Rabu, Desember 10, 2008

HAM dalam Bingkai Corporate Governance dan Tindak Pidana Korupsi

(memaknai Hari Anti Korupsi (9/12) dan HAM (10/12)

Suatu sore di kampung halaman…..
"Cak Su, apakah orang seperti saya ini punya HAM atau tidak sih?!" tanya Lik Mo kepadaku.
"Lha .. punya to Lik, semua manusia pasti punya HAM"
"Sepeda motorku yang jueleek itu saja ada BPKB-nya, lha… HAM saya apa coba buktinya, jika saya memang benar-benar memilikinya?!"
"Nafas Lik Mo itulah buktinya, sepanjang nafas dikandung badan…." Jawabku.
"Bisa tidak HAM-ku saya jual, untuk beli sapi misalnya" tanya Lik Mo memotong omonganku.
"Bisa saja! Tetapi Lik Mo serahkan juga "nafas"-nya. Mau nggak?!"
"Welah….. njur mati dhisik?!"
"Piye?"
"Tidak usah beli sapi wis kalau begitu syarat-nya! Tapi Cak Su, apa orang yang sudah meninggal sudah tidak punya HAM lagi?"
"Masih punya yaitu HAM atau Hak Asasi Mayit he he he…."
"Tapi kok di banyak tempat pemakaman ada tulisan "MAKAM MUSLIM", "TANAH MAKAM KHUSUS MUSLIM"… apa itu tidak melanggar hak asasi mayit Cak!"
"Itu diskriminasi karena struktur dan budaya masyarakat Cak! Harus-nya tidak seperti itu!"
"Apa! dis… dis … diskri apa?!"
"D-I-S-K-R-I-M-I-N-A-S-I!!".

Prolog
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai kodrat yang bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi , dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. HAM menjadi prinsip umum dalam melihat semua aspek kehidupan manusia. Penghormatan dengan pemberian jaminan atas terpenuhinya hak dasar tersebut oleh negara merupakan penghormatan terhadap kemanusiaan. Sejauh mana institusi negara mampu melakukan penghormatan terhadap kemanusiaan dapat dilihat dengan indikator output dan outcome negara dalam memenuhi hak dasar rakyatnya tersebut.

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM secara yuridis dirumuskan sebagai "seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".
Selanjutnya dalam pasal 2 dikatakan bahwa negara mangakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasarn serta keadilan.

Jaminan atas HAM telah diberikan oleh UU HAM sebagai berikut: Hak Untuk Hidup (pasal 9), Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan (pasal 10), Hak Mengembangkan Diri (pasal 11-16), Hak Untuk Memperoleh Keadilan (pasal 17-19), Hak Atas Kebebasan Pribadi (pasal 20-27), Hak Atas Rasa Aman (pasal 28-35), Hak Atas Kesejahteraan (pasal 36-42), Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan (pasal 43-44), Hak Wanita (pasal 45-51), dan Hak Anak (pasal 52-66). Disamping jaminan atas hak dasar seperti tersebut diatas, UU HAM juga memngatur tentang Kewajiban Asasi Manusia (KAM) dalam pasal 61-70.

Dalam pespektif substansi hukum, relatif bahwa pemberian jaminan atas HAM oleh konstitusi kita telah cukup untuk mewadahi kebutuhan atas penghormatan terhadap HAM yang dimilikinya.
Jaminan substansi ini tidaklah cukup jika tidak diikuti dengan penegakan hukum (law enforcement) yang tegas,lugas dan tidak diskriminatif. Dalam teori sosiologi hukum, terjadi legal gaps antara pengetahuan hukum (legal knowledge) dengan penerapannya (law enforcement/legal action). (Wigyosubroto, 2008). Legal Gaps ini dipengaruhi oleh struktur dan budaya masyarakat yang tidak kondusif. Jika di-analog-kan kondisi ini dengan sebuah komputer, sebagus apapun hardware (substansi hukum) yang kita miliki, ia tidak akan berjalan optimal jika tidak didukung oleh sofware (strukur dan budaya) yang compatible. Dan masalah penegakan HAM dinegara kita masih banyak terkutat pada stuktur dan budaya ini sehingga masih belum mampu secara optimal memanfaatkan hardware yang dimilikinya.

HAM dalam Perspektif Corporate Governance
Dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (www.governance-indonesia.com) penerapan Good Corporate Governance (GCG) dapat didrorong oleh 2 dorongan, yaitu dorongan etika (ethical driven) yaitu yang berasal dari kesadaran pelaku bisnis untuk menjalankan praktek bisnis yang mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan, kepentingan stakeholder dan menghindari cara-cara kepentingan sesaat. Dorongan kedua diperoleh dari dorongan peraturan (regulatory driven) yang memaksa perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terkait dengan HAM dalam Pedoman Umum GCG Bab VI tentang Pemangku Kepentingan sub bagian Karyawan disebutkan dalam point 1.2 bahwa "Penetapan besarnya gaji, keikutsertaan dalam pelatihan, penetapan jenjang karir dan penentuan persyaratan kerja lainnya harus dilakukan secara obyektif, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik seseorang, atau keadaan khusus lainnya yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan". Pedoman ini memberikan penekanan bahwa perusahaan tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap karyawan terkait dengan suku, agama, ras, golongan, gender dan kondisi fisik seseorang atau keadaan khusus lainnya.

PBB telah mengeluarkan 10 prinsip (ten principles) dalam Global Impact 2002 yang memberikan pedoman bagi korporasi untuk selalu menjunjung tinggi HAM disebutkan bahwa: 1. Businesses should support and respect the protection of internationally proclaimed human right; and 2. Make sure that they are not complicit in human right abuses.
Masih dalam Global Impact ini terkait dengan anti korupsi dikatakan bahwa "Businesses should work against all form of corruption including extortion and bribery".
Sehingga dalam perspektif HAM dan Anti Korupsi sesungguhnya korporasi juga merupakan institusi yang memiliki peran dan kewajiban untuk menegakkan HAM dan melawan segala bentuk aksi korupsi. Tetapi masih diperlukan suatu tatanan hukum positif yang komprehensif sehingga bisa menjalankan peran sebagai regulatory driven bagi pelaksanaan GCG yang pro HAM dan pro Anti Korupsi.

Cressey dalam Hardjapamekas (2007) mengemukakan The Fraud Triangle. Segitiga kecurangan ini digunakan untuk menjelaskan proses terjadinya fraud atau kecurangan yang dilakukan oleh korporasi. Lahirnya kecurangan ini didorong oleh 3 hal yaitu: opportunity, incentive/presure dan attitude. Oleh Hardjapamekas fraud triangle ini di-analog-kan dengan panas, bahan bakar dan oksigen. Terjadinya kebakaran didorong oleh adanya panas, bahan bakar dan oksigen. Untuk itu diperlukan pedoman perilaku (code of conduct), sistem yang tranparansi (transparency),akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran dan kesetaraan (fairness) dan pranata hukum yang bersanksi tegas, lugas dan jelas.

Kecurangan (fraud) juga akan menyebabkan keunggulan suatu perusahaan tidak akan tercapai. Menurut Michael Porter dalam Hardjapamekas (2007) seperti yang dijelaskan dalam teori The Value Chain dikatakan bahwa keunggulan suatu perusahaan ditentukan oleh: 1. overall cost leaddership, 2. product/service differentiation, 3. focus/product niche. Tetapi dalam tataran riil, korporasi kita masih digelayuti oleh masalah high cost economy yang disebabkan oleh salah satunya yaitu korupsi. Untuk itu aksi pemberantasan korupsi dan penerapan GCG akan memiliki implikasi bagi daya saing korporasi.

HAM dalam Persepktif Tindak Pidana Korupsi
Korupsi memiliki dampak yang luar biasa bagi kehidupan. Sehingga peluang , kesempatan dan motivasi untuk melakukan tindak pidana korupsi harus direduksi. Nasution (2005) memilah korupsi dalam 4 bidang, yaitu 1. korupsi dalam bidang politik dan good governance akan menhancurkan proses formal yang dibakukan dalam perundang-undangan, 2. korupsi dalam bidang pemilu akan menyebabkan akuntabilitas dan representasi kebijakan yang rendah, 3. korupsi dalam bidang hukum akan menyebabkan hilangnya kepastian hukum dan 4. korupsi dalam bidang administrasi pemerintahan akan menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan.

Terkait dengan HAM, korupsi yang dilakukan secara masif akan menyebabkan kondisi dimana terjadi perampokan terhadap anggaran publik yang sejatinya harus digunakan untuk menjamin hak dasar manusia. Sehingga alokasi anggaran publik ini berkurang atau menyimpang dari yang semestinya harus dibuat/dianggarkan atau menyimpang dari anggaran yang sesungguhnya telah dibuat. Akhirnya akan memicu munculnya kondisi dimana hak dasar manusia terabaikan dan mendorong lahirnya konflik dan kekerasan. Pada titik inilah HAM menjadi terbengkelai.

Dalam konteks ekonomi, perilaku koruptif akan menyebabkan distorsi dan inefficiency yang berimplikasi kepada lahirnya cost of business yang besar. (Eigen dalam Nasution 2005). Distorsi dan inefficiency ekonomi akan melahirkan aktivitas bisnis yang tidak berkembang optimal. Hal ini akan mengakibatkan kondisi dimana hak ekonomi sebagai salah satu hak dasar manusia tidak terpenuhi. Perilaku koruptif merupakan tackling terhadap pelaksanaan dan penegakan HAM.

Epilog
Sebagai epilog saya kutipkan Tajuk Kompas (10/12) sebagai berikut: "Pemberantasan korupsi tak mungkin hanya diserahkan kepada otoritas negara. Lembaga internasional, korporasi internasional, kelompok masyarakat harus ikut mempunyai komitmen yang sama. Peringatan Hari Anti Korupsi hendaknya tidak sekedar seremoni, tetapi mewujud menjadi kesadaran kolektif bangsa untuk tidak melakukann korupsi".

Sore itu aku membeli bakso Cak Min di kampung....
"Gimana Cak Su, katanya setiap orang punya hak ekonomi, tapi kok usaha jualan bakso saja sulitnya bukan main?!"
"Sulit gimana Cak!"
"Lha sekarang mau beli minyak tanah sulit, elpiji 3 kilogram-an gak ada, antri dulu. Gimana gak sulit?!"
"Sabar Cak!"
"Sabar-sabar!!! HAM-put!!!"
"???"

Tidak ada komentar: