Jumat, Desember 19, 2008

BHP: Aset, Dana dan Investasi

Part II. Sebuah Konsep Manfaat


SERING KALI:
Kita yang memiliki,
Orang lain yang memanfaatkan.
Renungan A. Mustofa Bisri dalam “Mencari Bening Mata Air”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008).
*****************************

RUU BHP disetujui DPR bersamaan dengan 3 RUU yang lain. Jika dapat dikatakan persetujuan RUU BHP sebagai sebuah kontroversi (karena ada pro dan kontra), sensasi BHP kalah jauh dengan kontroversi persetujuan RUU Mahkamah Agung oleh DPR. Usia pensiun seorang hakim agung menjadi fokus diskusi yang sampai saat inipun masih sengit terdengar, terbaca dan terlihat. Sedangkan “rating” BHP sebagai bahan diskusi relatif rendah. Mengapa demikian?. Entahlah.

BHP memang tidak semestinya hanya didiskusikan, diseminarkan dan sejenisnya tetapi perlu disikapi dengan pemikiran dan perencanaan sebagai reaksi dan adaptasi yang lebih positif daripada sekedar berwacana. Ancaman judial review memang bergulir, tetapi adagium “sedia payung sebelum hujan” ataupun bahkan “berpayung biar tidak lebih basah kuyub” mutlak harus dilakukan. Pola pikir strategis dengan pendekatan TOWS layak disegerakan. RUU BHP merupakan Ancaman (Threat) sekaligus Peluang (Opportunity) yang akan kita hadapi dan miliki dan kedua hal itu harus kita hadapi dengan Kelemahan (Weakness) dan Kekuatan (Strength) yang saat ini kita miliki. Keempat hal inilah yang harus kita sinkronisasi dengan manajemen dan tata kelola (good university governance) yang baik untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi “kemakmuran” stakeholder.

Aset dan Manajemen Aset
RUU BHP yang disetujui DPR menyebutkan bahwa kekayaan pendiri yang dipisahkan menjadi kekayaan BHP. Dalam titik ini, maka kekayaan BHP adalah semua aset yang saat ini telah dimiliki (given). Jika ditelusuri maka aset yang bersumber dari pendiri (dalam konteks PTN adalah pemerintah pusat) ini terdiri dari 2 bentuk, yaitu aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset berwujud secara fisik dapat berbentuk sarana dan prasaranan pendidikan dalam artian luas, baik yang saat ini sudah dalam penguasaan BHP ataupun yang masih berada dalam penguasaan pihak lain.

Dalam konteks ini, maka diperlukan identifikasi dan legalisasi aset sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Identifikasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan data sebenarnya tentang jumlah dan bentuk aset yang dimiliki (kuantitas) serta identifikasi nilai ekonomis-nya (kualitas). Pelibatan peran penilai (appraisal) sangat dibutuhkan dalam tahap ini. Setelah mengetahui data rinci aset, baik kauntitas maupun kualitas, maka barulah dilakukan identifikasi potensi/manfaat ekonomis yang bisa diperoleh dari pemanfaatan aset tersebut. Masalah yang sering dihadapi adalah penguasaan aset secara fisik oleh pihak lain. Proses ini memerlukan waktu dan kadang memerlukan biaya yang relatif besar untuk mendapatkannya kembali. Sehingga diperlukan usaha dengan berbagai macam pendekatan agar aset tersebut bisa didapatkan kembali.

Aset tidak berwujud berupa kecakapan intelektual, kepemilikan ketrampilan (skill), daya inovasi dan hak milik intelektual (intellectual property right) yang dimiliki oleh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari BHP yang bersangkutan. Nilai dan potensi aset ini sangat besar, tetapi terkadang belum teridentifikasi/terpetakan dengan baik. Sehingga pengelolaan-nya juga tidak maksimal. BHP memiliki potensi memperoleh peluang ekonomis yang besar atas aset ini jika ia mampu memetakan, memberdayakan (memfasilitasi) dan mengelola aset ini dengan benar. Jika aset ini tidak dikelola dengan baik, maka yang terjadi adalah “SERINGKALI: Kita yang memiliki, Orang lain yang memanfaatkan”, seperti yang dikatakan Gus Mus seperti dikutip diatas.

Sinkronisasi antara aset berwujud dengan tidak berwujud akan menghasilkan sinergi yang baik, jika dilakukan dengan tepat. Memanfaatkan aset berwujud secara maksimal (tanpa melalaikan maintenance) dengan dukungan aset tidak berwujud secara profesional sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya akan menghasilkan sinergi yang menguntungkan bagi BHP yang bersangkutan. Sehingga pelaksanaan manajemen aset yang baik mutlak diperlukan.

Dana dan Investasi
Menurut RUU BHP yang disetujui DPR, sumber pendanaan BHP berasal dari pemerintah, masyarakat dan peserta didik. Dana yang berasal dari pemerintah memiliki sifat kaku (rigid) karena besaran dan alokasinya diatur dan ditentukan jelas. Demikan pula dana yang berasal dari peserta didik juga jelas ketentuannya. Maka akses pendanaan dari masyakarat dalam dilakukan sesuai dengan kaidah perundangan dan dilakukan dengan cara yang profesional dan bermartabat.

Efisiensi atas kegiatan operasional BHP mutlak diperlukan. Dari langkah efisiensi ini dapat diakumulasi dana yang relatif besar. Batasan kebijakan efisiensi adalah tidak mengurangi hak stakeholder internal (tenaga pendidikan, tenaga kependidikan dan mahasiswa) dan juga tidak sampai menganggu efektivitas operasional. Salah satu contoh adalah efisiensi yang dapat dilakukan terhadap konsumsi listrik, telepon, air dan lain sebagainya. Penyusunan manual/pedoman tindakan dan pembentukan etos perlu dilakukan untuk mendukung efektivitas dari langkah efisiensi ini. Selanjutnya dana dari sumber ini dapat digunakan sebagai modal kerja untuk memaksimalkan aset yang dimiliki.

Akses dana menurut RUU BHP yang disetujui DPR, juga memperbolehkan BHP mendapatkan dana melalui hutang kepada pihak lain. Pembolehan ini memerlukan penyikapan yang rasional, realistis dan terukur baik manfaat dan risiko yang kemungkinan muncul. Rasionalisasi atas kebijakan akses dana melalui kredit harus jelas. Arus kas, baik kas keluar dan kas masuk selama jangka waktu kredit harus diproyeksikan secara rasional. Disamping itu pengelolaan dananya harus profesional juga. Hal ini sebagai bentuk antisipasi terhadap risiko pailit BHP seperti yang diatur dalam RUU BHP. Prinsip Good University Governance harus menjadi ruh dalam setiap operasional BHP.

Kerjasama dengan pihak ketiga yang potensial dan kredibel merupakan salah satu alternatif yang layak dilakukan. Kerjasama yang dapat memberikan implikasi akademik maupun finansial harus direncanakan dan diupayakan secara maksimal. Kerjasama ini tidak optimal jika dilakukan secara sporadis tetapi aspek keberlanjutan harus pula dipertimbangkan. Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk pemanfaatan aset sebagai pelepas modal ataupun sebagai pengelola modal. Alternatif ini sebagai pelepas dan pengelola modal dipilih dengan mempertimbangan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks ini jejaring (networking) dan branding sebuah BHP harus pula disegerakan. Jika hal ini diupayakan secara maksimal maka akan memiliki kontribusi signifikan atas kebijakan pendanaan (funding) maupun kebijakan investasi (investment).

Sumber dana bisa pula didapatkan dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh BHP. Maksimalisasi nilai ekonomi aset dengan orientasi bisnis yang prospektif dan profitable dapat menjadi income generating bagi BHP. Untuk itu kebijakan investasi yang kreatif merupakan sebuah keharusan. Knowledge Based Economy memiliki relevansi kuat dengan kharakteristik sebuah BHP. Sehingga siklus DANA-INVESTASI-PROFITABILITAS-DANA perlu terus dikembangkan dengan konsep “The Value Cycle Spiral”-nya Roger G. Clarke.
*************************
Kesadaran adalah matahari,
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
(Rendra dalam Megatruh Kambuh, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2001)

Tidak ada komentar: