Jumat, Desember 12, 2008

RUU PRT: Sebuah Dilema dalam Perspektif Ekonomi

Beberapa hari ini, Kota Malang selalu diguyur hujan. Bahkan terkadang sepanjang hari hujan tiada lelah dan tidak berhenti membasahi. Seperti sore kemarin, hujan turun begitu deras, jalan tertutup oleh air yang ditumpahkannya. Sepanjang perjalanan dari SDI Sabilillah sampai rumah, yang tampak hanyalah genangan-genangan air yang berjibaku dengan roda-roda kendaraan. Sungguh sore yang menyebalkan!. Setelah kubuka pintu rumah, air hujan telah menerobos masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Rumah bocor!

Saat membersihkan air hujan yang menggenang di lantai, HP-ku memanggil….. “Siapa pula ini!” batinku.
“Assalamu’alaikum! Kirun, Cak Su!” tetanggaku Cak Kirun menelepon.
Welah…ada apa Cak?! Masalah konversi lagi?”
“Bukan Cak, lain!… Ini malah kabar baik!”
“Kabar baik?! Kabar baik opo?”
Bojoku….. masalah istriku!”
“Ono opo? Hamil lagi to bojone sampeyan?”
“Bukan! Istriku bakal mulyo!”
Mulyo? Mulyo piye?”
Pemerintahe sampeyan akan membikin UU Pembantu Rumah Tangga, upah babu minim sebesar UMK Cak, trus diatur pula tentang jam kerja, cuti, jamsostek …..”
Apik!, engko disambung maneh! Aku tak mbabu dhisik!” “Cak Su!… Cak Su!… Hallo!….Hallo!”
???

Setelah kemarin dikejutkan dengan rencana pemerintah membuat peraturan tentang konversi upah buruh dengan saham, hari ini kita dikejutkan lagi dengan penyusunan RUU Pembantu Rumah Tangga (PRT). Bahkan saat ini, pembahasan RUU PRT telah memasuki draf revisi yang kelima. RUU ini dipersiapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Hukum dan HAM dan Kantor Kementerian Negara Peranan Perempuan. (Kontan, 12/12).

Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Departemen Hukum dan HAM, RUU PRT merupakan salah satu bentuk perlindungan HAM dimana saat ini PRT sering mendapat perlakuan buruk oleh majikannya, tidak ada ketentuan usia minimal menjadi seorang PRT, lama jam kerja dan hari kerja tidak jelas, upah yang rendah, tidak ada kontrak kerja dan tidak diikutkan dalam program Jamsostek. RUU PRT ini diharapkan dapat memberdayakan dan memanusiakan PRT.

Data Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT menyebutkan bahwa saat ini terdapat 3 juta perempuan yang berprofesi sebagai PRT. Jumlah ini setara dengan 1.3% dari seluruh penduduk Indonesia. Jika PRT ini diberdayakan dengan memberikan perlindungan atas hak-hak yang seharusnya mereka miliki akan memberikan multiplier effect yang besar terhadap aktivitas ekonomi masyarakat.

Dalam RUU PRT ini akan diatur mengenai beberapa hal, antara lain: Usia minimal, PRT harus telah berumur minimal 15 tahun. PRT yang masih berumur 15 hingga 17 tahun hanya boleh bekerja maksimal 4 jam sehari. Upah, majikan harus membayar jasa PRT minimal sebesar UMK. Jam kerja, maksimal PRT bekerja selama 10 jam sehari. Lama kerja, PRT setiap minggu bekerja selama 6 hari dengan 1 hari libur. Cuti, dalam 12 bulan kerja, PRT berhak mendapatkan 12 hari cuti, Jamsostek, majikan wajib mengikutkan PRT-nya program Jamsostek.
Itulah beberapa hak buruh yang dijamin oleh RUU PRT. Siapkah wahai para majikan memenuhinnya?

Dilema dalam Perspektif Ekonomi
RUU PRT dalam perspektif pemberdayaan dan usaha “me-manusia-kan” serta perlindungan terhadap HAM PRT layak untuk segera diterapkan. Tetapi secara ekonomi terdapat beberapa ekses ekonomi yang perlu pula dipertimbangkan. Ekses ini bisa dilihat dalam 3 sudut pandang, yaitu: sisi permintaan (demand side), sisi penawaran (supply side) dan sisi pelipatgandaan ekonomi (multiplier economy side).

Dilema Sisi Permintaan (Demand Side Dilemmas)
Secara alamiah, RUU PRT ini memberikan rasa takut kepada majikan yang mempekerjakan PRT di rumahnya. Bagaimana tidak takut, jika RUU ini memberikan jaminan hak PRT secara jelas dan tegas yang sebelumnya tidak pernah ada. Sehingga keberadaan UU PRT (nantinya!) akan merubah perilaku dan keputusan majikan terhadap PRT yang dimilikinya.

Akan lahir perubahan mendasar secara ekonomi yang harus ditanggung oleh majikan, salah satunya adalah upah. Menurut penelitian Depnakertrans (Kontan 12/12) rata-rata upah PRT di Jawa Timur sebesar Rp. 350.000 per bulan. Hampir 1/3 dari UMP. Jika RUU sudah menjadi hukum positif maka majikan harus menyediakan uang untuk membayar upah PRT-nya 3 kali lipat dari sebelumnya. Belum lagi kewajiban untuk mengikutkan PRT dalam program Jamsostek, kewajiban memberikan THR serta membuat kontrak kerja dengan PRT.

Perubahan ini merupakan disinsentif bagi majikan untuk mempekerjakan PRT di rumahnya. Cost of Service-nya mahal!. Belum lagi jam dan hari kerja yang diatur ketat dan dijamin oleh RUU. Secara sosiologis dan psikologis, perubahan ini membawa “kerugian” riil bagi majikan. Sebagai majikan, sekarang kewenangan dan “kesenangan”-nya memerintah PRT terbatas. Keterbatasan ini yang secara ekonomi akan mempengaruhi tingkat permintaan (demand) terhadap PRT.

Dalam teori ekonomi terjadinya penurunan kegunaan (utility) ekonomi PRT dalam perspektif majikan, akan menurunkan tingkat permintaan terhadap jasa PRT. Jika permintaan menurun maka akan mempengaruhi daya serap terhadap jasa PRT. Kondisi ini jika didukung dengan penawaran jasa PRT yang meningkat dimungkinkan terjadi praktek pemekerjaan PRT secara ilegal (karena mekanisme pasar memang menuntut demikian!). Jika hal ini terjadi, patut dipertanyakan efektifitas dari peraturan perundangan tersebut.

Dilema Sisi Penawaran (Supply Side Dilemmas)
Secara alamiah pula, jaminan atas hak PRT yang jelas dan tegas seperti yang dicantumkan dalam RUU PRT akan mendorong tingkat penawaran jasa PRT semakin tinggi. Secara ekonomis, akan memberikan manfaat (utility) yang bermakna dengan menjadi PRT.

Utilitas ekonomis seperti ini didukung pula oleh minim/rendahnya syarat yang dituntut dalam penawaran jasa PRT. Hampir setiap orang bisa menawarkan jasa PRT. Tidak diperlukan sebuah kualifikasi ketat seperti halnya pekerjaan yang lain. Kondisi inilah yang akan menggeser kurva penawaran (supply curve) ke atas.

Kondisi dimana terjadi pergeseran kurva permintaan (demand curve) ke bawah dan kurva penawaran (supply curve) keatas maka akan malahirkan harga keseimbangan ekonomi (economy price equalibrium) dengan harga jasa yang lebih rendah dari harga yang “semestinya” ditawarkan dengan kuantitas permintaan yang lebih sedikit. Dalam sisi ini juga mendorong timbulnya kondisi pemekerjaan PRTsecara ilegal pula.

Dilema Efek Ganda (Multiplier Effect Dilemmas)
RUU PRT suatu saat pasti akan menjadi hukum positif berupa UU PRT. Pertanyaannya adalah multiplier effect apa yang bisa terjadi dari penerapan perundang-undangan itu?

Kemungkinan Efek Positif
Dengan asumsi jumlah PRT tetap tidak berubah setelah pemberlakukan UU PRT, yaitu 3 juta orang (berdasarkann data JALA PRT) maka UU tersebut akan meningkatkan daya beli (purchasing power) masyarakat secara signifikan. Peningkatan daya beli yang berasal dari adanya transfer kekayaan antara majikan kepada PRT-nya. Peningkatan daya beli ini akan mendorong ekonomi rumah tangga produksi dengan melakukan kegiatan produksi dan penawaran yang lebih besar. Kondisi ini akan melahirkan perolehan pendapatan sektor ekonomi produksi juga membesar dan sangat dimungkinkan lahirnya investasi baru atau penambahan kapasitas produksi dari kapasitas yang sudah ada. Dalam episode ini, efek gandanya bisa berlanjut dalam sekuel-sekuel lanjutan yang akan mempengaruhi kinerja ekonomi lainnya.

Kemungkinan Efek Negatif
Peningkatan daya beli masyarakat dapat pula menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi ini menyebabkan penurunan daya beli riil masyarakat. Penurunan ini akan berimplikasi kepada penurunan skala ekonomi yang diperoleh oleh rumah tangga produksi. Imbas ini juga akan berlanjut dalam sekuel-sekuel yang lain.
Secara ekonomi, kenikmatan ekonomi yang dimiliki dan dijamin oleh UU akan mendorong pekerja-pekerja sejenis (buruh tani, tukang kayu, tukang baru dan lain-lain) akan menuntut hal yang serupa, minimal dalam kesetaraan upah yang diterimanya dengan PRT yaitu UMK. Hal ini akan menimbulkan kerentanan terhadap pelaku-pelaku ekonomi skala kecil. Jika hal ini terjadi secara tiba-tiba maka akan menyebabkan stagnasi usaha. Dan imbas secara ekonomi juga relatif signifikan.

Pimicu Lahirnya Peluang Bisnis Substitusi PRT
Biaya jasa PRT yang “mahal” akan mendorong lahirnya peluang bisnis yang bisa men-substitusi peran PRT dalam sebuah rumah tangga. Semisal bisnis pencucian pakaian (laundry), penitipan bayi, katering makanan, cleaning servive dan lain sebagainya. Dalam teori manajemen strategi dikatakan bahwa sebuah produk (barang/jasa) selalu dihadapkan pada produk lain sejenis dari pesaing dan dihadapkan pada produk (barang/jasa) yang ditawarkan sebagai pengganti/substitusi. Jika memang bisa digantikan kenapa tidak?! Dan lebih penting lagi adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan riil yang dapat membantu bekerjanya ekonomi produktif dan memberikan akses permodalan kepada wong cilik untuk berusaha. Biar tidak selamanya mereka menjadi PRT terus.

Sesuai janjiku kepada Cak Kirun, maka setelah agak lodhang aku menelepon dia.
“Cak Kirun, selamat menikmati kemulyaan yo!” kataku.
Ojo kesusu… aku malah ragu saiki!”
Kok dadi ragu, kenapa?”
“Tidak, kok tiba-tiba saja!”
“Tiba-tiba gimana maksud sampeyan?!”
“Kemarin Pak SBY masih nyanyi N-G-E-R-E-P, ngeropotin dengan program konversi upah, sekarang kok tiba-tiba nyanyi N-G-E-P-O-P, populis! Piye Cak Su?!”
“Lha… yo embuh Cak! Menurut sampeyan piye?”
“Menurutku….. iki sogokan Cak Su, jelas wis! Sogokan! Wong cilik disogok!”
“Disogok opo digosok?!”
“Digosok njur disogok Cak! Wong cilik digosok atine dhisik njur disogok butuhe cangkeme!” ???

2 komentar:

YUSUF SOFYAN mengatakan...

Tulisan menarik Cak Ndoko, kalau berkenan mampir ke alamat Ku. saya tunggu....

YUSUF SOFYAN mengatakan...

Opini yang bagus & Menarik Cak Ndoko, sekali-2 mampir ke alamat saya,mungkin kita bisa berbagi cerita dan link, ditunggu.....