Sabtu, Desember 06, 2008

Huruf Yang Mengeja

Apa yang bakal terjadi jika di bumi ini seandainya tidak ada huruf? Ketiadaan huruf berarti kekosongan makna. Kosong… Sepi….
Huruf memgonstruksi makna yang terbaca. Huruf menuntun orang untuk menjadi tahu sesuatu. Huruf membimbing manusia untuk menjadi paham. Huruf mampu membuat orang tertawa gembira, huruf mampu menjejalkan kejengkelan, huruf mampu mendekontruksi keyakinan, huruf mampu menjadikan orang meneteskan air mata. Huruf mampu membuat kegaduhan. Huruf yang terangkai dalam susunan kata dan terkemas dalam wadah bahasa menjadi nafas dalam proses “ziarah” keilmuan dan kemanusiaan.

Kemelipen Cak!” komentar Sis Kucing tentang makna huruf yang kusampaikan.
Kemilipen gimana? Jangan niru Lik Mo kamu!” sahutku.
“Seandaianya Lik Mo yang sampeyan ajak ngomong, wis jelas ditinggal ngalih, gak mungkin didengarkan!”
“Kok gitu?!”
“Ya memang, yang sampeyan omongkan saat ini terlalu abstrak, gak nyambung dengan kebutuhan riil wong cilik!” sahut Sis Kucing yang mantan mahasiswa drop out dari sebuah universitas di Malang.
“Lha… apa wong cilik tidak perlu huruf!”
“Wong cilik hanya perlu 1 huruf M, 2 huruf A, 2 huruf N dan 1 huruf G!”
“Opo iku?”
“M-A-N-G-A-N!!”
???

Huruf Yang Mengeja: “Pilkada Ulang Bulan Ini” (dalam Kompas 3 Desember 2008).
“….MK membatalkan keputusan KPU Jatim yang menetapkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) sebagai pemenang Pilkada Jatim…”
Huruf yang menyusun makna seperti ini membawa implikasi yang beragam dengan distribusi reaksi yang luas. Bagaimana tidak, kebaradaan huruf telah mampu “mengaduk-aduk” perasaan manusia, Karsa dan pendukungnya juga Kaji berserta pendukungnya. Huruf tengah menguras energi KPU Jatim untuk melaksanakan ejaan-nya. Pemerintah mengeja rangkaian huruf ini sambil memikirkan anggaran untuk menaatinya. Pimpinan partai politik mempersiapkan segala kemungkinan “peluang” sebagai respon atas huruf. Dan masyarakat tetap bekerja keras untuk merangkai huruf untuk kata K-E-M-A-K-M-U-R-A-N.

“Rakyat itu manut ae Cak!” kata Sisi Kucing. “Apa susahnya! Tinggal nyoblos… bles!”.
“Terus…??”
“Lha.. terus yang bingung kan cuma Kaji karo Karsa ae tah!”
“Terus …??”
“Dan orang-orang yang memiliki kepentingan yang juga akan bingung menempatkan dirinya disebelah mana” kata Sis Kucing lagi.
“Terus …??”
“Rakyat yang masih percaya bisa mendapatkan keajaiban karena pemimpin, juga akan bingung menentukan pilihan”.
“Terus …??”
“Aku golput!!! Ora nyoblos!”
“Terus …??”
“Terus… terus thok, ngece yo?”
Sis Kucing belum ngeh jika yang diulang hanya di 2 kabupaten di Madura.

Huruf Yang Mengeja: “Presiden Marahi Lapindo” (dalam Kompas 4 Desmber 2008).
“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono marah karena upaya penangganan masalah korban semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, tidak kunjung selesai…”
Rangkaian huruf yang membentuk makna ini memberikan banyak tafsir pemaknaan secara subjektif. Masalah semburan lumpur Lapindo tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas dan lugas. Efek ganda (multiplier effect) yang dihasilkan sudah merasuki segala sendi kehidupan, mulai dari ekonomi-keuangan, sosial, budaya dan politik.
Dalam perspektif ekonomi-keuangan, semburan Lapindo telah berkontribusi dalam menciptakan ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy) yang harus ditanggung oleh pelaku ekonomi dan kemudian diteruskan “pembebanannya” kepada masyarakat konsumen melalui “penyesuaian” harga. Dana yang semestinya bisa digunakan untuk melakukan investasi malah terkuras untuk rehabilitasi prasarana fisik. Hal ini juga akan berdampak pada penyerapan kerja. Sesuai data BPS (Kompas 1 Desember) setiap pertumbuhan ekonomi 1% akan menciptakan kesempatan kerja bagi ±704.000 orang.
Dalam perspektif sosial, telah begitu banyak biaya sosial (social cost) yang harus dikeluarkan oleh masyarakat khususnya masyarakat terdampak langsung. Semburan lumpur Lapindo juga telah mendekontruksi struktur sosial yang ada. Pengungsi yang dibekap ribuan masalah dan segala bentuk kejengkelan, kemarahan, kekhawatiran dan ketakutan, korban PHK yang tempat kerjanya tergusur secara paksa, pelaku ekonomi non formal yang harus kehilangan modal ekonominya dan lain sebagainya. Semburan Lapindo adalah petaka bagi kemanusiaan!.
Dalam perspektif politik, semburan Lapindo adalah komoditas politik yang bersisi dua. Komoditas yang “menyehatkan” dan bisa pula menjadi komoditas yang”membahayakan”. Sehingga karena kharakter-nya seperti itu maka seringkali pendulum politik terjebak dalam kebijakan normatif yang klise.

“Masalah Lapindo diambil positif-nya saja Cak!” Sis Kucing mulai berkomentar.
“Maksudmu?!””Semburan Lapindo juga melahirkan manfaat bagi manusia”
“Manfaat opo Sis?!”
“Lapindo membuat orang semakin kreatif mencari rejeki” katanya, “Lihat itu, kalau kita ke Surabaya banyak orang yang mendapatkan limpahan rejeki sebagai pemandu jalan!”
“Lha .. opo yo nyucuk Sis?!”
“Manfaat sing paling penting… pelajaran kanggo wong sugih, wong kuoso ojo mentang-mentang mergo kuasane lan ojo nyusahno wong cilik!!
“Tetapi Sis… manfaat yang paling penting menurutmu itu, belum terwujud sampai saat ini!” kataku menutup obrolan.

Dalam proses kehidupan ini, huruf tiada henti mengeja. Terkadang huruf juga sering MENGHUJAT!!!

Tidak ada komentar: