Rabu, Desember 24, 2008

Opportunity Cost: Otoritarian Investasi

Sebuah Paradigma terhadap Berbagai Fenomena

Akhirnya sampai juga waktu mengantar Rabu sampai disini. Hari yang sebenarnya kunanti. Ketika itu, hari masih pagi. Disaat menyiapkan bekal sekolah untuk Alam, Lik Mo menelepon.

"Cak Su, nasipe wong tuwo, ati karep tenogo cupet!"
"Ada apa Lik? Isuk-isu kok sudah ngresulo?"
"Itu tadi malam…"
"Tadi malam?!, Apa hubungannya dengan ati karep tenogo cupet?!"
"Anu… aku diajak marung sama Kaji Nur"
"Njur?!"
"Aku disuruh makan sepuasnya, terserah mau makan apa. Pokoknya diajangi ombo tenanan!"
"Terus?!""Sebenarnya aku pingin gule, tapi kok penasaran dengan makanan yang namanya tongseng. Kan aku belum pernah makan si tongseng itu!"
"Uenak to Lik?!"
"Iyo, nyamleng…jan lekoh tenan!, tapi?"
"Tapi opo Lik?!"
"Lha gulenya, perutku wis ora nutut, jadi ora sido mangan gule!"
Sebenarnya aku ingin mengatakan kepada Lik Mo, itulah opportunity cost yang harus ia tanggung karena memilih tongseng. Tapi apa ya mungkin Lik Mo bisa paham.
"Banjur?!"
"Kalau Cak Su pulang kampung, aku mbok diajak ke warung. Aku pingin gule..!!"
???

Dalam ilmu investasi uang merupakan entitas yang sangat dinamis. Uang tidak pernah diam, ia selalu mengalir. Tetapi uang bukanlah air, pola alirannya berbeda jauh. Air mengalir ke tempat yang lebih rendah menuju pangkalan terakhirnya, laut. Sedangkan uang selalu mengalir ke tempat yang lebih tinggi (baca: keuntungan tertinggi) menuju pangkalan terakhirnya yaitu kekayaan/kapitalisasi. Itulah nasib uang dalam era ekonomi yang kremanistik ini. Uang menjadi komoditas bukan lagi sekadar sebagai alat tukar. Ia telah bereinkarnasi dalam bentuk-bentuk baru sejalan dengan rekayasa keuangan (financial engineering) yang melahirkannya.

Sifat uang yang dinamis ini didorong oleh nilai riil uang yang tidak hampa dari pengaruh ekonomi. Nilai rill uang dapat diukur dari daya beli uang terhadap barang dan jasa yang ditawarkan dalam sebuah pasar. Jika lima tahun yang lalu, empat lembar seribuan bisa ditukar dengan satu bungkus Sampoerna Mild namun sekarang untuk mendapatkannya dibutuhkan sembilan lembar seribuan plus satu buah lima ratusan. Artinya sepanjang lima tahun nilai riil uang sudah turun sebesar 57.8% atau 11.57% per tahun. Potensi penurunan nilai riil uang inilah yang mendorong uang selalu mengalir keatas. Karena pemilik uang yang rasional tidak akan rela nilai riil uangnya diambil secara paksa (baca: dirampok) oleh kenaikan barang dan jasa yang ditawarkan.

Ilustrasi diatas, dalam ilmu investasi dapat dijelaskan dengan 3 perspektif, yaitu dengan sudut pandang inflasi, nilai waktu uang (time value of money) dan opportunity cost. Inflasi adalah peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu. (Pass, 1994). Adanya peningkatan harga inilah yang menyebabkan nilai riil uang mengalami penurunan. Inflasi menyebabkan kondisi dimana diperlukan jumlah nominal uang yang lebih besar untuk mendapatkan barang dan jasa dengan kuantitas serta kualitas yang sama. Inflasi ini juga menimbulkan dampak ikutan ekonomi yang signifikan seperti penurunan daya beli, perubahan struktur pinjam-meminjam (kredit), spekulasi dan persaingan perdagangan internasional.

Nilai waktu uang (time value of money). Konsep ini dapat dijelaskan dalam sebuah analog seperi berikut ini: Jika anda dihadapkan pada 2 alternatif pilihan, diberi uang Rp. 100 juta sekarang atau Rp. 100 juta satu tahun yang akan datang. Alternatif mana yang akan anda pilih? Tentunya anda akan memilih Rp. 100 juta sekarang!. Mengapa? Karena nilai itu lebih "berharga" saat ini daripada nanti satu tahun mendatang. Uang yang anda terima Rp. 100 juta sekarang, dimungkinkan nilainya lebih besar dari tahun yang akan datang (misalnya jika anda taruh di bank, maka akan mendapatkan bunga dan akan menambah nilai uang itu). Artinya uang saat ini memiliki nilai yang relatif lebih besar daripada nominal yang sama dalam waktu yang akan datang. Pertanyaan selanjutnya adalah anda memilih alternatif mana antara menerima uang Rp. 100 juta saat ini atau Rp. 120 juta setahun yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan ini akan perlu mempertimbangkan tingkat bunga atau benchmark investasi yang lain. Jika tingkat bunga yang kita pakai sebagai dasar pertimbangan, secara sederhana jika bunga pasar sebesar 20% per tahun maka nilai Rp. 100 juta sekarang dan Rp. 120 juta satu tahun yang akan datang adalah sama. Itulah time value of money!.

Sedangkan opportunity cost adalah keuntungan maksimum yang dapat diberikan oleh sebuah rencana alternatif. (Shook, 2002). Sedangkan menurut Pass (1994) opportunity cost atau economic cost adalah suatu ukuran dari biaya ekonomi dengan digunakannya sumber-sumber daya langka untuk memproduksi suatu barang atau jasa tertentu dalam kaitannya dengan alternatif lain yang harus dikorbankan. Dalam konsep investasi, misalnya kita saat ini kita memiliki uang Rp. 1 miliar dan uang itu kita biarkan berserakan di rumah. Apa yang terjadi dengan nilai uang itu? Nilai riil-nya turun dirampok oleh inflasi, hilang kesempatan kita untuk memperoleh pendapatan berupa bunga seandainya kita tempatkan uang kita di bank dalam bentuk simpanan, hilang kesempatan kita untuk memperoleh keuntungan seandainya kita gunakan untuk usaha supermarket atau usaha lainnya, hilang kesempatan kita untuk memperoleh capital gain, dividen, kupon (yield) seandainya uang itu kita belikan saham, obligasi, SUN dan sebagainya. Semua kesempatan yang hilang karena kita memilih alternatif untuk menaruh uang kita di rumah itulah yang dinamakan dengan opportunity cost. Dan konsep inilah yang mendorong terbentuk struktur ekonomi yang kremanistik dan dinamisnya uang.

Opportunity Cost Tiran Investasi
Beberapa fenomena pasar keuangan yang terjadi di penghujung tahun 2008 ini, dapat dijelaskan dengan tiran yang disebut "junta" opportunity cost itu.

Kenaikan DPK Perbankan
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, sepanjang bulan November saja, nilai simpanan di perbankan naik sebesar Rp. 32.9 triliun menjadi Rp. 1.715,80 triliun. (Kontan, 22/12). Jika kita cermati data distribusi simpanan di bank umum, peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) ini terjadi disemua katagori nilai simpanan, lebih kecil 100 juta, antara 100 sampai 200 juta, antara 200 juta sampai 1 miliar, antara 1 sampai 2 miliar, antara 2 miliar sampai 5 miliar dan 5 miliar keatas. Kenaikan yang signifikan. Ada apa ini?

Kecenderungan ini didorong oleh beberapa sebab, antara lain tingkat bunga yang menarik (meskipun BI Rate telah turun menjadi 9.25%, tetapi bunga simpanan masih relatif tidak beranjak turun), kebijakan blanket quarantee sebesar Rp. 2 miliar, kinerja pasar modal yang belum pulih dan peluang ekonomis sekor riil yang masih tidak pasti akibat krisis keuangan global. Beberapa faktor ini yang mendorong pemilik dana men-switch dananya dan dimasukkan dalam industri perbankan. Relatif lebih optimal tingkat return-nya sebanding dengan risiko yang ditanggungnya (high return high risk, low return low risk). Tetapi jika diringkas, fenomena ini adalah akibat dari "rezim" opportunity cost. Mengapa? Karena pemilik dana berusaha maksimal untuk menurunkan opportunity cost-nya. Ia memilih alternatif investasi yang memungkinkan ia mendapatkan keuntungan optimal relatif terhadap risiko.

Dalam perspektif lain, menarik juga kalau kita simak "kesenjangan" mencolok dari distribusi simpanan ini. Nilai DPK sebesar Rp. 324,60 triliun diserahkan oleh 80.453.230 rekening dengan nilai antara 0 sampai Rp. 100 juta. Sedangkan jumlah DPK sebesar Rp. 650,61 triliun disumbang oleh 28.192 rekening dengan nilai simpanan 5 miliar keatas. Hampir 38% (atau 37.91%) DPK disumbang oleh 28.192 rekening sedangkan 80.453.230 rekening "hanya" menyumbang DPK sebesar 18.91%. Sebuah kondisi yang distorsif!.

Uang Pemda Tidur di SBI
Data BI menyebutkan bahwa saat ini uang Pemda (Pemerintah Daerah) yang tersimpan di BPD (Bank Pembangunan Daerah) telah diinvestasikan di SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp. 37.88 triliun. Nilai ini merupakan peningkatan yang signifikan dari posisi awal di bulan Oktober yang "masih" sebesar Rp. 9.74 triliun. (Kontan, 24/12). Menurut teori investasi keputusan ini dapat dibenarkan. Mengapa? Karena return yang diperoleh signifikan, yaitu 10.98% untuk SBI satu bulan dan didukung pula sifat SBI yang fleksibel dalam artian sewaktu-waktu bisa dicairkan. Alasan ini merupakan pemenuhan dari "tiran" opportunity cost" juga. Rasional!.

Tetapi jika ditelisik lebih dalam, tidurnya uang Pemda di SBI memiliki implikasi negatif bagi perekonomian. Mengapa? Karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat untuk mempercepat penggunaan anggaran sebagai salah satu media untuk menggerakkan ekonomi yang sedang tidak bergairah karena krisis, membuka akses pekerjaan sehingga mampu mempertahankan tingkat daya beli masyarakat dan mengurangi kekeringan likuiditas (lack of liquidity). Besarnya dana Pemda yang parkir di SBI ini juga indikator bahwa Pemda tidak menggunakan kemampuan-nya (baca: tidak memiliki kemampuan) untuk melakukan penyerapan anggaran secara maksimal. Dan lagi, bagaimana mungkin uang negara harus pula dibayar bunganya oleh negara. Jeruk minum jeruk kan?

Kasus Investasi Bank Century
Instrumen "Antaboga Delta Sekuritas (ADS)" telah memakan banyak korban. Instrumen keuangan yang tidak tercatat di Bapepam-LK ini dijual oleh Bank Century (indikasi saat ini!: hanya menjual bukan penerbit) kepada nasabah-nya. (Kontan, 22/12). Masalahnya adalah saat "nasabah" (sebenarnya tidak tepat jika disebut nasabah, mereka telah berposisi sebagai investor) akan mengkonversi instrumen keuangan-nya menjadi uang tunai/kas, dana itu tidak bisa ditarik. Kondisi inilah yang memperparah kondisi Bank Century setalah diambil alih oleh LPS. Meskipun manajemen Bank Century merasa tidak harus yang bertanggung jawab, dengan dalih dia bukan penerbitnya.

Apa yang dilakukan oleh "nasabah" investor Bank Century itu adalah karena paksaan opportunity cost. Mereka berkeinginan agar nilai riil uangnya tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan potensi return yang tinggi. Kalaupun dana atau initial investment itu tidak kembali itulah risiko. Mereka semestinya sudah harus memahami perbedaan pokok karakteristik nasabah dan karakteristik sebagai investor. Risiko nasabah dan investor jelas berbeda. (Susidarto, 2008). Meladeni pemerkosaan opportunity cost adalah kewajaran dalam struktur ekonomi yang kremanistik, tetapi risiko juga harus menjadi pertimbangan pula dalam menentukan kebijakan investasi yang akan dilakukannya.

Misteri Produk Terstruktur Perbankan
Opportunity cost itu berkarakter seperti udara, ia memenuhi seluruh ruangan. Ruang analisis pemodal dipenuhi oleh konsep opportunity cost termasuk didalamnya adalah kemungkinan adanya kesempatan yang hilang karena adanya fluktuasi kurs (exchange rate risk), depresiasi maupun apresiasi. Hal inilah yang mendukung lahirnya Produk Terstruktur Perbankan, yaitu produk perbankan yang memberikan penawaran return yang tinggi atas penempatan dana individu atau korporasi dalam bentuk valuta asing tanpa keharusan adanya underlying trasaction.

Mekanisme produk terstruktur dapat diilustrasikan sebagai berikut: nasabah melakukan kontrak dengan bank selama 1 tahun untuk menyetorkan valas sebesar US$ 100 per bulan dengan kurs Rp. 9.500. Kontrak ini memberikan 2 kemungkinan hasil, jika rupiaha mengalami apresiasi terhadap US dolar maka nasabah akan diuntungkan karena bank akan tetap membeli US dolar kita dengan harga Rp. 9.500 tetapi sebaliknya jika rupiah mengalami depresiasi terhadap US $ maka nasabah akan mengalami kerugian, nasabah harus tetapi menyetor US$ 100 berapapun kurs dolar yang ada di pasar. Itulah risikonya!. Dalam perspektif lain produk terstruktur ini bisa memberikan dampak terhadap stabilitas rupiah, sehingga BI melarang bank mengeluarkan ataupun menjadi agen penjual produk terstruktur. (Kontan, 24/12). Uang benar-benar tidak pernah bisa tertidur!

Dalam pasar keuangan, kinerja sebuah pasar keuangan ditentukan oleh ekspektasi investor terhadap masa depan yang tidak pasti. Jika ekspektasi investor positif maka akan diikuti kesediaan untuk membeli instrumen. Adanya dorongan beli seperti ini maka akan mendorong adanya kenaikan harga instrumen. Namun sebaliknya jika ekspektasi investor negatif maka akan diikuti dengan keiklasan untuk menjual instrumen. Adanya tekanan jual akan menyebabkan harga instrumen-pun jatuh. Depresiasi dan apresiasi mata uang terhadap mata uang asing lainnya dapat pula dijelaskan dengan alur pikir seperti itu.
Dan yang pasti ekspektasi investor adalah adi bungsu sedhulur ari-ari dari opportunity cost. Begitu merajalela!.

Ditengah semaraknya keluargaku yang lengkap kembali, setelah ibu-nya Alam pulang selama 14 hari mendatang. Lik Mo, tanpa ampun, kembali menelepon.
"Cak Su, wong tani seperti saya ini gak perlu tabungan uang!"
"Maksud sampeyan iku opo Lik?!"
"Wong tani ora perlu duwit!"
"Lho…Kok enak, pripun to Lik?!"
"Tabungane petani itu cukup nabung sabar!"
"Artine Lik?!"
"Uangnya orang tani itu sekarang gak diajeni oleh pabrik!"
"Maksute?"
"Uangnya orang tani, tidak ada harganya dibandingkan dengan barang-barang yang dihasilkan pabrik! Mahal! Kampus mungkin suatu saat juga begitu. Mahal!! Nangging barang soko petani jan puol murahe!,"
"Lha tahu begitu… kok malah nabung sabar to?!"
"Yen tabungan sabar sudah habis, embuh… ora weruh!!!"
"Sabar to Lik?! Sabar…."
"Sabarku masih cukup sampai pemilu kok?!"
"Njur?!"
"G-O-L-P-U-T!!!"
????
(terbayang wajah bapak dan emak, yang semakin tampak lelah memikirkan nasib ladang yang hanya se-petak)

Tidak ada komentar: