebiasaan lama saya yang mentradisi dan mendarah daging. Bahkan dulu sewaktu masih kuliah, meskipun tidak ada kegiatan kuliah, saya <em>mesti </em>ke kampus untuk minum kopi di salah satu warung di samping fakultas. Ternyata ngopi tidak-lah hanya sekedar mencecap hasil adukan antara pahit-nya kopi dengan manis-nya gula, tetapi cecap-pan nikmatnya nggobrol-lah yang mendorong lebih kuat untuk selalu….. <em>ngopi</em> di warung!</span><br /><span style="color:#000000;"><br />Di kantor kebiasaan itu-pun makin berkembang tumbuh. Kadang <em>ngopi</em> di Pujasera FIP, Pujasera KPN, sering pula di warung Pak Japan atau terkadang di WS. Salah satu <em>sohib ngopi</em> saya adalah Pak Suamo. Seorang pegawai administrasi di Subag Akademik FE UM. Pak Suamo merupakan sosok yang mudah bergaul dengan siapapun, memiliki rasa humor yang tinggi dan <em>"spesialnya":</em> suka menertawakan "kegetiran" hidup.<br /><br />Disamping sebagai PNS, iapun menjadi "pengepul" besi tua, pengrajin keramik (yang saat ini lagi kempis-kempis tidak kembang), <em>makelaran</em> mobil dan sepeda motor, pemilik toko pracangan, menawarkan jasa terkait dengan pelayanan SAMSAT serta pimpinan sebuah kelompok musik terbang jidor. Aktivitas yang beragam merupakan indikator dari beragamnya komunitas pergaulan yang ia miliki. Ia sering memanggilku dengan sebutan "B-O-S" (sayapun tidak begitu mempedulikan dipanggil demikian) dan iapun ku panggil dengan sebutan "T-E-H" (sebutan khas, karena ia orang Madura).<br /><br />Suatu hari, ketika ngopi di Pujasera FIP yang sejuk.<br />"Bos!, mobil <em>sampeyan</em> tak beli-nya <em>po’o!"</em> katanya.<br />"<em>Ora</em> tak jual <em>Teh</em>!"<br /><em>"Wis talah!"</em><br />Dimulai dari dua kata <em>"wis talah",</em> ia tanpa lelah mulai "menggedor pendirian" saya , dari tidak niat menjual mobil menjadi "perlu" menjual mobil.<br /><em>"Piro?!"</em> tanya saya.<br />"Tiga puluh!"<br /><em>"Ngawur peno iki!"<br />"Wis talah!"<br /></em>Dimulai sesi II dengan dua kata <em>"wis talah"</em> lagi, iapun mulai lagi menggerilya "kekukuhan" saya.<br />"Terus?!<br />"Gampang! Besok tak carikan ganti!"<br />???<br />Begitulah Pak Suamo, benar-benar <em>BARGAIN HUNTER</em> sejati yang selalu memburu barang-barang murah!, yang sesungguhnya belum tentu murah!.<br />Meskipun pada akhirnya, mampu juga saya berkata "T-I-D-A-K!"<br />**************<br /><br />Dalam dunia investasi di pasar keuangan terdapat fenomena yang disebut dengan Efek Januari <em>(January Effect).</em> Meskipun beberapa penelitian tidak banyak yang bisa membuktikan adanya <em>January Effect</em> ini di Pasar Modal Indonesia, tetapi dalam tataran praktis terkadang masih dipakai sebagai salah satu dasar pertimbangan pengambilan keputusan investasi oleh sebagian kecil investor. Sedikitnya keberadaan justifikasi ilmiah atas fenomena <em>January Effect</em> menyebabkan sebagian besar investor menganggap bahwa fenomena itu hanyalah sekedar mitos belaka!.<br /><br /><strong><em>Apa sebenarnya</em> January Effect </strong><em><strong>itu?</strong><br />January Effect</em> merupakan kecenderungan terjadinya kenaikan harga saham pekan pertama bulan Januari. Adanya kenaikan harga ini didorong oleh aktivitas investor untuk kembali menyusun portofolio-nya setelah mereka "terbenam" selama liburan akhir tahun. Permintaan investor yang meningkat terhadap instrumen keuangan inilah yang mnyebabkan harga mengalami kenaikan. Kenaikan permintaan ini didorong oleh ekspektasi investor yang positif. <em>January Effect</em> ini sering juga disebut dengan <em>Year End Effect</em>.<br /><br />Secara historis, <em>January Effect</em> hanya akan berdampak pada saham-saham yang memiliki kapitalisasi kecil<em> (small caps)</em> daripada saham dengan kapitalisasi menengah <em>(mid caps)</em> dan besar<em> (big caps).</em> Hal ini secara teori dapat dijelaskan bahwa saham dengan kapitalisasi rendah memiliki akselarasi yang lebih cepat untuk meningkat harganya meskipun volume dan nilai transaksi-nya relatif tidak besar. Tetapi saham <em>mid caps</em> dan <em>big caps</em> membutuhkan volume dan nilai transaksi yang relatif lebih besar untuk menggerakkan harga sahamnya.<br /><br />Akhir-akhir ini, eksistensi <em>January Effect</em> ini sering "digugat" dengan keberadaan <em>Santa Claus Rally</em> atau <em>Desember Effect</em>. Hal ini dikarenakan perubahan periode waktu terjadinya <em>trend </em>kenaikan harga saham, peningkatan harga saham sudah mulai terjadi di pekan terakhir bulan Desember. (Wikipedia). Perkembangan ini sudah mulai menggeser kekuatan bulan Januari dalam memberikan pengaruh terhadap harga saham. Dan secara empiris, saat ini sulit bagi investor untuk mendapatkan <em>abnormal return</em> hanya dengan berpegang pada tiang <em>January Effect,</em> seperti definisi-definisi mengenai <em>January Effect</em> masa lampau.<br /><br /><strong><em>Apa pula</em> Bargain Hunter </strong><em><strong>itu?</strong><br />Bargain Hunter</em> adalah pemburu saham-saham yang berharga murah. Di pasar keuangan harga murah tidak identik dengan harga rendah, keduanya berbeda signifikan. Harga rendah belum tentu murah dan harga murah belum tentu rendah. Mengapa bisa begitu? Untuk menggambarkan masalah tersebut kita ambil contoh sebagai berikut: PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memiliki sifat dan kondisi yang identik, yaitu sektor bisnis, jumlah modal disetor, total hutang, pendapatan, laba bersih dan lain-lain. Kecuali harga saham dan jumlah saham beredar, kedua perusahaan itu adalah identik.<br /><br />PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memiliki modal disetor sebesar Rp. 10 miliar. Yang berbeda adalah nilai nominal sahamnya. PT. X Tbk menetapkan nilai nominal sahamnya adalah sebesar Rp. 1000 per lembar sedangkan PT. Z Tbk adalah Rp. 100 per lembar. Dari data tersebut maka jumlah saham PT. X Tbk adalah sebesar 10.000.000 (Rp.10 miliar/ Rp.1000) lembar dan PT. Z Tbk memiliki 100.000.000 (Rp. 10 miliar/Rp. 100) lembar saham. Jika diasumsikan bahwa harga saham di pasar<em> (current market price)</em> sama dengan nilai nominalnya, apakah bisa disimpulkan bahwa harga saham PT. Z Tbk lebih murah daripada harga saham PT. X Tbk?<br /><br />Tidak sesederhana itu cara pengambilan kesimpulannya! Sekarang kita lanjutkan, seandainya PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 2 miliar dan semuanya didistribusikan sebagai dividen, apa yang terjadi? Saham PT. X Tbk akan memberi dividen per lembar sebesar Rp. 200 per lembar sedangkan saham PT. Z Tbk akan memberikan dividen per lembar sebesar Rp. 2000 per lembar. Apakah anda masih akan mengatakan harga saham PT. Z Tbk lebih murah daripada harga saham PT. X Tbk? Tentu tidak!. Karena itu mahal dan murahnya saham harus pula dilihat secara lebih komprehensif, faktor fundamental dan rasio kinerja saham seperti PER <em>(Price Earning Ratio)</em> dan EPS <em>(Earning Per Share)</em> perlu diperhatikan.<br /><br /><em>Bargain Hunter</em> ini memburu saham yang harganya murah tetapi belum tentu harga saham yang harganya rendah. Tetapi relatif paradoksal dengan investor ritel dengan dana investasi terbatas. Mereka akan menjadi Bargain Hunter dengan memburu saham dengan harga murah dan (kalau ada!) harganya juga rendah. Perilaku <em>Bargain Hunter</em> ini juga akan memiliki kontribusi untuk meningkatkan harga saham, khususnya saham-saham yang secara fundamental masuk dalam kualifikasi <em>undervalue.</em> Indikasi hadirnya kontribusi mereka dapat dirasakan pada awal perdagangan ini.<br /><br /><strong>Bellwethers</strong><em><strong> Ekonomi</strong><br /></em>Pernahkah anda melihat gerombolan kambing yang sedang di<em>-"angon"</em> (apa ya bahasa Indonesia-nya?) oleh pemiliknya?. Tanpa perlu "permufakatan" diantara mereka, kambing-kambing itu akan relatif mengikuti induknya. Kemana induknya berjalan, maka para <em>follower</em> ini mengikutinya. Demikian pula, jika sore sudah menjelang, si pemilik kambing itu harus mengantar pulang ke kandang. Ia hanya me<em>-"nuntun"</em> (apa juga ya bahasa Indonesia-nya?) induknya, dan spontan kambing-kambing yang lain mengikutinya di belakang. Itulah yang dinamakan <em>BELLWETHERS</em>.<br /><br />Dalam bidang ekonomi, terlebih saat krisis seperti ini, pemerintah dan Bank Indonesia-lah yang menjadi <em>bellwethers</em> tersebut. Mereka adalah induk, dan langkah kebijakan mereka akan selalu dicermati, dianalisa, diantisipasi dan diikuti oleh pelaku pasar keuangan. Sehingga apa yang akan terjadi di pekan pertama Januari, ada atau tidaknya <em>January Effect</em> serta perilaku Bargaian <em>Hunter</em> dalam memburu saham murah akan selalu dipengaruhi oleh langkah kebijakan <em>bellwethers</em> ekonomi itu.<br /><br />Dalam tataran investasi saham, ada pula saham yang memegang posisi sebagai <em>bellwethers</em>. Apa yang terjadi dan menimpa saham itu akan menjadi acuan (atau <em>bell</em>) bagi investor untuk menentukan kebijakan investasinya. Misalnya saham PT. Telkom Tbk (TLKM). Kapitalisasi besar yang dimiliki oleh TLKM membuat kontribusi dia dalam menciptakan Indeks Harga Saham relatif besar. Pun, saham unggulan macam TLKM merupakan rujukan utama bagi investor institusional untuk mengisi keranjang portofolio-nya. Atas keadaan yang melekat seperti ini, TLKM pun bisa berperan sebagai <em>bellwethers</em> saham.<br /><br /><strong>January Effect, Bargain Hunter <em>dan</em> Bellwethers </strong><em><strong>Ekonomi:<br />Dalam Perdagangan Perdana BEI 2009</strong><br /></em>Perdagangan perdana BEI yang dibuka oleh Presiden SBY, berhasil menaikkan IHSG sebesar 81.93 poin atau 6.04% ke level 1.437,34. (Bisnis Indonesia, 5/1). Kenaikan ini merupakan kenaikan terbesar kedua se-Asia Pasifik setelah indeks saham Thailand yang naik sebesar 6.39%. Kenaikan IHSG di awal tahun 2009 ini begitu diharapkan oleh pemerintah dan pelaku pasar keuangan. Dalam bagian pidato pembukaan, Presiden SBY meminta pelaku pasar agar tetap yakin dan optimis dalam memandang krisis keuangan global yang saat ini terjadi. Meskipun relatif hiperbolik, mudah-mudahkan kenaikan IHSG di awal tahun sebagai wujud dari optimisme itu.<br /><br />Perdagangan perdana BEI 2009 ini tidak hanya mampu meningkatkan nilai IHSG tetapi nilai transaksi-nya juga mencapai angka yang relatif tinggi yaitu Rp. 2,87 triliun, lebih tinggi dari rata-rata nilai transaksi harian yang "hanya" Rp. 1 triliun saja. (Kontan, 6/1). Dan investor asing ikut berkontribusi dalam pencapaian nilai transaksi itu sebesar Rp. 63.10 miliar. Kapitalisasi yang relatif besar ini merupakan indikator awal yang baik bagi proses rebound kinerja pasar modal kita.<br /><br />Terdapat beberapa penyebab dari peningkatan kapitalisasi perdagangan dan nilai IHSG ini, yaitu: <em>Pertama</em>, pasar regional dan global yang sedang dalam trend naik. Kedua, adanya kenaikan harga minyak yang mencapai US$ 46.60 per barel. Ketiga, faktor pengumuman BPS yang menyatakan bahwa pada bulan Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0.04% dan Keempat, (mungkin!) akibat <em>January Effect</em> dimana investor telah mulai kembali berperan sebagai Bargain Hunter untuk memenuhi keranjang portofolio investasinya.<br /><br />Indeks bursa global hampir semuanya mengalami kenaikan. Nasdaq naik dari 1.577,03 menjadi 1.632.21, Frankfurt Dax dari 4.810,20 menjadi 4.973,07, DJIA dari 8.776,39 menjadi 9.034,69, Seoul Composite dari 1.157,40 menjadi 1.173,57, NYSE Composite dari 5.575,05 menjadi 5.915,73, Stock Exchange of Thai dari 449,96 menjadi 476,95, Taipei Weighted dari 4.591,22 menjadi 4.693,31 dan FTSE 100 dari 4.434,17 menjadi 4.561,79. (Kompas, 6/1). Kenaikan ini akibat diumumkan dan dimulai-nya paket stimulus untuk meredam dampak krisis dari berbagai negara, termasuk AS yang mengguyurkan dana stimulus sebesar US$ 1 triliun. Hal ini berimbas ke pasar keuangan negara kita yang dapat terjelaskan melalui mekanisme <em>contangion effect</em> atau <em>domino effect</em>.<br /><br />Kenaikan harga minyak menyebabkan harga saham emiten yang bergerak dalam industri tersebut juga mengalami peningkatan. Harga saham PT. Bumi Resources Tbk naik Rp.30 menjadi Rp.940, PT. Perusahaan Gas Negara Tbk menguat Rp.100 menjadi Rp1.960 dan PT. Tambang Batubara Bukit Asam terbang Rp. 900 menjadi Rp. 7.800 (Bisnis Indonesia, 6/1). Kenaikan harga saham ini turut memiliki kontribusi yang relatif besar dalam peningkatan kapitalisasi dan nilai IHSG.<br /><br />Pengumuman BPS tentang deflasi sebesar 0.04% pada bulan Desember 2008 yang lalu, mendorong ekspekstasi positif investor terkait dengan harapan adanya penurunan BI <em>Rate</em> yang signifikan pada bulan ini. Jika dalih otoritas moneter menetapkan BI Rate yang "masih" relatif tinggi digunakan untuk meredam inflasi, setelah inflasi berhasil di redam maka tidak diperlukan "dalih lain" lagi untuk tidak menurunkan BI Rate. Penurunan BI <em>Rate </em>akan memberikan injeksi positif bagi pasar modal dengan peningkatan kapitalisasi, harga dan IHSG karena adanya <em>switching</em> dana dari instrumen perbankan ke pasar modal, dan stimulus bagi sektor riil (emiten) dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Hal ini diharapkan akan berujung pada peningkatan kinerja emiten.<br /><br />Sedangkan <em>January Effect</em>? Meskipun masihperlu diteliti lebih lanjut secara empiris, maka kenaikan kapitalisasi dan IHSG juga akibat dari efek Januari ini. Dimana pada saat ini, investor sedang asyik melakukan revisi portofolio dan kembali menyusun portofolio-nya. Kegairahan investor inilah yang mendorong peningkatan kapitalisasi dan IHSG itu. Sudah merupakan kebiasaan di awal tahun, investor selalu menata ulang portofolion-nya dan memborong saham incarannya (Kontan, 6/1).<br /><br /><strong>Bellwethers <em>Ekonomi? Kemanakah?<br /></em></strong>Gerak-gerik pemerintah tentunya mendapatkan perhatian lebih dari investor di pasar keuangan terlebih disaat krisis seperti ini. Paket stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan nilai Rp. 50 triliun pastilah tidak luput sebagai input investor dalam melakukan analisis investasi. Tidak hanya berkisar pada besaran dana stimulus tetapi implementasi dari stimulus yang dilakukan.<br /><br />Belanja pemerintah juga menjadi perhatian investor karena pada tahun 2009 ini, belanja pemerintah merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi dengan kontrubusi 10.4%, naik dari tahun 2008 sebesar 10.7% (Kontan, 6/1). Belanja pemerintah ini akan berdampak kepada semakin likuid-nya pasar keuangan karena mendorong secara masif jumlah uang yang beredar dalam transaksi ekonomi yang terjadi. Belanja pemerintah ini juga diharapkan mampu sebagai "infus" bagi masyarakat agar tetap memiliki daya beli <em>(purchasing power)</em> yang baik. Daya beli masyarakat yang baik akan berakibat secara tidak langsung kepada tingkat pendapatan emiten atas barang dan jasa yang diproduksinya. Dan putaran itu akan terus bersiklus!<br /><br />Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter juga merupakan <em>bellwethers</em> ekonomi. Hal yang paling ditunggu investor adalah kebijakan BI tentang bunga acuan (BI <em>Rate</em>). BI <em>Rate </em>memiliki peran yang besar dalam menyelesaikan masalah tipis-nya likuiditas yang ada di pasar keuangan dan sektor riil. Padahal likuiditas diperlukan untuk tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi. Dan BI <em>Rate </em>mampu pula mendorong perubahan orientasi pemilik dana <em>(surplus unit)</em> dari penempatan di instrumen keuangan perbankan ke instrumen keuangan pasar keuangan. Sehingga peningkatan kapitalisasi tidak-lah hanya dibaca karena <em>January Effect</em> dan aktivitas <em>Bargain Hunter</em> tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku investor yang mengikuti arah gerak <em>Bellwethers </em>Ekonomi.<br />************<br /><br />Kemarin di teras Masjid Sabilillah, sambil menunggu Alam (yang saat ini lagi UAS) pulang, saya mengobrol dengan beberapa sopir pribadi yang bertugas menjemput anak-anak majikannya. Dari beberapa sopir itu ada yang majikannya<em> juragan</em> emas, Pak Di namanya. Ada Pak Jais, yang majikannya seorang dokter spesialis dan sekaligus dealer pulsa, Pak Isman yang ber-majikan <em>juragan spare part</em> mobil, ada pula Pak Tar yang majikannya mantan bupati Jombang dan Pak Samsul yang <em>juragan-</em>nya seorang kontraktor dan pemilik butik. Obrolan <em>ngalor ngidul</em> yang sering kami akhiri dengan <em>ngakak</em> bersama!.<br /><br />Seringkali pula kami memiliki <em>"bellwethers"</em> yang sama yang menuntun kompak-nya gerakan mata kami. Yaitu ketika sebuah mobil Toyota Fortuner warna silver meluncur masuk gerbang masjid. Selalu kami tunggu si empu-nya mobil membuka pintu dan turun. Dan <em>mak jleg!</em> Sebuah kaki menginjak tanah. Dan….. muncullah dia!. Seorang perempuan! Selalu ia, selalu ramah wajahnya, tak angkuh seperti mobil-nya! Tak seorang-pun dari kami mengenalnya, yang hanya kami tahu ia selalu datang menjemput pula.<br /><br />Ha ha ha ………………<br /><em>Bellwethers </em>macam apa pula itu!<br />Kemarin ketika ibuk-nya Alam ikut menjemput Alam, ia-pun kuberitahu sosok itu. Kutenggok iapun tersenyum……..<br /><em>(Teringat sebuah kisah dimana seorang dewa menolak untuk menciptakan keindahan lagi, karena dewa itu barusan menciptakan seorang perempuan…….)<br /></em>Ketika kuceritakan <em>"bellwethers"</em> ini kepada Lik Mo, komentarnya:<br /><em>"Iku pertondho sampeyan jik urip lan jik arupo manungso</em>!!! <strong>S-Y-U-K-U-R</strong>!!!"<br />?????</span><br /></span>Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-60495183149786557462009-01-04T14:54:00.000-08:002009-01-04T15:08:21.902-08:0050 : 50<span style="font-size:130%;color:#000066;">Sekeping 50 Rupiah Untuk 50 Saham</span>
<br /><span style="font-size:130%;color:#000066;"></span>
<br />Salah satu karib saya saat kuliah di Unibraw adalah Iwan "Topeng" Setiawan. Seorang yang "unik" sehingga dijuluki dengan sebutan Mr. "Topeng". Sebutan ini selaras dengan keahlian dia yang mampu "berenang" dalam berbagai jenis "kolam". Dalam komunitas mahasiswa yang borjuis, si Mr. Topeng ini mampu menempatkan dirinya dengan baik, dalam komunitas mahasiswa yang hedonis diapun mampu ber-"renang" dengan cekatan. Dalam "kubangan" mahasiswa yang aktivis-idealis, si Mr. Topeng ini mampu pula menunjukkan kiprah-nya dan dalam komunitas mahasiswa proletaris, "tokoh" kita inipun ber-kawan dengan "ciamik" pula.
<br />
<br />Saat ini, ia telah menjadi salah satu eksekutif muda di AXIS, setelah sebelumnya berlabuh di SIEMENS dan FREN. Di Brawijaya, dia juga salah satu penggagas dan pendiri FORKOMMI (Forum Komunikasi Mahasiswa Miskin Indonesia), sebuah <em>forum karikatural</em> yang dalam realitas "gerakan" memiliki "militansi" akut dan sampai saat ini bahkan "denyut" FORKOMMI ini masih ada disana, meskipun dalam "ruang" yang terbatas. Karena singungan dalam berbagai macam aktivitas-lah yang menyebabkan saya dan dia memiliki kedekatan "fungsional", bahkan sampai saat ini.
<br />
<br />Pernah suatu hari, sekitar akhir 1993 (semester pertama kuliah), saya dan dia hanya memiliki uang Rp. 450. Dan dengan uang itu, masuklah kita ke sebuah warung di jalan MT. Haryono Gang XVII. Berdua kita makan dengan menu sangat "minimalis", yaitu nasi putih, sayur pepaya <em>(jangan kates)</em> dan sebuah krupuk <em>bleg</em>. Dan uang Rp. 450 itulah yang kami gunakan untuk membayar-nya. Ternyata cukup dan <em>ndilalah</em> P-A-S! Betapa bernilainya 7 keping koin lima puluhan itu, sehingga lapar kami pun bisa terusir saat itu.
<br />
<br />Masih berhargakah sekeping koin Rp. 50; itu saat ini? Jawabannya adalah M-A-S-I-H!. Dengan uang Rp. 50;, kita bisa mendapatkan selembar saham!. Bahkan kita masih bisa memilih dengan 50 pilihan saham. Betulkah? Betul! Hampir tidak masuk akal, bagaimana mungkin sekeping Rp. 50; masih bisa kita gunakan untuk "belanja" saham. Untuk membeli permen saja, sekarang sudah teramat jarang yang "mau" dihargai dengan Rp. 50;. Fenomena ini terjadi sebagai salah satu buah krisis keuangan global yang terjadi saat ini. Mari kita bahas!
<br />***********
<br />
<br /><em>Banting Harga atau Terbanting Terpelanting!
<br /></em>Imbas krisis keuangan global sudah meluber kemana-mana, salah satu yang terimbas parah adalah pasar modal kita. Selama tahun 2008, nilai IHSG telah mengalami penurunan lebih dari 50%, penurunan IHSG ini disertai pula dengan penurunan kapitalisasi perdagangan. Dan data menyebutkan bahwa 13% dari seluruh emiten yang terdaftar di BEI, memiliki harga Rp. 50 per lembar sahamnya. Harga Rp. 50 per lembar ini merupakan harga terendah yang diperkenankan oleh BEI (Kontan, 3/1).
<br />
<br />Jika diperbandingkan dengan tahun 2007, maka saham emiten yang masuk katagori harga terbawah (50 rupiah) telah mengalami peningkatan sebesar 5000% pada tahun 2008. Pada tahun 2007 hanya ada satu saham yang dijual dengan harga Rp. 50, yaitu PT. MYOH Technology Tbk. Tetapi pada tahun 2008, jumlah itu meningkat menjadi 50 emiten. Kenaikan 5000% ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena krisis keuangan global saat ini.
<br />
<br />Krisis telah memaksa aliran modal lari keluar <em>(capital out flow)</em> sehingga dominasi 60% dana asing di pasar modal kita turun. Penurunan ini menimbulkan <em>excess supply</em> instrumen keuangan sehingga harga juga mengalami kejatuhan. Penurunan harga komoditas juga memicu turunnya harga dan sekaligus kapitalisasi saham emiten yang bergerak di sektor komoditas yang bersangkutan. Serta kinerja emiten yang memiliki sensitifitas tinggi (nilai <em>beta</em>/risiko pasar/<em>unsystematic risk</em>) terhadap krisis keuangan global semakin menyuramkan harga saham emiten tersebut.
<br />
<br />Dari 50 saham dengan harga Rp. 50-an itu, sebenarnya terdapat beberapa saham yang memiliki "pamor" baik dan memiliki kontribusi signifikan dalam mendukung pergerakan IHSG. Sebagian emiten ber-"pamor" tersebut adalah PT. Bakrie & Brother Tbk (BNBR), PT. Truba Alam Manunggal Enginering Tbk (TRUB), PT. Darma Henwa Tbk (DEWA), PT. Kawasan Industri JABABEKA Tbk (KIJA), PT. Indofarma Tbk (INAF) dan PT. Mobile-8 Telecom Tbk (FREN) (Kontan, 3/1). Tetapi krisis telah menempatkan mereka dalam rangking terendah dalam nilai perusahaan (value of the firm) jika di-proxy-kan dengan harga saham yang terjadi saat ini.
<br />
<br />Sebagai gambaran, jika saat ini anda membeli saham BNBR, maka setiap 1 lot (500 lembar) saham yang anda beli, anda hanya membutuhkan uang sebanyak Rp. 25.000; saja!. Dan dengan nilai investasi sebesar itu, maka anda bisa meng-klaim bahwa anda memiliki posisi "sejajar" dengan Aburizal Bakrie sebagai pemilik PT. Bakrie & Brother Tbk. Hal ini karena karakteristik saham yang bersifat ekuitas atau kepemilikan. Andapun memiliki kesempatan untuk memperoleh imbal hasil investasi (berupa capital gain atau dividen) disamping kemungkinan timbulnya risiko yang harus anda tanggung. Pun anda berhak untuk menghadiri RUPS yang dilakukan perusahaan. Hebat kan?
<br />
<br /><em>Pistol Moneter, Amunisi Yang Terbatas
<br /></em>Tiga "raksasa" yang menjadi kontributor besar bagi perkembangan ekonomi dunia saat ini, yaitu AS, Jepang dan Uni Eropa diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi minus pada tahun 2009 ini (Kontan, 3/1). AS diprediksi mengalami pertumbuhan minus sebesar 1.6%, Jepang 1.8% dan Uni Eropa 2.6%. Jika pertumbuhan minus ini terjadi maka secara tidak langsung akan berimbas pada pasar modal kita. Salah satunya adalah kinerja emiten yang berbasis produk ekspor dengan pangsa pasar ketiga "raksasa" tersebut, hilangnya dana asing dari ketiga "raksasa" tersebut di pasar modal karena mereka lebih berorientasi pada kecukupan likuditas dengan dogma <em>Cash is The King</em>, dan pelambatan serapan energi konvensional akan menyebabkan pula kinerja saham emiten berbasis komoditas ikut mengalami penurunan. Jika ini yang terjadi maka, kelimapuluh emiten dengan saham lima puluhan per lembar akan sulit terangkat naik.
<br />
<br />"Pistol Moneter" telah digunakan dengan masif oleh ketiga "raksasa" ini untuk melepaskan dirinya dari dekapan krisis keuangan global ini, selain kebijakan fiskal tentunya. Mereka telah monurunkan bunga acuanya dalam nilai yang "hampir" mendekati NOL. <em>The Fed</em> AS mematok bunga acuan dalam nilai 0.25%, (BoJ) <em>Bank of Japan</em> sebesar 0.1% dan <em>Europen Central Bank</em> (ECB) sebesar 2.5% (Kontan, 3/1). Penurunan ini diharapkan dapat memulihkan sektor riil ekonomi mereka yang diterkam oleh badai kesulitan likuiditas <em>(lack of liquidity).</em> Tetapi amunisi ‘Pistol Moneter" milik mereka sudah mendekati H-AB-I-S!. Bagaimana tidak, koridor kebijakan moneter melalui instrumen bunga yang mereka lakukan telah hampir mendekati NOL.
<br />Pertanyaannya adalah apakah mungkin mereka akan menetapkan bunga acuan NOL atau NEGATIF? Kalau amunisi moneter habis maka tinggallah kebijakan fiskal yang menjadi media stimulan ekonomi.
<br />
<br />Bagaimana imbas "Pistol Moneter" ini terhadap ekonomi Indonesia? Kita berharap dengan semakin tipis-nya amunisi moneter mereka akan ada aliran dana masuk ke pasar keuangan kita. Harapan ini tidak berlebihan, karena BI <em>Rate </em>kitas masih relatif tinggi dan masih memberikan premi yang baik bagi pemilik dana asing. Aliran dana masuk ini diharapkan dapat meningkatkan likuiditas pasar keuangan meskipun relatif berisiko. Aspek yang lain, penurunan bunga acuan mereka memberikan sedikit "keleluasaan" bagi otoritas moneter kita untuk ikut pula menurunkan bunga acuan-nya karena spread masih relatif lebar. Jika bunga BI Rate turun, maka akan berimplikasi pada semakin likuid-nya pasar keuangan kita. Hal ini akan berdampak baik bagi sektor riil maupun sektor keuangan. Bunga yang menurun akan menyebabkan harga SUN, ORI serta Obligasi Korporasi akan semakin meningkat dan likuid.
<br />
<br /><em>Portofolio dan Risiko</em>
<br />Mengapa harus portofolio? Kredo investasi mengatakan bahwa "<em> Don’t Put Your Eggs in One Basket".</em> Diversifikasi mutlak diperlukan dalam investasi untuk meminimalkan risiko. Secara teori banyak dijabarkan model-model untuk menyusun portofolio optimal, misalnya <em>Safety First Model, Utility Model, Single Index Market Model, Markowitz Model</em> dan lain-lain. Tetapi secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk membentuk portofolio harus diperhatikan Toleransi Risiko <em>(Risk Appetite)</em> dan Jangka Waktu <em>(Time Horizon)</em> investasi. (Prasetijo, 2008).
<br />
<br />Toleransi Risiko merupakan preferensi investor dalam memandang dan menyikapi sebuah risiko investasi. Teori mengklasifikasi 3 tipe investor berdasarkan preferensi-nya terhadap risiko, yaitu konvervatif, moderat dan agresif. Investor konservatif adalah investor dengan tipe penghindar risiko <em>(risk averse).</em> Kredo yang mereka yakini adalah "pelan-pelan asal selamat". Investor moderat memandang risiko secara netral atau proporsional <em>(risk neutral)</em> dan investor agresif merupakan investor yang menyukai tantangan dan memiliki "adrenalin" investasi yang besar. Investor jenis ini sering juga disebut dengan <em>risk seeker</em>. Ketiga tipe investor ini tetap dalam pelangi investasi "<em>high return high risk, low return low risk".</em>
<br /><em>
<br /></em>Jangka Waktu investasi terkait dengan karakteristik dana investasi dan kebutuhan dana tunai (kas) dari investor. Dana investasi yang benar-benar menganggur <em>(iddle fund)</em> dapat digunakan untuk melakukan investasi dengan <em>time horizon</em> jangka panjang. Investasi jangka panjang tidak perlu terpengaruh oleh isu atau rumor yang terjadi di pasar. Analisis investasi yang cocok dilakukan adalah dengan menggunakan analisis fundamental untuk mencari nilai intrinsik (nilai riil atau sesungguhnya) dan <em>misprices</em> instrumen keuangan. Sebaliknya jika dana itu memiliki karakteristik "dana akan segera dibutuhkan kembali" maka <em>time horizon</em> investasi yang layak dilakukan adalah jangka pendek. Investasi jangka pendek ini relatif lebih berisiko dari investasi jangka penajang karena relatif mudah terpengaruh oleh isu atau rumor yang terjadi di pasar. Analisis yang relevan dengan <em>time horizon</em> ini adalah analisis teknikal, yang dilakukan untuk mencari <em>timing</em> atau waktu yang tepat untuk melakukan transaksi instrumen keuangan.
<br /></em>
<br />Terdapat beberapa ragam instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk mengisi portofolio investasi (selain saham). Berikut beberapa instrumen itu dengan data kinerja yang mereka miliki tahun 2008 yang lalu, yaitu Reksa Dana dan Obligasi.
<br />
<br /><em>Reksa Dana</em>
<br />Reksa Dana merupakan instrumen investasi yang relatif baik bagi investor pemula. Hal ini disebabkan dana investasi yang kita tanamkan dikelola oleh Manajer Investasi yang profesional. Sehingga investor "relatif" tidak perlu dibingungkan dengan berbagai macam analisis investasi yang merepotkan dan menyita waktu. Kinerja Reksa Dana pada tahun 2008 mengalami penurunan yang signifikan dalam hal rekor jumlah dana kelolaan yang diperolehnya.
<br />Reksa Dana Saham, dana kelolaan pada bulan Januari sebesar Rp. 38,006 trilun dan pada bulan Oktober 2008 menurun menjadi Rp. 23,426 triliun. Reksa Dana Pendapatan Tetap, pada bulan Januari sebesar Rp. 16,422 triliun dan pada bulan Oktober 2008 sebesar Rp. 13,668 triliun. Berturut-turut, Reksa Dana Campuran dari Rp. 12,761 triliun menjadi Rp. 10.041 triliun, Reksa Dana Pasar Uang dari Rp. 5,656 triliun menjadi Rp. 3.305 triliun, Reksa Dana Indeks dari Rp. 0,181 triliun menjadi 0,119 triliun, Exchange Trade Fund (ETF) dari 0,615 triliun menjadi 0,565 triliun dan Reksa Dana Terproteksi dari Rp. 20,730 triliun naik menjadi Rp. 24,524 triliun (Infovesta Utama dalam Kontan, 3/1). Secara total, dana kelolaan Reksa Dana dari bulan Januari 2008 sampai Oktober 2008 turun sebanyak Rp. 19,121 triliun atau 20.26%.
<br />
<br />Kinerja Reksa Dana yang menurun ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: <em>Pertama</em>, harga dan kinerja instrumen penyusun portofolio investasi yang melemah sehingga menurunkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana. <em>Kedua</em>, aksi penjualan kembali (redemption) yang dilakukan oleh pemegang reksa dana KIK (Kontrak Investasi Kolektif) ikut menekan kinerja Reksa Dana. <em>Ketiga</em>, kebijakan pemerintah yang terkait dengan pajak. Tetapi dari data diatas, kinerja Reksa Dana Terproteksi mengalami peningkatan, hal ini wajar, karena dalam kondisi ketidakpastian akibat krisis keuangan global seperti saat ini, banyak investor yang memilih reksa dana yang memberikan tingkat keuntungan minimal atas dana yang ditanamkannya.
<br />
<br /><em>Obligasi</em>
<br />Obligasi merupakan instrumen pendapatan tetap dengan <em>maturity</em> (jatuh tempo) jangka panjang. Kinerja obligasi selama tahun 2008 juga mengalami penurunan. Kapitalisasi Surat Utang Negara (SUN) dan ORI (Obligasi Ritel Indonesia) dari semula Rp. 1.234,72 triliun menjadi 949,47 triliun. Transaksi harian juga mengalami penurunan sebesar 20% dari rata-rata Rp. 5,02 triliun menjadi Rp. 3,91 triliun (Kontan, 3/1). Demikian pula untuk obligasi korporasi, kapitalisasi transaksi turun sebesar 23% selama tahun 2008 dan berada dalam level Rp. 52,98 triliun. Transaksi harian juga turun dari rata-rata Rp. 279 miliar turun menjadi Rp. 218 miliar.
<br />
<br />Kinerja obligasi ini secara teori atau fundamental sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga dan tingkat inflasi. Tingkat bunga memiliki korelasi negatif dengan harga obligasi. Tingkat bunga yang tinggi akan menyebabkan investor memindahkan dananya dari istrumen obligasi ke instrumen perbankan, hal ini akan mendorong terjadinya <em>excess supply</em> obligasi di pasar sehingga harga turun. Sebaliknya jika tingkat bunga turun maka akan menimbulkan permintaan atas obligasi baik, karena ada premi atau insentif bagi investor untuk kembali menempatkan dananya di instrumen obligasi ini. Terjadinya <em>excess demand</em> menyebabkan harga obligasi naik.
<br />
<br />Sebagai instrumen ivestasi berpendapatan tetap, maka inflasi sangat mempengaruhi orientasi dan perilaku investor. Tingginya tingkat inflasi akan berdampak pada turunya nilai investasi investor. Hal ini dikarenakan adanya penurunan daya beli uang investor terhadap barang dan jasa. Keadaan ini akan mendorong investor rasional untuk merubah kebijakan investasinya ke instrumen yang lain yang relatif tidak tergerus oleh tinggi-nya inflasi. Sebaliknya jika gempuran inflasi sudah mereka, maka kinerja obligasi akan membaik. Keadaan saat ini memungkinkan kinerja obligasi akan segera "pulih" dengan indikator pada gelagat Bank Indonesia yang akan kembali menurunkan bunga acuannya dan besaran inflasi yang sudah relatif moderat. Semoga!
<br />**********
<br />
<br />Setelah diberondong dengan rangkaian gerbong liburan Natal, Tahun Baru Hijriyah dan Tahun Baru Masehi, besok sampai pula-lah dalam luapan tugas kantor yang sudah menunggu. Untuk menyambut kembalinya "rutinitas" kampus, dikutip 2 nasehat yang relevan dan mudah-mudahan bermakna bagi kita.
<br />
<br /><em>Nasehat Martin Luther King Jr:</em>
<br />"Seandainya seseorang terpanggil menjadi tukang sapu, maka seharusnya ia menyapu sebagaimana halnya Michelangelo melukis, atau Bethoven mengomposisi musiknya, atau Shakespeare menuliskan puisinya".
<br />
<br /><em>Nasehat Lao Tzu:
<br /></em>"Jika engkau hanya mengerjakan segala sesuatu sebatas apa yang diharapkan darimu, maka engkau tak ubahnya seorang B-U-D-A-K. Namun, jika engkau mengerjakannya lebih dari yang diharapkan, barulah engkau menjadi manusia B-E-B-A-S".
<br /><em>(dua nasehat ini dikutip dari Tjahjono dalam Kompas, 3/1)</em>
<br /><em></em>
<br />Terbersit kemungkinan komentar Lik Mo perihal 2 nasehat ini <em>"Kelincipen Cak!!!,
<br />jan S-O-K tenanan!!!"………….</em>
<br />Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-2139191301380998242009-01-01T21:58:00.000-08:002009-01-01T22:12:48.177-08:00Baseline Ekonomi di Annus Horribilis 2009<span style="font-size:130%;color:#330000;"><em>Sebuah Guratan Sketsa Ekonomi di Awal Tahun</em></span><br /><br />Penghujung tahun 2008 ini, masih juga diwarnai dengan rutinitas kerja dan rutinitas sebagai seorang ayah. Di kantor masih menyelesaikan tugas menguji komprehensif bagi mahasiswa tingkat akhir sampai tengah hari dan pada sore harinya masih juga “dipaksa” menunaikan kewajiban menjemput Si Alam dari sekolahnya di SDI Sabilillah. <em>Wuihhh!!.<br /></em>Sambil menunggu Si Alam keluar, saya mengobrol dengan kolega “sopir-sopir” antar jemput. Saat itu, ibunya Alam juga ikut menemani obrolon kami. Ditengah asyik mengobrol, Lik Mo menelopon. <em>Kringgggg…….</em><br /><br />“Cak Su, <em>piye </em>tahun baru-nya?”<br />“<em>Lho</em>… sekarang kan belum tahun baru Lik!”<br />“<em>Iyo.. ngerti</em>! Apa acara Cak Su menyambut tahun 2009?!”<br />“Biasa Lik, <em>masang</em> kalender baru!”<br />“<em>Welah… sampeyan iki!! Piye tahun baruan?!!”</em><br />“<em>Gak eruh</em> aku Lik! <em>Paling-paling</em> ya main kartu sama Alam dan Ibu-nya Alam!”<br />“Lha! <em>Kok malah</em> main kartu?!”<br />“<em>Lha… kudu piye to Lik</em>, kan terserah aku <em>to?!</em>”<br />“Acara tahun baru <em>kok</em> main kartu! <em>Ora</em> kualitas <em>iku!</em>”<br />“Lha! <em>Sing</em> kualitas <em>iku</em>, acara <em>sing kepiye?!</em>”<br />“Yo… <em>renungan opo piye ngono tah?!</em>”<br />“Lha… main kartu kan <em>yo</em> acara renungan <em>to</em> Lik!”<br />“<em>Renungan opo?! Renungan nggombali iku!</em>”<br />“<em>Kanggoku</em> main kartu dengan Alam dan ibu-nya Alam itu renungan Lik!”<br />“Renungan <em>opo?!</em>”<br />“Renungan betapa indahnya sebuah kebersamaan, begitu berharganya kebersamaan, betapa mahal dan sulitnya untuk sebuah kebersamaan!!”<br />“<em>Jan… tetep nggombali!!</em>”<br />????<br /><br />Sebagai awal coretan ini, kembali dikutip Petuah Raja George VI saat menyambut Tahun Baru 1939, <em>“Aku memohon kepada seorang tua yang bersiri diambang Tahun Baru, ‘Berilah aku cahaya yang memungkinkan melangkah aman menuju kegelapan!’. Orang itupun menjawab ‘Pergilah menuju kegelapan dan letakkan tanganmu pada tangan T-U-H-A-N. Hal itu akan lebih baik bagimu ketimbang cahaya dan lebih aman daripada jalan yang dikenal”</em>. (Latif, 2008).<br /><br />Ungkapan Raja George VI ini secara terang mengajak kita semua untuk selalu berpegang pada tangan Tuhan untuk menjalani kehidupan di <em>Annus Horribilis</em> (Tahun yang Menyeramkan) ini. Berpegang kepada tangan Tuhan dapat dipersepsikan sebagai tindakan untuk tetap berperilaku dalam batas koridor dogmatis yang berasal dari Tuhan, tentunya menurut keyakinan masing-masing individu. Ungkapan Paus saat meyambut Natal untuk T-I-D-A-K S-E-R-A-K-A-H layak mendapat tempat bagi perenungan<em> (kontemplasi)</em> kita diawal tahun ini. Keserakahan <em>(greedy)</em> memiliki kontribusi besar dalam terciptanya krisis keuangan, ekonomi, politik dan kemanusiaan saat ini.<br /><br />Ritual pergantian tahun 2008 ke 2009 diwarnai beragam ekspresi. Terompet telah menjadi simbol umum sebagai penanda datangnya tahun baru. Ekspresi gegap gempita mengiringi penurunan kalander 2008 dan pemasangan kalender 2009. Sebuah kewajaran sikap!. Di Thailand, fajar 2009 diiringi dengan ratapan dan regangan nyawa dari manusia yang terpanggang di sebuah hotel tempat pesta menyambut tahun baru. Di Palestina, tahun baru disambut dengan bombardir kebiadaban Israel. Lebih dari 400 manusia meninggal karena K-E-S-E-R-A-K-A-H-A-N itu. Di negara kita, beragam ekspresi dan hiburan melengkapi gempita ini. Ber-miliar rupiah telah terdistribusi untuk menyambutnya, ber-juta liter BBM telah terhambur, ber-juta ton batubara tergerus “hanya” untuk menyediakan listrik bagi kilauan lampu menyambut tahun baru. Itulah kerja industri yang direkayasa oleh kapitalis dan dibalut dengan semangat hedonisme. Sungguh artifisial!<br /><br />Tentunya penyikapan tahun baru yang lebih substansial dan proporsional banyak pula dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Acara yang dikemas dalam ranah kontemplatif substansial juga mewarnai penyambutan Annus Horribilis 2009 ini. Salah satunya adalah kampus kita ini. UM selalu mengisi dengan acara renungan akhir tahun yang diselenggarakan di Masjid Al Hikmah UM. Rektor mengundang seluruh civitas untuk melakukan kontemplasi akhir tahun secara bersama. Sebuah acara yang sarat makna!. Mudah-mudahan tidak terjebak dalam rutinitas dan seremoni yang artifisial semata.<br /><br />Beragamnya ekspresi menyambut <em>Annus Horribilis</em> 2009 adalah sebuah kewajaran. Dan setiap ekspresi memiliki alasan pembenar masing-masing. Dalam guratan skesta awal tahun ini, disajikan beberapa keadaan ekonomi kita dipenghujung 2008 dan diawal 2009 ini. Dan sifat dari sebuah sketsa adalah tidak memberikan sebuah gambar yang detail tentang ekonomi secara keseluruhan, tetapi mudah-mudahan beberapa indikator utama ekonomi dapat diuraikan secara lebih proporsional.<br /><br /><em>Pasar Modal sebagai Leading Indicator Ekonomi</em><br />Pada seremoni penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia tanggal 30 Desember 2008 yang lalu, tiupan terompet tidak menghiasi acara penutupan perdagangan akhir tahun 2008 itu. Ini merupakan simbol dari kinerja pasar modal kita yang menurun karena imbas krisis keuangan global dan menyeruaknya tantangan besar yang harus dihadapi oleh pasar modal kita ditahun 2009. (Kontan, 31/12). Sebuah simbol reflektif yang bijak. Sebagai salah satu perantara <em>(intermediary)</em> keuangan, pasar modal memiliki peran yang signifikan dalam melancarkan sirkulasi dana untuk mengatasi masalah likuiditas yang menjadi salah satu “energi alternatif” bagi tumbuhnya ekonomi negara kita.<br /><br />Kinerja pasar modal tahun 2008 dapat dilihat dari beberapa indikator. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merupakan indikator utama yang dapat digunakan untuk mengevaluasi-nya. Selama setahun, IHSG telah mengalami penurunan sebesar 50.64% (Kontan,31/12), dan pada akhir tahun IHSG bercokol pada titik 1.355. Titik ini merupakan hasil dari fluktuasi yang terjadi dari nilai tertinggi yang pernah tercapai yaitu 2.830 dan terandah 1.111. Terdapat 2 penyebab utama dari penurunan IHSG ini, yaitu krisis keuangan global telah memaksa investor asing untuk menarik dananya dari Indonesia dengan berbagai faktor pendorong. Dominasi kapitalisasi asing di pasar modal Indonesia dengan proporsi 60% ini rentan terhadap terjadinya fluktuasi IHSG. Terlebih sifat investor lokal yang bersifat pengikut <em>(follower)</em> atas kebijakan investasi yang ditempuh oleh investor asing. Hal ini memperparah keterpurukan IHSG.<br /><br />Penyebab kedua adalah turunnya harga beberapa komoditas di pasar internasional. Penurunan harga komoditas ini juga menurunkan kapitalisasi pasar dari emiten yang bergerak dalam bisnis inti komoditas-komoditas tersebut. Penurunan kapitalisasi ini juga memberikan kontribusi signifikan bagi rontok-nya IHSG.<br /><br />Selain IHSG, nilai kapitalisasi perdagangan yang terjadi juga mengalami penurunan yang signifikan, yaitu dari Rp. 1.984,92 triliun pada awal tahun, menjadi “hanya” Rp. 1.028,85 triliun pada akhir tahun (Kontan, 31/12). Sehingga selama setahun berjalan, nilai kapitalisasi telah turun sebesar Rp. 956,07 triliun.atau turun sebesar 48.2%. Penurunan kapitalisasi ini meyebabkan harga sekuritas mengalami penurunan karena adanya <em>excess supply</em> dan mendorong perusahaan calon emiten menunda pelaksanaan IPO <em>(Initial Public Offering)</em> sampai kinerja pasar modal membaik. Terdapat 11 perusahaan yang menunda IPO yang direncanakan akan dilakukan pada tahun 2008 yang lalu. (Kompas, 31/12).<br /><br />Nilai IHSG yang rontok 50.64% tersebut dapat diidentifikasi lagi sebagai berikut: PT. Bumi Resources Tbk (BUMI) merupakan emiten yang paling besar kontribusinya dalam menggerus nilai IHSG (Kontan, 31/12). Pada awal tahun, produsen batubara milik Aburizal Bakrie ini, harga per lembar sahamnya mencapai Rp. 6000. Pada akhir tahun, harganya merosot menjadi Rp. 910 per lembar. Atau dalam satu tahun, harga saham BUMI telah turun sebesar 84.83%. Dan karena kapitalisasi saham BUMI sangat besar, maka penurunan harga saham BUMI ini memberikan kontribusi penurunan IHSG sebesar 128.53 poin.<br /><br />Selain BUMI, terdapat PT. International Nickel Indonesia Tbk (INCO) yang juga berkontribusi besar dalam merongrong nilai IHSG. Pada awal tahun harga saha INCO per lembar adalah Rp. 9.625 tetapi pada akhir tahun, harga saham INCO merosot pada titik Rp. 1.930 per lembar atau menurun sebesar 79.95%. Berturut-turut PT. Astra International Tbk (ASII), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT. Aneka Tambang TBK (ANTM), PT. Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT. Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT. Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) merupakan Sepuluh Emiten Penggerus IHSG Selama 2008 (Kontan, 31/12).<br /><br />Meskipun kesepuluh emiten tadi merupakan emiten penggerus IHSG, tetapi dalam perspektif investor, kecuali saham BNBR, kesembilan emiten tersebut bukanlah emiten yang paling merugikan investor. PT. Truba Alam Manunggal Enginering Tbk (TRUB) merupakan emiten yang paling besar merampas nilai investasi investor yaitu sebesar 96.48%. Berturut-turut PT. Polysindo Eka Perkasa Tbk (POLY) sebesar 95%, PT. Energi Mega Persada Tbk (ENRG) sebesar 94.36%, PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI) sebesar 94.26%, PT. Darma Henwa Tbk (DEWA) sebesar 92.65%, PT. Bakrie & Brother Tbk (BNBR) sebesar 91.23%, PT. Sentul City Tbk (BKSL) sebesar 90%, PT. Modernland Realty Tbk (MDLN) sebesar 89.9%, PT. ATPK Resources Tbk (ATPK) sebesar 89.51% dan PT. Bakrie Sumatera Plantatition Tbk (UNSP) sebesar 88.57%. (Kontan, 31/12)<br /><br />Hal yang menarik dari sajian data diatas adalah betapa dominannya Group Bakrie dalam pasar modal kita, baik sebagai kontributor sepuluh saham penggerus IHSG dan sepuluh saham <em>“perampok” </em>nilai investasi investor. Dari sisi sepuluh saham penggerus IHSG, Group Bakrie menempatkan 2 perusahaannya yaitu PT. Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT. Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Sedangkan disisi sepuluh perusahaan <em>“perampok”</em> nilai investasi investor, Group Bakrie menempatkan 4 perusahaannya, yaitu PT. Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT. Darma Henwa Tbk (DEWA), PT. Bakrie & Brothers (BNBR) dan PT. Bakrie Sumatra Plantations Tbk (UNSP) (Kontan 31/12).<br /><br />Bagaimana pasar modal di<em> Annus Horribilis</em> 2009 ini? Kinerjanya masih tetap dibayangi oleh imbas krisis keuangan global. Likuditas dan kapitalisasi di pasar modal masih rentan terhadap prosesi krisis keuangan tersebut. Tetapi dengan kondisi dimana masih tingginya selisih BI Rate dengan bunga acuan negara lain (The Fed, misalnya) maka masih membuka peluang yang besar bagi masuk-nya dana asing ke dalam pasar keuangan kita (salah satunya pasar modal). Hal ini akan mendorong likuditas dan kapitalisasi pasar meskipun relatif berisiko. Disamping itu stimulus yang diberikan oleh pemerintah pada sektor riil, secara tidak langsung, juga akan berdampak pada kinerja pasar modal. Dalam tataran ekonomi dimana sektor riil mengalami kondisi membaik, maka akan menciptakan ekspesktasi investor juga meningkat (positif). Dan ekspektasi itu akan dieksekusi dengan peningkatan harga penawaran jual dan beli instrumen keuangan pasar modal. Hal ini akan menimbulkan peningkatan likuiditas dan kapitalisasi pasar. Geliat krisis keuangan global dan langkah antisipasi serta reaksi atas geliat krisis yang dilakukan pemerintah dan pelaku bisnis akan selalu memberikan imbas bagi kinerja pasar modal kita. Pasar modal akan terus mengalir!<br /><br /><em>Sektor Riil, Akanlah Terjadi Decoupling?!</em><br />Kinerja sektor riil, juga masih dibayangioleh krisis keuangan global. Perlambatan ekonomi dunia merupakan tantangan sektor riil yang terdepan. Ekonomi yang melambat akan menyebabkan permintaan agregat atas barang dan jasa mengamai penurunan. Penurunan permintaan ini akan berimplikasi kepada semakin sempitnya pasar atas barang dan jasa yang diproduksi. Atas kondisi tersebut minimal ada 2 hal yang kemungkinan terjadi yaitu, penurunan kapasitas produksi disesuaikan dengan akses pasar dan kedua, penghentian produksi karena tidak kuat masuk dalam perang dagang global.<br /><br />Kedua kemungkinan diatas, akan melahirkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif, dan tataran selanjutnya adalah menurunnya daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa. Jika ini terjadi, maka siklus setan ini akan berputar terus! dan akan berimbas juga kepada sektor riil yang bergerak hanya di pasar domestik. Untuk itu langkah antisipatif pemerintah perlu dilakukan dalam bentuk pemberian stimulus dan insentif perlu dilakukan dengan lebih padu.<br /><br />Stimulus fiskal yang digunakan sebagai antisipasi dampak krisis keuangan global terhadap sektor riil sebesar Rp. 32.5 tiliun diharapkan mampu membuat stabilisasi kinerja sektor riil. Dana stimulus ini meningkat dari yang direncanakan sebesar Rp. 12.5 triliun, yang disumbang oleh dana dari Sisa Anggaran Lebih (Silpa) tahun 2008. (Kontan, 31/12). Dengan tambahan dana stimulus ini diharapkan pertumbuhan ekonomi 2009 bisa mencapa angka 4.5%. Jika angka pertumbuhan ini berhasil maka akan bermakna signifikan bagi kinerja ekonomi Indonesia di <em>Annus Horribilis</em> ini.<br /><br />Presiden SBY telah menetapkan Tujuh Prioritas Ekonomi 2009, yaitu Pertama, mencegah pengangguran akibat krisis keuangan dunia. Kedua, mengelola laju inflasi. Ketiga, menjaga pergerakan sektor riil. Keempat, mempertahankan daya beli masyarakat. Kelima, melindungi ekonomikaum miskin. Keenam, memlihara kecukupan pangan dan energi dan Ketujuh, memililhara pertumbuhan ekonomi. (<a href="http://www.ri.go.id/">www.ri.go.id</a>). Ketujuh prioritas ekonomi ini akan didukung oleh dana stimulus fiskal tersebut diatas. Diluar dana Rp. 32.5 triliun diatas, juga disediakan Rp. 32 trilun untuk membenahan infrastuktur di Departemen Pekerjaan Umum dan Rp. 16 triliun untuk membenahan infrastruktur di Departemen Perhubungan.<br /><br />Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter memperkirakan dampak krisis keuangan global terhadap sektor riil akan terjadi hingga 2 tahun mendatang. Adapaun dampak krisis terhadap sektor keuangan akan selesai dalam waktu sekitar 6 bulan mendatang. (Makmun, 2008). Sehingga stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah akan disinergikan dengan kebijakan moneter dari Bank Indonesia untuk tetap menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi dan stabilitas moneter 2009. Stabilitas suku bunga, kurs rupiah dan inflasi merupakan tugas yang harus dituntaskan oleh BI. Jika agenda ini berjalan dengan baik, maka kinerja sektor riil juga akan berjalan lancar.<br /><br />Tetapi jika sektor riil akselerasi pertumbuhannya lambat, maka kemungkinan terjadi decoupling antara sektor riil dan keuangan akan terjadi kembali. Terlebih kinerja pasar keuangan akan sudah kembali pulih dalam 6 bulan yang akan datang. Untuk itu keterpaduan kebijakan sangat diperlukan dalam kondisi seperti ini. Rasa optimisme terhadap kinerja ekonomi Indonesia juga ditiupkan oleh <em>Prof. David O’Dapice</em> (Kontan, 31/12), seorang guru besar <em>Harvard University</em>. Prof. David mengatakan bahwa kinerja ekonomi Indonesia sedikit lebih baik daripada negara Asia lainnya dalam menghadapi krisis keuangan global saat ini. Hal ini disebabkan oleh, Pertama, nilai ekspor Indonesia hanyalah 35% dari PDB. Artinya pelemahan permintaan agregat akibat pelambatan ekonomi dunia tidak begitu signifikan mempengaruhi makro ekonomi Indonesia. Kedua, rasio aliran modal asing hanya 7% dari PDB. Data ini berarti bahwa penuruan aliran modal tidak akan berpengaruh banyak terhadap kinerja ekonomi Indonesia, karena kontibusinya hanya 7% dari PDB dan Ketiga, rasio kapitalisasi pasar modal lebih kecil dari 30% dari PDB. Data ini merupakan indikasi bahwa penurunan kapitalisasi perdagangan di pasar modal kita bukanlah akhir dari segala-galanya. Kita mungkin masih bisa “berpesta” suatu saat kelak!!!.<br /><br />Saat mengedit draft tulisan ini, anak saya, <em>St. Ahmad Abdi Raja Semesta Alam</em> menyela:<br /><br />“Yah… kenapa kalau mau tahun baru banyak orang berjualan trompet?!”<br />“Ya… karena kalau tahun baru banyak orang yang akan membeli trompet Nak!”<br />“Mengapa orang-orang itu membeli trompet Yah?!”<br />“Karena mereka butuh trompet untuk merayakan tahun baru Nak!”<br />“Kenapa harus dengan trompet Yah?!”<br />“Itu kebiasaan Nak! Ayah juga tidak tahu pasti mengapa?!”<br />“Kok kita tidak beli trompet Yah?!”<br />“Karena kita merayakan tahun baru tidak dengan trompet Nak!”<br />“Mengapa tidak Yah?!”<br />“Karena kita tidak perlu harus seperti mereka Nak!”<br />“Mengapa Yah?! Apakah beda kita dengan mereka yang membeli trompet?!”<br />“Tidak beda Nak!, hanya kita tidak ingin saja!”<br />“Tapi Alam ingin Yah!”<br />“Oo… Iya nanti kita bikin trompet untuk Alam!”<br />“Makasih ya Yah!”<br />???<br /><em>(betapa ayah sering tidak sadar telah memaksa Alam untuk selalu larut dalam “gaya”, kemauan serta kehendak ayah …. Maafkan ayah… Alam!! Ayah selalu merasa pilihan ayah selalu benar dan terbaik untukmu!! Ma’afkan….)<br /></em>Kucium Alam, lama….sekali …….!!!Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-54855830468279725382008-12-27T15:37:00.000-08:002008-12-27T15:47:19.681-08:00Winfall VS Wipe Out<span style="font-size:130%;color:#003300;"><em>Paradigma Investasi Memotret Perilaku Akademisi</em></span>
<br /><em><span style="font-size:130%;color:#003300;"></span></em>
<br />Sosok Pak Sanimin, guruku SD disalah satu SD Inpres di Malang Selatan, merupakan sosok yang sulit terlupakan. Dalam pendidikan formal, beliau-lah guru saya yang pertama. <em>(tentang wafat-nya Pak Sanimin pernah saya tulis di weblog ini)</em>. Suatu hari, dalam pelajaran Kesenian, beliau pernah menyuruh saya dan teman-teman sekelas untuk mengambar sederhana dengan cara <em>N-G-E-B-L-A-D.</em>
<br /><em>
<br /></em>"Bocah-bocah! Sekarang ayo kita menggambar!"
<br />"Hore….. menggambar apa Pak?!"
<br />"Ayo kita bikin uang!"
<br />"Hore….. hore….. Kita bikin uang!!" teriak teman sekelas serempak kegirangan.
<br />Dalam persepsi saya saat itu, begitu "uenak-nya" bisa bikin uang sendiri. Hore!!
<br />"Kita sekarang membuat uang dengan cara sederhana, yaitu <em>N-G-E-B-L-A-D!!,</em> ambil uang logam seratus perak!"
<br />Kami semua sibuk mencari-cari uang di saku kami. Ada yang menemukan uang seratusan, lima puluhan, dua puluh lima-an dan sepuluh-an.
<br />"Pak Guru, saya cuma punya uang sepuluh rupiah saja?! Boleh Pak?!"
<br />"Boleh!… tidak apa-apa!"
<br />"Letakkan uang dimeja dan taruh kertas putih diatasnya!"
<br />"Sudah Pak!"
<br />"Terus arsir uang itu dengan pensil!"
<br />"Hore… aku punya uang!! Aku bisa bikin uang!! Hore!! Hore…!"
<br />Begitu senangnya, terlebih saat kami mulai mengunting "uang" itu.
<br />"Hore… cuma <em>N-G-E-B-L-A-D</em> dapat uang!! Hore!!! Hore!!!
<br />????
<br /></em>
<br /><em>Winfall</em> dan <em>Wipe Out</em> merupakan dua istilah yang sering dipakai dalam dunia investasi di pasar keuangan. <em>Winfall</em> adalah keuntungan tiba-tiba atau keuntungan yang tidak terduga yang diterima oleh investor atas instrumen keuangan yang telah dibelinya <em>(unexpected profit).</em> Sedangkan <em>Wipe Out</em> ialah kondisi dimana investor mengalami kerugian yang tidak terkira besarnya <em>(unexpected loss).</em> Kedua istilah ini, tampaknya relevan secara konteks jika digunakan untuk memotret perilaku sedikit akademisi kita.
<br />
<br />Salah satu tugas dalam tri dharma seorang akademisi adalah melakukan penelitian. Pemerintah telah memfasilitasi dana bagi akademisi untuk melakukan dharma bhaktinya ini. Pada tahun 2009 telah dianggarkan dana sebesar Rp.1.2 triliun bagi kegiatan penelitian dalam bentuk hibah kompetitif penelitian.(Kompas, 13/12). Dana yang relatif besar ini akan digunakan untuk membiayai penelitian sebanyak 10.000 proposal penelitian yang sesuai dengan agenda riset nasional.
<br />
<br />Dana yang besar ini merupakan insentif bagi akademisi untuk berkarya secara kreatif dan berkontribusi dalam pencarian solusi bangsa melalui penelitian. Penyikapan terhadap besaran dana ini oleh setiap akademisi tentulah beragam. Ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan peluang ekonomi-finansial yang menggiurkan dan ada pula yang berpendapat ini merupakan kesempatan untuk mencari jawab atas <em>intellectual curiosity</em>-nya. Dalam tataran praktis, sinergi atas dua penyikapan itu adalah kondisi yang mayoritas. (maaf, hanya justifikasi subjektif penulis). Tetapi sinergi ini adalah wajar dan sah jika dilandasi oleh etika akademik, norma dan perundangan-undangan yang berlaku.
<br />
<br />Akses dana hibah kompetitif penelitian jika dipandang sebagai "oase pendapatan semata" tanpa memedulikan etika akademik, norma dan perundang-undangan kemungkinan akan berimplikasi terjadinya kecurangan <em>(fraud)</em> dalam proses diawal sampai diakhir. Benturan antara dorongan konsumsi dan dorongan ke-ingintahu-an intelektual peneliti, jika tidak dikelola dengan bijak akan menimbulkan masalah, bagi dirinya maupun institusinya. Besarnya dorongan komsumsi <em>(financial driven)</em> yang melatari akademisi melakukan penelitian merupakan ancaman bagi integritas, kredibilitas dan profesionalitas akademisi.
<br />
<br /><em>Technically Strong Market
<br /></em>Merupakan istilah investasi untuk menyebut sebuah kondisi dimana pasar keuangan mengalami peningkatan volume perdagangan yang tinggi disertai dengan peningkatan harga instrumen keuangan. Jika istilah ini direfleksikan dalam konteks bahasan ini maka kondisi yang <em>technically strong market</em> merupakan kondisi dimana terdapat peningkatan proposal penelitian yang diajukan oleh akademisi dan disertai dengan peningkatan kualitas usulan, baik kualitas substansial maupun kualitas setiap tahapan proses yang dijalankan. Kondisi ini merupakan situasi yang ideal!. Untuk membangun kondisi ideal ini dapat terwujud memang diperlukan langkah-langkah strategis bagi seluruh <em>stakeholder</em> pendidikan tinggi.
<br />
<br /><em>Technically Weak Market
<br /></em>Merupakan istilah investasi untuk menyebut sebuah kondisi dimana pasar keuangan mengalami peningkatan volume perdagangan yang tinggi tetapi disertai dengan penurunan harga instrumen keuangan. Makna ini jika dipinjam dalam konteks bahasan kita adalah sebuah kondisi dimana antusias akademisi untuk mengajukan proposal penelitian tinggi tetapi tidak didukung dengan kualitas yang baik pula, baik substansial maupun non-substansial. Kondisi ini merupakan kondisi yang harus segera mendapatkan porsi kebijakan pembenahan. Karena kalau tidak maka akan memiliki dampak yang signifikan bagi integritas, kredibilitas dan profesionalitas akademisi dan institusi-nya.
<br />
<br /><em>Forgery </em>dan <em>Dinamiter</em> Akademisi
<br />Kedua istilah ini juga merupakan istilah yang terdapat dalam dunia investasi. <em>Forgery</em> atau pemalsuan adalah istilah untuk menyebut investor yang mengubah dokumen atau tanda tangan dengan tujuan memalsukan dan merugikan orang lain. Proposal penelitian yang didorong oleh semata karena dorongan komsumsi <em>(financial driven)</em> akan membuka peluang bagi akademisi untuk melakukan forgery ini. Tindakan itu merupakan sebuah tindakan yang tidak akademis bahkan sudah masuk kualifikasi kriminal. Untuk itu langkah tegas perlu dilakukan bagi otoritas yang berwenang. Otoritas harus proaktif menyikapinya tanpa harus menunggu pengaduan/laporan dari pihak yang dirugikan. Jika otoritas hanya bersifat reaktif, maka nuansa terlambat akan sangat terasa. Apakah tindakan <em>forgery</em> ini riil ada disekitar kita? Andapun pasti tahu jawabannya!.
<br />
<br /><em>Dinamiter</em> adalah sitilah untuk menunjuk pialang yang sengaja menjual instrumen keuangan yang tidak terdaftar di Bapepam-LK. <em>Dinamiter</em> inipun sering dimaknai sebagai P-E-N-I-P-U. Tidakkah masuk kualifikasi penipuan jika seorang akademisi yang melakukan penelitian telah melakukan pemalsuan dokumen dan mengakui secara legal bahwa karya orang lain sebagai karyanya sendiri? Pastilah semua sepakat dia PENIPU. Dalam perspektif normatif, jika tidak ada orang lain yang merasa (baca: tidak tahu telah ditipu!) maka sebenarnya ia adalah PENIPU bagi dirinya sendiri. Jika sifat seperti <em>dinamiter</em> ini telah meracuni akademisi maka hal itu bukan berada dalam tataran etika akademik lagi, tetapi sudah dalam tataran yuridiksi hukum. Apakah tidakan dinamiter ini riil ada disekitar kita? Andapun pasti dengan lantang akan menjawabnya.
<br />
<br /><em>Winfall VS Wipe Out
<br /></em>Tindakan<em> forgery</em> dan <em>dinamiter </em>tadi yang sangat mungkin telah dilakukan oleh sebagian kecil akademisi akan menimbulkan dampak negatif bagi institusi dan diri akademisi itu sendiri. Tetapi dalam tataran praktis ada dua kemungkinan kondisi yang mungkin muncul atas perilaku itu, yaitu <em>winfall </em>dan <em>wipe out</em>. Dua kondisi yang bertolak belakang, dengan kesamaan dalam proses yang tidak memedulikan integritas, kredibilitas dan profesionalitas akademisi serta melalaikan etika akademik, norma dan perundang-undangan yang berlaku.
<br />
<br /><em>Winfall
<br /></em>Jika tindakan <em>forgery</em> dan <em>dinamiter</em> yang telah ia lakukan tidak diketahui, maka akan lahirlah kondisi dimana ia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar secara ekonomi-finansial. Tanpa pengorbanan (tidak banyak mengeluarkan faktor produksi) ia akan memperoleh keuntungan yang besar, tidak terkira dan tidak terduga-duga. Kondisi inilah yang disebut dengan <em>winfall profit</em>. Pemalsuan dan penipun merupakan faktor produksi dominan yang ia pergunakan untuk memperoleh keuntungan itu. Kondisi <em>winfall</em> yang sering ia dapatkan dengan cara <em>forgery</em> dan <em>dinamiter</em>, tentunya akan secara kausalitas akan terus menerus ia lakukan dengan berbagai media yang lain. Untuk itu, otoritas harus bersikap tegas. Bagaimanapun juga jika kondisi ini dibiarkan akan menjadi <em>preseden</em> yang tidak baik!
<br />
<br /><em>Wipe Out
<br /></em>Kondisi ini merupakan kondisi terbalik dari <em>winfall.</em> Jika tindakan <em>forgery</em> dan <em>dinamiter</em> itu ketahuan, maka akan lahir kondisi dimana akademisi yang tuna integritas, kredibilitas dan profesionalitas itu akan terjerambab jatuh dalam sekejab. Habislah semua! Dalam dunia investasi juga ada istilah <em>"Fallen Angel"</em> yaitu harga saham perusahaan yang bonafide dan terkenal langsung anjlok sampai ke dasar jurang!. Habislah semua! Malaikat-pun jatuh!! Batu-bata yang disusun satu demi satu dan ketika sudah akan selesai, bangunannya roboh! Tragis! dan Memilukan!!.
<br />Kita pilih yang mana? Winfall atau Wipe Out? Terserah anda semua memilih…
<br />
<br />Alex Ferguson yang sudah puluhan tahun melatih Manchester United (MU) pernah mengatakan <em>"There is No Bigger Power Than Hope".</em> Mari kita memantik harapan agar kita tidak pernah mengalami Wipe Out dan tidak berperilaku yang tak memedulikan etika akademik, norma dan perundang-undangan dan menyalakan harapan agar kita dapat selalu berada dalam track akademisi yang ber-integritas, punya kredibilitas dan profesionalitas. Semoga!! Sekali lagi <em>"There is No Bigger Than Hope".</em> Entahlah…. Jika masih ada yang berharap….. "Tidak Ketahuan" <em>F-O-R-G-E-R-Y</em> dan <em>D-I-N-A-M-I-T-E-R</em>-nya!! Pilihan selalu menuntut konsekuensi kawan!!! Spekulasi selalu berisiko!!!
<br />
<br />Setelah pensiun, Pak Sanimin membantu istrinya yang berjualan rujak cingur persis di selatan Pom Bensin di daerah Bantur Malang Selatan <em>(sampai saat ini masih ada, jika anda wisata ke Balaikambang, silahkan mampir!!).</em> Ketika aku mengunjunginya, teringat rentetan nasehat yang terlontar dari beliau.
<br />"<em>Kerjo sing ati-ati Su!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Ojo ngrusa-ngrusu!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Sing sregeb lan tekun!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Ojo iri drengki marang liyan!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Ojo seneng nggethung rejekine liyan!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Ojo gumunan!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Ojo sombong lan angkuh marang liyan!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Sing sopan lan andhap asor!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Sing iso menehi tulodho marang murid!"
<br />"Inggih Pak"
<br />"Ojo rokok-an!"
<br />"Ing….. insya allah Pak!"
<br /></em>Mungkin jika Pak Sanimin tahu, beliau pasti menasehati:
<br />"<em>Ojo N-G-E-B-L-A-D karyane liyan!"
<br />"Ing….. insya allah Pak!"
<br /></em>(Ketika tulisan ini kuceritakan pada Lik Mo, komentarnya cuma satu, nylekit sisan, <em><span style="color:#333300;">OJO SOK KOEN CAK!!! URIP IKU AKEH GAK MESTHINE!!</span></em>)
<br />????
<br /><em><span style="font-size:130%;color:#003300;"></span></em>
<br />Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-44932844208673536042008-12-27T15:27:00.000-08:002008-12-27T15:36:37.400-08:00Menyambut Annus Horribilis 2009Joglo Dau merupakan sebuah tempat makan yang nyaman di Malang. Ia tidak hanya menawarkan makanan aneka macam tetapi juga keasrian dan keanggunan bangunan. Libur Natal ini, saya berkesempatan mengunjunginya. Sebuah pemenuhan atas undangan yang disampaikan oleh seorang kolega kantor. Tiga belas kolega kantor yang lain juga berkesempatan menghadiri undangan itu. Obrolan-pun meluncur seperti <em>jet coaster</em>, turun naik, ke kanan ke kiri, ke atas ke bawah, curam landai .... mendebarkan... menyenangkan!<br /><br />Ditengah laju <em>jet coaster</em> obrolan, aku teringat kejadian saat Lik Mo kuajak makan di Joglo Dau ini, beberapa waktu yang lalu.<br />"Cak Su, <em>wong sugih iku pancen nganeh-nganehi tenan</em>!" katanya.<br />"<em>Nganeh-nganehi</em>, bagaimana <em>to</em> Lik?"<br />"Lihat itu! Ternyata orang kaya kalau makan itu tidak hanya butuh <em>wareg</em>!"<br />"<em>Kok iso</em>?!"<br />"<em>Wareg kethoke nomer</em> tujuh belas, mereka butuh pengakuan!"<br />"Pengakuan apa to Lik, <em>sing aneh itu ya sampeyan</em> itu, bukan mereka!"<br />"<em>Mangan itu butuhe kan mung wareg to</em> Cak?!"<br />"<em>Ora</em> Lik… wis beda sekarang!,apa yang dimakan, cara makan, tempat makan dan dengan siapa mereka makan, terkadang bisa menentukan siapa sebenarnya mereka!"<br />"Lha.. itu anehnya!"<br />"<em>Ora aneh</em> Lik!"<br />"<em>Sampeyan itu mbingungi</em> Cak, <em>jan mbingungi</em>!! <em>Sak jane atine sampeyan iku setuju dengan pendapatku, tapi sampeyan isin</em>!, malu!!. <em>Mosok</em> dosen <em>kok nyetujoni pendapat wong goblok!!, atine sampeyan wis keno</em> santet sombong Cak!!"<br />"Wis Lik, <em>gak usah ngajak geger</em>!"<br />"<em>Ojo dumeh Cak Su, ojo dumeh!!!, urip iku akeh gak mestine timbang mestine!!!"<br /></em>????<br /><br />Ketidakpastian itu mahal. Tahun 2009 merupakan tahun yang penuh ketidakpastian. Imbas krisis yang semakin mengganas serta skedul politik berupa pemilu legislatif dan pemilu presiden semakin memperlebar ketakpastian itu. Kondisi ketidakpastian itu harus dihadapi dengan modal yang saat ini kita punya. Dalam bidang ekonomi, kondisi ekonomi 2008 merupakan <em>base line</em> untuk menyongsong tahun 2009 dengan segala macam tantangan dan peluang yang menyertainya. <em>Annus Horribilis</em>, tahun yang menyeramkan!!.<br /><br />Kemanakah kita menempatkan diri kita? Dalam "gelas" optimis atau "kubangan" pesimis. Salah seorang investor ternama AS pernah mengatakan bahwa optimisme itu selalu dibutuhkan untuk menciptakan peluang. Katanya "<em>Opportunity is optimism with a plan creatively applied to the future"</em>. Sehingga untuk menyambut tahun yang penuh dengan ketidakpastian ini dibutuhkan optimisme dengan rencana kreatif untuk mengatasinya. Tidak hanya sekedar optimis tetapi juga harus kreatif menyusun rencana dan harus pula kreatif meng-implementasi-kan rencana. Disinilah peluang itu akan lahir.<br /><br />Tahun 2009, setidaknya kondisi ekonomi kita akan menghadapi 3 tantangan yang berasal dari imbas krisis keuangan global, yaitu Pertama, penurunan investasi langsung/FDI <em>(foreign direct investment)</em>. Penurunan FDI ini disebabkan oleh kelangkaan likuiditas di pasar keuangan dunia, infrastuktur investasi kita yang belum maksimal mendukung, perlambatan ekonomi dunia dan ekspektasi investor yang (masih) negatif. Hal ini diperparah pula dengan agenda politik, pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kedua, permintaan eksternal yang menurun. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia menyebabkan kuantitas barang/jasa yang bisa diserap oleh pasar dunia juga mengalami penurunan. Sehingga volume ekspor kita juga mengalami penurunan. Disisi lain, disamping volume ekspor yang menurun, nilai ekspor juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi penurunan harga-harga komoditas ekspor. Penurunan yang disebabkan oleh adanya <em>excess supply</em> di pasar internasional atas barang/jasa yang ditawarkan. Ketiga, penurunan daya beli <em>(purchasing power)</em> masyarakat. Daya beli yang menurun ini, bukan semata disebabkan oleh inflasi (karena inlasi sudah relatif menurun) tetapi lebih disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat. Bagaimana pendapatan tidak turun, jika ekonomi berjalan lambat dan besar kemungkinan akan ada PHK massal yang bakal terjadi. Beragam tantangan yang kompleks!.<br /><br /><em>Struktur APBN 2009</em><br />Wacana pemerintah dan DPR untuk segera merubah asumsi makro ekonomi dalam APBN 2009, perlu untuk segera dilakukan. Perubahan asumsi yang lebih realistis akan memberikan dampak terhadap kepercayaan dan keyakinan pelaku-pelaku ekonomi. Kepercayaaan dan keyakinan itu bisa dibentuk dengan persepsi, dan sebuah persepsi dalam bidang investasi bersifat <em>"more powerfull than reality".</em><br /><br />Jika menenggok struktur APBN 2009, besaran defisit APBN adalah sebesar 1% dari PDB (Produk Domestik Bruto) atau senilai Rp. 51 triliun. Kebijakan memperlebar atau mempersempit defisit akan mempengaruhi aktivitas ekonomi keseluruhan. Secara teori dikatakan bahwa dalam kondisi dimana kinerja pertumbuhan ekonomi menurun/melambat maka kebijakan defisit anggaran yang besar merupakan insentif yang baik. Tampaknya kebijakan untuk memperlebar defisit ini akan akan dilakukan oleh pemerintah dengan syarat, defisit yang besar itu dapat mengenjot pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan tarah hidup masyarakat serta tidak meningkatkan pengeluaran konsumtif masyarakat. (Kontan, 26/12).<br /><br />Bagaimana defisit 1% (dari PDB) itu bisa terjadi? Dalam APBN 2009 disebutkan bahwa total belanja negara adalah sebesar Rp. 1.037 triliun. Sedangkan pendapatan negara "hanya" sebesar Rp. 985.72 trilun, dan dari jumlah ini yang dikontribusikan oleh penerimaan pajak sebesar Rp. 725.84 triliun atau sebesar 73.63%. Pajak masih merupakan primadona pos penerimaan negara. Target sebesar itu, tentunya, akan dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dengan mempertimbangkan kepentingan aktivitas investasi dan ekonomi secara umum.<br /><br />Selanjutnya, bagaimana defisit ini bisa di-tambal? Sebenarnya terdapat 2 hal yang bisa dilakukan untuk menutup defisit APBN, yaitu: penghematan belanja APBN dan mencukupi belanja APBN dengan hutang. Jika alternatif pertama yang dipilih akan menimbulkan dampak yang kontra-produktif bagi aktivitas ekonomi. Ditengah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan maka sulit ditemukan stimulus ekonomi baru selain defisit APBN. Sehingga penghematan APBN merupakan pilihan yang tidak cocok dengan situasi saat ini. Maka kebijakan memperbesar belanja dengan hutang adalah solusi yang mampu memberikan stimulus ekonomi dalam kondisi saat ini.<br /><br />Meskipun demikian, pengawasan atas penggunaan anggaran agar tepat sasaran perlu dilakukan. Hal ini untuk mendorong tercapainya kebijakan defisit sebagai salah satu stimulus aktivitas ekonomi. Pemerintah saat ini tengah menjajaki utang sebesar US $ 6 miliar (setara dengan Rp. 72 triliun dengan kurs Rp. 12.000/US $) dari ADB (<em>Asian Development Bank</em>, Jepang, Perancis dan Australia). Disamping telah tercapai komitmen dengan Bank Dunia dalam bentuk utang yang bersifat stanbyloan. Itulah harga yang harus dibayarkan untuk stimulus pertumbuhan ekonomi kita saat ini.<br /><br /><em>Inflasi, Kurs Rupiah dan BI Rate<br /></em>Inflasi dan kurs rupiah terhadap mata uang asing keberadaannya ditentukan oleh mekanisme pasar. Artinya bahwa interaksi pasar dalam koridor "Hukum Permintaan dan Penawaran" terhadap barang dan jasa akan menentukan tingkat inflasi, dan interaksi pasar dalam koridor "Hukum Permintaan dan Penawaran" terhadap uang rupiah dan valas akan menentukan tingkat kurs rupiah terhadap valas. Interaksi ini bisa diredam dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara konvergen.<br /><br />Sedangkan BI Rate, nilainya bersifat <em>given</em> dari sebuah kebijakan bank sentral sebagai hasil keputusan RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI. Nilai yang given ini ditentukan setelah melihat kondisi dan kebutuhan ekonomi saat itu. Bi Rate sebagai salah satu kebijakan moneter dapat mempengaruhi besaran nilai inflasi dan kurs rupiah terhadap valas.<br /><br />Bagaimana kondisi inflasi, kurs rupiah dan BI Rate saat ini? Mampukan sebagai modal yang bermakna positif dalam menyambut sengkarut ekonomi tahun 2009?<br />Inflasi telah mengalami penurunan yang relatif signifikan. Penurunan ini merupakan signal yang baik bagi perekonomian. Dengan adanya penurunan inflasi maka masyarakat dengan penghasilan tetap atau investor yang menanamkan dana pada instrumen berpendapatan tetap nilai uang atau daya beli uang <em>(purchasing power)-</em>nya tidak mengalami penurunan. Penurunan inflasi kali ini lebih disebabkan oleh pengaruh perlambatan ekonomi dan turunnya beberapa harga komoditas (misal: minyak!). Meskipun besaran inflasi melebihi level 1 digit (10%) pada tahun 2008, diperkirakan angka itu akan menurun dan berada dalam rentang 1 digit (dibawah 10%) pada tahun 2009. Kondisi ini adalah modal yang baik.<br /><br />Kurs Rupiah tetap berfluktuasi tetapi secara moderat pergerakannya berada pada kisaran Rp. 11.000/US $. Stabililisasi kurs rupiah relatif lebih diperlukan daripada sekesar apresiasi. Dalam tataran teknis, stabilisasi kurs rupiah menyebabkan mudahnya membuat perencanaan dan proyeksi bagi para pelaku ekonomi. Dan dalam tataran substansi stabilisasi akan mempersempit ruang gerak spekulasi, insentif bagi aktivitas ekspor karena produk kita relatif "murah" dengan kondisi kurs mata uang yang lemah dan secara tidak langsung akan membatasi komsumsi terhadap barang-barang impor. Penekanan pada aspek stabilisasi merupakan sebuah keniscayaan.<br /><br />Dengan paparan sederhana diatas, tampaknya tahun 2009 tidaklah sepenuhnya gelap. Tergantung bagaimana menyalakan cahaya, karena sumber cahaya tidaklah tiada. Tetapi ada pada diri kita. Dan tentunya, memilih cahaya yang tidak mengerahkan dan membakar merupakan kebijakan bijak yang harus dilakukan. Tidak sekedar cahaya yang spekulatif dan berisiko. Jika cahaya tidak menyala, maka teriaklah "T-O-L-O-N-G.... T-O-L-O-N-G !!! Itulah prinsip dasar dari sebuah penyelamatan diri. Akankah kita meminta "ditolong" IMF lagi? Ataukah kita mampu menolong diri kita sendiri. Nyalakan cahaya!!<br /><br />Setelah kejadian "gegeran" antara aku dan Lik Mo di Joglo Dau beberapa waktu yang lalu. Lik Mo kembali menelepon.<br />"Assalamu’alaikum Cak Su!"<br />"Waalaikum salam Lik, ada apa Lik?!"<br />"Cak Su!, tahun 2009 <em>mesti ajur</em>!"<br />"Lho...<em>piye to sampeyan</em> ini Lik. Katanya <em>urip iku akeh gas mestine timbang mestine</em>?!"<br />"<em>Nesu... Purik yo</em>?! Gimana dosen <em>kok purik-an!!"</em><br />"<em>Ancen!!".</em><br />"Tahun 2009 iku Cak, gawat!! Krisis dan pemilu sisan!"<br />"Terus?!"<br />"Menurut sampeyan Cak, pemimpin yang cocok untuk tahun 2009 itu yang <em>Laku Hambeging Candra</em> atau <em>Laku Hambeging Dahana</em>?"<br />"<em>Opo iku</em> Lik?"<br />"Kalau <em>Laku Hambeging Candra</em> itu maksudnya pemimpin itu harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan, bersinar terang benderang namun tidak panas!"<br />"Kalau <em>Laku Hambeging Dahana</em>, iku piye?"<br />"<em>Laku Hambeging Dahana</em> itu maknanya pemimpin itu harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun pertimbanganya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak membawa kerusakan di bumi!"<br />"Lha... <em>lapo sampeyan ngurus</em> pemimpin Lik! Katanya G-O-L-P-U-T!!"<br />"<em>Nesu...! Purik ...!! Nesu...!! Ora njamani Cak, ono dosen kok purik-an, nesu-an!!, urip iku sing Amemangun Karyenak Tyasing Sesama".<br /></em>"<em>Opo maneh iku</em>?!"<br />"Membuat orang lain senang lewat tutur kata, senyum manis, salam hormat, sopan santun, andhap asor dan entengan!!"<br />"<em>Gayamu</em> Lik... <em>mbagusi!!"</em><br />???<br /><span style="font-size:78%;"><em>(Catatan: arti Laku Hambeging Candra, Laku Hambeging Dahana dan Amemangun Karyenak Tyasing Sesama diambil dalam Javanese Encyclopedia di www.putripandanwangi.blogpot.com).</em></span>Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-54980945770004359262008-12-24T23:23:00.000-08:002008-12-24T23:36:51.659-08:00Opportunity Cost: Otoritarian Investasi<em><span style="color:#663300;">Sebuah Paradigma terhadap Berbagai Fenomena</span></em>
<br />
<br />Akhirnya sampai juga waktu mengantar Rabu sampai disini. Hari yang sebenarnya kunanti. Ketika itu, hari masih pagi. Disaat menyiapkan bekal sekolah untuk Alam, Lik Mo menelepon.
<br />
<br />"Cak Su, <em>nasipe wong tuwo, ati karep tenogo cupet!"</em>
<br />"Ada apa Lik? <em>Isuk-isu kok</em> sudah <em>ngresulo</em>?"
<br />"Itu tadi malam…"
<br />"Tadi malam?!, Apa hubungannya dengan <em>ati karep tenogo cupet?!"</em>
<br />"<em>Anu</em>… aku diajak <em>marung</em> sama Kaji Nur"
<br />"<em>Njur?!"</em>
<br />"Aku disuruh makan sepuasnya, terserah mau makan apa. Pokoknya <em>diajangi ombo tenanan</em>!"
<br />"Terus?!""Sebenarnya aku <em>pingin</em> gule, tapi <em>kok</em> penasaran dengan makanan yang namanya tongseng. Kan aku belum pernah makan si tongseng itu!"
<br />"<em>Uenak to</em> Lik?!"
<br />"<em>Iyo, nyamleng…jan lekoh tenan</em>!, tapi?"
<br />"Tapi <em>opo</em> Lik?!"
<br />"<em>Lha</em> gulenya, perutku <em>wis ora nutut</em>, jadi <em>ora sido mangan</em> gule!"
<br />Sebenarnya aku ingin mengatakan kepada Lik Mo, itulah <em>opportunity cost</em> yang harus ia tanggung karena memilih tongseng. Tapi apa ya mungkin Lik Mo bisa paham.
<br />"<em>Banjur?!"</em>
<br />"Kalau Cak Su pulang kampung, aku <em>mbok</em> diajak ke warung. Aku <em>pingin</em> gule..!!"
<br />???
<br />
<br />Dalam ilmu investasi uang merupakan entitas yang sangat dinamis. Uang tidak pernah diam, ia selalu mengalir. Tetapi uang bukanlah air, pola alirannya berbeda jauh. Air mengalir ke tempat yang lebih rendah menuju pangkalan terakhirnya, laut. Sedangkan uang selalu mengalir ke tempat yang lebih tinggi (baca: keuntungan tertinggi) menuju pangkalan terakhirnya yaitu kekayaan/kapitalisasi. Itulah nasib uang dalam era ekonomi yang <em>kremanistik</em> ini. Uang menjadi komoditas bukan lagi sekadar sebagai alat tukar. Ia telah <em>bereinkarnasi</em> dalam bentuk-bentuk baru sejalan dengan rekayasa keuangan<em> (financial engineering)</em> yang melahirkannya.
<br />
<br />Sifat uang yang dinamis ini didorong oleh nilai riil uang yang tidak hampa dari pengaruh ekonomi. Nilai rill uang dapat diukur dari daya beli uang terhadap barang dan jasa yang ditawarkan dalam sebuah pasar. Jika lima tahun yang lalu, empat lembar seribuan bisa ditukar dengan satu bungkus <em>Sampoerna Mild</em> namun sekarang untuk mendapatkannya dibutuhkan sembilan lembar seribuan plus satu buah lima ratusan. Artinya sepanjang lima tahun nilai riil uang sudah turun sebesar 57.8% atau 11.57% per tahun. Potensi penurunan nilai riil uang inilah yang mendorong uang selalu mengalir keatas. Karena pemilik uang yang rasional tidak akan rela nilai riil uangnya diambil secara paksa (baca: dirampok) oleh kenaikan barang dan jasa yang ditawarkan.
<br />
<br />Ilustrasi diatas, dalam ilmu investasi dapat dijelaskan dengan 3 perspektif, yaitu dengan sudut pandang inflasi, nilai waktu uang <em>(time value of money)</em> dan <em>opportunity cost</em>. Inflasi adalah peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu. (Pass, 1994). Adanya peningkatan harga inilah yang menyebabkan nilai riil uang mengalami penurunan. Inflasi menyebabkan kondisi dimana diperlukan jumlah nominal uang yang lebih besar untuk mendapatkan barang dan jasa dengan kuantitas serta kualitas yang sama. Inflasi ini juga menimbulkan dampak ikutan ekonomi yang signifikan seperti penurunan daya beli, perubahan struktur pinjam-meminjam (kredit), spekulasi dan persaingan perdagangan internasional.
<br />
<br />Nilai waktu uang <em>(time value of money).</em> Konsep ini dapat dijelaskan dalam sebuah analog seperi berikut ini: Jika anda dihadapkan pada 2 alternatif pilihan, diberi uang Rp. 100 juta sekarang atau Rp. 100 juta satu tahun yang akan datang. Alternatif mana yang akan anda pilih? Tentunya anda akan memilih Rp. 100 juta sekarang!. Mengapa? Karena nilai itu lebih "berharga" saat ini daripada nanti satu tahun mendatang. Uang yang anda terima Rp. 100 juta sekarang, dimungkinkan nilainya lebih besar dari tahun yang akan datang (misalnya jika anda taruh di bank, maka akan mendapatkan bunga dan akan menambah nilai uang itu). Artinya uang saat ini memiliki nilai yang relatif lebih besar daripada nominal yang sama dalam waktu yang akan datang. Pertanyaan selanjutnya adalah anda memilih alternatif mana antara menerima uang Rp. 100 juta saat ini atau Rp. 120 juta setahun yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan ini akan perlu mempertimbangkan tingkat bunga atau benchmark investasi yang lain. Jika tingkat bunga yang kita pakai sebagai dasar pertimbangan, secara sederhana jika bunga pasar sebesar 20% per tahun maka nilai Rp. 100 juta sekarang dan Rp. 120 juta satu tahun yang akan datang adalah sama. Itulah <em>time value of money</em>!.
<br />
<br />Sedangkan <em>opportunity cost</em> adalah keuntungan maksimum yang dapat diberikan oleh sebuah rencana alternatif. (Shook, 2002). Sedangkan menurut Pass (1994) <em>opportunity cost</em> atau <em>economic cost</em> adalah suatu ukuran dari biaya ekonomi dengan digunakannya sumber-sumber daya langka untuk memproduksi suatu barang atau jasa tertentu dalam kaitannya dengan alternatif lain yang harus dikorbankan. Dalam konsep investasi, misalnya kita saat ini kita memiliki uang Rp. 1 miliar dan uang itu kita biarkan berserakan di rumah. Apa yang terjadi dengan nilai uang itu? Nilai riil-nya turun dirampok oleh inflasi, hilang kesempatan kita untuk memperoleh pendapatan berupa bunga seandainya kita tempatkan uang kita di bank dalam bentuk simpanan, hilang kesempatan kita untuk memperoleh keuntungan seandainya kita gunakan untuk usaha supermarket atau usaha lainnya, hilang kesempatan kita untuk memperoleh capital gain, dividen, kupon <em>(yield)</em> seandainya uang itu kita belikan saham, obligasi, SUN dan sebagainya. Semua kesempatan yang hilang karena kita memilih alternatif untuk menaruh uang kita di rumah itulah yang dinamakan dengan <em>opportunity cost</em>. Dan konsep inilah yang mendorong terbentuk struktur ekonomi yang <em>kremanistik</em> dan dinamisnya uang.
<br />
<br /><em>Opportunity Cost Tiran Investasi</em>
<br />Beberapa fenomena pasar keuangan yang terjadi di penghujung tahun 2008 ini, dapat dijelaskan dengan tiran yang disebut "junta" <em>opportunity cost</em> itu.
<br />
<br /><em>Kenaikan DPK Perbankan</em>
<br />Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, sepanjang bulan November saja, nilai simpanan di perbankan naik sebesar Rp. 32.9 triliun menjadi Rp. 1.715,80 triliun. (Kontan, 22/12). Jika kita cermati data distribusi simpanan di bank umum, peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) ini terjadi disemua katagori nilai simpanan, lebih kecil 100 juta, antara 100 sampai 200 juta, antara 200 juta sampai 1 miliar, antara 1 sampai 2 miliar, antara 2 miliar sampai 5 miliar dan 5 miliar keatas. Kenaikan yang signifikan. Ada apa ini?
<br />
<br />Kecenderungan ini didorong oleh beberapa sebab, antara lain tingkat bunga yang menarik (meskipun <em>BI Rate</em> telah turun menjadi 9.25%, tetapi bunga simpanan masih relatif tidak beranjak turun), kebijakan <em>blanket quarantee</em> sebesar Rp. 2 miliar, kinerja pasar modal yang belum pulih dan peluang ekonomis sekor riil yang masih tidak pasti akibat krisis keuangan global. Beberapa faktor ini yang mendorong pemilik dana men-<em>switch</em> dananya dan dimasukkan dalam industri perbankan. Relatif lebih optimal tingkat return-nya sebanding dengan risiko yang ditanggungnya <em>(high return high risk, low return low risk).</em> Tetapi jika diringkas, fenomena ini adalah akibat dari "rezim" <em>opportunity cost</em>. Mengapa? Karena pemilik dana berusaha maksimal untuk menurunkan opportunity cost-nya. Ia memilih alternatif investasi yang memungkinkan ia mendapatkan keuntungan optimal relatif terhadap risiko.
<br />
<br />Dalam perspektif lain, menarik juga kalau kita simak "kesenjangan" mencolok dari distribusi simpanan ini. Nilai DPK sebesar Rp. 324,60 triliun diserahkan oleh 80.453.230 rekening dengan nilai antara 0 sampai Rp. 100 juta. Sedangkan jumlah DPK sebesar Rp. 650,61 triliun disumbang oleh 28.192 rekening dengan nilai simpanan 5 miliar keatas. Hampir 38% (atau 37.91%) DPK disumbang oleh 28.192 rekening sedangkan 80.453.230 rekening "hanya" menyumbang DPK sebesar 18.91%. Sebuah kondisi yang distorsif!.
<br />
<br /><em>Uang Pemda Tidur di SBI
<br /></em>Data BI menyebutkan bahwa saat ini uang Pemda (Pemerintah Daerah) yang tersimpan di BPD (Bank Pembangunan Daerah) telah diinvestasikan di SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp. 37.88 triliun. Nilai ini merupakan peningkatan yang signifikan dari posisi awal di bulan Oktober yang "masih" sebesar Rp. 9.74 triliun. (Kontan, 24/12). Menurut teori investasi keputusan ini dapat dibenarkan. Mengapa? Karena <em>return</em> yang diperoleh signifikan, yaitu 10.98% untuk SBI satu bulan dan didukung pula sifat SBI yang fleksibel dalam artian sewaktu-waktu bisa dicairkan. Alasan ini merupakan pemenuhan dari "tiran" <em>opportunity cost"</em> juga. Rasional!.
<br />
<br />Tetapi jika ditelisik lebih dalam, tidurnya uang Pemda di SBI memiliki implikasi negatif bagi perekonomian. Mengapa? Karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat untuk mempercepat penggunaan anggaran sebagai salah satu media untuk menggerakkan ekonomi yang sedang tidak bergairah karena krisis, membuka akses pekerjaan sehingga mampu mempertahankan tingkat daya beli masyarakat dan mengurangi kekeringan likuiditas<em> (lack of liquidity).</em> Besarnya dana Pemda yang parkir di SBI ini juga indikator bahwa Pemda tidak menggunakan kemampuan-nya (baca: tidak memiliki kemampuan) untuk melakukan penyerapan anggaran secara maksimal. Dan lagi, bagaimana mungkin uang negara harus pula dibayar bunganya oleh negara. Jeruk minum jeruk kan?
<br />
<br /><em>Kasus Investasi Bank Century
<br /></em>Instrumen "Antaboga Delta Sekuritas (ADS)" telah memakan banyak korban. Instrumen keuangan yang tidak tercatat di Bapepam-LK ini dijual oleh Bank Century (indikasi saat ini!: hanya menjual bukan penerbit) kepada nasabah-nya. (Kontan, 22/12). Masalahnya adalah saat "nasabah" (sebenarnya tidak tepat jika disebut nasabah, mereka telah berposisi sebagai investor) akan mengkonversi instrumen keuangan-nya menjadi uang tunai/kas, dana itu tidak bisa ditarik. Kondisi inilah yang memperparah kondisi Bank Century setalah diambil alih oleh LPS. Meskipun manajemen Bank Century merasa tidak harus yang bertanggung jawab, dengan dalih dia bukan penerbitnya.
<br />
<br />Apa yang dilakukan oleh "nasabah" investor Bank Century itu adalah karena paksaan <em>opportunity cost</em>. Mereka berkeinginan agar nilai riil uangnya tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan potensi return yang tinggi. Kalaupun dana atau initial investment itu tidak kembali itulah risiko. Mereka semestinya sudah harus memahami perbedaan pokok karakteristik nasabah dan karakteristik sebagai investor. Risiko nasabah dan investor jelas berbeda. (Susidarto, 2008). Meladeni pemerkosaan <em>opportunity cost</em> adalah kewajaran dalam struktur ekonomi yang <em>kremanistik</em>, tetapi risiko juga harus menjadi pertimbangan pula dalam menentukan kebijakan investasi yang akan dilakukannya.
<br />
<br /><em>Misteri Produk Terstruktur Perbankan</em>
<br /><em>Opportunity cost</em> itu berkarakter seperti udara, ia memenuhi seluruh ruangan. Ruang analisis pemodal dipenuhi oleh konsep opportunity cost termasuk didalamnya adalah kemungkinan adanya kesempatan yang hilang karena adanya fluktuasi kurs <em>(exchange rate risk),</em> depresiasi maupun apresiasi. Hal inilah yang mendukung lahirnya Produk Terstruktur Perbankan, yaitu produk perbankan yang memberikan penawaran return yang tinggi atas penempatan dana individu atau korporasi dalam bentuk valuta asing tanpa keharusan adanya <em>underlying trasaction. </em>
<br /><em>
<br /></em>Mekanisme produk terstruktur dapat diilustrasikan sebagai berikut: nasabah melakukan kontrak dengan bank selama 1 tahun untuk menyetorkan valas sebesar US$ 100 per bulan dengan kurs Rp. 9.500. Kontrak ini memberikan 2 kemungkinan hasil, jika rupiaha mengalami apresiasi terhadap US dolar maka nasabah akan diuntungkan karena bank akan tetap membeli US dolar kita dengan harga Rp. 9.500 tetapi sebaliknya jika rupiah mengalami depresiasi terhadap US $ maka nasabah akan mengalami kerugian, nasabah harus tetapi menyetor US$ 100 berapapun kurs dolar yang ada di pasar. Itulah risikonya!. Dalam perspektif lain produk terstruktur ini bisa memberikan dampak terhadap stabilitas rupiah, sehingga BI melarang bank mengeluarkan ataupun menjadi agen penjual produk terstruktur. (Kontan, 24/12). Uang benar-benar tidak pernah bisa tertidur!
<br /></em>
<br />Dalam pasar keuangan, kinerja sebuah pasar keuangan ditentukan oleh ekspektasi investor terhadap masa depan yang tidak pasti. Jika ekspektasi investor positif maka akan diikuti kesediaan untuk membeli instrumen. Adanya dorongan beli seperti ini maka akan mendorong adanya kenaikan harga instrumen. Namun sebaliknya jika ekspektasi investor negatif maka akan diikuti dengan keiklasan untuk menjual instrumen. Adanya tekanan jual akan menyebabkan harga instrumen-pun jatuh. Depresiasi dan apresiasi mata uang terhadap mata uang asing lainnya dapat pula dijelaskan dengan alur pikir seperti itu.
<br />Dan yang pasti ekspektasi investor adalah <em>adi bungsu sedhulur ari-ari</em> dari <em>opportunity cost</em>. Begitu merajalela!.
<br />
<br />Ditengah semaraknya keluargaku yang lengkap kembali, setelah ibu-nya Alam pulang selama 14 hari mendatang. Lik Mo, tanpa ampun, kembali menelepon.
<br />"Cak Su, <em>wong </em>tani seperti saya ini gak perlu tabungan uang!"
<br />"Maksud <em>sampeyan iku opo</em> Lik?!"
<br />"<em>Wong tani ora perlu duwit</em>!"
<br />"<em>Lho…Kok</em> enak, <em>pripun to</em> Lik?!"
<br />"<em>Tabungane</em> petani itu cukup nabung sabar!"
<br />"<em>Artine</em> Lik?!"
<br />"Uangnya orang tani itu sekarang <em>gak diajeni</em> oleh pabrik!"
<br />"<em>Maksute?"</em>
<br />"Uangnya orang tani, tidak ada harganya dibandingkan dengan barang-barang yang dihasilkan pabrik! Mahal! Kampus mungkin suatu saat juga begitu. Mahal!! <em>Nangging barang soko petani jan puol murahe!,"
<br /></em>"<em>Lha</em> tahu begitu… <em>kok malah</em> nabung sabar <em>to</em>?!"
<br />"Yen tabungan sabar sudah habis, <em>embuh… ora weruh</em>!!!"
<br />"Sabar to Lik?! Sabar…."
<br />"Sabarku masih cukup sampai pemilu kok?!"
<br />"<em>Njur?!"
<br /></em>"G-O-L-P-U-T!!!"
<br />????
<br /><em>(terbayang wajah bapak dan emak, yang semakin tampak lelah memikirkan nasib ladang yang hanya se-petak)</em>
<br />Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-37184975674261661602008-12-21T14:59:00.000-08:002008-12-21T15:10:03.538-08:00Peta dan Masalah Utang IndonesiaSiang yang cerah. Setelah gagal mendapatkan 2 buku yang ingin kubeli di Wilis, aku pulang dan menyaksikan suguhan tinju di Global TV antara <em>Roberto Cocco </em>dengan <em>Mads Larsen</em>. Sebuah partai tambahan dalam <em>big match </em>antara <em>Valuev vs Hollyfield</em>. Saat <em>Larsen</em> mendaratkan <em>upper cut-nya</em> ke dagu <em>Cocco</em>, HP-ku berdering…<br /><br />“Assalamu’alaikum… ini Kirun Cak!” tetangga kampung yang merantau di Jabar sebagai buruh pabrik.<br />“Waalaikum salam… Cak Kirun?!. <em>Njanur gunung </em>ada apa Cak?”<br />“Mau tanya, utang itu apa mesti ada jaminannya <em>to</em>?”<br />“<em>Lho…, kok </em>pertanyaannya <em>njanur gunung sisan</em>?!”<br />“<em>Opo ora oleh to</em>?!”<br />“<em>Miturut</em> hukum Cak, mesti ada. Entah itu jaminan khusus atau jaminan umum”.<br />“Kalau jaminan khusus?”<br />“Jaminan khusus itu harus ada harta yang khusus atau spesifik yang diserahkan, bisa fisiknya atau bukti kepemilikannya, kepada kreditur”.<br />“Kalau jaminan umum?”<br />“Jaminan umum itu, pada dasarnya adalah semua harta yang saat ini kita punyai atau harta yang akan kita miliki semuanya sebagai jaminan atas utang yang kita buat!”<br />“Kalau utang <em>negarane peno iku, jaminane opo</em>?!”<br />“Jaminane yo…. Masa depan <em>rakyate</em> Cak!”<br />“<em>Kok iso ngono</em>?!”<br />“<em>Wis </em>Cak! <em>Tinjune rame, Cocco </em>KO… nanti dilanjut!!”<br />“Cak Su… Cak… Hallo…”<br />????<br /><br />Pergerakan ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global. Krisis tersebut telah membuat pasar keuangan kita mengalami volatilitas harga, volume dan nilai transaksi, demikian pula sektor riil lambat laun mulai digerogoti ketahanannya secara nyata. Berbagai langkah sudah diambil. Pemerintah, otoritas moneter dan pelaku bisnis telah mengantisipasi dampak buruknya. Proses antisipasi ini menimbulkan banyak dampak, baik dampak yang disengaja maupun dampak yang tidak diinginkan. Salah satu dampaknya adalah penyesuaian portofolio utang negara kita. <br /><br />Meskipun saat ini tingkat inflasi mengalami penurunan, yang disebabkan oleh melambatnya perekonomian domestik akibat krisis dan penurunan harga komoditas internasional. Tetapi indikator makro lainnya menunjukkan gelagat kinerja yang memburuk. Pertumbuhan ekonomi telah mengalami perlambatan dan akan semakin signifikan pada tahun 2009, harga saham (IHSG) menurun dan depresiasi nilai tukar rupiah. (Tinjauan Kebijakan Moneter BI, Desember 2008).<br /><br />Sebagai salah satu anggota portofoliio utang, data BI menyebutkan bahwa secara rata-rata, saat ini <em>yield</em> Surat Utang Negara (SUN) seluruh tenor rata-rata sebesar 15.17%. Artinya bahwa <em>yield</em> SUN mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Penurunan <em>yield</em> SUN merupakan berita baik bagi pemerintah, karena berarti <em>cost of fund </em>yang harus dibayarkan oleh pemerintah juga semakin rendah. Meskipun <em>yield</em> SUN turun, tetapi penurunan ini masih dalam batas wajar karena masih memberikan insentif kepada investor untuk tetap menanamkan dana di SUN dengan tingkat yield yang masih lebih tinggi dari <em>earning yield </em>saham, deposito dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).<br /><br /><em>Kinerja Pengelolaan Utang</em><br />Rasio utang, baik dalam bentuk Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan SUN, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan yang signifikan, yaitu dari 88% pada tahun 2000 menjadi 34.5% pada tahun 2008 (data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara). Sehingga selama 8 tahun, mengalami penurunan sebesar 53.5% atau 6.68% per tahun. Namun, rasio utang terhadap PDB yang menurun tidak serta merta diikuti oleh besaran absolut utang yang masih kita tanggung. Jika kita amati data dari Dirjen Pengelolaan Utang Negara, secara absolut, baik PLN maupun SUN nilai utang kita mengalami peningkatan. Tahun 2000, PLN kita sebesar Rp. 512 triliun dan SUN kita sebesar Rp. 652 triliun. Pada tahun 2008 (posisi 31 Oktober), PLN kita sebesar Rp. 683 triliyun dan SUN kita sebesar Rp. 923 triliyun. Sehingga total utang kita adalah sebesar Rp. 1.606 triliun.<br /><br />Apa yang menarik dari <em>parodoksal</em> ini? Yaitu kontribusi depresiasi rupiah terhadap US$ signifikan terhadap membengkaknya nilai utang kita. Jika kita lihat data stok utang PLN dalam US$ sebenanrnya perkembangan utang relatif stabil dengan nilai rata-rata sebesar US$. 63.689.250.000. (bandingkan posisi stok utang PLN tahun 2008 yang sebesar US$. 62.103.000.000). Selain faktor depresiasi, <em>paradoksal</em> ini juga dikontribusikan oleh kenaikan PDB dan perkembangan portofolio utang dalam bentuk SUN yang ekspansif. Sehingga kinerja pengelolaan utang jika disimplifikasi tidak akan berarti banyak jika tidak ditunjang pula dengan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap valas. Otoritas moneter diperlukan untuk membantu menciptakan stabilitas ini. <br /><br />Kondisi sebenarnya sudah diantisipasi dengan penerbitan SUN yang sebagian digunakan untuk revisi portofolio utang dalam arti menurunkan utang dalam bentuk PLN dengan harapan agar nilai utang tidak berfluktuasi seiring dengan fluktuasi nilai rupiah terhadap valas. Dan penerbitan SUN yang dilakukan dalam bentuk denominasi rupiah. Data menunjukkan bahwa 90% SUN diterbitkan dengan denominasi rupiah. (Dirjen Pengelolaan Utang Negara, Oktober 2008). Penerbitan SUN jenis ini tidak akan terpengaruh (baca: secara langsung) dengan risiko fluktuasi kurs <em>(exchange rate risk).</em><br /><br /><em>Portofolio Utang Kita</em><br />Pada tahun 2008, proporsi utang dalam bentuk PLN sebesar 42.53% dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 57.47%. Perubahan komposisi portofolio dapat kita lihat jika kita perbandingankan dengan data komposisi tahun 2000, dimana utang dalam bentuk PLN sebesar 43.98% dan SBN sebesar 56.02%. Sehingga sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2008 utang dalam bentuk PLN telah mengalami penurunan sebesar 1.45% dan utang dalam bentuk SBN mengalami kenaikan sebesar 1.45% pula. Revisi portofolio utang yang tampak tidak signifikan!.<br /><br />Menurut denominasi total utang (PLN dan SBN) yang kita miliki, komposisinya adalah sebagai berikut: utang dalam bentuk rupiah sebesar 49.8%, yen Jepang sebesar 19.9%, dolar AS sebesar 19.9%, euro sebesar 6% dan lainnya 4.5%. Dengan data ini kita melihat bahwa 50.2% stuktur utang kita masih didenominasi valas. Struktur ini memiliki kerentanan terhadap risiko kurs <em>(exchange rate risk)</em> yang besar. Depresiasi rupiah terhadap valas khususnya yen dan dollar AS akan berimplikasi terhadap kenaikan nilai utang. <br /><br />Proporsi PLN berdasarkan kreditur adalah Jepang 44.3%, Asian Development Bank (ADB) 16%, Bank Dunia 12.7%, Jerman 5.1%, AS 4.1% dan lainnya 15.5%. Data ini menunjukkan bahwa Jepang merupakan kreditur utama yang kita miliki. Hampir separuh dari PLN kita diberikan oleh Jepang. Sebagai “saudara tua” terlihat bahwa Jepang relatif tidak terlalu melakukan intervensi terhadap Indonesia meskipun ia kreditur terbesar kita. Sehingga meskipun komposisi ini “agak mengkhawatirkan” tetapi relatif aman dari kemungkinan intervensi yang berlebihan. (kita pernah mengalaminya dengan IMF). Tetapi dalam perspektif diversifikasi, proporsi PLN terhdap Jepang yang tinggi menuntut pula untuk segera direvisi. Dan SUN diharapkan bisa menjadi media untuk mereduksi komposisi ini.<br /><br />Berdasarkan jatuh tempo, dapat kita lihat data dari Dirjen Pengelolaan Utang Negara sebagai berikut: dengan posisi PLN saat ini, maka utang dalam denominasi GBP (Jerman) akan selesai pada tahun 2022, dolar AS tahun 2034, yen Jepang dan euro akan selesai pada tahun 2040. Artinya PLN kita akan habis saat Pak SBY berusia 91 tahun., dengan syarat tidak ada tambahan utang baru lagi. Jika kita mencermati kewajiban atas PLN yang harus kita tunaikan pada tahun 2009, maka kita akan memerlukan US$ 6.515.230.000 untuk mencicil <em>(paid)</em> utang yang kita miliki. Nilai sebesar itu tentunya akan menjadi beban bagi APBN kita terlebih dalam kondisi menghadapi dampak krisis keuangan global ini. <br /><br />Strukur SBN sebagai berikut: berdasarkan tingkat bunga, 83% diterbitkan dengan bunga tetap <em>(fixed rate)</em> dan 17% dengan bunga mengambang <em>(variable rate). </em>Struktur ini haruslah diantisipasi dengan adanya fluktuasi tingkat bunga yang terjadi. Media untuk melakukan pembelian kembali melalui fasilitas repo dan sebagainya dapat dilakukan jika tingkat bunga sudah terlalu rendah dibandingan dengan tingkat bunga saat emisi. Berdasarkan mata uang, 90% dalam rupiah dan 10% dan mata uang asing. Struktur ini tampaknya akan bergeser dengan rencana pemerintah untukmenerbitkan surat utang untuk pasar internasional dan valas <em>(global bond) </em>dengan nilai US$ 4 miliar. Pergeseran ini pasti juga akan memperbesar <em>exchange rate risk</em> yang kemungkinan terjadi. <br /><br /><em>Masalah dan Rekomendasi yang Mengiringi</em><br />Utang pastilah menyisakan masalah. Masalah bisa timbul saat pengelolaan utang atau lahir saat masa pembayaran cicilan pokok <em>(prinsipal paid)</em> dan bunga. Dalam pengelolaan, kemungkinan timbul penyelewengan <em>(fraud)</em> juga potensial. Sehingga dalam tataran ini pengelolaanya harus diawasi dengan ketat. Masalahnya adalah <em>Quis Custodiet Ipsos Custodes? Siapakah yang harus menjadi pengawas seorang pengawas?.</em> Potensi masalah selanjutnya adalah portofolio yang berisiko terhadap risiko fluktuasi kurs <em>(exchange rate risk). </em>Risiko ini bisa diminumumkan dengan merubah struktur hutang dengan komposisi denominasi rupiah yang besar, salah satunya adalah dengan menerbitkan SBN denominasi rupiah yang digunakan untuk menggantikan proporsi utang dengan valas. Untuk itu langkah sosialisasi untuk ekstensifikasi investor SBN perlu lebih ditingkatkan. Program SUN: <em>Goes to Campuss </em>yang telah dijalankan oleh Dirjen Pengelolaan Utang Negara perlu lebih ditingkatkan lagi. Dan rencana penerbitan SUN dengan denominasi valas <em>(global bond)</em> sebesar US$ 4 miliar perlu ditinjau kembali. Jikapun tetap dilakukan manajemen lindung nilai <em>(hedging)</em> perlu dilakukan. Tidak kalah pentingnya adalah perlu dipikirkan bagaimana potensi ekonomi yang ada bisa digunakan sebagai sumber dana pembangunan internal sehingga tidak lagi kita bergantung pada utang.<br /><br />Selagi merebahkan badan. Sis Kucing menelepon.<br />“Cak Su, utang <em>negoro menurut sampeyan </em>itu tidak benar!”<br />“<em>Ndak</em> benar <em>gimana</em> Sis?!”<br />“Itu hanya utang dalam arti sempit Cak!!”<br />“Sempit?! Sempit <em>piye</em>?!”<br />“<em>Lha…</em> negara kan juga punya banyak utang pada rakyatnya!”<br />“Maksudmu??”<br />“Utang itu kewajiban <em>to</em>?!”<br />“<em>He eh!”</em><br />“<em>Akeh kewajibane negoro marang rakyate </em>yang belum dibayarkan!!”<br />“Terus?!”<br />“Terus, peringatan <em>kanggo sampeyan! Yen nulis sing bener!!!”</em><br />???<br /><br /><em>(Saya jadi teringat salah satu dialog lakon “Tumpeng Maut” dalam ludruk banyolan Kartolo di radio.<br />Kartolo: “Ri… Sapari, Lek koen duwe utang… gampang! Bukaan buku halaman sepuluh!”<br />Sapari: “Opo iku Lo..?!”<br />Kartolo: “Lek utangmu wis akeh…. Ndang mlayu..o!!!”)</em>Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-62832317644485096282008-12-19T15:05:00.000-08:002008-12-19T15:57:27.887-08:00BHP: Aset, Dana dan Investasi<strong>Part II. Sebuah Konsep Manfaat</strong><br /><br /><br />SERING KALI:<br />Kita yang memiliki,<br />Orang lain yang memanfaatkan.<br />Renungan A. Mustofa Bisri dalam “Mencari Bening Mata Air”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008).<br />*****************************<br /><br />RUU BHP disetujui DPR bersamaan dengan 3 RUU yang lain. Jika dapat dikatakan persetujuan RUU BHP sebagai sebuah kontroversi (karena ada pro dan kontra), sensasi BHP kalah jauh dengan kontroversi persetujuan RUU Mahkamah Agung oleh DPR. Usia pensiun seorang hakim agung menjadi fokus diskusi yang sampai saat inipun masih sengit terdengar, terbaca dan terlihat. Sedangkan “rating” BHP sebagai bahan diskusi relatif rendah. Mengapa demikian?. Entahlah. <br /><br />BHP memang tidak semestinya hanya didiskusikan, diseminarkan dan sejenisnya tetapi perlu disikapi dengan pemikiran dan perencanaan sebagai reaksi dan adaptasi yang lebih positif daripada sekedar berwacana. Ancaman <em>judial review </em>memang bergulir, tetapi adagium <em>“sedia payung sebelum hujan”</em> ataupun bahkan <em>“berpayung biar tidak lebih basah kuyub”</em> mutlak harus dilakukan. Pola pikir strategis dengan pendekatan TOWS layak disegerakan. RUU BHP merupakan Ancaman <em>(Threat)</em> sekaligus Peluang <em>(Opportunity) </em>yang akan kita hadapi dan miliki dan kedua hal itu harus kita hadapi dengan Kelemahan <em>(Weakness)</em> dan Kekuatan <em>(Strength) </em>yang saat ini kita miliki. Keempat hal inilah yang harus kita sinkronisasi dengan manajemen dan tata kelola <em>(good university governance)</em> yang baik untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi “kemakmuran” <em>stakeholder.</em><br /><br /><em>Aset dan Manajemen Aset</em><br />RUU BHP yang disetujui DPR menyebutkan bahwa kekayaan pendiri yang dipisahkan menjadi kekayaan BHP. Dalam titik ini, maka kekayaan BHP adalah semua aset yang saat ini telah dimiliki <em>(given). </em>Jika ditelusuri maka aset yang bersumber dari pendiri (dalam konteks PTN adalah pemerintah pusat) ini terdiri dari 2 bentuk, yaitu aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset berwujud secara fisik dapat berbentuk sarana dan prasaranan pendidikan dalam artian luas, baik yang saat ini sudah dalam penguasaan BHP ataupun yang masih berada dalam penguasaan pihak lain. <br /><br />Dalam konteks ini, maka diperlukan identifikasi dan legalisasi aset sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Identifikasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan data sebenarnya tentang jumlah dan bentuk aset yang dimiliki (kuantitas) serta identifikasi nilai ekonomis-nya (kualitas). Pelibatan peran penilai <em>(appraisal) </em>sangat dibutuhkan dalam tahap ini. Setelah mengetahui data rinci aset, baik kauntitas maupun kualitas, maka barulah dilakukan identifikasi potensi/manfaat ekonomis yang bisa diperoleh dari pemanfaatan aset tersebut. Masalah yang sering dihadapi adalah penguasaan aset secara fisik oleh pihak lain. Proses ini memerlukan waktu dan kadang memerlukan biaya yang relatif besar untuk mendapatkannya kembali. Sehingga diperlukan usaha dengan berbagai macam pendekatan agar aset tersebut bisa didapatkan kembali. <br /><br />Aset tidak berwujud berupa kecakapan intelektual, kepemilikan ketrampilan <em>(skill), </em>daya inovasi dan hak milik intelektual <em>(intellectual property right)</em> yang dimiliki oleh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari BHP yang bersangkutan. Nilai dan potensi aset ini sangat besar, tetapi terkadang belum teridentifikasi/terpetakan dengan baik. Sehingga pengelolaan-nya juga tidak maksimal. BHP memiliki potensi memperoleh peluang ekonomis yang besar atas aset ini jika ia mampu memetakan, memberdayakan (memfasilitasi) dan mengelola aset ini dengan benar. Jika aset ini tidak dikelola dengan baik, maka yang terjadi adalah “SERINGKALI: Kita yang memiliki, Orang lain yang memanfaatkan”, seperti yang dikatakan Gus Mus seperti dikutip diatas. <br /><br />Sinkronisasi antara aset berwujud dengan tidak berwujud akan menghasilkan sinergi yang baik, jika dilakukan dengan tepat. Memanfaatkan aset berwujud secara maksimal (tanpa melalaikan <em>maintenance</em>) dengan dukungan aset tidak berwujud secara profesional sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya akan menghasilkan sinergi yang menguntungkan bagi BHP yang bersangkutan. Sehingga pelaksanaan manajemen aset yang baik mutlak diperlukan. <br /><br /><em>Dana dan Investasi</em><br />Menurut RUU BHP yang disetujui DPR, sumber pendanaan BHP berasal dari pemerintah, masyarakat dan peserta didik. Dana yang berasal dari pemerintah memiliki sifat kaku <em>(rigid)</em> karena besaran dan alokasinya diatur dan ditentukan jelas. Demikan pula dana yang berasal dari peserta didik juga jelas ketentuannya. Maka akses pendanaan dari masyakarat dalam dilakukan sesuai dengan kaidah perundangan dan dilakukan dengan cara yang profesional dan bermartabat. <br /><br />Efisiensi atas kegiatan operasional BHP mutlak diperlukan. Dari langkah efisiensi ini dapat diakumulasi dana yang relatif besar. Batasan kebijakan efisiensi adalah tidak mengurangi hak stakeholder internal (tenaga pendidikan, tenaga kependidikan dan mahasiswa) dan juga tidak sampai menganggu efektivitas operasional. Salah satu contoh adalah efisiensi yang dapat dilakukan terhadap konsumsi listrik, telepon, air dan lain sebagainya. Penyusunan manual/pedoman tindakan dan pembentukan etos perlu dilakukan untuk mendukung efektivitas dari langkah efisiensi ini. Selanjutnya dana dari sumber ini dapat digunakan sebagai modal kerja untuk memaksimalkan aset yang dimiliki.<br /><br />Akses dana menurut RUU BHP yang disetujui DPR, juga memperbolehkan BHP mendapatkan dana melalui hutang kepada pihak lain. Pembolehan ini memerlukan penyikapan yang rasional, realistis dan terukur baik manfaat dan risiko yang kemungkinan muncul. Rasionalisasi atas kebijakan akses dana melalui kredit harus jelas. Arus kas, baik kas keluar dan kas masuk selama jangka waktu kredit harus diproyeksikan secara rasional. Disamping itu pengelolaan dananya harus profesional juga. Hal ini sebagai bentuk antisipasi terhadap risiko pailit BHP seperti yang diatur dalam RUU BHP. Prinsip <em>Good University Governance </em>harus menjadi ruh dalam setiap operasional BHP.<br /><br />Kerjasama dengan pihak ketiga yang potensial dan kredibel merupakan salah satu alternatif yang layak dilakukan. Kerjasama yang dapat memberikan implikasi akademik maupun finansial harus direncanakan dan diupayakan secara maksimal. Kerjasama ini tidak optimal jika dilakukan secara sporadis tetapi aspek keberlanjutan harus pula dipertimbangkan. Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk pemanfaatan aset sebagai pelepas modal ataupun sebagai pengelola modal. Alternatif ini sebagai pelepas dan pengelola modal dipilih dengan mempertimbangan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks ini jejaring <em>(networking)</em> dan <em>branding </em>sebuah BHP harus pula disegerakan. Jika hal ini diupayakan secara maksimal maka akan memiliki kontribusi signifikan atas kebijakan pendanaan <em>(funding)</em> maupun kebijakan investasi (<em>investment). </em><br /><br />Sumber dana bisa pula didapatkan dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh BHP. Maksimalisasi nilai ekonomi aset dengan orientasi bisnis yang <em>prospektif </em>dan <em>profitable</em> dapat menjadi income generating bagi BHP. Untuk itu kebijakan investasi yang kreatif merupakan sebuah keharusan. <em>Knowledge Based Economy </em>memiliki relevansi kuat dengan kharakteristik sebuah BHP. Sehingga siklus DANA-INVESTASI-PROFITABILITAS-DANA perlu terus dikembangkan dengan konsep <em>“The Value Cycle Spiral”</em>-nya <em>Roger G. Clarke</em>.<br />*************************<br />Kesadaran adalah matahari,<br />Kesabaran adalah bumi.<br />Keberanian menjadi cakrawala.<br />Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.<br />(Rendra dalam Megatruh Kambuh, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2001)Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-46899077022887698762008-12-18T15:04:00.000-08:002008-12-18T15:14:35.901-08:00BHP: Perspektif Good University Governance<strong><em>Part I</em></strong><br /><br />Gerimis mengguyur lagi!. <br />“Cak Su, BHP itu apa sih?!” tanya Lik Mo tetanggaku kampung melalui telepon.<br />“Badan Hukun Pendidikan <em>Lik!</em> Memangnya ada apa sih?!” <br />“<em>Enggak</em>, aku <em>kok</em> merasa takut saja Cak!”<br />“Takut, memangnya kenapa <em>kok</em> harus takut segala?!”<br />“Iya… Kata mahasiswa yang demo itu biaya pendidikan akan menjadi mahal!”<br />“Terus?!”<br />“<em>Lha</em> kalau mahal, aku kan tidak bisa kuliahkan Lastri nanti to Cak?!”<br />“Terus?!”<br />“Lha… pupuslah harapan memiliki anak sarjana!”<br />“Terus?!”<br />“<em>Welah…</em> Cak Su <em>ngece to…</em> Kok terus terus <em>thok!”</em><br />“<em>Ora Lik</em>, <em>aku mung pingin ngomong</em>, biaya pendidikan akan mahal bagi kampus yang serakah, <em>gege mongso </em>dan gak kreatif!” <br />????<br /><br />Rapat Paripurna DPR (17/12) yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar menyetujui RUU Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang. Persetujuan ini dicapai setelah melalui pembahasan dan penundaan beberapa kali. Proses selanjutnya hanyalah menunggu presiden mensahkannya. Aksi demontrasi seperti diduga sebelumnya, mewarnai proses paripurna persetujuan RUU BHP ini. Mahasiswa turun kejalan untuk menuntut penolakan atas RUU tersebut. Penolakan ini bersumber pada kekhawatiran mereka atas kemungkinan terjadinya komersialisasi pendidikan dan langkah lepas tangannya pemerintah terhadap pendanaan pendidikan. Anjing mengonggong kafilahpun berlalu. RUU BHP tetap disetujui!<br /><br />Status BHP bagi universitas adalah bentuk otonomi diperluas yang diberikan oleh undang-undang kepadanya. Pemberian ini menuntut konsekuensi yang harus diantisipasi dan dihadapi oleh perguruan tinggi. Menerima BHP tanpa melakukan langkah penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional berarti membiarkan “maut” datang untuk menjemput “kematian” kita. Meskipun nantinya dimungkinkan ada langkah <em>judicial review</em> atas berlakukanya UU BHP ini, maka tidak ada ruginya jika proses penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional disegerakan. Meskipun sudah mulai terbentuk kerangka BHP di beberapa perguruan tinggi, seperti UM dengan proyek I-MHERE-nya, langkah yang lebih operasional perlu segera diterjemahkan dan dilakukan.<br /><br /><em>Prinsip Good University Governance dan Masalahnya</em><br />BHP merupakan badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Sebagai badan hukum maka BHP merupakan subjek hukum, seperti manusia, yang memiliki asset/kekayaan dan kewajiban hukum sendiri. BHP merupakan badan yang melakukan pengelolaan dana secara otonom dengan prisip nirlaba yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha maka sisa lebih tersebut harus ditanamkan kembali untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan. Pertanyaannya adalah berapa besar <em>“sisa lebih”</em> yang dikehendaki? Bagaimana mencapai target <em>“sisa lebih”</em> itu? Apa batasan/koridor hukumnya? Pada titik ini, ruang terjadinya komersialisasi pendidikan terbuka. Keinginan untuk cepat “besar” dan “berhasil” dalam investasi peningkatan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan dengan dana <em>“sisa lebih”</em> akan mendorong kecurigaan terjadinya komersialisasi pendidikan itu semakin tinggi.<br /><br />Dalam BHP diatur beberapa prisip sebagai landasan normatif pelaksanaannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:<br /><br /><em>1. Otonomi</em><br />Merupakan kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Dalam aspek ini, otonomi memiliki 2 unsur, yaitu (1) Kewenangan, adalah unsur yang sering menjadi pendorong untuk men-segerakan BHP dan (2) Kemampuan, adalah konsekuensi atas kewenangan. Memiliki kewenangan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya merupakan kesia-siakan dari sebuah otonomi. Dengan adanya otonomi nenuntut daya responsif dan adaptif terhadap perubahan menjadi semakin cepat dan bertanggung jawab. <br /><br /><em>2. Akuntabilitas</em><br />Merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan <em>(stakeholder). </em>Akuntabilitas tidak seharusnya dimaknai hanya dalam aspek pelaporan administratif saja tetapi lebih kepada pertanggunganjawab atas pencapaian <em>(progress)</em> dari target yang telah ditetapkan. Setiap progres dan kendala merupakan hak dari <em>stakeholder</em> untuk meminta pertanggunganjawab dari penyelenggara pendidikan. Akuntabilitas terhadap <em>stakeholder</em> internal BHP tidak hanya berpola alir <em>“dari bawah ke atas”</em> tapi juga selayaknya <em>“dari atas ke bawah”</em> pula. Itu lebih berkeadilan!.<br /> <br /><em>3. Transparansi</em><br />Merupakan keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan kepada pemangku kepentingan <em>(stakeholder). </em>Transparansi tidaklah harus dimaknai sebagai suatu kewajiban tetapi lebih tepat jika dimaknai sebagai suatu “kebutuhan”. Karena transparansi akan mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kecurangan <em>(fraud), </em>ketidakadilan/diskriminasi dan sekaligus berperan sebagai <em>leading indicator</em> terhadap pelaksanaan tata kelola organisasi <em>(good governance)</em>. Tuntutan normatif, keharusan adanya transparansi haruslah didukung dengan seprangkat sistem yang baik dan terukur serta perubahan/penciptaan budaya <em>(culture)</em> organisasi yang kondusif. Akomodasi proporsional terhadap sikap kritis dari <em>stakeholder</em> merupakan sebuah keharusan.<br /> <br /><em>4. Penjaminan Mutu</em><br />Merupakan kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Pendidikan Nasional serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan berkelanjutan.<br />Karena penjaminan mutu merupakan kegiatan yang sistemik, maka ia memerlukan keberadaan dan dukungan dari sub sistem yang lain. Penjaminan mutu harus meneropong dalam segala aspek operasional BHP. Dan yang pasti memberdayakan Penjaminan Mutu baik secara kelembagaan maupun “kepedulian dan kesadaran” untuk merespon hasil kerja yang dilakukan merupakan sebuah keharusan. Hal ini dapat digunakan sebagai media untuk menciptakan kondisi “SADAR MUTU” bagi segenap pihak dalam BHP.<br /> <br /><em>5. Layanan Prima</em><br />Yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik.<br />Kepuasan dari <em>stakeholder</em> merupakan indikator yang paling <em>sahih</em> untuk menilai apakah operasional BHP sudah dilakukan dengan baik atau tidak. Segenap tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan harus sanggup untuk memberikan layanan prima. Kesanggupan ini dapat dipenuhi jika didukung dengan manajemen SDM yang baik dan penciptaan nilai <em>(value)</em> organisasi yang mampu menginspirasi perilaku. Ketiadaan nilai dan budaya organisasi yang baik, sulit untuk mendorong kesadaran atas tuntutan layanan prima kepada peserta didik. <br /><br /><em>6. Akses Yang Berkeadilan</em><br />Yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial dan kemampuan ekonominya. Prinsip ini menuntut perlakuan non diskriminasi terhadap input mehasiswa. Sehingga kemampuan akademik merupakan satu-satunya syarat dalam penerimaan mahasiswa baru. Bukan yang lain!. Konsekuensi-nya adalah bagaimana sistem yang dibangun dapat memberikan kesempatan yang adil bagi calon peserta didik yang memiliki kemampuan akademik tinggi tetapi tidak didukung oleh kemampuan ekonomi yang baik. Tetapkah mereka memiliki kesempatan yang sama dengan calon mahasiswa yang mendapat dukungan kemampuan ekonomi yang baik? Berpihak kemanakah BHP menyikapinya?<br /> <br /><em>7. Keberagaman</em><br />Yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap terhadap berbagai pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis dan budaya masing-masing. Prinsip ini menjunjung tinggi keberagaman sebagai kondisi alamiah manusia. Tidak ada perlakuan diskriminatif dalam operasional BHP. Kesempatan berkembang bukan diberikan/difasilitasi atas dasar persamaan agama, ras, etnis dan budaya tetapi dilihat dari penilaian objektif kompetensi dan profesionalisme. Sistem dan budaya organisasi harus mendukung terciptanya tatanan yang non-diskriminasi itu.<br /><br /><em>8. Keberlanjutan</em><br />Merupakan kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada kepada peserta didik secara terus menerus dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan pelayanan. <br />Sebagai BHP maka status badan hukum itu bisa dicabut sesuai dengan perundangan yang berlaku. Misalnya pencabutan status BHP melalui putusan pailit. Untuk menghindari itu, maka BHP harus dilakukan dengan pola manajemen yang hati-hati <em>(prudent), </em>profesional dan bertanggung jawab. Pengelolaan BHP yang tidak didasari dengan perencanaan yang baik dan lebih cenderung spekulatif mendorong risiko pailit semakin besar potensinya untuk terjadi. Aspek ini terkait erat dengan pengelolaan keuangan, baik dalam aspek pendanaan <em>(funding)</em> maupun aspek investasi <em>(investment). </em>Penerapan prinsip manajemen risiko yang bertanggung jawab menjadi salah satu cara untuk meminimumkan risiko pailit ini.<br /> <br /><em>9. Partisipasi Atas Tanggung Jawab Negara</em><br />Yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara. <br /><br />Prinsip-prinsip operasional BHP ini menuntut disusunnya perangkat hukum yang menjadi dasar kebijakan operasional. Dan perangkat hukum ini harus mampu memberikan jaminan atas pelaksanaan kesembilan prinsip-prinsip diatas. Selanjutnya norma hukum ini harus diikuti dengan aturan pelaksanaan yang lebih operasional. Artinya tidak hanya berhenti hanya sampai dalam tataran normatif yang abstrak. Dan pada akhirnya perangkat hukum yang dibentuk tersebut diharapkan mampu membentuk nilai dan budaya organisasi yang mendukung bagi terbentuk kesadaran menjalankan prinsip-prinsip itu secara sukarela, tanpa ancaman, paksaan dan intimidasi!. Jika itu terjadi, merupakan awal dari pemenuhan harapan akan kualitas pendidikan yang baik.<br /><br />Sis Kucing, tetangga kampung yang korban DO dari sebuah universitas di Malang, menelepon.<br />“Cak Su, kalau perguruan tinggi <em>sampeyan</em> nanti mau dirikan pabrik, <em>tilpon </em>kau ya?! Aku mau <em>nglamar</em> kerja!”<br />“<em>Lho…. Kok </em>pabrik?! Kata siapa Sis?!”<br />“Enggak, kalau BHP kan nanti perguruan tinggi boleh bisnis<em> to?!”</em><br />“Iya memang, tapi ya… apa harus pabrik to Sis?!”<br />“Ya mungkin Cak!”<br />“Iya nanti tak <em>kabari</em>, kalau…”<br />“Kalau apa Cak?!” Sis memotong bicaraku.<br />“Kalau aku tahu Sis!”<br />“<em>Waduh?! </em>BHP akan membuat orang kampus semakin sibuk ya Cak?!”<br />“Mungkin?!” kataku.<br />“Jika sibuk, terus mahasiswa-nya juga pasti lebih sibuk lagi Cak!”<br />“Kok bisa?!!”<br />“Sibuk <em>nyari</em> dosen-nya yang entah sibuk apa??!”<br />????Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-73681718703408790712008-12-16T17:13:00.000-08:002008-12-16T17:26:21.250-08:00The Fed, Hot Money: Berkah yang Mengancam Pasar Keuangan Kita?Syukur, selama 2 hari ini Kota Malang tidak diguyur hujan, gerimispun tidak pula menganggu. Tiadanya gerimis dan hujan memberi kesempatan untuk memperbaiki <em>talang</em> rumah yang bocor. Dan kupanggil Cak Yon, tukang langgananku untuk memperbaikinya.<br /><br />“Cak Su! Harga bensin sudah turun lagi ya?” tanya Cak Yon.<br />“Iyo Cak, sekarang lima ribu rupiah seliternya!”<br />“<em>We</em>... kok lebih murah dari <em>lenggo gas yo?!”</em><br />“<em>Lha</em>... minyak tanah sekarang berapa sih harganya?!”<br />“Enam ribu Cak, itupun kadang ada terkadang tak ada!”<br />“Iya... ya lebih mahal minyak tanah Cak!” gumamku lirih.<br />“<em>Lha ya </em>itu... masalahnya, kan bensin itu untuk orang kaya, kok harganya lebih murah ya!”<br />“Lha itu Cak... aku juga gak paham!”<br />“Katanya lagi bunga federal juga akan turun ya Cak?! Kreditnya dimana sih?!”<br />“Maksud Cak Yon, apa?!”<br />“Kalau bunga kredit sepeda federal turun, aku mau belikan Anton sepeda Cak!”<br />???<br /><br />Integrasi dan globalisasi pasar keuangan menuntut langkah antisipatif yang proaktif dan rasional. Saat ini Bank Sentral AS <em>(The Federal Reserves/The Fed)</em> tengah merumuskan kebijakan moneter yang terkait dengan kemungkinan penurunan tingkat bunga <em>The Fed </em>untuk mencegah deflasi (baca: yang semakin parah) di AS. Tentunya, kebijakan yang akan diambil oleh <em>The Fed </em>ini akan memiliki beragam implikasi kepada pasar keuangan internasional, tidak terkecuali pasar keuangan negara kita Indonesia.<br /><br />Penurunan suku bunga <em>The Fed</em>, sudah dimulai sejak bulan September 2007 yang lalu, dari 5.25% sampai pada level 1% saat ini. (Kontan, 16/12). Penurunan ini digunakan sebagai instrumen untuk menjaga tingkat daya beli masyarakat <em>(purchasing power)</em> dan mereduksi tingkat kredit macet/NPL <em>(Non Performing Loan). </em>Jika saat ini bunga <em>The Fed </em>diindikasikan bakal menurun kembali, pada titik berapa bunga itu akan berhenti? <em>The Fed </em>sudah dalam posisi kehabisan persediaan “bunga” sebagai salah satu instrumen moneternya. <br /><br />Mungkinkah bunga <em>The Fed </em>0%? Dalam situasi yang masih diperangkap dalam kondisi bunga pinjaman tinggi (relatif belum ada <em>premi risk </em>signifikan dari perspektif <em>deficit units</em>), harga saham yang berkecenderungan turun dan masih adanya keengganan bank untuk menyalurkan kreditnya, bukan hal yang mustahil jika bunga <em>The Fed </em>suatu saat akan berada pada level <em>zero point</em>. Masalahnya adalah <em>zero level </em>akan menyebabkan penurunan margin bank yang signifikan. Jika dikaitkan dengan tingkat imbal hasil <em>(yield)</em> surat utang pemerintah jangka pendek di AS yang saat ini sudah dalam level <em>yield</em> negatif (Kontan, 15/12), artinya investor merelakan dananya mengalami penyusutan nilai semata-mata demi keamanan, akan membuat semakin dalam krisis keuangan saat ini. <br /><br /><em>The Fed dan Pasar Keuangan Indonesia: Berkah yang Mengancam?</em><br />Tidak dipungkiri bahwa pasar keuangan kita masih membutuhkan aliran dana dari investor asing. Aliran yang tidak semata-mata untuk kepentingan likuiditas instrumen keuangan tetapi juga diharapkan membantu apresiasi rupiah dan memperkokoh cadangan devisa. Aliran dana asing ke pasar keuangan kita, yang sering disebut dengan istilah <em>hot money,</em> sangat fluktuatif dan berkarakter cepat masuk dan cepat pula keluar. Pada bulan 5 September lalu, dana hot money yang masuk melalui SUN sebesar Rp. 108.37 triliun. Jumlah ini merupakan nilai kapitalisasi terbesar <em>hot money </em>sepanjang tahun ini.(Kompas, 26/9). Dana itu pada tanggal 19 September telah menyusut menjadi Rp. 105.06 trilitun. Berarti dalam waktu 14 hari dana <em>hot money </em>telah keluar sebesar Rp. 3 triliyun lebih. Begitulah perilaku <em>hot money</em>.<br />Harapan atas kehadiran <em>hot money </em>untuk kepentingan likuiditas, apresiasi rupiah dan cadangan devisa bukannya nihil risiko. Kharakter yang mudah masuk dan mudah keluar dari hot money inilah yang akan memberikan risiko instabilitas pasar keuangan. Instabilitas pasar keuangan itupun akan memicu lahirnya investasi spekulatif dan mendorong terbentuknya kepanikan pasar. Sehingga, memang dibutuhkan kebijakan untuk mengelola kharakter hot money yang liar tersebut. <br /><br />Tingkat <em>BI Rate </em>saat ini yang berada dalam level 9.25% dan bunga <em>The Fed </em>yang berada dalam level 1% (kemungkinan akan menurun lagi!) merupakan insentif yang kuat untuk kembali masuknya <em>hot money </em>ke pasar keuangan Indonesia. <em>Spread</em> yang cukup lebar antara <em>Bi Rate </em>dan <em>The Fed </em>merupakan insentif menarik bagi dana asing dengan potensi perolehan imbal hasil (return) yang lebih besar jika dibandingkan dengan potensi <em>return</em> jika dana itu ditanamkan kepada instrumen investasi di negaranya. Keuntungan yang bisa diperolehnya dari <em>yield</em> maupun dari apresiasi rupiah terhadap mata uangnya (US $, misalnya). <em>Hot money </em>yang masuk akan mendorong rupiah mengalami apresiasi (terjadi <em>excess demand </em>rupiah) sehingga rupiah mengalami apresiasi, dan apresiasi rupiah akan membuat return investasi setelah disesuaikan dengan nilai tukar <em>(exchange rate)</em> akan semakin besar. Sehingga kemungkinan penurunan bunga The Fed hari ini akan mendorong masuknya <em>hot money </em>kembali ke pasar keuangan Indonesia.<br /><br /><em>Keberkahan “Semu” Hot Money</em><br />Aliran dana asing yang leluasa masuk kedalam pasar keuangan akan menyebabkan likuiditas transaksi intrumen keuangan di pasar keuangan meningkat. Likuditas yang meningkat ini akan menyebabkan kenaikan harga instrumen keuangan tersebut. Instrumen keuangan itu bisa dalam bentuk saham, obligasi ataupun SUN. Secara teoritis jika harga saham meningkat maka relatif bahwa IHSG juga akan mengalami peningkatan, harga obligasi dan SUN yang meningkat (misalnya dari 65% menjadi 74%) akan mendorong penurunan <em>yield</em>. Kondisi seperti ini akan mendorong investor lain untuk turut menanamkan dananya di pasar keuangan. Ada insentif untuk masuk!. Pembelian instrumen keuangan ini akan menyebabkan permintaan rupiah meningkat dan penawaran US$ meningkat (investor menjual US$ untuk membeli rupiah). Dan rupiahpun mengalami apresiasi. Rupiah yang terapresiasi relatif akan membuat kondisi moneter kondusif bagi kegiatan perekonomian. Serta sudah pasti struktur cadangan devisa kita akan membesar dari aliran dana masuk ini. Cadangan devisi yang membesar merupakan indikator dari stabilitas moneter, dalam artian adanya kemampuan untuk menjaga keseimbangan <em>demand</em> dan <em>supply</em> rupiah terhadap mata uang lainnya. Tetapi keberkahan ini adalah semu! Tidak ada jaminan sedikitpun <em>hot money </em>itu untuk tinggal lebih lama di pasar keuangan kita. Dan ketika dana itu keluar secara masif maka instabilitas pasar keuangan-lah hasilnya. Sehingga pasar keuangan yang ditopang oleh hot money akan sangat rapuh <em>(fragile)! </em>Mengancam dan membahayakan!.<br /><br /><em>Ancaman Nyata Hot Money</em><br />Stabilitas pasar keuangan merupakan ancaman nyata dari <em>hot money</em>. Ciri <em>hot money</em> yang mudah masuk dan mudah keluar merupakan pimicu lahirnya instabilitas itu. Kenaikan harga saham, obligasi dan SUN akan berbalik jika dana <em>hot money</em> keluar. Dan penurunan itu akan berimplikasi kepada potensi diperolehnya <em>capital loss </em>yang signifikan. Dalam perspektif kurs, jika <em>hot money</em> ini sudah memutuskan untuk pulang (dan tidak bisa dicegah lagi!) maka akan terjadi <em>excess supply </em>rupiah di pasar keuangan dan dilain pihak terjadi <em>excess demand </em>terhadap US$. Hal ini memicu depresiasi rupiah terhadap US$. Kondisi rupiah yang terdepresiasi akan menimbulkan efek ganda <em>(multiplier effect)</em> yang besar pula dalam sistem ekonomi keseluruhan. Dan kondisi selanjutnya adalah cadangan devisa kita akan tergerus untuk tetapi menjada keseimbangan dan keterpenuhan demand dan supply valuta di pasar keuangan. Akhirnya, hot money secera masif dan spartan mampu membuat instabilitas pasar keuangan riil terjadi. Ancaman seperti ini telah berkali-kali terbukti, bukan hanya “gertak sambal”. Dan terkadang otoritas moneter tidak “menghiraukan” ancaman yang bukan gertak sambal ini.<br /><br /><em>Bagaimana Otoritas Kita (seharusnya) Bersikap?</em><br />Ada beberapa langkah kebijakan yang bisa digunakan untuk menjinakkan ancaman <em>hot money </em>tersebut. Spread yang lebar antara BI Rate dengan bunga The Fed harus segera diperkecil jaraknya. Langkah ini tidak hanya akan mengurangi insentif hot money masuk ke pasar keuangan kita secara massal, tetapi BI Rate yang menurun akan menyebabkan sektor rill mendapatkan insentif berupa biaya modal <em>(cost of capital)</em> yang lebih kecil dan merupakan insentif pula bagi sektor perbankan untuk melakukan ekspansi kredit dan menekan angka NPL yang dimilikinya. Bergeraknya sektor rill, akan membawa implikasi kepada pertumbuhan dan peningkatan daya beli masyarakat. Kita akan melihat apakah dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI mendatang, akan kembali menurunkan BI rate-nya? <br />Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah merubah stuktur cadangan devisa kita dengan tidak bertumpu pada adanya aliran dana hot money sebagai sumber devisa. Tetapi mendorong volume ekspor dan menurunkan volume impor, baik barang ataupun jasa. Cadangan devisa yang dibentuk dengan surplus ekspor yang besar lebih kondusif bagi stabilitas devisa. Meskipun dalam kondisi perlambatan ekonomi dunia, pertumbuhan ekspor relatif sulit didorong tetapi usaha dengan memberi insentif fiskal kepada eksportir mutlak diperlukan. Dan yang lebih afdol lagi adalah memberikan stimulus agar aliran dana asing <em>(hot money)</em> itu tidak hanya kepada pasar keuangan tetapi dalam bentuk investasi jangka panjang/FDI <em>(foreign direct investment). </em>Untuk itu perbaikan infrastuktur (jalan, pelabuhan, penerbangan dan energi) mutlak diperlukan dan diprioritaskan, punggutan yang menjadi sumber ekonomi biaya tinggi <em>(high cost economy)</em> ditertibkan (termasuk didalamnya semua peraturan daerah yang kontra investasi), birokrasi perijinan dan kepastian hukum harus mendapat prioritas untuk segera diupayakan perbaikannya. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kita akan mendapatkan dana asing yang tidak liar <em>(hot)</em> tetapi dana asing yang hangat-hangat kuku. <em>Uenak tenan!!!</em><br /><br />“Cak Su, <em>sampeyan</em> yakin <em>to</em> jika pemimpin kita itu memikirkan nasib kita?” tanya Cak Yon saat istirahat.<br />“Yakin to Cak, wong Pak SBY saja sekarang sudah <em>uwanen</em>, katanya bukti kalau beliau itu selalu berpikir dan bekerja” kataku.<br />“Aku <em>kok gak </em>yakin Cak?!”<br /><em>“Piye?”</em><br />“Meraka itu hanya sibuk untuk berpikir menjabat lagi! Bukan semata untuk nasib kita!”<br />“<em>Lha... lumrah to </em>Cak!”<br />“<em>Lumrah?!.. Lumrah piye?”</em><br />“<em>Lumrah... mergo kabeh kuwi mung manungso!” </em>kataku.<br />“<em>Tapi yo sing.... lumrah ae to....!!”</em><br />????Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-69846834661589419992008-12-15T14:53:00.000-08:002008-12-15T15:03:24.255-08:00Skema Investasi Ponzi: Paradoksal Madoff dan Guru SafediKompas Minggu, selalu kunantikan kehadirannya. Bukan hanya karena hari minggu adalah hari yang memanjakan, tetapi lebih karena keinginan untuk segera membaca cerpen yang disajikan. Setelah selesai bersepeda keliling perumahan dengan anakku, koran Kompas juga belum datang. “Wah… pasti terlambat lagi <em>nih</em>?!” batinku.<br /><br />“Yah! Main bola <em>yuk</em>!” ajak Alam.<br />“Ayo, tapi janji ya… kalau korannya datang, berhenti <em>lho</em> mainnya!”<br />“OK” katanya sambil mengacungkan jari jempolnya.<br /><br />Kami bermain bola. Alam bersemangat sekali, kustom penjaga gawang yang kubelikan beberapa waktu lalu lengkap dipakainya. Ia punya bakat menjadi penjaga gawang! Selalu ia teriakkan nama idolannya, “Aku jadi Iker Casilas!” sambil menata batu yang menjadi tiang gawang bayangan. Kunikmati bermain bola dengan anak lelakiku itu. Alam tampak lebih menikmatinya lagi. <br /><br />“Ayo Yah semangat! Yang keras <em>dong nendangnya</em>, <em>masak gak </em>pernah gol?!”<br />“Sudah semangat nih!, Malah ayah <em>udah</em> capek sekarang! Berhenti ya?!”<br />“<em>Lho…kan </em>koran kompasnya belum datang?!”<br />“<em>Lha</em>… itu!”. Kulihat Mas No, loper langganan kami meluncur mendatangi kami dengan motor Astrea 800-nya. <br />“Aku baca dulu ya Yah, mau lihat kompas anak-nya!” pinta Alam.<br />Ia mulai membuka dan membacanya. Dan akupun mengalah dengan membaca Harian Bisnis Kontan edisi Sabtu kemarin yang belum sempat kubaca. <br />“Waduh… Ampun!” kagetku, ketika kubaca skema investasi <em>ponzi</em> raksasa menelan korban lagi. <br /><br /><em>Inspirasi Seorang Charles K. Ponzi</em><br />Kata <em>Ponzi</em> yang mengambarkan kharakteristik investasi yang ekspansif dan spekulatif, diambil dari nama belakang seorang imigran Italia yang menetap di Boston yaitu <em>Charles K. Ponzi</em>. Masyarakat saat itu sering memanggilnya dengan sebutan <em>Carlo Ponzi</em>. Ia lahir tahun 1882 di Italia. Pada tahun 1919 ia mendirikan perusahaan yang dinamakan <em>“The Security Exchange Company”. </em>Dan menerbitkan surat utang <em>(promissory notes)</em> dengan bunga sebesar 50% per tahun. Bunga/kupon <em>promissory notes </em>itu adalah 10 kali lipat dari bunga bank saat itu yang berada dalam level 5% per tahun. (Prasetyantoko, 2008). <br /><br />Surat utang <em>(promissory notes)</em> itu dijual dengan harga US$ 10-50.000. Dan karena return yang ditawarkan menarik maka dalam waktu relatif cepat <em>Ponzi</em> berhasil mengumpulkan kelolaan investasi sebesar US$ 15 juta dengan investor sebanyak 40.000 orang. (Rizali, 2008). Dia menggunakan skema investasi dimana <em>“uang investor digunakan untuk membayar kewajibannya kepada investor terdahulu”. </em>Dalam bahasa Rhoma Irama dikatakan sebagai <em>“gali lubang tutup lubang”. </em>Dan pada tanggal 10 Agustus 1920 <em>“The Security Exchange Company”</em> bangkrut. Banyak investor yang menarik dananya dan tiadanya investor baru yang menanamkan modalnya. Banyak investor yang mengalami kerugian. Iapun kabur!.<br /><em>Carlo Ponzi </em>melarikan diri ke Florida. Di kota ini, ia mengganti namanya menjadi <em>Charles Borelli</em>. Dan iapun menyusun skema investasi lagi seperti saat di Boston. Skema investasi inipun menimbulkan kerugian bagi banyak investor. Setelah itu ia kembali ke Italia dan sempat bekerja sebagai salah satu staf rezim <em>Musollini</em>. Fenomena inilah yang dalam teori investasi disebut dengan <em>“Buble Burst” </em>tetapi dalam pembahasannya sering menggunakan istilah <em>Skema Ponzi</em>. (Hadi, 2008).<br /><br /><em>Skema Ponzi </em>banyak juga diterapkan di Indonesia. Dengan variasi dan modifikasi bentuk, <em>skema ponzi </em>ini telah juga memakan banyak korban. Tahun 1987, kasus ponzi Yayasan Keluarga Makmur meledak, diikuti pada tahun 1995 meledak pula kasus PT. Sapta Mitra Ekakarya (Arisan Danasonic), tahun 2001 PT. Gee Cosmos Indonesia membuat ulah, tahun 2002 PT. Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) juga memakan banyak korban. PT. Adess Sumber Hidup Dinamika (Add Farm) menggemparkan pada tahun 2003. Pada tahun 2007 giliran meledak kasus yang dibuat oleh PT. Wahana Bersama Globalindo dan PT. Sarana Perdana Indoglobal (SPI) dan pada tahun ini (2008) PT. Platinum Investment juga menelan banyak korban. <em>Ingatkah Ponzi gaya Malangan dengan POMAS-nya? </em><br /><br /><em>Bernard L. Madoff dan Reinkarnasi Ponzi </em><br /><em>Bernard L. Madoff </em>merupakan nama yang tidak asing bagi pelaku pasar keuangan AS. Ia adalah salah satu pendiri bursa Nasdaq dan mulai tahun 2006 ia juga anggota dari komite SEC <em>(Securities Exchange Commision). </em>Dan reputasi ini didukung pula oleh kinerja perusahaan investasinya, yaitu <em>Bernard L. Madoff Investment Securities LLC</em> yang pada tahun 2001 dinobatkan sebagai salah satu dari tiga besar <em>market maker </em>di bursa Nasdaq. (Kontan, 15/12). Reputasi yang dibangun oleh Mardoff ini melahirkan persepsi yang positif bagi investor, sehingga ia tertarik untuk menginvestasikan dananya terhadap instrumen yang diterbitkan oleh perusahaan Madoff tersebut. <em>Perception More Powerfull than Reality.</em> <br /><br />Madoff melakukan rekayasa keuangan <em>(financial engineering)</em> dan berhasil menerbitkan 24 instrumen keuangan yang menarik. Tingkat imbal hasil berbentuk tetap <em>(fixed rate)</em> sebesar 10% dan <em>fee </em>yang diminta juga kecil. Kesemua instrumen itu oleh Madoff disusun dengan skema Ponzi. Madoff membayar investor lama dengan uang investor baru. Skema ini sangat rapuh <em>(fragile). </em>Ketika investor mulai menarik dana investasinya dan tidak ada setoran dana baru dari investor baru maka itulah saat keruntuhan kartu Ponzi. Hal ini sesuai dengan adagium investasi yang terkenal <em>“high return high risk low return low risk”.</em><br /><br />Selama 15 tahun, Madoff berhasil menjaga keutuhan skema Ponzi yang disusunnya. Iapun berhasil mengumpulkan dana kelolaan investasi sebesar US$ 50 miliar (sekitar Rp. 550 triliun). Ketika krisis keuangan terjadi banyak <em>hedge fund </em>dan investor lainnya yang mengkonversi instrumennya dengan dana tunai serta tidak adanya investor baru yang masuk menanamkan dananya, maka runtuhlah skema Ponzi terbesar di dunia ini. Madoff-pun akhirnya ditangkap oleh FBI dengan tuduhan penipuan. (Kontan 13/12). <br /><br />Runtuhnya skema Ponzi gaya Mardoff ini, tak ayal akan membuat krisis keuangan global semakin kencang menghantam. Karena diindikasikan banyak bank-bank besar dunia menaruh dananya dalam instrumen investasi Madoff ini. Bank besar Jepang Nomura Holding, bank ternama Perancis BNP Paribas, bank Swiss Neue Privat Bank bahkan bank terbesar kedua di Eropa Banco Santander merugi 61 triliun dari investasi instrumen Madoff ini. (Kontan, 15/12). Hal ini akan memperparah kondisi kekeringan likuiditas <em>(lack of liquidity)</em> dan kemungkinan melahirkan kondisi rush dengan skala tertentu. <br /><br />Bagaimana investor Indonesia? Sangat mungkin terjadi investor Indonesia juga terseret dalam terbenam dalam keruntuhan kartu Ponzi Madoff ini. (Kontan, 15/12). Jika hal itu terjadi maka sudah terakumulasi banyak korban Ponzi di Indonesia, baik Ponzi lokal maupun Ponzi impor. Sehingga dalam konteks ini, semestinya regulator proaktif memeriksa semua laporan dari pelaku pasar keuangan untuk meminimumkan dampak fraud dalam penerbitan instrumen dengan memakai skema Ponzi seperti ini.<br /><br /><em>Paradoksal Madoff dan Guru Safedi</em><br />Sesudah membaca kasus Madoff dan cerpen Kompas Minggu (14/12) sungguh tampak drama paradoksal yang nyata antara nasib Mardoff dan guru Safedi yang menjadi tokoh utama cerpen Farizal Sikumbang ini. Keserakahan yang dibalut kecerdikan oleh Madoff melawan kesederhaan dan kepasrahan seorang guru honorer yang bernama Safedi.<br /><br />Sebagai guru honorer, Safedi mendapatkan upah Rp. 60.000 perbulan yang dibayarkan 3 bulan sekali. Selalu ia dan istrinya yang bernama Aisia menghadapi persoalan pelik, bagaimana mengatur uang yang dimiliki untuk pengeluaran yang tidak bisa ditundanya. Membayar hutang dan selebihnya untuk hidup selama 3 bulan kedepan. Aisia sering menangis, ia tak mampu lagi bagaimana harus menjalaninya.<br /><br />Guru Safedi merupakan seorang guru yang selalu bersemangat mengajar, meskipun masalah selalu menghapiri dan menamparnya. Pagi itu, didepan kelas, ia mendengar sekelompok murid mengunjingnya. <em>“Pak Safedi itu lho, bajunya tidak pernah ganti! Itu-itu saja!”</em>. Desir halus terasa mengalir di hatinya. Pagi itu, pudar juga semangat Pak Guru Safedi mengajar. <br /><br />Apa yang digambarkan oleh F. Sikumbang ini, meskipun melankolis, menunjukkan bagaimana sebuah kesederhanaan bisa lahir dari 2 pintu, kesederhanaan yang terpaksa dan kesederhanaan yang disengaja. Antara Madoff dan Safedi jelas <em>“jauh panggang dari api”.</em> Tidaklah pernah Madoff mengalami masalah seperti Safedi (hutang, belanja, istri menanggis, baju gak pernah ganti!) dan Safedi-pun tidak akan kuat bermimpi untuk menjadi Madoff, mimpi membeli instrumen investasinya Madoff-pun ia tidak akan berani. Seandainya Safedi adalah fakta, maka saat ini ia akan merasa lebih beruntung daripada Madoff meskipun selalu digunjing<em> “bajunya tidak pernah ganti!”. </em><br /><br />Saat membaca kartun Beny dan Mice yang lagi sakit tipes, HP-ku berdering….<br />“<em>Hallo</em>… Cak Su!” suara Kang Jarno, tuan tanah kampungku telpon.<br />“Waalaikum salam… <em>Wonten dawuh nopo Kang?" </em><br />“Jaman seperti ini, yang paling bagus investasi <em>opo yo </em>Cak?!<br />“Investasi akhirat Kang! Ya infak, shodaqoh, zakat dan haji Kang!”<br />“<em>Gundhulmu</em> Cak, <em>sampeyan </em>itu dosen opo guru ngaji?”<br />“<em>Wah pripun, njenengan ini </em>borjuis, sekuler <em>sisan!”</em><br />“Opo… Apa? Investasi apa? Seluler? Cak!… Cak Su!!… Hallo!!!<br />????Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-41130074463471594192008-12-12T15:37:00.000-08:002008-12-12T15:48:09.322-08:00RUU PRT: Sebuah Dilema dalam Perspektif EkonomiBeberapa hari ini, Kota Malang selalu diguyur hujan. Bahkan terkadang sepanjang hari hujan tiada lelah dan tidak berhenti membasahi. Seperti sore kemarin, hujan turun begitu deras, jalan tertutup oleh air yang ditumpahkannya. Sepanjang perjalanan dari SDI Sabilillah sampai rumah, yang tampak hanyalah genangan-genangan air yang berjibaku dengan roda-roda kendaraan. Sungguh sore yang menyebalkan!. Setelah kubuka pintu rumah, air hujan telah menerobos masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Rumah bocor! <br /><br />Saat membersihkan air hujan yang menggenang di lantai, HP-ku memanggil….. “Siapa pula ini!” batinku.<br />“Assalamu’alaikum! Kirun, Cak Su!” tetanggaku Cak Kirun menelepon.<br />“<em>Welah</em>…ada apa Cak?! Masalah konversi lagi?” <br />“Bukan Cak, lain!… Ini malah kabar baik!”<br />“Kabar baik?! Kabar baik opo?”<br />“<em>Bojoku</em>….. masalah istriku!”<br />“Ono opo? Hamil lagi <em>to bojone sampeyan</em>?”<br />“Bukan! Istriku bakal mulyo!”<br />“<em>Mulyo</em>? <em>Mulyo piye</em>?”<br />“<em>Pemerintahe sampeyan </em>akan membikin UU Pembantu Rumah Tangga, upah <em>babu</em> minim sebesar UMK Cak, <em>trus</em> diatur pula tentang jam kerja, cuti, jamsostek …..”<br />“<em>Apik!, </em><em>engko disambung maneh! Aku tak mbabu dhisik!” </em>“Cak Su!… Cak Su!… Hallo!….Hallo!”<br />???<br /><br />Setelah kemarin dikejutkan dengan rencana pemerintah membuat peraturan tentang konversi upah buruh dengan saham, hari ini kita dikejutkan lagi dengan penyusunan RUU Pembantu Rumah Tangga (PRT). Bahkan saat ini, pembahasan RUU PRT telah memasuki draf revisi yang kelima. RUU ini dipersiapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Hukum dan HAM dan Kantor Kementerian Negara Peranan Perempuan. (Kontan, 12/12).<br /><br />Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Departemen Hukum dan HAM, RUU PRT merupakan salah satu bentuk perlindungan HAM dimana saat ini PRT sering mendapat perlakuan buruk oleh majikannya, tidak ada ketentuan usia minimal menjadi seorang PRT, lama jam kerja dan hari kerja tidak jelas, upah yang rendah, tidak ada kontrak kerja dan tidak diikutkan dalam program Jamsostek. RUU PRT ini diharapkan dapat memberdayakan dan memanusiakan PRT. <br /><br />Data Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT menyebutkan bahwa saat ini terdapat 3 juta perempuan yang berprofesi sebagai PRT. Jumlah ini setara dengan 1.3% dari seluruh penduduk Indonesia. Jika PRT ini diberdayakan dengan memberikan perlindungan atas hak-hak yang seharusnya mereka miliki akan memberikan multiplier effect yang besar terhadap aktivitas ekonomi masyarakat. <br /><br />Dalam RUU PRT ini akan diatur mengenai beberapa hal, antara lain: Usia minimal, PRT harus telah berumur minimal 15 tahun. PRT yang masih berumur 15 hingga 17 tahun hanya boleh bekerja maksimal 4 jam sehari. Upah, majikan harus membayar jasa PRT minimal sebesar UMK. Jam kerja, maksimal PRT bekerja selama 10 jam sehari. Lama kerja, PRT setiap minggu bekerja selama 6 hari dengan 1 hari libur. Cuti, dalam 12 bulan kerja, PRT berhak mendapatkan 12 hari cuti, Jamsostek, majikan wajib mengikutkan PRT-nya program Jamsostek. <br />Itulah beberapa hak buruh yang dijamin oleh RUU PRT. <em>Siapkah wahai para majikan memenuhinnya?</em><br /><br /><em>Dilema dalam Perspektif Ekonomi</em><br />RUU PRT dalam perspektif pemberdayaan dan usaha “me-manusia-kan” serta perlindungan terhadap HAM PRT layak untuk segera diterapkan. Tetapi secara ekonomi terdapat beberapa ekses ekonomi yang perlu pula dipertimbangkan. Ekses ini bisa dilihat dalam 3 sudut pandang, yaitu: sisi permintaan <em>(demand side), </em>sisi penawaran <em>(supply side)</em> dan sisi pelipatgandaan ekonomi <em>(multiplier economy side).</em><br /><br /><em>Dilema Sisi Permintaan (Demand Side Dilemmas)</em><br />Secara alamiah, RUU PRT ini memberikan rasa takut kepada majikan yang mempekerjakan PRT di rumahnya. Bagaimana tidak takut, jika RUU ini memberikan jaminan hak PRT secara jelas dan tegas yang sebelumnya tidak pernah ada. Sehingga keberadaan UU PRT (nantinya!) akan merubah perilaku dan keputusan majikan terhadap PRT yang dimilikinya. <br /><br />Akan lahir perubahan mendasar secara ekonomi yang harus ditanggung oleh majikan, salah satunya adalah upah. Menurut penelitian Depnakertrans (Kontan 12/12) rata-rata upah PRT di Jawa Timur sebesar Rp. 350.000 per bulan. Hampir 1/3 dari UMP. Jika RUU sudah menjadi hukum positif maka majikan harus menyediakan uang untuk membayar upah PRT-nya 3 kali lipat dari sebelumnya. Belum lagi kewajiban untuk mengikutkan PRT dalam program Jamsostek, kewajiban memberikan THR serta membuat kontrak kerja dengan PRT.<br /><br />Perubahan ini merupakan <em>disinsentif </em>bagi majikan untuk mempekerjakan PRT di rumahnya. <em>Cost of Service</em>-nya mahal!. Belum lagi jam dan hari kerja yang diatur ketat dan dijamin oleh RUU. Secara sosiologis dan psikologis, perubahan ini membawa “kerugian” riil bagi majikan. Sebagai majikan, sekarang kewenangan dan “kesenangan”-nya memerintah PRT terbatas. Keterbatasan ini yang secara ekonomi akan mempengaruhi tingkat permintaan <em>(demand)</em> terhadap PRT.<br /><br />Dalam teori ekonomi terjadinya penurunan kegunaan <em>(utility) </em>ekonomi PRT dalam perspektif majikan, akan menurunkan tingkat permintaan terhadap jasa PRT. Jika permintaan menurun maka akan mempengaruhi daya serap terhadap jasa PRT. Kondisi ini jika didukung dengan penawaran jasa PRT yang meningkat dimungkinkan terjadi praktek pemekerjaan PRT secara ilegal (karena mekanisme pasar memang menuntut demikian!). Jika hal ini terjadi, patut dipertanyakan efektifitas dari peraturan perundangan tersebut.<br /><br /><em>Dilema Sisi Penawaran (Supply Side Dilemmas) </em><br />Secara alamiah pula, jaminan atas hak PRT yang jelas dan tegas seperti yang dicantumkan dalam RUU PRT akan mendorong tingkat penawaran jasa PRT semakin tinggi. Secara ekonomis, akan memberikan manfaat <em>(utility) </em>yang bermakna dengan menjadi PRT. <br /><br />Utilitas ekonomis seperti ini didukung pula oleh minim/rendahnya syarat yang dituntut dalam penawaran jasa PRT. Hampir setiap orang bisa menawarkan jasa PRT. Tidak diperlukan sebuah kualifikasi ketat seperti halnya pekerjaan yang lain. Kondisi inilah yang akan menggeser kurva penawaran <em>(supply curve)</em> ke atas. <br /><br />Kondisi dimana terjadi pergeseran kurva permintaan <em>(demand curve)</em> ke bawah dan kurva penawaran <em>(supply curve)</em> keatas maka akan malahirkan harga keseimbangan ekonomi <em>(economy price equalibrium)</em> dengan harga jasa yang lebih rendah dari harga yang “semestinya” ditawarkan dengan kuantitas permintaan yang lebih sedikit. Dalam sisi ini juga mendorong timbulnya kondisi pemekerjaan PRTsecara ilegal pula.<br /><br /><em>Dilema Efek Ganda (Multiplier Effect Dilemmas)</em><br />RUU PRT suatu saat pasti akan menjadi hukum positif berupa UU PRT. Pertanyaannya adalah <em>multiplier effect </em>apa yang bisa terjadi dari penerapan perundang-undangan itu?<br /><br /><em>Kemungkinan Efek Positif</em><br />Dengan asumsi jumlah PRT tetap tidak berubah setelah pemberlakukan UU PRT, yaitu 3 juta orang (berdasarkann data JALA PRT) maka UU tersebut akan meningkatkan daya beli <em>(purchasing power)</em> masyarakat secara signifikan. Peningkatan daya beli yang berasal dari adanya transfer kekayaan antara majikan kepada PRT-nya. Peningkatan daya beli ini akan mendorong ekonomi rumah tangga produksi dengan melakukan kegiatan produksi dan penawaran yang lebih besar. Kondisi ini akan melahirkan perolehan pendapatan sektor ekonomi produksi juga membesar dan sangat dimungkinkan lahirnya investasi baru atau penambahan kapasitas produksi dari kapasitas yang sudah ada. Dalam episode ini, efek gandanya bisa berlanjut dalam sekuel-sekuel lanjutan yang akan mempengaruhi kinerja ekonomi lainnya. <br /><br /><em>Kemungkinan Efek Negatif</em><br />Peningkatan daya beli masyarakat dapat pula menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi ini menyebabkan penurunan daya beli riil masyarakat. Penurunan ini akan berimplikasi kepada penurunan skala ekonomi yang diperoleh oleh rumah tangga produksi. Imbas ini juga akan berlanjut dalam sekuel-sekuel yang lain.<br />Secara ekonomi, kenikmatan ekonomi yang dimiliki dan dijamin oleh UU akan mendorong pekerja-pekerja sejenis (buruh tani, tukang kayu, tukang baru dan lain-lain) akan menuntut hal yang serupa, minimal dalam kesetaraan upah yang diterimanya dengan PRT yaitu UMK. Hal ini akan menimbulkan kerentanan terhadap pelaku-pelaku ekonomi skala kecil. Jika hal ini terjadi secara tiba-tiba maka akan menyebabkan stagnasi usaha. Dan imbas secara ekonomi juga relatif signifikan. <br /><br />Pimicu Lahirnya Peluang Bisnis Substitusi PRT<br />Biaya jasa PRT yang “mahal” akan mendorong lahirnya peluang bisnis yang bisa men-substitusi peran PRT dalam sebuah rumah tangga. Semisal bisnis pencucian pakaian (laundry), penitipan bayi, katering makanan, cleaning servive dan lain sebagainya. Dalam teori manajemen strategi dikatakan bahwa sebuah produk (barang/jasa) selalu dihadapkan pada produk lain sejenis dari pesaing dan dihadapkan pada produk (barang/jasa) yang ditawarkan sebagai pengganti/substitusi. Jika memang bisa digantikan kenapa tidak?! Dan lebih penting lagi adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan riil yang dapat membantu bekerjanya ekonomi produktif dan memberikan akses permodalan kepada <em>wong cilik </em> untuk berusaha. Biar tidak selamanya mereka menjadi PRT terus.<br /><br />Sesuai janjiku kepada Cak Kirun, maka setelah agak lodhang aku menelepon dia.<br />“Cak Kirun, selamat menikmati <em>kemulyaan yo</em>!” kataku.<br />“<em>Ojo kesusu… aku malah ragu saiki</em>!” <br />“<em>Kok dadi ragu</em>, kenapa?”<br />“Tidak, kok tiba-tiba saja!”<br />“Tiba-tiba gimana maksud <em>sampeyan</em>?!”<br />“Kemarin Pak SBY masih nyanyi N-G-E-R-E-P, ngeropotin dengan program konversi upah, sekarang kok tiba-tiba nyanyi N-G-E-P-O-P, populis! <em>Piye Cak Su?!”</em><br /><em>“Lha… yo embuh</em> Cak! Menurut <em>sampeyan piye?”</em><br />“Menurutku….. <em>iki sogokan </em>Cak Su, <em>jelas wis! Sogokan! Wong cilik disogok!”</em><br /><em>“Disogok opo digosok?!”</em><br /><em>“Digosok njur disogok Cak! Wong cilik digosok atine dhisik njur disogok butuhe cangkeme!” </em>???Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-54568884482770940472008-12-11T14:54:00.000-08:002008-12-11T15:12:07.960-08:00Rencana Konversi Upah Buruh Dengan Saham:Sebuah Kebijakan Etis Nan Tragis!
<br />
<br />Saat sedang menerima konsultasi penulisan skripsi di kampus, HP-ku berdering. Terlihat sebuah nama dilayar, Cak Kirun tetangga kampungku yang menjadi buruh pabrik tekstil di Sumedang Jabar, mengajak bicara.
<br />
<br />"Assalamu’alaikum Cak Su!" teriaknya dari seberang.
<br />"Waalaikum salam, ada apa Cak!"
<br />"Hanya mau ngabari saja, jika aku sekarang sudah jadi <em>juragan</em>, jadi pemilik perusahaan!" katanya.
<br />"Alhamdulillah…. <em>wis mulya sampeyan</em> Cak, <em>wis gak mburuh maneh</em>!"
<br />"<em>Mburuh yo</em> masih tetap, rumah ya masih <em>ngontrak, blonjo yo tetep repot</em>, utang juga masih banyak, rokok ya masih <em>tingwe!</em> Susah!!"
<br />"<em>Lho!! Kok iso ngono</em> Cak?!"
<br />"Lha itu kan <em>pokal gawene pemerintahe sampeyan, mosok</em> upah buruh dipotong buat beli saham perusahaan, katanya konversi upah buruh dengan saham!"
<br /><em>"Welah…. ??!!"</em>
<br />
<br /><em>Shift I
<br />Ada Apa Dengan Buruh?
<br /></em>Kompas (11/12) menulis berita yang cukup mengejutkan sekaligus membuat penasaran. Dalam berita itu disebutkan saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan tentang Konversi Upah Buruh Dengan Saham. Peraturan ini dibuat sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh atas kemungkinan terjadinya PHK karena imbas dari krisis keuangan global. Daripada di PHK lebih baik buruh bersedia untuk menerima upah yang sebagian dibayarkan secara noncash dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Kebijakan ini juga menguntungkan perusahaan, karena sumber daya ekonomi berupa "úang kas/tunai" yang terbatas bisa dialihkan kepada pos belanja lain, sehingga <em>"dapur masih bisa mengepul."</em>
<br /><em>
<br /></em>Saat ini, berdasarkan data dari API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) 10% dari 2.1 juta buruh yang terlibat dalam industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) telah di PHK. Jika mengacu kepada data API tersebut maka dalam industri TPT saja telah terjadi PHK sebanyak 200.000 lebih buruh. Tetapi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) memiliki data sendiri mengenai jumlah PHK saat ini. Data itu menyebutkan bahwa dari 23.927 permohonan PHK, per tanggal 5 Desember, PHK riil sebanyak 17.418 orang dan yang berstatus dirumahkan sebanyak 6.597 orang. (Kontan (11/12).
<br /></em>
<br />Perbedaan data yang signifikan tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut validitas data yang dipakainya. Tetapi kedua data itu menunjukkan bahwa imbas krisis keuangan global telah sampai pada tataran PHK massal. Mengapa harus terjadi PHK? Secara ekonomis ketidakpastian akibat krisis adalah <em>disinsentif</em> bagi perusahaan untuk melakukan investasi baru dan penambahan kapasitas produksi, krisis juga menyebabkan <em>cost of capital</em> menjadi relatif lebih besar karena ada kekeringan likuiditas di pasar keuangan <em>(lack of liquidity),</em> penyerapan produk perusahaan oleh pasar juga rendah. Faktor-faktor inilah yang mendorong terjadinya <em>under capacity</em> sehingga menuntut adanya rasionalisasi termasuk terhadap buruh.
<br />
<br />Kondisi seperti ini diramalkan oleh Bank Dunia akan semakin parah terlihat pada tahun 2009. Sesuai data yang dirilis oleh Bank Dunia, ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan sebesar 4% (target pemerintah 5.8-6%), lalu lintas modal masuk melalui <em>Foreign Direct Investment</em> (FDI) stagnan 0%, dan pertumbuhan ekspor kita hanya dalam rentang tumbuh 1-2%. Hal ini didukung pula oleh masih parahnya daya saing negara kita dibandingkan negara lain dalam menarik investasi asing. Data <em>Global Competitiveness Report</em> 2007-2008, Indonesia masih menduduki rangking 54 dari 131 negara. Jeleknya infrastruktur jalan memiliki kontribusi besar terbentuknya daya saing yang rendah.
<br />Pertumbuhan ekonomi yang rendah, FDI rendah, pertumbuhan ekspor rendah serta daya saing rendah akan semakin membuat kondisi buruh menjadi rentan terhadap PHK.
<br />
<br /><em>Shift II
<br />Antara ESPP vs ESOP: Dilema Buruh Kita
<br /></em>Larry Ellison, CEO <em>Oracle Corporation</em> tahun ini dinobatkan oleh <em>The Corporate Library</em> sebagai CEO dengan penghasilan terbanyak. (Jawa Pos 11/12). Dari total penghasilan sebesar 4 triliyun lebih, hampir 50%-nya dihasilkan dari opsi saham yang dimilikinya dalam program ESOP <em>(Employee Stock Ownership Program).</em> Apakah kebijakan konversi upah buruh dengan saham dalam kerangka untuk meng-konversi buruh Indonesia menjadi Larry Ellison Larry Ellison? <em>"Lain Lubuk Lain Belalang, Jauh Panggang Dari Api".</em>
<br /><em></em>
<br /><em>ESPP (Employee Stock Purchase Program)
<br /></em>Merupakan opsi (hak) untuk membeli sejumlah tertentu saham pada harga tetap selama periode tertentu. Biasanya opsi rencana pembelian ini dijual dengan harga diskon dengan melakukan mekanisme pemotongan gaji terhadap buruh yang dimilikinya. Atas kesediaan buruh untuk dipotong gajinya tersebut maka buruh berhak mendapatkan sebagian saham perusahaan. Secara teori sebenarnya ESPP memiliki kebaikan baik dilihat dari sisi buruh ataupun dari sisi perusahaan. Buruh mendapatkan employee benefit dengan adanya kesempatan untuk mengambil bagian dalam kesuksesan perusahaan serta berfungsi pula sebagai motivator dan bagi perusahaan merupakan bentuk pembayaran upah yang bersifat <em>noncash.</em>
<br />
<br />Masalahnya adalah buruh Indonesia adalah buruh yang masih mendapatkan upah sebatas "cukup (baca: dipaksa cukup)" untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja. Itupun bagi sebagian besar buruh masih "besar pasak daripada tiang". Sehingga hutang seringkali digunakan sebagai salah satu solusi untuk berdamai dengan keadaan. Jika upah buruh yang hanya "cukup" untuk mempertahankan kondidi "hidup" saja dan harus dipotong upahnya untuk kepemilikan saham, masih mungkinkah? Kondisi buruh saat ini lebih cenderung senang memiliki uang kas/tunai daripada selembar saham. Sehingga kebijakan konversi upah dengan saham, pastilah akan mendapatkan tantangan dari serikat buruh.
<br />
<br /><em>ESOP (Employee Stock Ownership Program)
<br /></em>ESOP pada dasarnya merupakan transfer kepemilikan sebuah perusahaan kepada buruh dalam bentuk manfaat yang diterima buruh dikemudian hari. (Little, 2001). ESOP dalam konteks ini dapat digunakan sebagai salah satu bentuk kompensasi dan motivator bagi buruh karena merasa memiliki perusahaan. Kharakteristik ESOP adalah nilai tunai yang bisa dinikmati oleh buruh adalah pada masa yang akan datang yaitu saat buruh tersebut berhenti sebagai buruh (pensiun dan lain-lain). Pertanyaannya? Realistiskah ESOP dilakukan bagi buruh kita saat ini? Meminjam istilah grammar dalam bahasa inggris, kondisi buruh kita masih dalam tataran <em>past </em>dan <em>present</em> belum sampai pada tataran <em>future</em> terkait dengan penggunaan upah yang diterimanya. <em>Time Horizon</em>-nya lain.
<br />
<br />Sehingga ESOP juga relatif sulit untuk diterapkan seperti halnya ESPP. Problem riil buruh terkait dengan kemampuan daya beli yang terbatas membuat setiap kebijakan yang mencoba "merugikan" buruh, "menganggu" besaran upah menjadi isu yang sensitif dan bisa menyulut aksi-aksi buruh yang masif. Terbukti ketika SKB 4 Menteri yang mencoba "menganggu"`buruh dalam wilayah pengupahan membentuk solidaritas diantara mereka dan berhasil memaksa pemrintah "merubah" substansi SKB 4 Menteri yang dipersoalkan itu.
<br />
<br /><em>Shift III</em>
<br /><em>White Collar Worker vs Blue Collar Worker</em>
<br />Masalah buruh memang merupakan masalah yang kompleks. Kompleksitas ini bisa dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: sudut pandang ekonomi; buruh merupakan faktor produksi sehingga ia menjadi input biaya <em>(cost),</em> buruh juga sebagai masyarakat konsumen yang memiliki daya beli, serta buruh sebagai satu-satunya faktor produksi yang hidup, memiliki rasa, keingginan dan lain-lain sehingga pengelolaanya juga lebih rumit dan mahal. Sudut pandang politik; buruh sebagai komoditas politik, sudut pandang sosial; isu buruh bisa menjadi pemicu konflik dan keresahan sosial.
<br />
<br /><em>Adilkah Konversi Upah Bagi Buruh?
<br /></em>Untuk saat ini TIDAK ADIL. Mengapa? Karena perusahaan yang akan menjalankan kebijakan konversi upah dengan saham hanyalah perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja jelek. Jika buruh dipaksa untuk membeli saham perusahaan yang memiliki kinerja seperti itu, hal tersebut jelas akan merugikan buruh. <em>Kemarin kemana saja Bung?!</em> Ketika kinerja perusahaan baik dan tidak terimbas krisis, alternatif konversi upah menjadi saham dengan ESPP atau ESOP tidak dilakukan bahkan terpikirkan-pun tidak. Sekarang saat mau <em>kolaps</em>, buruh disuruh membeli saham perusahaan. Tidak Adil!
<br />
<br />Dilihat dari perspektif daya beli, untuk saat ini kelompok <em>"buruh berdasi" (white collar worker)</em> memungkinkan untuk mengikuti konversi upah dengan saham daripada <em>"buruh bertopi"</em> <em>(blue collar worker)</em> yang hidup hanya dengan UMK. Itupun jika diasumsikan bahwa perusahaan yang melakukan program konversi tersebut masih memiliki kinerja yang baik dan mempunyai prospek bisnis yang baik pula. Tetapi jika kondisi sebaliknya yang terjadi, maka merugikan buruh baik yang "berdasi" ataupun yang "bertopi".
<br />
<br />"Cak Su, sekarang Pak SBY suka nyanyi NGE-REP!!" kata Cak Kirun di ujung HP.
<br />"Nge-rep gimana Cak?!"
<br />"NGE-REP-POTIN!!!"
<br />"Kok bisa sampeyan ngomong begitu?"
<br />"Lha iya masak buruh yang sudah pas-pasan, met-metan, nut-nuten masih disuruh beli saham potong gaji!!!"
<br />"Sekarang konversi upah dengan saham sudah diubah Cak?!
<br />"Diubah gimana lagi Cak Su?"
<br />"Konversi Upah Buruh Dengan P-A-H-A-L-A!!!"
<br />"Wis tak nyari pahala lain saja Cak!"
<br />"???"
<br />Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-5690277352117035972008-12-10T14:53:00.000-08:002008-12-10T15:03:22.407-08:00HAM dalam Bingkai Corporate Governance dan Tindak Pidana Korupsi<em><span style="color:#ff0000;">(memaknai Hari Anti Korupsi (9/12) dan HAM (10/12)</span></em><br /><br />Suatu sore di kampung halaman…..<br />"Cak Su, apakah orang seperti saya ini punya HAM atau tidak sih?!" tanya Lik Mo kepadaku.<br />"Lha .. punya to Lik, semua manusia pasti punya HAM"<br />"Sepeda motorku yang <em>jueleek</em> itu saja ada BPKB-nya, lha… HAM saya apa coba buktinya, jika saya memang benar-benar memilikinya?!"<br />"Nafas Lik Mo itulah buktinya, sepanjang nafas dikandung badan…." Jawabku.<br />"Bisa tidak HAM-ku saya jual, untuk beli sapi misalnya" tanya Lik Mo memotong omonganku.<br />"Bisa saja! Tetapi Lik Mo serahkan juga "nafas"-nya. Mau nggak?!"<br />"<em>Welah….. njur mati dhisik?!"</em><br />"<em>Piye</em>?"<br />"Tidak usah beli sapi <em>wis</em> kalau begitu syarat-nya! Tapi Cak Su, apa orang yang sudah meninggal sudah tidak punya HAM lagi?"<br />"Masih punya yaitu HAM atau Hak Asasi <em>Mayit</em> he he he…."<br />"Tapi kok di banyak tempat pemakaman ada tulisan "MAKAM MUSLIM", "TANAH MAKAM KHUSUS MUSLIM"… apa itu tidak melanggar hak asasi <em>mayit</em> Cak!"<br />"Itu diskriminasi karena struktur dan budaya masyarakat Cak! Harus-nya tidak seperti itu!"<br />"Apa! dis… dis … diskri apa?!"<br />"D-I-S-K-R-I-M-I-N-A-S-I!!".<br /><br /><em>Prolog </em><br />Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai kodrat yang bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi , dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. HAM menjadi prinsip umum dalam melihat semua aspek kehidupan manusia. Penghormatan dengan pemberian jaminan atas terpenuhinya hak dasar tersebut oleh negara merupakan penghormatan terhadap kemanusiaan. Sejauh mana institusi negara mampu melakukan penghormatan terhadap kemanusiaan dapat dilihat dengan indikator <em>output</em> dan <em>outcome</em> negara dalam memenuhi hak dasar rakyatnya tersebut.<br /><br />Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM secara yuridis dirumuskan sebagai <em>"seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia"</em>.<br />Selanjutnya dalam pasal 2 dikatakan bahwa negara mangakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasarn serta keadilan.<br /><br />Jaminan atas HAM telah diberikan oleh UU HAM sebagai berikut: Hak Untuk Hidup (pasal 9), Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan (pasal 10), Hak Mengembangkan Diri (pasal 11-16), Hak Untuk Memperoleh Keadilan (pasal 17-19), Hak Atas Kebebasan Pribadi (pasal 20-27), Hak Atas Rasa Aman (pasal 28-35), Hak Atas Kesejahteraan (pasal 36-42), Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan (pasal 43-44), Hak Wanita (pasal 45-51), dan Hak Anak (pasal 52-66). Disamping jaminan atas hak dasar seperti tersebut diatas, UU HAM juga memngatur tentang Kewajiban Asasi Manusia (KAM) dalam pasal 61-70.<br /><br />Dalam pespektif substansi hukum, relatif bahwa pemberian jaminan atas HAM oleh konstitusi kita telah cukup untuk mewadahi kebutuhan atas penghormatan terhadap HAM yang dimilikinya.<br />Jaminan substansi ini tidaklah cukup jika tidak diikuti dengan penegakan hukum <em>(law enforcement)</em> yang tegas,lugas dan tidak diskriminatif. Dalam teori sosiologi hukum, terjadi <em>legal gaps</em> antara pengetahuan hukum <em>(legal knowledge)</em> dengan penerapannya <em>(law enforcement/legal action).</em> (Wigyosubroto, 2008). <em>Legal Gaps</em> ini dipengaruhi oleh struktur dan budaya masyarakat yang tidak kondusif. Jika di-analog-kan kondisi ini dengan sebuah komputer, sebagus apapun <em>hardware</em> (substansi hukum) yang kita miliki, ia tidak akan berjalan optimal jika tidak didukung oleh <em>sofware</em> (strukur dan budaya) yang <em>compatible</em>. Dan masalah penegakan HAM dinegara kita masih banyak terkutat pada stuktur dan budaya ini sehingga masih belum mampu secara optimal memanfaatkan <em>hardware</em> yang dimilikinya.<br /><br /><em>HAM dalam Perspektif Corporate Governance<br /></em>Dalam Pedoman Umum <em>Good Corporate Governance</em> yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (<a href="http://www.governance-indonesia.com/">www.governance-indonesia.com</a>) penerapan <em>Good Corporate Governance </em>(GCG) dapat didrorong oleh 2 dorongan, yaitu dorongan etika <em>(ethical driven)</em> yaitu yang berasal dari kesadaran pelaku bisnis untuk menjalankan praktek bisnis yang mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan, kepentingan stakeholder dan menghindari cara-cara kepentingan sesaat. Dorongan kedua diperoleh dari dorongan peraturan <em>(regulatory driven)</em> yang memaksa perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Terkait dengan HAM dalam Pedoman Umum GCG Bab VI tentang Pemangku Kepentingan sub bagian Karyawan disebutkan dalam point 1.2 bahwa <em>"Penetapan besarnya gaji, keikutsertaan dalam pelatihan, penetapan jenjang karir dan penentuan persyaratan kerja lainnya harus dilakukan secara obyektif, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik seseorang, atau keadaan khusus lainnya yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan".</em> Pedoman ini memberikan penekanan bahwa perusahaan tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap karyawan terkait dengan suku, agama, ras, golongan, gender dan kondisi fisik seseorang atau keadaan khusus lainnya.<br /><br />PBB telah mengeluarkan 10 prinsip <em>(ten principles)</em> dalam <em>Global Impact</em> 2002 yang memberikan pedoman bagi korporasi untuk selalu menjunjung tinggi HAM disebutkan bahwa: 1. <em>Businesses should support and respect the protection of internationally proclaimed human right; and</em> 2. <em>Make sure that they are not complicit in human right abuses</em>.<br />Masih dalam <em>Global Impact</em> ini terkait dengan anti korupsi dikatakan bahwa <em>"Businesses should work against all form of corruption including extortion and bribery".</em><br />Sehingga dalam perspektif HAM dan Anti Korupsi sesungguhnya korporasi juga merupakan institusi yang memiliki peran dan kewajiban untuk menegakkan HAM dan melawan segala bentuk aksi korupsi. Tetapi masih diperlukan suatu tatanan hukum positif yang komprehensif sehingga bisa menjalankan peran sebagai regulatory driven bagi pelaksanaan GCG yang pro HAM dan pro Anti Korupsi.<br /><br />Cressey dalam Hardjapamekas (2007) mengemukakan <em>The Fraud Triangle</em>. Segitiga kecurangan ini digunakan untuk menjelaskan proses terjadinya <em>fraud</em> atau kecurangan yang dilakukan oleh korporasi. Lahirnya kecurangan ini didorong oleh 3 hal yaitu: <em>opportunity, incentive/presure dan attitude</em>. Oleh Hardjapamekas <em>fraud triangle</em> ini di-analog-kan dengan panas, bahan bakar dan oksigen. Terjadinya kebakaran didorong oleh adanya panas, bahan bakar dan oksigen. Untuk itu diperlukan pedoman perilaku <em>(code of conduct)</em>, sistem yang tranparansi <em>(transparency)</em>,akuntabilitas <em>(accountability)</em>, responsibilitas <em>(responsibility)</em>, independensi <em>(independency)</em> dan kewajaran dan kesetaraan <em>(fairness)</em> dan pranata hukum yang bersanksi tegas, lugas dan jelas.<br /><br />Kecurangan <em>(fraud)</em> juga akan menyebabkan keunggulan suatu perusahaan tidak akan tercapai. Menurut Michael Porter dalam Hardjapamekas (2007) seperti yang dijelaskan dalam teori <em>The Value Chain</em> dikatakan bahwa keunggulan suatu perusahaan ditentukan oleh: 1. <em>overall cost leaddership,</em> 2. <em>product/service differentiation</em>, 3. <em>focus/product niche</em>. Tetapi dalam tataran riil, korporasi kita masih digelayuti oleh masalah <em>high cost economy</em> yang disebabkan oleh salah satunya yaitu korupsi. Untuk itu aksi pemberantasan korupsi dan penerapan GCG akan memiliki implikasi bagi daya saing korporasi.<br /><br /><em>HAM dalam Persepktif Tindak Pidana Korupsi<br /></em>Korupsi memiliki dampak yang luar biasa bagi kehidupan. Sehingga peluang , kesempatan dan motivasi untuk melakukan tindak pidana korupsi harus direduksi. Nasution (2005) memilah korupsi dalam 4 bidang, yaitu 1. korupsi dalam bidang politik dan good governance akan menhancurkan proses formal yang dibakukan dalam perundang-undangan, 2. korupsi dalam bidang pemilu akan menyebabkan akuntabilitas dan representasi kebijakan yang rendah, 3. korupsi dalam bidang hukum akan menyebabkan hilangnya kepastian hukum dan 4. korupsi dalam bidang administrasi pemerintahan akan menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan.<br /><br />Terkait dengan HAM, korupsi yang dilakukan secara masif akan menyebabkan kondisi dimana terjadi perampokan terhadap anggaran publik yang sejatinya harus digunakan untuk menjamin hak dasar manusia. Sehingga alokasi anggaran publik ini berkurang atau menyimpang dari yang semestinya harus dibuat/dianggarkan atau menyimpang dari anggaran yang sesungguhnya telah dibuat. Akhirnya akan memicu munculnya kondisi dimana hak dasar manusia terabaikan dan mendorong lahirnya konflik dan kekerasan. Pada titik inilah HAM menjadi terbengkelai.<br /><br />Dalam konteks ekonomi, perilaku koruptif akan menyebabkan <em>distorsi</em> dan <em>inefficiency</em> yang berimplikasi kepada lahirnya <em>cost of business</em> yang besar. (Eigen dalam Nasution 2005). <em>Distorsi </em>dan <em>inefficiency</em> ekonomi akan melahirkan aktivitas bisnis yang tidak berkembang optimal. Hal ini akan mengakibatkan kondisi dimana hak ekonomi sebagai salah satu hak dasar manusia tidak terpenuhi. Perilaku koruptif merupakan tackling terhadap pelaksanaan dan penegakan HAM.<br /><br /><em>Epilog</em><br />Sebagai epilog saya kutipkan Tajuk Kompas (10/12) sebagai berikut: <em>"Pemberantasan korupsi tak mungkin hanya diserahkan kepada otoritas negara. Lembaga internasional, korporasi internasional, kelompok masyarakat harus ikut mempunyai komitmen yang sama. Peringatan Hari Anti Korupsi hendaknya tidak sekedar seremoni, tetapi mewujud menjadi kesadaran kolektif bangsa untuk tidak melakukann korupsi".</em><br /><em></em><br />Sore itu aku membeli bakso Cak Min di kampung....<br />"Gimana Cak Su, katanya setiap orang punya hak ekonomi, tapi kok usaha jualan bakso saja sulitnya bukan main?!"<br />"Sulit gimana Cak!"<br />"<em>Lha</em> sekarang mau beli minyak tanah sulit, elpiji 3 kilogram-an gak ada, antri dulu. Gimana gak sulit?!"<br />"Sabar Cak!"<br />"Sabar-sabar!!! HAM-put!!!"<br />"???"Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-18430167916935706382008-12-08T16:00:00.000-08:002008-12-08T16:03:09.026-08:00Tugas Baca Mahasiswa<em><span style="color:#000000;">Sebentar lagi kita akan melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS) sehingga saudara perlu mempelajari kembali materi kuliah yang telah kita diskusikan. Untuk minggu ini ada tugas baca yang perlu saudara lakukan, yaitu:</span></em><br /><br /><em><span style="color:#ff0000;">Mahasiswa Peserta Mata Kuliah Pasar Keuangan</span><br /></em>: Bacalah Kajian Stabilitas Keuangan No. 11 September 2008 yang dapat anda akses di http://<span style="color:#000099;">www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+Stabilitas+Keuangan/Kajian+Stabilitas+Keuangan/ksk_110908.htm</span><br />Cermati dan identifikasi masalah terkait dengan: Perkembangan Harga SUN Seri FR, Kepemilikan dan Portofolio SUN serta Likuiditas SUN berdasarkan Tenor.<br />Susun resume atas kegiatan saudara.<br /><br /><em><span style="color:#ff0000;">Mahasiswa Peserta Mata Kuliah Aspek Hukum Ekonomi dan Bisnis<br /></span></em>: Bacalah UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dapat saudara akses di <span style="color:#3366ff;">http://www.disnak.jabarprov.go.id/data/arsip/UU%205-1999%20-%20Larangan%20Praktik%20Monopoli%20&%20Persaingan%20Usaha%20Tidak%20Sehat.pdf<br /></span>Cermati dan identifikasi masalah terkait dengan: Bentuk Perjanjian Yang Dilarang, Bnetuk Kegiatan Yang Dilarang, Posisi Dominan dan Hubungan Terafiliasi serta KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha).<br />Susun resume atas kegiatan saudara.Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-16593171529556432272008-12-08T15:27:00.000-08:002008-12-08T15:33:26.864-08:00Perspektif Ekonomi Memandang Idul KurbanMalam itu, lampu neon dirumah Lik Mo masih menyala. Suara televisi masih juga terdengar lantang. Terlihat dari luar nampak Lik Mo sendirian sedang menatap tv.<br />"<em>Kulo nuwun</em>!" teriakku.<br />"<em>Monggo</em>! Masuk Cak!" sambutnya.<br />"<em>Welah</em>… Kapan Cak Su datang?"<br />"Tadi sore Lik, sama Alam… Liburan <em>riyoyo</em> kurban!" jawabku.<br />"Iyo .. yo, <em>panthesan</em> kemarin <em>emakmu</em> sudah <em>arep-arep</em>".<br />"<em>Piye</em> Lik.. Sampeyan korban tah ora?"<br />"Jelas korban Cak!"<br />"Alhamdulillah … kambing opo urunan sapi?"<br />"Aku korban PUPUK MAHAL!!!"<br />???<br /><br />Beberapa saat lagi kita akan merayakan Idul Kurban. Sebuah ritual trasenden sekaligus sosial yang terlahir dari peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim. Sebuah episode kenabian yang sarat makna dan sarat simbol. Dalam konteks Idul Kurban terdapat interaksi makna antara "berkorban" dan "berbagi". Untuk bisa "berbagai" secara sosial kita mesti menyerahkan kerelaan untuk "berkurban" secara individual. Secara kontekstual tidaklah cukup jika Idul Kurban hanya dimaknai dengan "berkurban" dalam bentuk pemotongan hewan kurban tetapi kita harus menangkap simbol-simbol makna yang terkandung didalamnya. "Berkurban" tidak hanya dilakukan sekali setahun, tetapi kehidupan menuntut kita untuk selalu siap "berkurban" dalam relasi kemanusiaan.<br /><br /><em>Kapitalisasi Idul Kurban</em><br />Idul Kurban, secara ekonomi menciptakan kapitalisasi yang besar. Kapitalisasi berkala yang selalu dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku ekonomi untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Semakin mendekati hari Idul Kurban maka terlihat semakin banyak pula orang-orang yang menjual hewan-hewan kurban. Tanah kosong di pingiran jalan sudah cukup untuk dimanfaatkan sebagai rumah produksi kebahagiaan Idul Kurban. Dari kegiatan ekonomi berupa <em>suplly</em> hewan korban ini telah mendorong perputaran uang dan peningkatan daya beli bagi masyarakat terlibat.<br />Peternak mendapatkan keuntungan yang relatif tidak normal <em>(abnormal return)</em> karena menjelang Idul Kurban terjadi kenaikan harga yang relatif besar dibandingkan harga jual hewan diluar bulan ini. Hal ini disebabkan secara ekonomi karena terjadi kondisi <em>excess demand</em> terhadap hewan kurban tersebut.<br />Pedagang juga memiliki potensi return yang besar karena mereka memiliki posisi tawar <em>(bargaining position)</em> yang relatif lebih baik. Posisi tawar yang lebih baik ini disebabkan oleh adanya informasi tidak simetris <em>(asymmetry information)</em> yang beredar di masyarakat (baca: di pasar). Banyak pembeli yang tidak memiliki informasi yang relatif cukup tentang harga pasar normal (normal price) atas hewan tersebut dan ketersediaan waktu yang terbatas dari pembeli. Pembelian hewan kurban adalah pembelian yang tidak bisa ditunda, ia punya <em>deadline</em> waktu yang jelas. Kondisi inilah yang seringkali mendorong lahirnya pedagang-pedagang hewan dadakan setiap menjelang Idul Kurban. Peluang untuk memperoleh keuntungan ekonomis yang besar.<br />Gambaran diatas masih merupakan jabaran atas bisnis inti-nya saja. Jika kita lanjutkan dengan bisnis pendukungnya maka akan semakin besar kapitalisasi yang terbentuk oleh Idul Kurban. Penyediaan makan bagi hewan kurban selama dipajang di etalase pinggir jalan, transportasi untuk mentransmisikan hewan dari peternak, pasar dan kediaman pembeli, jasa penunggu dan keamanan tempat jualan, jasa sewa tempat dan lain sebagaianya.<br /><br />Dalam Idul Kurban ini juga tidak bisa dikesampingkan sirkulasi uang yang terjadi dari pelaksanaan ibadah haji. Demikian besar sumber daya ekonomi yang berputar dari ibadah tahunan ini. Tanpa memperhitungkan besaran ONH-nya, ibadah haji telah memberikan efek ganda <em>(multiplier effect)</em> ekonomi yang signifikan. Perputaran uang yang diakibatkan oleh pemenuhan segala perlengkapan haji, syukuran haji (yang dibeberapa daerah terkadang biayanya melebihi ONH yang telah dibayarkan) dan belanja oleh-oleh haji yang hampir sebagian besar dibelanjakan di sini. Aktivitas ini mendorong aktivitas bisnis dengan omzet miliaran rupiah.<br /><br />Masih dalam tautan Idul Kurban, menurut sebagian orang yang masih menganut dan meyakini astrologi Jawa, bulan "besar" ini merupakan waktu yang baik untuk melangsungkan hajatan pernikahan dan kegiatan lain sejenisnya. Hal ini juga merupakan pendorong signifikan bagi proses kapitalisasi Idul Kurban. Sehingga pada akhirnya dapat dikatakan bahwa kegiatan keagamaan dan kegiatan budaya pastilah memberikan sumbangsih bagi berjalannya interaksi ekonomi. Semua kegiatan itu akan memberikan pengaruh kepada sumber daya ekonomi masyarakat.<br /><br /><em>Produksi dan Distribusi Kebahagiaan</em><br />Dalam struktur ekonomi yang sederhana sesungguhnya semua kegiatan ekonomi terpusat pada kegiatan produksi dan distribusi kebahagiaan. Proses produksi barang dan jasa pada hakekatnya merupakan proses penciptaan kebahagiaan. Pemenuhan keinginan atas barang dan jasa oleh masyarakat konsumen adalah pemenuhan untuk membangun kebahagiaan. Komoditas "kebahagiaan" inilah yang kemudian didistribusikan untuk menjangkau masyarakat sasaran, untuk membangun dan/atau merawat kebahagiaan yang telah dimilikinnya.<br />Setiap barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku ekonomi menawarkan kebahagiaan bagi pembelinya. Pastilah jika terdapat orang yang melakukan kegiatan ekonomi dalam bentuk pembelian hewan kurban, ia sedang dalam proses memupuk kebahagiaan. Kebahagiaan yang diperoleh dengan didapatnya ketentraman karena telah sanggup memenuhi permintaan tuhannya. Dan kebahagiaan ini kemudian didistribusikan dalam wujud fisik berupa daging korban yang terbagikan. Lahir pertanyaan lanjutan, apakah sebenarnya kebahagiaan itu? Relatif-kah ia? Universal-kah ia?..... Dimanakah ia sembunyi?<br /><br /><div align="left">"Cak Su, Pak SBY katanya kurban sapi, Pak JK juga kurban sapi, Pak Aburizal Bakrie kurbane yo akeh sisan!" kata Lik Mo.<br />"Ya harus itu Lik, kan Pak Aburizal itu juga seorang pengusaha yang kaya raya!"<br />"Kok harus, gimana sampeyan itu?!"<br />"<em>Lha iya to, njur piye</em>?!"<br />"Pak Aburizal itu kurban sapi dan ngorbankan wong Porong!!!!"<br />???</div><div align="center"><br />2008: Korban Banjir, Korban PHK, Korban Longsor, Korban Gusuran, Korban Krisis, Korban….., Korban ……, Korban …..<br />(selamat idul kurban 2008)</div>Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-80967319962356111422008-12-06T17:17:00.000-08:002008-12-06T17:26:37.557-08:00Huruf Yang MengejaApa yang bakal terjadi jika di bumi ini seandainya tidak ada huruf? Ketiadaan huruf berarti kekosongan makna. Kosong… Sepi….<br />Huruf memgonstruksi makna yang terbaca. Huruf menuntun orang untuk menjadi tahu sesuatu. Huruf membimbing manusia untuk menjadi paham. Huruf mampu membuat orang tertawa gembira, huruf mampu menjejalkan kejengkelan, huruf mampu mendekontruksi keyakinan, huruf mampu menjadikan orang meneteskan air mata. Huruf mampu membuat kegaduhan. Huruf yang terangkai dalam susunan kata dan terkemas dalam wadah bahasa menjadi nafas dalam proses <em>“ziarah”</em> keilmuan dan kemanusiaan.<br /><br />“<em>Kemelipen</em> Cak!” komentar Sis Kucing tentang makna huruf yang kusampaikan.<br />“<em>Kemilipen</em> gimana? Jangan niru Lik Mo kamu!” sahutku.<br />“Seandaianya Lik Mo yang <em>sampeyan ajak ngomong, wis jelas ditinggal ngalih,</em> gak mungkin didengarkan!”<br />“Kok gitu?!”<br />“Ya memang, yang <em>sampeyan</em> omongkan saat ini terlalu abstrak, gak nyambung dengan kebutuhan riil wong cilik!” sahut Sis Kucing yang mantan mahasiswa <em>drop out</em> dari sebuah universitas di Malang.<br />“Lha… apa wong cilik tidak perlu huruf!”<br />“Wong cilik hanya perlu 1 huruf M, 2 huruf A, 2 huruf N dan 1 huruf G!”<br />“Opo iku?”<br />“M-A-N-G-A-N!!”<br />???<br /><br /><em>Huruf Yang Mengeja</em>: “Pilkada Ulang Bulan Ini” (dalam Kompas 3 Desember 2008).<br />“….MK membatalkan keputusan KPU Jatim yang menetapkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) sebagai pemenang Pilkada Jatim…”<br />Huruf yang menyusun makna seperti ini membawa implikasi yang beragam dengan distribusi reaksi yang luas. Bagaimana tidak, kebaradaan huruf telah mampu “mengaduk-aduk” perasaan manusia, Karsa dan pendukungnya juga Kaji berserta pendukungnya. Huruf tengah menguras energi KPU Jatim untuk melaksanakan ejaan-nya. Pemerintah mengeja rangkaian huruf ini sambil memikirkan anggaran untuk menaatinya. Pimpinan partai politik mempersiapkan segala kemungkinan “peluang” sebagai respon atas huruf. Dan masyarakat tetap bekerja keras untuk merangkai huruf untuk kata K-E-M-A-K-M-U-R-A-N.<br /><br />“Rakyat itu <em>manut ae</em> Cak!” kata Sisi Kucing. “Apa susahnya! Tinggal nyoblos… bles!”.<br />“Terus…??”<br />“Lha.. terus yang bingung kan cuma Kaji karo Karsa <em>ae</em> tah!”<br />“Terus …??”<br />“Dan orang-orang yang memiliki kepentingan yang juga akan bingung menempatkan dirinya disebelah mana” kata Sis Kucing lagi.<br />“Terus …??”<br />“Rakyat yang masih percaya bisa mendapatkan keajaiban karena pemimpin, juga akan bingung menentukan pilihan”.<br />“Terus …??”<br />“Aku golput!!! <em>Ora nyoblos</em>!”<br />“Terus …??”<br />“Terus… terus thok, <em>ngece </em>yo?”<br /> Sis Kucing belum <em>ngeh </em>jika yang diulang hanya di 2 kabupaten di Madura.<br /><br /><em>Huruf Yang Mengeja</em>: “Presiden Marahi Lapindo” (dalam Kompas 4 Desmber 2008).<br />“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono marah karena upaya penangganan masalah korban semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, tidak kunjung selesai…”<br />Rangkaian huruf yang membentuk makna ini memberikan banyak tafsir pemaknaan secara subjektif. Masalah semburan lumpur Lapindo tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas dan lugas. Efek ganda <em>(multiplier effect) </em>yang dihasilkan sudah merasuki segala sendi kehidupan, mulai dari ekonomi-keuangan, sosial, budaya dan politik.<br />Dalam perspektif ekonomi-keuangan, semburan Lapindo telah berkontribusi dalam menciptakan ekonomi berbiaya tinggi <em>(high cost economy)</em> yang harus ditanggung oleh pelaku ekonomi dan kemudian diteruskan “pembebanannya” kepada masyarakat konsumen melalui “penyesuaian” harga. Dana yang semestinya bisa digunakan untuk melakukan investasi malah terkuras untuk rehabilitasi prasarana fisik. Hal ini juga akan berdampak pada penyerapan kerja. Sesuai data BPS (Kompas 1 Desember) setiap pertumbuhan ekonomi 1% akan menciptakan kesempatan kerja bagi ±704.000 orang.<br />Dalam perspektif sosial, telah begitu banyak biaya sosial <em>(social cost)</em> yang harus dikeluarkan oleh masyarakat khususnya masyarakat terdampak langsung. Semburan lumpur Lapindo juga telah mendekontruksi struktur sosial yang ada. Pengungsi yang dibekap ribuan masalah dan segala bentuk kejengkelan, kemarahan, kekhawatiran dan ketakutan, korban PHK yang tempat kerjanya tergusur secara paksa, pelaku ekonomi non formal yang harus kehilangan modal ekonominya dan lain sebagainya. Semburan Lapindo adalah petaka bagi kemanusiaan!.<br />Dalam perspektif politik, semburan Lapindo adalah komoditas politik yang bersisi dua. Komoditas yang “menyehatkan” dan bisa pula menjadi komoditas yang”membahayakan”. Sehingga karena kharakter-nya seperti itu maka seringkali pendulum politik terjebak dalam kebijakan normatif yang klise.<br /><br />“Masalah Lapindo diambil positif-nya saja Cak!” Sis Kucing mulai berkomentar.<br />“Maksudmu?!””Semburan Lapindo juga melahirkan manfaat bagi manusia”<br />“Manfaat opo Sis?!”<br />“Lapindo membuat orang semakin kreatif mencari rejeki” katanya, “Lihat itu, kalau kita ke Surabaya banyak orang yang mendapatkan limpahan rejeki sebagai pemandu jalan!”<br />“Lha .. <em>opo yo nyucuk</em> Sis?!”<br />“Manfaat sing paling penting… <em>pelajaran kanggo wong sugih, wong kuoso ojo mentang-mentang mergo kuasane lan ojo nyusahno wong cilik!!</em>”<br />“Tetapi Sis… manfaat yang paling penting menurutmu itu, belum terwujud sampai saat ini!” kataku menutup obrolan.<br /><br />Dalam proses kehidupan ini, huruf tiada henti mengeja. Terkadang huruf juga sering MENGHUJAT!!!Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-23076049559138678472008-12-05T16:12:00.000-08:002008-12-05T18:02:46.528-08:00Lik Mo dan Bulan "Besar"Jum'at sore itu...<br />Selepas menjembut Alam, anakku, dari sekolahnya di SDI Sabilillah. Kuajak ia bermain bola di depan rumahku. Itu karena akhir-akhir ini si Alam lagi sedang bersemangat untuk bermain bola, setelah kebelikan kustom kiper lengkap dengan sarung tangan-nya.<br />"Aku yang jadi kiper Yah!" katanya sambil mengambil 2 buah batu sebagai "tiang" gawangnya.<br />"Aku jadi Peter Cech!!" teriaknya lagi.<br />Sebuah<em> ritual</em> sederhana yang sering kulakan dengan anakku sebagai bentuk<em> mutual partnership </em>antara seorang ayah dan anak laki-lakinya.<em> </em><br />"Ayo Yah semangat biar gak tambah <em>gendhut!!</em> " teriaknya berulang kali.<br />Ketika kami berdua sedang bermain <em>tendang-tangkap, </em>kudengar suara motor yang begitu aku kenal. Suara <em>cempreng</em> khas motor 2 tak yang sudah <em>expired</em>. Motor Yamaha L-2 Super warna merah. Motor kebanggaan Lik Mo tetangga kampung asalku. Kuhentikan aktivitas <em>tendang-sepak </em>kami.<br />"Asalamu'alaikum!"<br />"Waalaikum salam" sahutku. "Kok <em>njanur gunung Lik?"</em><br />"Ya... berarti ada sesuatu yang penting <em>to".</em><br /><em>"Ayo Lik, pinarak!".</em><br />Sekilas kulihat wajah Alam <em>mbesengut </em>karena acara <em>tendang-tangkap</em>nya dihentikan secara paksa oleh kehadiran Lik Mo.<br /><br />"Lam!" Lik Mo memanggil Alam, "ini oleh-oleh dari <em>budhe</em>mu!".<br />Kulihat wajah Alam kembali terang binar. Rantang 2 susun dibukanya, 1 susun sayur lodheh <em>kikil </em>kesukaannya dan satunya lagi tampak tempe goreng dan <em>dadar jagung</em>.<br />"Waduh Lik... kok repot ae!" kataku sebagai <em>basi-basi </em>yang teramat klise.<br /><br />"Ada angin apa kok <em>kadingaren </em>Lik Mo <em>mak ujug-ujug </em>datang kesini?" tanyaku membuka percakapan.<br />"<em>Gini lho </em>Cak Su, inikan bulan "<em>besar" </em>..."<br />"Iya Lik aku tahu, bulan "<em>besar" </em>bulannya orang untuk berkorban, ya <em>to?! </em>aku menyela. Kebiasaan dosen yang sering tidak <em>sabaran.</em><br />"Itu salah satunya, tapi... salah salah yang lain masih ada Cak!"<br />"Salah apa Lik"<br />"Bulan besar itu bagi <em>wong dheso koyo aku iki </em>berarti juga bulan dengan pengeluaran besar!"<br />"<em>Maksute piye?"</em><br />"Waduh <em>sampeyan iki, pancen wong ndeso kabothan sragam</em>!!" sahut Lik Mo.<br />Aku diam saja, menunggu Lik Mo menyalakan rokok kretek ALAMI miliknya.<br />"Bulan ini bulan yang berat Cak!"<br />"<em>Berat apane Lik, yo podho ae tah</em>!"<br />"Cak Su, saiki nang <em>ndeso akeh wong kajatan, yo mantu.. yo nyunat.. mumet!</em>"<br />"Kok <em>sampeyan sing mumet to Lik?!"</em><br /><em>"</em>Waduh.. <em>lha iki, ono dosen kok ora </em>peka <em>babar blas!!!"</em>.<br />Sengaja aku diam.<br /><br />"Bayangkan saja, bulan ini aku menerima undangan <em>manten, sunatan </em>12 <em>wong!!"</em><br />"<em>Apik iku</em> Lik... berarti <em>sing nganggep sampeyan dhulur akeh!"</em><br />"Alhamdulillah... aku <em>yo </em>syukur, <em>jik akeh </em>wong sing <em>ngajeni lan ngundang </em>aku <em>masio mung wong cilik"</em>.<br />"Lha... terus <em>masalahe opo?"</em><br />"<em>Duwik</em> Cak Su... <em>Duwik</em>... Uang!!!, Bayangkan, upahku jadi buruh harian 20.000 <em>sedino, </em>tidak ada penghasilan lain, <em>bulik</em>mu <em>yo ora kerjo, </em>terus mau <em>buwuh </em>pakai apa?".<br />"<em>Yo... </em>pakai uang Lik, <em>mosok</em> amplop kosongan!"<br />"Mangkane aku kesini itu dengan maksud mau pinjam uang, <em>gitu lho </em>Pak Dosen Bagyo?!"<br /><em>"Welah dalhah... ngono to!"</em><br /><em></em><br />Kulihat Alam lagi menikmati oleh-olehnya Lik Mo dengan trampil dan cekatan.<br />"Bayangkan Cak Su, upahku dua puluh ribu sehari, untuk belanja dan <em>sangu</em>nya <em>arek-arek </em>hanya sisa 3.500, <em>lha </em>belum untuk beli rokok!"<br />"Lha <em>yo gak usah ngrokok </em>Lik!"<br /><em>"Penak sing omong!!"</em><br />"Terus Lik Mo mau pinjam uang berapa?" tanyaku.<br />"250 ribu <em>ae!"</em><br />"Kok pakai <em>ae!" </em><br />"Soalnya<em> </em>kanggo Cak Su, yang dosen dan akademisi uang 250 ribu itu sifatnya "hanya"... kecil".<br />"<em>Dapurmu</em> Lik!"<br />Akhirnya keluar juga uang 250 ribu yang rencananya aku gunakan untuk membayar SPP sekolahnya Alam.<br />"Suwun... <em>ojo arep-arep cepet disaur yo..."</em> ucap Lik Mo sambil melangkah pulang....<br /><br /><strong><em>Epilog</em></strong><br />Memang saat ini terjadi kondisi <em>paradoksal </em>yang teramat tajam di masyarakat kita. Orang-orang yang hidup di pedesaan dan tidak memiliki kemampuan ekonomi cukup seringkali mengalami kesulitan dalam memenuhi aktualisasi dirinya dalam hal menghadiri undangan-undangan semacam itu. Kesulitan yang lahir karena alasan ekonomis.<br />Tetapi dalam masyarakat perkotaan yang kebetulan juga memiliki kemampuan ekonomi untuk aktualisasi diri seringkali tidak mempunyai kesempatan atau waktu yang cukup untuk <em>"sekedar" </em>menghadiri undangan-undangan semacam itu. Kesulitan yang lahir karena alasan sempitnya waktu.<br />Akhirnya, secara prinsip semua orang yang mengundang hanyalah sekedar meminta do'a dan restu dan sedikit waktu untuk ikut berbagi kebahagiaan. Tidak lebih....<br /><br />Selamat kepada <em>Mas Rahmat Hidayat</em> dan <em>Mbak Zilla</em> yang telah melangsungkan pernikahan beberapa hari yang lalu, dan selamat pula kepada <em>Mbak Betty</em> yang juga melangsungkan pernikahan hari ini. Tiada kata kecuali selamat dan do'a agar semua menjadi bagian dari niatan ibadah, dibarokahi ALLAH dan menjadi keluarga yang <em>mawaddah warahmah</em>....<br />Selamat membuka lembaran hidup dalam <em>frame</em> yang baru kolegaku.... sahabatku.... saudaraku....Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-31747777029308049902008-12-05T15:10:00.000-08:002008-12-05T16:08:54.302-08:00Bencana Aids: Perspektif Hukum, Ekonomi dan Hukum Ekonomi<em>(pokok pikiran yang telah tersampaikan dalam rangkaian National Lifestyle Talkshow Menyambut Hari Aids Se-Dunia di halaman luar Mall Olympic Garden Malang (30 Nopember 2008) dan Sasana Budaya UM (1 Desember 2008)</em><br /><br /><br />Sore itu, selagi ribet menyiapkan makan malam untuk anakku, St. Ahmad Abdi Raja Semesta Alam, tiba-tiba hp-ku bergetar memanggil. Kring………<br />"Hallo, Asalamu’alaikum…, ini Lik Mo!"<br />"Waalaikum salam…, ada apa Lik?! Jawabku kepada Lik Mo, tetangga kampungku di Malang Selatan sana.<br />"Ini Cak Su" demikian ia selalu memanggilku, "Mau tanya, apa sih arti TALKSHOW itu?.<br />Waduh… ini tanda si Lik Mo yang lagi kumat wajah <em>dhesit</em>-nya, batinku. "Memangnya ada apa to Lik, kok tanya arti TALKSHOW segala".<br />"Itu lho, aku dengar berulangkali di radio Elfara FM katanya akan ada TALKSHOW di Malang"<br />"Oo… TALKSHOW itu <em>tontonan koyo ludruk tapi isine wong ngobrol</em>" jawabku sekenanya.<br />"Lha… kalau AKADEMISI iku opo?"<br />"AKADEMISI <em>iku artine</em> dosen" jawabku lagi, juga sekenanya.<br />"<em>Ealah…. Jebule dosen omong-omongan iku iso didadekno tontonan koyo ludruk tah?!</em>"<br />ELFARA FM: <em>"Hadirilah talkshow dalam rangka Hari Aids Se-Dunia di halaman luar MOG pada tanggal 30 Nopember dan di Sasana Budaya UM pada tanggal 1 Desember 2008 dengan narasumber satu ……… dua…….tiga Subagyo, SE., SH., MM seorang ‘AKADEMISI UM’…"</em><br /><em></em>"Ya sudah Cak Su, eh….. Pak Akademisi UM!!"<br />???!!!<br /><br /><br /><strong><em>Korelasi Aids dan Hukum</em></strong><br />Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh KPA (Komisi Penanggulangan Aids) terdapat 2 jalur utama yang menjadi <em>channel</em> bagi transmisi HIV/AIDS yaitu (1) Jalur transmisi melalui perilaku seks tidak sehat, (2) Jalur transmisi melalui pemakaian bersama jarum suntik oleh IDU’s <em>(Injecting Drug Users)</em> atau penasun.<br />Transmisi melalui seks tidak sehat bermuasal dari perilaku seks yang yang menyimpang, yaitu proses seksual yang dilakukan tidak dengan pasangan-nya. Perilaku seks seperti ini dimanjakan dengan kondisi dimana bisnis prostitusi masih beredar secara masif dengan berbagai bentuk tampilan wajah. Ada yang masih berwajah konvensional seperti kawasan wisata seks di Dolly Surabaya atau dengan topeng tersamar (salon, karaoke, panti pijat, call girl dan lain sebagainya). Memang praktek prostitusi yang sudah ada sejak jaman <em>kalabendhu</em> akan terus ada selalu ada dimuka bumi ini. Pertanyaannya adalah <strong><em>"dimana dan kemana hukum??</em></strong>"<br />Praktek prostitusi adalah kegiatan ilegal yang berarti tidak dibenarkan oleh hukum positif kita. Sehingga secara ideal <em>(das sollen)</em> hukum harus menunjukkan otoritasnya. Jika hukum mampu menunjukkan kewibawaan yang disandangnya, maka akan ber-implikasi pada pengurangan angka penderita HIV/AIDS melalui transmisi seks tidak sehat ini. Hukum harus menekan tingkat <em>supply</em> dan <em>demand</em> jasa yang ditawarkan oleh praktek prostitusi dengan melakukan penindakan hukum secara tegas dan semestinya.<br />Mengapa transmisi ini mendominasi? Hal ini disebabkan oleh tidak tampaknya gejala atau perubahan secara fisik bagi orang yang secara nyata mengidap HIV/AIDS. Sehingga pengidap ini akan dengan mudahnya (disadari ataupun tidak disadari) bisa menularkan kepada lawan-lawan aktivitas seks-nya yang lain. Sehingga jargon NO KONDOM NO SEX relevan untuk diterapkan dalam konteks realitas dimana transaksi bisnis seksual tidak bisa (baca: belum bisa) diredam oleh hukum.<br />Transmisi HIV/AIDS melalui pemakaian bersama jarum suntik oleh IDU’s atau penasun juga didorong masih lemahnya hukum (lebih tepatnya, aparat hukum) dalam menekan peredaran narkoba, psikotropika dan zat aditif lainnya. Saat ini kita sudah memiliki UU Narkotika, UU Psikotropika tetapi lagi-lagi UU ini kurang memiliki makna dalam tataran <em>Legal Action</em> sehingga tingkat supply barang-barang haram itu masih mudah didapatkan oleh para penasun. Dan kondisi ini didukung/diperparah pula oleh perilaku penasun yang menggunakan jarum suntik yang dipakainya secara bergantian/bersama-sama. Dan dalam proses inilah transmisi HIV/AIDS berjalan. Dalam perspektif ini hukum harus memberantas kegiatan produksi, distribusi yang berujung pada supply dari barang berbahaya ini, dan menggunakan pendekatan <em>restitutif</em> sebagai bagian dari pemidaan yang mewajibkan bagi para pecandu narkoba untuk mendapatkan rehabilitasi (medis dan sosial) sesuai dengan UU Narkotika. Tetapi dalam kenyataanya <em>(das sein)</em> hukum masih selalu memilih pendekatan punitif tanpa kewajiban rehabilitasi. Hal ini menyebabkan hukum tidak bisa secara efektif mengurangi <em>supply</em> karena pada sisi <em>demand</em> hukum tidak bisa mereduksinya.<br /><br /><strong><em>Relasi Aids dan Ekonomi</em><br /></strong>Transmisi HIV/AIDS melalui <em>channel</em> pertama dan kedua seperti dijelaskan diatas, memiliki keterkaitan erat dengan aktivitas ekonomi dalam hal ekonomi sebagai pemicu dan ekonomi sebagai korban.<br /><em>Ekonomi sebagai Pemicu</em><br />Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja seks komersial didorong oleh kondisi ketakmampuan secara ekonomi. Ketiadaan akses terhadap faktor modal ekonomi menyebabkan mereka menjadi pekerja seks komersial. Jalur yang relatif lebih mudah untuk mendapatkan kemampuan daya beli <em>(purchasing power)</em> ekonomi. Secara <em>kodrati trasenden</em> dan normatif tidak ada seorangpun baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki keinginan bahkan <em>'bayangan' </em>menjadi seorang pelacur. Mereka bergerak ke ranah bisnis seksual karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan faktor modal ekonomi dan industri prostitusi-lah yang rela memberikan <em>"sedekah kebaikan" </em>bagi mereka. Dalam konteks ini maka HIV/AIDS dapat direduksi dengan kebijakan ekonomi yang ber-kemakmuran dan ber-keadilan bagi semua, sehingga akan mereduksi tingkat <em>supply</em> seks komersial.<br />Dalam perspektif pengelola dan <em>stakeholder </em>industri portitusi, bisnis seks komersial merupakan bisnis yang mendatangkan <em>abnormal return </em>yang signifikan. Dalam industri ini memiliki tingkat perputaran/peredaran uang yang sangat besar. Kalkulasi ini dapat diperoleh dari transaksi <em>core </em>bisnis-nya dan bisnis turunan-nya, misalnya: alat kecantikan dan kosmetika, minuman keras, makanan, restribusi parkir dan lain-lain (dan sangat mungkin obat kuat juga!). Perputaran uang yang beredar inilah yang membuat kegiatan bisnis ini lestari dan sulit untuk <em>ter-usik. </em>Kemungkinan terdapat <em>rembesan</em> rejeki terhadap berbagai pihak <em>(stakeholder) </em>menyebabkan sungguh teramat sayang jika bisnis ini di-"lenyapkan". Demikian pula hal-nya yang terjadi dalam industri narkotika.<br /><em>Ekonomi sebagai Korban</em><br />Ini juga berdasarkan hasil penelitian, bahwa prosentase penderita HIV/AIDS 80% adalah mereka yang masuk dalam katagori usia produktif seksual dan usia produktif ekonomi. Tentunya usia produktif ekonomi yang terjangkit HIV/AIDS ini tidak akan bisa ikut berkontribusi maksimal dalam kegiatan ekonomi masyarakat-negara. Bahkan keberadaan mereka akan berimplikasi pada keharusan pengeluaran biaya ekonomi yang digunakan untuk merawat, rehabilitasi, riset dan lan sebagainya. Secara teori ekonomi harus ada biaya kesempatan <em>(opportunity cost) </em>yang harus dikeluarkan karena keberadaan pengidap HIV/AIDS.<br /><br /><strong><em>Interdepensi Aids dan Hukum Ekonomi</em></strong><br />Dalam perspektif hukum ekonomi dikatakan bahwa <em>"setiap permintaan pasti akan dipenuhi dengan penawaran"</em>. Adanya kondisi <em>demand </em>terhadap barang/jasa akan memicu pelaku ekonomi untuk memuaskan keinginan/permintaan itu, dan pada akhirnya lahirlah <em>supply</em>.<br />Sehingga harus ada identifikasi yang jelas tentang faktor yang membentuk sebuah <em>kurva </em>permintaan dan penawaran dalan transaksi bisnis seksual dan bisnis narkotika.<br />Pada tataran ini hukum ekonomi hanya bisa mengurai dalam aspek motif dan prinsip ekonomi tetapi tidak akan bisa menjawab pada tataran pimicu dari faktor non ekonomi. Untuk itu diperlukan pendekatan solusi dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk mengurai masalah kemanusian ini.<br /><br /><br />"Hallo… assalamu’alaikum!"<br />"Ada apa lagi Lik Mo"<br />"Menurut sampeyan lebih enak mana koruptor sama pengidap HIV/AIDS?"<br />"Lha mesthi gak penak kabeh to Lik!?" jawabku.<br />"<em>Seje</em>, kalau aku <em>yo milih</em> dadi koruptor <em>ae</em>!"<br />"<em>Alesane pripun</em>?"<br />"Kalau pengidap HIV/AIDS <em>sak umur-umur soro ra karuan</em> tetapi kalau koruptor <em>apes-apese mung siji rong taunan, pancet sugih pitung turunan</em>"<br />"Lha… Lik Mo mau korupsi opo?"<br />"Lha… <em>kuwi masalahe</em>, jadi koruptor lebih sulit <em>mergo</em> harus punya kekuasaan <em>nangging</em> jadi pengidap HIV/AIDS <em>luwih gampang carane tur</em>……"<br />"Sudah Lik, <em>ojo nglantur</em>!!" kumatikan HP. Giliran aku disergap hening dan sepi…<br /><br /><em>(talkshow ini berlangsung dengan beberapa narasumber: penulis, Widiyatna, M.Si-Representatif HIV dari KDT Jakarta, Dr. Latief Bustami-antropolog dan konsultan UNDP, Merlin Sopjan-Duta Aids Indonesia dan Miss Waria dan Ronal Lay-Pengidap Positif HIV/AIDS)</em>Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-67762587809853304192008-12-04T19:01:00.000-08:002008-12-04T19:11:58.539-08:00krisis keuangan global: konsepsi hak publik dan corporate governance<em>(makalah disampaikan dalam Diskusi Panel "Krisis Keuangan Global dan Implikasinya Bagi Perekonomian Indonesia" di Sasana Budaya Universitas Negeri Malang 3 Desember 2008)</em><br /><br /><strong><em>A. Sebuah “Moment Opname”<br /></em></strong>Sore itu, ditemani rokok yang selalu terselip diantara dua jarinya, Lik Mo ngah-ngoh didepan televisi 14 inch-nya. Berita yang ia tonton menyuguhkan kabar yang tidak sepenuhnya ia pahami. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengalami penurunan, nilai rupiah ter-depresiasi terhadap Dollar Amerika, kebijakan buy back saham yang digulirkan pemerintah, kebijakan Lembaga Penjaminan Simpanan yang menaikkan jaminannya dari 100 juta menjadi 2 miliar, SBY yang setelah nonton Laskar Pelanggi langsung memanggil menteri-nya untuk merapatkan sesuatu yang kelihatannya teramat penting, krisis keuangan global. “Waduh… kabar opo maneh iku” gumam Lik Mo. Berita sore yang ditontonnya hanya menyenangkan baginya kala melihat presenter yang “jauh” lebih segala-galanya dari istrinya dan kabar tentang sedhulur lanang Barack Husein Obama yang lagi nyapres AS.<br /><br />Sebagai petani kecil yang tidak pernah mangan sekolahan terlalu sulit bagi Lik Mo untuk mengunyah suguhan-suguhan berita tentang IHSG, depresiasi, inflasi, blanket quarantee, BI rate, suspend, auto rejection, PDB yang oleh orang-orang selain Lik Mo seakan dijadikan dzikir dan jimat yang keramat. “Sing penting iso tuku beras!” kata Lik Mo suatu saat, “Kabeh wis ono sing ngatur, pengeran ora nate sare, pengeran ora bodho!”.<br /><br />Suatu saat dipagi yang masih berselimut kabut tipis, aku melihat Lik Mo sedang menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi dengan daun kering yang berserakan dari dua pohon manga-nya. “Lik Mo” begitu aku menyapanya. Lik Mo menghampiriku dan bertanya kabar dan kapan datang. “Tadi malam Lik” sahutku. Setelah itu kami ngobrol ngalor ngidul. “Cak Su” demikian Lik Mo selalu memanggilku. “Kata wong pakar di televisi kebijakan pemerintah yang menaikkan jaminan terhadap simpanan duwite orang kaya itu hanya untuk melindungi dan sekaligus menguntungkan wong-wong sugih itu. Betul tah?” tanya Lik Mo. “Ono benere tur yo ono salahe Lik” jawabku pendek. “Gimana sampeyan itu, jarene guru perguruan tinggi kok gak teges tur ora iso negesi” komentar Lik Mo menimpali. “Lha yen itu benar, Lik Mo mau apa?” . “Sak bejo-bejone wong sing mlarat isih bejo wong kang sugih lan kuasa” guman Lik Mo sambil menatapku. Pilu…<br /><br /><strong><em>B. Krisis dan Kontestasi Paham</em></strong><br />Ada dan berada-nya krisis bukanlah sesuatu yang mandiri. Krisis dilahirkan dari sebuah proses “meng-ada” untuk menjadi ada. Proses inilah yang jalin-menjalin sehingga menjadi sesuatu “ada” yang disebut dengan krisis. Sehingga pertanyaan awal-nya adalah “asal muasal krisis itu darimana? Ibu yang melahirkan krisis itu siapa? Dan siapa pula laki-laki yang ikut ber-kontribusi dari kelahiran krisis ini?<br /><br /><em>Episentrum Krisis</em><br />Pasar Keuangan AS merupakan episentrum krisis keuangan global saat ini. Sebenarnya tanda-tanda krisis sudah mulai muncul sejak pertengahan tahun 2006. Hal ini ditandai dengan default-nya KPR yang bernama sub prime mortgage. (Sunarsip, 2008). Nilai KPR yang menggelembung menjadi lebih kurang US$ 10 triliyun dan ¾ dari nilai itu dikemas dalam bentuk sekuritas derivatif yang bernama MBS (Mortgage Backed Securities) dan CDO (Collateralized Debt Obligations) yang ditransaksikan di pasar modal memiliki andil dalam mempercepat krisis. Bubble KPR ini juga didukung dengan rendahnya tingkat bunga di AS pada kurun waktu 2001-2005, yang mengakibatkan pertumbuhan KPR begitu masif. Saat KPR ini default, saat itulah pasar keuangan AS mengalami kontraksi dan mulailah bertumbangan investment bank AS dan Eropa yang memiliki portofolio investasi dengan basis MBS dan CDO itu. Hal ini diperparah pula dengan kondisi fundamental ekonomi AS yang mengalami defisit ganda ( twin deficit), yaitu defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan (current account) yang sampai bulan September 2008 mencapai US$ 455 miliar (The Indonesia Economic Intellegence, 2008).<br /><br /><em>Kontribusi Kapitalisme</em><br />Kapitalisme yang dimotori oleh Adam Smith (1776) dan menjadi roh sistem ekonomi saat ini memiliki peran penting dalam kelahiran krisis. Mazhab ekonomi yang menempatkan kebebasan individu dan korporasi serta me-nihil-kan peran negara dalam aktivitas ekonomi telah menimbulkan distorsi ekonomi dengan tidak tercapainya titik keseimbangan ekonomi yang dikehendakinya. Premis tentang “Tangan Tuhan” (the invisible hand) yang diharapkan akan menolong bagi terciptanya keseimbangan ekonomi terbukti tidak bisa “berbuat banyak”. Pun, jika dipaksakan gerakan “Tangan Tuhan” ini juga akan meminta biaya ekonomi yang tidak sedikit, selayaknya Gol Tangan Tuhan saat Maradona menciptakan gol ke gawang Inggris. Kontroversial….<br />Paham inipun juga menyemai pergeseran aktivitas ekonomi dari ekonomi yang bersifat oeikos menjadi aktivtas ekonomi yang sarat dengan transaksi uang (cremanistik). Aktivitas yang terakhir ini memiliki kapitalisasi yang besar dan berimplikasi kepada kondisi “decoupling” yang men-jarak-kan antara pasar keuangan dengan aktivitas ekonomi sektor riil. Dan kondisi itu berlanjut dengan lahirnya kondisi timpang antara kinerja pasar keuangan dengan pergerakan ekonomi sektor rill.<br /><br /><em>Sumbangan Bad Corporate Governance (BCG)</em><br />Prinsip Good Corpoate Governance (GCG) yang meliputi fairness, tranparancy, accountability dan responsibility tidak dijalankan dengan optimal dan bertanggung jawab oleh sebagian korporasi. Lahirnya BCG didorong oleh penerapan dan penegakan hukum yang tidak maksimal, terkonsentrasinya kepemilikan saham kepada segelintir orang/korporasi (concentration ownership) yang menimbulkan masalah kompleks terhadap pengelolaan perusahaan. (Herdinata 2008). Terdapat banyak perusahaan yang bertipe “spekulatif” melakukan corporate action yang ekspansif tanpa mempedulikan kekuatan struktur modal yang dimilikinya. Kondisi ini ikut berkontribusi efektif dalam membuat krisis keuangan semakin akut. Investasi ekspansif tersebut didanai dengan menerbitkan instrumen keuangan yang ditransaksikan di pasar keuangan. Dan intrumen ini memiliki potensi default yang besar. Pada tataran akhir kondisi ini akan mendorong penurunan harga intrumen keuangan yang bersangkutan dan bisa memberikan domino efect kepada instrumen yang lain.<br /><br /><em>Contagion Effect</em><br />Semakin terintegrasinya pasar keuangan antar negara dan benua menyebabkan begitu mudahnya terjadinya “keluar-masuk” dana antar negara dan benua di pasar keuangan suatu negara. Sehingga kontraksi yang terjadi di dalam sebuah pasar keuangan suatu negara akan memiliki implikasi di pasar keuangan negara lain.<br />Terdapat 2 pintu masuk bagi pengaruh krisis keuangan global ke Indonesia, yaitu jalur perdagangan (trade channel) dan jalur aliran modal (capital channel). (Prasetyantoko 2008). Jalur perdagangan dimulai dari terjadinya penurunan daya serap atas produk ekspor karena melemahnya permintaan warga masyarakat negara importir sehingga menyebabkan pertumbuhan ekspor menurun dan berimplikasi kepada penurunan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus akan menyebabkan daya beli masyarakat juga mengalami penurunan. Sedangkan jalur aliran modal dimulai dari tingkat ekspektasi investor terhadap instrumen keuangan yang negatif sehingga menyebabkan terjadinya excess demand terhadap instrumen keuangan di Indonesia. Lebih lanjut kondisi ini akan menyebabkan penurunan harga instrumen keuangan.<br /><br /><strong><em>C. Negosiasi Kebijakan (Otoritas vs Pasar)<br /></em></strong>Menyambut krisis yang terjadi ini. Pemerintah yang menjadi pemegang otoritas (ideal-nya tidak hanya di-pegang tetapi juga di-gunakan!) telah merespon dengan gegap ( tetapi tidak gempita) atas krisis ini. Bahkan lebih”gegap” daripada menyambut Hari Pahlawan kemarin. (Yang menurut Rocky Gerung-Kompas 18 Nopember 2008- hanya sebagai Dagangan Politik dengan Komoditas Kepahlawanan).<br /><br /><em>Stabilitas Sebagai Hak Publik</em><br />Terjadinya ketakstabilan ekonomi dan keuangan akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan segenap warga masyarakat. Kondisi “tidak stabil” menimbulkan ketidakpastian yang berbiaya mahal. Hal ini timbul karena terdapat premi risiko yang akan selalu diminta oleh pelaku ekonomi rasional terhadap keputusan ekonomi yang akan dilakukannya. Dalam perspektif yang lain, suasana yang tidak menentu akan memicu beberapa pelaku ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang abnormal dengan tindakan spekulasi yang mereka lakukan. Sehingga premi risk dan gairal spekulasi ini akan membuat ketidakstabilan menjadi semakin parah dan menakutkan!.<br />Pada titik inilah pemegang otoritas harus melakukan “sesuatu” untuk menimalisasi risiko, dan serangkaian kebijakan harus segera dilahirkan. Secara normatif langkah pemegang otoritas ini sebagai cerminan atas pemenuhan hak publik masyarakat atas “stabilitas ekonomi keuangan”.<br /><br /><em>Otoritas vs Pasar<br /></em>Dalam tataran riil dominasi otoritas selalu berhadapan dengan kekuatan pasar. Ada proses “negosiasi” dalam kebijakan yang diambil. Pada tanggal 15 Oktober, SBY telah mengeluarkan 10 direktif presiden serta diikuti pula lahirnya Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Dan pada tanggal 28 Oktober 2008 yang lalu (pas 100 tahun Sumpah Pemuda), pemerintah telah memutuskan 10 langkah untuk merespon perkembangan pasar keuangan akibat dampak krisis global. Kesepuluh langkah ini bermuara pada 2 tujuan, yaitu (1) menjaga keseluruhan kegiatan ekonomi agar tidak banyak mengalami gangguan, menjaga keselamatan dan keamanan perekonomian, (2) melakukan respon terhadap kesulitan yang dihadapi pelaku ekonomidan menjaga dari dampak yang tidak menguntungkan.<br /><br /><strong><em>D. Implikasi Negosiasi Kebijakan<br /></em></strong>Sebagai sebuah proses yang dinamis, maka negosiasi kebijakan itu pastilah menimbulkan beragam implikasi. Dan implikasi positif (atau negatif dengan taraf yang paling minimal) yang pasti diinginkan oleh pengampu kebijakan. Salah satu misal adalah SKB 4 Menteri terkait dengan upah buruh (normatif sebagai pengaman buruh akibat krisis) menimbulkan implikasi yang luas. Ketika kenaikan upah buruh diputuskan tidak boleh lebih dari pertumbuhan ekonomi, saat itu pula buruh melakukan ekspresi ketakpuasan. Sampai pada tataran akhirnya pada perubahan SKB 4 Menteri itu yang menyatakan bahwa kenaikan upah buruh senilai maksimal besaran inflasi yang terjadi. Revisi inipun masih belum memuaskan semua pihak. Kebijakan untuk menaikkan jaminan simpanan oleh LPS dari 100 juta menjadi 2 miliar pun masih menimbulkan diskursus pro dan kontra. Antara potensi terjadinya moral hazard bagi manajemen bank dan potensi terjadinya capital out flow. Interaksi negosiasi ini masih terus akan menciptakan diskursus dalam perspektif kepentingan masing-masing.<br /><br /><strong><em>E. Rekomendasi dan Epilog</em></strong><br />Kembali ke “moment opname” diatas, saat ini Lik Mo sedang berbual-bual di sebuah rumah tetangganya ba’da tahlilan rutin yang menjadi tradisi dikampungnya setiap malam Jum’at. Ia sedang dengan rakus-nya menguasai pembicaraan, sedang on fire. “……….maka kesimpulannya adalah krisis saat ini masih dalam tataran pengurangan kekayaan orang kaya (wealth) belum sampai pada tataran penurunan daya beli (purchasing power) sehingga pemerintah harus mencegah dan meminimumkan terjadinya dan efek dari penurunan daya beli masyarakat itu.” ia diam sejenak mengambil nafas dan sesekali menengok kiri kanan melihat reaksi “lawan-lawan” bicaranya. “….. salah satu yang dilakukan adalah memberikan insentif dalam kebijakan fiskal terhadap pelaku sektor rill dan memberikan insentif pula dengan perspektif bunga atau moneter dengan memberikan tingkat bunga acuan yang relatif lebih “kondusif”.<br />“Lik Mo!” panggil Sis Kucing sambil melempar korek kayu ke badan Lik Mo, “Apa yang Lik Mo katakan tadi itu benar tah ora?” tanya Sis Kucing. “Kalau ditanya benar atau tidak, ya tanya saja sama Cak Su, ndak tau aku!” jawab Lik Mo sekenannya. “Aku juga ndak tau apakah yang disampaikan Cak Su itu kepadaku tempo hari itu, apa hasil pikir-nya Cak Su sendiri, atau pikir-nya koran yang dibacanya, atau pikir-nya buku atau yang lain,….. atau jangan-jangan pikir teman-temannya atau malah hasil dari TIDAK BERPIKIR!!!” lanjut Lik Mo. “Telpon saja Cak Su, ini nomernya!!”. Lanjut Lik Mo sambil mengeja nomer HP Cak Su, 08123354850. “Atau telpon fleksi-nya saja, biar lebih murah 7553518, atau ngimil saja di <a href="mailto:lurahe_ndoko@yahoo.com"><em>lurahe_ndoko@yahoo.com</em></a>” lanjut Lik Mo seperti orang belajar membaca. Kring…. kring….. “Asalamu’alaikum, ini Lik Mo……”. HP langsung kumatikan saat itu juga. Hening…… Sepi……….Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-58310765818569187362008-06-04T19:44:00.000-07:002008-06-04T19:55:29.766-07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZjHL1yacRRHPFCivXiIvahEsVqJEYq1IweYOHEIHGNjI8xZBNloQdxpBwIqJsSqU4hbjSr5xDjvXNsjBGKHw_rGu-dw-KjMi3BXu0hP08RFXzPRav4WVR8fEDVsCOSF4sFlutWp5PQCQe/s1600-h/bata_de_coco.gif"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZjHL1yacRRHPFCivXiIvahEsVqJEYq1IweYOHEIHGNjI8xZBNloQdxpBwIqJsSqU4hbjSr5xDjvXNsjBGKHw_rGu-dw-KjMi3BXu0hP08RFXzPRav4WVR8fEDVsCOSF4sFlutWp5PQCQe/s320/bata_de_coco.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5208225319003260146" border="0" /></a><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">PKM Kewirausahaan dan Pengabdian Masyarakat</span></span><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">: Sebuah Pedoman Substansial Penyusunan Proposal</span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">(makalah disampaikan dalam Pelatihan Penyusunan Proposal PKM di FMIPA Universitas Negeri Malang Sabtu 7 Juni 2008)</span></span><br /><br />Universitas Negeri Malang (UM) merupakan perguruan tinggi yang menempati rangking kelima nasional dalam hal tingkat respon mahasiswa terhadap penyusunan proposal PKM. Dan selama kurun waktu 4 tahun terkahir ini, jumlah proposal yang dikrim dan didanai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 2008 ini terdapat lebih dari 120 proposal yang didanai oleh Dikti dengan kisaran pendanaan antara 5 juta sampai dengan 6 juta. Beberapa saat yang lalu, PKM yang didanai ini telah dimonitor oleh tim monitoring Dikti dan selanjutnya akan berangkat ke Universitas Sultan Agung Semarang untuk mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS).<br /><br />Makalah ini disusun dengan maksud untuk memberikan sebuah pedoman substansial tentang bagaimana menyusun proposal PKMK (Kewirausahaan) dan PKMM (Pengabdian Masyarakat). Untuk pedoman teknis secara lengkap dapat didownload di website-nya Dikti di www.dikti.go.id. Makalah ini disusun dengan 2 bagian, bagian pertama merupakan deskripsi tentang penyusunan proposal PKMK dan bagian kedua merupakan seskripsi tentang penyusunan proposal PKMM.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">I. Pedoman Substansial Penyusunan Proposal Program Kreatifitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK)</span><br />Terdapat beberapa langkah untuk menyusun proposal PKMK, langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:<br />a. Memahami Inti Kegiatan PKMK<br />Inti kegiatan PKMK adalah kegiatan yang berupa karya kreatif, inovatif dalam membuka peluang usaha yang berorientasi pada profit yang didahului dengan survey pasar. Dan dalam PKMK sama sekali tidak diijinkan dilakukannya penelitianpercobaan untuk mencari temuan.<br />b. Membaca, mencermati dan memahami Panduan Teknis Penyusunan Program Kreatifitas Mahasiswa<br />Hal ini penting karena ketidakpatuhan terhadap panduan teknis ini akan mengakibatkan proposal yang ditulis tidak lolas dalam seleksi di Dikti. Panduan teknis inilah yang wajib diikuti dan bukan aturan dalam gaya selingkung yang berlaku di UM.<br />c. Membaca dan mencermati karya-karya PKMK yang telah selesai dikerjakan sebagai referensi dalam penulisan. Karya ini dapat anda lihat di www.dikti.go.id dan di Subag MPI Kemahasiswaan A3 Lt 3.<br />d. Menemukan dan menentukan PRODUK yang akan dihasilkan dalam program ini.<br />Dalam PKMK luaran yang diharapkan adalah berupa barang dan atau jasa komersial. Sehingga penentuan tentang PRODUK apa yang akan dihasilkan haruslah merupakan hasil dari pertimbangan yang matang. Trend dikti akhir-akhir ini (dilihat dari PKMK yang didanai) adalah produk yang memiliki nilai tambah ekonomi besar dan diferensiasi produk makanan. Misalnya: Susu Kental Manis dari Kacang, Kertas Bekas sebagai Tas Belanja Eksklusif, Gula Kubus Rendah Kalori, Kripik Daun Beluntas, Desain Produksi dan Pemasaran Busana dan lain-lain.<br />Dalam tahap ini PRODUK yang dirancang haruslah unik, menarik dan memiliki peluang pasar yang baik serta dapat diproduksi dengan kisaran dana sebesar 6 juta rupiah.<br />e. Identifikasi Peluang Usaha<br />Dalam tahap ini dilakukan identifikasi terhadap peluang usaha atas PRODUK yang akan kita hasilkan. Untuk melakukan identifikasi peluang usaha ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab, yaitu: (1) siapa konsumen yang akan dibidik atau segmen pasar-nya siapa? (2) bagaimana kharakteristik daya beli atas segmen ini? (3) ada atau belum adakah produk sejenis yang menjadi pesaing? (4) dimana produk itu akan dipasarkan? (5) bagaimana potensi pasar yang akan dituju? (6) bagaimana bahan baku diperoleh?<br />Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, disusun dengan baik dan menjadi bagian dalam bagian latar belakang.<br />f. Gambaran Umum Rencana Usaha<br />Dalam bagian ini dijelaskan tentang kondisi umum lingkungan yang menimbulkan gagasan menciptakan kegiatan usaha. Gambaran mengenai potensi sumber daya dan peluang pasar termasuk analisis ekonomi usaha yang direncanakan. Serta menyajikan peluang perolehan keuntungan dan keberlanjutan usaha.<br />Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu: (1) hasil identifikasi peluang usaha diungkap lagi di Gambaran Umum Rencana Usaha dengan deskripsi yang lebih detail dan didukung dengan data yang diperoleh dari survey pasar, (2) identifikasi kebutuhan dana. Kisaran dana yang diperbolehkan adalah maksimal 6 juta rupiah, tetapi jika terdapat kerjasama usaha maka diperbolehkan dana lebih besar dari 6 juta rupiah yang tambahannya berasal dari mitra usaha tersebut. Jumlah dana yang dimaksudkan disini merupakan dana investasi dan dana untuk modal kerja. Dana investasi meliputi: pembelian alat, sewa tempat dan lain-lain. Sedangkan modal kerja meliputi: pembelian bahan baku, bahan pembantu, upah tenaga kerja langsung dan lain-lain (dana yang diperlukan dalam satu putaran arus kas). (3) menghitung harga pokok produksi per unit. HPP per unit ini dilakukan untuk membuat proyeksi arus kas atau usaha yang dilakukan. HPP ini dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya bahan baku, bahan penolong, tenaga kerja langsung, biaya pengemasan dan lain-lain (biaya yang dikeluarkan sejak pembelian bahan baku sampai dengan produk itu siap dijual). (4) membuat proyeksi penjualan. Proyeksi ini haaruslah dilakukan secara rasional dengan mempertimbangkan kapasitas modal, kapasistas produksi dan potensi pasar. Cara yang paling sederhana adalah menetapkan persentase trend pertumbuhan dengan nilai tertentu. (5) membuat proyeksi arus kas. Dalam kegiatan bisnis arus kas dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu arus kas masuk dan arus kas keluar. Semua pendapatan diakui sebagai arus kas masuk dan semua pengeluaran diakui sebagai arus kas keluar. Arus kas masuk dikurangi arus kas keluar, jika menghasilkan sisa positif maka akan menjadi saldo kas pada bulan berikutnya dan sebaliknya. (6) setelah proyeksi arus kas selesai dibuat selanjutnya melakukan studi kelayakan. Cara yang paling mudah adalah dengan menggunakan metode Pay Back Period (Periode Pengembalian Investasi) dengan menjumlahkan saldo kas setiap bulan sampai sama dengan nilai investasi yang dikeluarkan. Dan yang kedua dengan Net Present Value (NPV) dengan melakukan pengurangan saldo kas dengan nilai investasi yang dilakukan. Jika menghasilkan angka positif maka usaha itu layak untuk dilakukan.<br />Informasi yang diperoleh dari langkah 1 sampai dengan 6 ini disusun dengan kalimat yang baik untuk mengisi dalam Gambaran Umum Rencana Usaha, dan hasil perhitungan yang bersifat teknis dapat dilampirkan di bagian lampiran.<br />g. Metode Pelaksanaan Program<br />Pada bagian ini dijelaskan mengenai: (1) perencanaan awal, (2) penyiapan bahan baku dan bahan penolong (3) rekruitmen dan pengelolaan pekerja (4) teknik produksi, (5) metode dan strategi penjualan, (6) strategi promosi, (7) mekanisme evaluasi. Penjelasan metode pelaksanaan ini diupayakan jelas, sehingga reviuwer mengetahui gambaran secara pasti dan utuh seperti apa pentahapan program ini akan dilaksanakan.<br />h. Menyusun proposal utuh sesuai dengan panduan teknis Dikti. Bagian ini meliputi; Judul Program, Identifikasi Peluang Usaha, Perumusan Masalah, Tujuan Program, Luaran Yang Diharapkan, Kegunaan Program, Gambaran Umum Rencana Usaha, Metode Pelaksanaan Program, Jadwal Kegiatan Program, Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok, Nama dan Biodata Dosen Pendamping, Biaya dan Lampiran.<br />i. Diskusikan setiap tahapan dengan dosen pembimbing dan cermati apakah tulisan sudah sesuai dengan format yang ditentukan atau belum. Dan juga perlu diperbaiki penggunaan bahasa dan tata tulis yang benar.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">II. Pedoman Substansial Penyusunan Proposal Program Kreatifitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM)</span><br />Terdapat beberapa langkah untuk menyusun proposal PKMM, langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:<br />a. Memahami Inti Kegiatan PKMM<br />Inti kegiatan PKMM adalah kegiatan yang berupa karya kreatif, inovatif dalam membantu masyarakat, yaitu program yang mampu memberikan peningkatan kecerdasan, ketrampilan dan pengetahuan masyarakat seperti penataan dan perbaikan lingkungan, pelatihan ketrampilan masyarakat, pengembagan kelembagaan masyarakat, penciptaan karya seni dan lain-lain. PKMM menuntut ditetapkannya masyarakat sasaran strategis dan persoalannya sebelum menyusun proposal. Pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam kegiatan pengabdian sudah harus dikenal dan dikuasi dan tidak ada kegiatan penelitian dalam PKMM.<br />b. Membaca, mencermati dan memahami Panduan Teknis Penyusunan Program Kreatifitas Mahasiswa<br />Hal ini penting karena ketidakpatuhan terhadap panduan teknis ini akan mengakibatkan proposal yang ditulis tidak lolas dalam seleksi di Dikti. Panduan teknis inilah yang wajib diikuti dan bukan aturan dalam gaya selingkung yang berlaku di UM.<br />c. Membaca dan mencermati karya-karya PKMM yang telah selesai dikerjakan sebagai referensi dalam penulisan. Karya ini dapat anda lihat di www.dikti.go.id dan di Subag MPI Kemahasiswaan A3 Lt 3.<br />d. Menemukan dan menentukan PERSOALAN atau MASALAH dalam masyarakat sasaran.<br />Dalam PKMK luaran yang diharapkan adalah peningkatan kecerdasan, ketrampilan dan pengetahuan masyarakat sasaran yang dapat berbentuk JASA atau DESAIN BARANG. Trend dikti akhir-akhir ini (dilihat dari PKMM yang didanai) adalah kegiatan yang mampu menghasilkan ketrampilan bagi masyarakat yang berujung pada adanya tambahan penghasilan bagi masuarakat sasaran. Misalnya: Pemanfaat Kain Perca Sebagai Sumber Ekonomi Baru Masyarakat, Pembuatan Kripik dan Permen Susu Bagi Peternak Sapi Perah di Pujon, Pembuatan Hiasan Rumah Tangga Berbahan Limbah dan lain-lain. Dalam tahap ini PERSOALAN atau MASALAH yang dirancang haruslah unik, menarik dan jika masalah ini diurai akan memberikan makna signifikan bagi masyarakat sasaran.<br />e. Latar Belakang Masalah<br />Dalam tahap ini dilakukan identifikasi terhadap PERSOALAN atau MASALAH yang dihadapi oleh masyarakat sasaran. Diuraikan pula PENYEBAB dan DAMPAK yang ditimbulkan akibat keberadaan masalah itu. Serta dijelaskan pula mengenai potret, profil dan kondisi khalayak sasaran dan juga potensi wilayah dari segi fisik, sosial, ekonomi maupun ligkungan yang relevan dengan kegiatan yang akan dilakukan. Dan bagian latar belakang ini diakhiri dengan penjelasan atas relevansi PERSOALAN atau MASALAH dengan program yang ditawarkan. Sehingga dalam bagian latar belakang ini mengungkap jawaban atas pertanyaan: (1) apa PERSOALAN atau MASALAH yang dihadapi oleh masyarakat sasaran?, (2) apa PENYEBAB lahirnya PERSOALAN atau MASALAH tersebut?, (3) apa dampak yang ditimbulkan atas PERSOALAN atau MASALAH itu?, (4) bagaimana potret, profit dan kondisi masyarakat sasaran?, (5) bagaimana potensi wilayah dari segi fisik, sosial, ekonomi dan ingkungan, (6) bagaimana relavansi program yang ditawarkan dengan solusi atas PERSOALAN atau MASALAH.<br />f. Gambaran Umum Masyarakat Sasaran<br />Dalam bagian ini dijelaskan tentang kondisi masyarakat sasaran yang akan menerima kegiatan pengabdian harus diberikan secara kongkrit. Uraian permasalahan yang dihadapi masyarakat yanag membutuhkan bantuan pemecahannya, serta berikan gambaran solusi yang ditawarkan termasuk teknologi yang akan digunakan. Serta hindari usulan kegiatan percobaan dalam PKMM. Pada prinsipnya Gambaran Umum Masyarakat Sasaran hampir sama dengan substansi yang terdapat dalam latar belakang, tetapi dalam bagian gambaran umum dibahas lebih detail dan didukung dengan keberadaan data yang relevan. Sehingga butir-butir pertanyaan sebagai kerangka untuk menyusun gambaran umum hampir sama dengan butir pertanyaan dalam menyusun latar belakang, tetapi ada beberapa penambahan seperti (1) bagaimana solusi yang ditawarkan?, (2) teknologi apa yang dipakai sebagai bagian dari solusi, (3) bagaimana pengaruh solusi yang diberikan ini terhadap kehidupan masyarakat sasaran?. Butir-butir pertanyaan ini dijawab dengan susunan kalimat dan tata bahasa yang baik untuk mengisi bagian gambaran umum ini.<br />g. Metode Pelaksanaan Program<br />Pada bagian ini dijelaskan mengenai: (1) perencanaan awal, (2) sosialisasi dan penkondisian masyarakat sasaran, (3) penyiapan bahan pengabdian, (4) pelaksanaan program, (5) pendampingan dan konsultasi, (6) evaluasi. Penjelasan metode pelaksanaan ini diupayakan jelas, sehingga reviuwer mengetahui gambaran secara pasti dan utuh seperti apa pentahapan program ini akan dilaksanakan.<br />h. Menyusun proposal utuh sesuai dengan panduan teknis Dikti. Bagian ini meliputi; Judul Program, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Program, Luaran Yang Diharapkan, Kegunaan Program, Gambaran Umum Masyarakat Sasaran, Metode Pelaksanaan Program, Jadwal Kegiatan Program, Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok, Nama dan Biodata Dosen Pendamping, Biaya dan Lampiran.<br />i. Diskusikan setiap tahapan dengan dosen pembimbing dan cermati apakah tulisan sudah sesuai dengan format yang ditentukan atau belum. Dan juga perlu diperbaiki penggunaan bahasa dan tata tulis yang benar.<br /><span style="font-weight: bold;">III. Beberapa Tips Dalam Penyusunan Proposal</span><br />Terdapat beberapa tips dalam penyusunan proposal, yaitu:<br />a. Ikuti pedoman teknis penyusunan proposal yang disusun oleh Dikti secara benar dan konsisten.<br />b. Baca ulang kembali proposal yang telah anda buat dan jika perlu mintalah teman anda untuk membacanya.<br />c. Buatlah JUDUL yang UNIK, MENARIK dan “PROVOKATIF” sehingga membuat orang tertarik untuk membacanya. Misalnya: “Usaha DONATELO Sebagai Media Wirausaha Baru”. Kata DONATELO akan menimbulkan keingintahuan orang yang membacanya, DONATELO (donat dari telo/ketela).<br />d. Selalu diskusi dan konsultasi dengan pembimbing dalam setiap tahapan proses penyusunan.<br />e. Susunlah anggota kelompok yang memiliki latar belakang pendidikan(jurusan/prodi) yang memiliki tingkat relevansi dengan program yang disusun.<br />f. Selalu ikuti trend topik/tema apa yang lagi “disenangi” oleh Dikti, dengan rajin mengakses website Dikti www.dikti.go.id. Lihat dan cermati judul-judul yang lolos untuk didanai oleh Dikti. Tahun 2007 terdapat 2500 proposal yang didanai.<br />g. Nikmati setiap proses yang harus anda lalui.<br /><br /> Demikianlah semoga bermanfaat dan selamat berkarya. Tidak akan ada perubahan nasib jika kita tidak berusaha. Terima kasih.Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-66228567031255275382008-06-02T22:20:00.000-07:002008-06-02T22:32:59.461-07:00keramahan yang telah punah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnptWr5CdzClP50We_DTmhIBhkaNoGfPHjX0TnmrPoBkJn5fZzo6m-m3FF4fKVqgcArfSLfeVMKuG3d6WYNBOPTsGFL67DoOMLMDezAEb3NtV2kWT-m6RvGPY7BvACA9Xj4L6eOcmedM0X/s1600-h/fpi.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnptWr5CdzClP50We_DTmhIBhkaNoGfPHjX0TnmrPoBkJn5fZzo6m-m3FF4fKVqgcArfSLfeVMKuG3d6WYNBOPTsGFL67DoOMLMDezAEb3NtV2kWT-m6RvGPY7BvACA9Xj4L6eOcmedM0X/s320/fpi.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5207523950843823330" border="0" /></a><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Keramahan Yang Telah Punah</span></span><br /><br />Front Pembela Islam(FPI) kembali membuat ulah dengan melakukan penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) saat 1 Juni kemarin. Penyerangan ini tidak hanya “berhasil” mencederai orang-orang yang tergabung dalam AKKBB tetapi juga mencederai kebebasan dalam demokrasi yang dijamin oleh konstitusi kita. Sungguh sangat disayangkan kejadian seperti ini harus selalu berulang lagi.<br /><br />Keberingasan yang berbalut agama ini telah menebalkan stigma yang masih diyakini oleh sebagian masyarakat bahwa Islam adalah agama yang “garang” dan FPI-lah yang seringkali mengukuhkan stigma ini. Penyerangan dan sweeping yang dilakukan saat-saat menjelang bulan Ramadhan dan aksi reaktif-destruktif-nya yang lain seperti penyerbuan kantor majalah Play Boy Indonesia dan lain-lain.<br /><br />Ketika kejadian seperti ini kembali terulang, timbul pertanyaan dimanakah polisi selama ini? Bahkan saat kejadian penyerangan FPI kemarin polisi tidak melakukan penangkapan terhadap penyerang dan bahkan menyalahkan pihak AKKBB dengan mengatakan bahwa AKKBB tidak melakukan koordinasi dengan polisi. Dalam konteks ini dengan perspektif hukum apapun penyerangan yang dilakukan oleh FPI adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.<br /><br />Presiden SBY dalam jumpa pers mengatakan “Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia”. Sebuah pernyataan yang menarik dan akan menjadi lebih manarik dan bermakna jika pernyataan itu mampu menemukan implementasi yang tepat dan tegas. Jika ini tidak menemukan implementasi maka kita akan mendapati negara kita sebagai negara yang kalah dengan perilaku kekerasan dan akan terjadi hegemoni kebenaran yang menyesatkan.<br /><br />Dalam perspektif lain, aksi anarkisme yang selalu mewarnai kehidupan di negara kita dan “ironisnya” selalu mendapat tempat yang layak disisi media massa telah menunjukkan bahwa tidak terlalu salah jika saya mengatakan bahwa keramah-tamahan yang menjadi ikon yang hidup negara kita telah punah. Keramahan itu telah tiada, atau mungkin memang tidak pernah ada dan semua itu hanyalah mitos….Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-19095912691846768942008-05-28T18:25:00.000-07:002008-05-28T18:54:54.277-07:00DBT versus ABT<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_-TviuI-uJ0CHclZoCaYBQyxBsB6n8WvBvhAD43NStOeTcH_cRhCNBlI9R69qQufEV_SFO_WkEvXTMqsSxUHLlW9dJUF61_YAfXg2yKOAfuBwTHasBh1qUX03nDaMo5Piy6J5YeITidiy/s1600-h/sabilillah.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_-TviuI-uJ0CHclZoCaYBQyxBsB6n8WvBvhAD43NStOeTcH_cRhCNBlI9R69qQufEV_SFO_WkEvXTMqsSxUHLlW9dJUF61_YAfXg2yKOAfuBwTHasBh1qUX03nDaMo5Piy6J5YeITidiy/s320/sabilillah.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5205611230789761778" border="0" /></a><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">DBT versus ABT<br /><br /></span><span style="font-size:100%;">Setelah kenaikan harga BBM tempo hari kelihatan sekali himpitan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat negara ini, himpitan yang semakin menyesakkan. Beberapa waktu yang lalu saya sempat <span style="font-style: italic;">ngobrol-ngobrol</span> dengan beberapa sopir di teras Masjid Sabilillah. Jika sopir dapat dianggap sebagai representasi rakyat kecil (secara ekonomi) maka himpitan dan desakan itu tidak hanya benar adanya tetapi sekaligus "menyiksa".<br /><br />Bagaimana tidak, kenaikan harga BBM telah mendorong naik-nya barang-barang lain. Meskipun konsumsi mereka terhadap BBM kecil, tetapi mereka dipaksa harus menkomsumsi barang/jasa yang harga-nya mengikuti harga BBM. Di sisi yang lain, pendapatan mereka sebagai sopir relatif tetap. Sehingga tidak ada alternatif lain bagi mereka kecuali berhemat yang tidak hanya sekedarnya tetapi mat-mat mat...<br /><br />Tetapi pastilah setiap orang akan memiliki bentuk penyikapan yang beragam mengenai kondisi ini. Hal itupun tampak dalam obrolan saya <span style="font-style: italic;">ba'da </span>asyar itu. Ada yang sangat pesimis menyikapi kondisi ini dan ada pula yang masih sanggup untuk optimis. Saya tertarik pada orang-orang yang optimis ini meskipun optimisme mereka berujung pada sebuah kalimat <span style="font-style: italic;">"pengeran mboten nate sare" </span>(tuhan tidak pernah tidur).<br /><br />Dikotomi antara orang yang pesimis dan optimis ini menurut Adiprasetyo (2008) dikatagorikan dalam <span style="font-style: italic;">Deficit Based Thingking </span>(DBT) dan <span style="font-style: italic;">Asset Based Thingking </span>(ABT)</span>.<br /><span style="font-size:100%;">DBT adalah melihat sesuatu dengan kacamata pesimis yang buruk dan jelek, sehingga mekanisme tubuh akan terbawa ke suasana dan situasi itu. Akibatnya hidup akan kelabu, kusam, lesu tanpa semangat dan gairah.<br /><br />Sebaliknya ABT adalah melihat sesuatu dengan indah, bagus dab baik sehingga seluruh pikiran dan perasaan akan terbawa pada situasi yang cerah, bagus, peluang dan kesempatan yang terbuka, kreatifitas tanpa batas dan semangat untuk menemukan jalan keluar yang lebih baik.<br />Sehingga pertanyaan-nya kita <span style="font-style: italic;">enak-nya milih </span>DBT atau ABT?<br /><br />Terserah masing-masing kitalah, kan itu juga HAM, Hidup HAM dan HAM untuk Bertahan Hidup.<br /><br /><br /></span><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;"></span></span>Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-474289713778030178.post-66301883794379204352008-05-20T17:48:00.000-07:002008-05-20T18:22:45.920-07:00alam sekolah lagi ....<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbtt50etxV8yZlj1pptXMJoQ9x_Dh41ZyLxU0jYE9wY_YdqDMOdHDeyAyWDRpJAqAcBnELfiGun02PCPXEFUtdB24d3WjWcnWynXF5T1VgpsLinpg6-t9SMFK4IykThqMHCsI_6YQh8gsl/s1600-h/bus_sekolah.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbtt50etxV8yZlj1pptXMJoQ9x_Dh41ZyLxU0jYE9wY_YdqDMOdHDeyAyWDRpJAqAcBnELfiGun02PCPXEFUtdB24d3WjWcnWynXF5T1VgpsLinpg6-t9SMFK4IykThqMHCsI_6YQh8gsl/s320/bus_sekolah.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5202635367352419138" border="0" /></a><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Alam Sekolah Lagi ...</span></span><br /><br />Setelah libur selama seminggu lebih, Alam sekarang harus sudah pergi sekolah lagi. Rutinitas harian yang harus berulang lagi, tidak hanya bagi Alam tetapi bagi ayah yang selalu mengantar dan menjemputnya dan pasti juga bagi bapak dan ibu guru-nya.<br /><br />Pagi tadi, Alam begitu bersemangat untuk menjalani kembali kewajiban-nya sebagai murid kelas 1 sekolah dasar. Mungkin karena sudah bosan menjalani liburan yang memang relatif panjang dan yang pasti bukan karena optimisme yang diinfiltrasi oleh Pak Presiden SBY mencanangkan <span style="font-weight: bold;">"Indonesia Bisa" </span>saat peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional.<br /><br />Saat Alam menjalani ritus liburan-nya Pak dan Ibu Guru-nya memberikan Lembar Kegiatan Ssswa sebanyak 9 jenis yang harus dikumpulkan kembali saat masuk hari ini. Ketika saya ikut <span style="font-style: italic;">nimbrung</span> dengan LKS-LKS Alam, betapa canggih-nya sekarang pelajaran yang harus dicerna oleh anak-anak seusia alam. Untuk pelajaran matematika misal-nya, materi yang diberikan sudah demikian kompleks, tidak hanya penambahan dan penggurangan biasa tetapi sudah relatif rumit. Soal cerita-nya juga sudah demikian rumit dan adapula tentang bilangan loncat dan beberapa lagi materi yang lain. Kadang saya berpikir apakah memang seperti ini yang sudah harus diterima oleh Alam dan kawan-kawan-nya.<br /><br />Ketika berangkat sekolah, beberapa ruas jalan yang harus dilalui (jalur rutin) ditutup dalam rangka kegiatan <span style="font-weight: bold;">Malang Kembali </span>di seputaran Jalan Ijen. Juga berita tentang wafat-nya Pak Ali Sadikin dan Ibu S.K. Trimurti menyertai keberangkatan Alam melalui radio yang memberitakan-nya. Lengkaplah... liburan, lks-lks, masuk kembali, Malang Kembali, Kebangkitan Nasional, Pak Ali dan Bu Trimurti wafat, dan kapan BBM naik???<br /><br />Berangkatlah Nak... Belajarlah ... Jangan risaukan Indonesiamu ...Cak Su Cah Ndokohttp://www.blogger.com/profile/04762214869773180784noreply@blogger.com0