Senin, Desember 08, 2008

Perspektif Ekonomi Memandang Idul Kurban

Malam itu, lampu neon dirumah Lik Mo masih menyala. Suara televisi masih juga terdengar lantang. Terlihat dari luar nampak Lik Mo sendirian sedang menatap tv.
"Kulo nuwun!" teriakku.
"Monggo! Masuk Cak!" sambutnya.
"Welah… Kapan Cak Su datang?"
"Tadi sore Lik, sama Alam… Liburan riyoyo kurban!" jawabku.
"Iyo .. yo, panthesan kemarin emakmu sudah arep-arep".
"Piye Lik.. Sampeyan korban tah ora?"
"Jelas korban Cak!"
"Alhamdulillah … kambing opo urunan sapi?"
"Aku korban PUPUK MAHAL!!!"
???

Beberapa saat lagi kita akan merayakan Idul Kurban. Sebuah ritual trasenden sekaligus sosial yang terlahir dari peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim. Sebuah episode kenabian yang sarat makna dan sarat simbol. Dalam konteks Idul Kurban terdapat interaksi makna antara "berkorban" dan "berbagi". Untuk bisa "berbagai" secara sosial kita mesti menyerahkan kerelaan untuk "berkurban" secara individual. Secara kontekstual tidaklah cukup jika Idul Kurban hanya dimaknai dengan "berkurban" dalam bentuk pemotongan hewan kurban tetapi kita harus menangkap simbol-simbol makna yang terkandung didalamnya. "Berkurban" tidak hanya dilakukan sekali setahun, tetapi kehidupan menuntut kita untuk selalu siap "berkurban" dalam relasi kemanusiaan.

Kapitalisasi Idul Kurban
Idul Kurban, secara ekonomi menciptakan kapitalisasi yang besar. Kapitalisasi berkala yang selalu dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku ekonomi untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Semakin mendekati hari Idul Kurban maka terlihat semakin banyak pula orang-orang yang menjual hewan-hewan kurban. Tanah kosong di pingiran jalan sudah cukup untuk dimanfaatkan sebagai rumah produksi kebahagiaan Idul Kurban. Dari kegiatan ekonomi berupa suplly hewan korban ini telah mendorong perputaran uang dan peningkatan daya beli bagi masyarakat terlibat.
Peternak mendapatkan keuntungan yang relatif tidak normal (abnormal return) karena menjelang Idul Kurban terjadi kenaikan harga yang relatif besar dibandingkan harga jual hewan diluar bulan ini. Hal ini disebabkan secara ekonomi karena terjadi kondisi excess demand terhadap hewan kurban tersebut.
Pedagang juga memiliki potensi return yang besar karena mereka memiliki posisi tawar (bargaining position) yang relatif lebih baik. Posisi tawar yang lebih baik ini disebabkan oleh adanya informasi tidak simetris (asymmetry information) yang beredar di masyarakat (baca: di pasar). Banyak pembeli yang tidak memiliki informasi yang relatif cukup tentang harga pasar normal (normal price) atas hewan tersebut dan ketersediaan waktu yang terbatas dari pembeli. Pembelian hewan kurban adalah pembelian yang tidak bisa ditunda, ia punya deadline waktu yang jelas. Kondisi inilah yang seringkali mendorong lahirnya pedagang-pedagang hewan dadakan setiap menjelang Idul Kurban. Peluang untuk memperoleh keuntungan ekonomis yang besar.
Gambaran diatas masih merupakan jabaran atas bisnis inti-nya saja. Jika kita lanjutkan dengan bisnis pendukungnya maka akan semakin besar kapitalisasi yang terbentuk oleh Idul Kurban. Penyediaan makan bagi hewan kurban selama dipajang di etalase pinggir jalan, transportasi untuk mentransmisikan hewan dari peternak, pasar dan kediaman pembeli, jasa penunggu dan keamanan tempat jualan, jasa sewa tempat dan lain sebagaianya.

Dalam Idul Kurban ini juga tidak bisa dikesampingkan sirkulasi uang yang terjadi dari pelaksanaan ibadah haji. Demikian besar sumber daya ekonomi yang berputar dari ibadah tahunan ini. Tanpa memperhitungkan besaran ONH-nya, ibadah haji telah memberikan efek ganda (multiplier effect) ekonomi yang signifikan. Perputaran uang yang diakibatkan oleh pemenuhan segala perlengkapan haji, syukuran haji (yang dibeberapa daerah terkadang biayanya melebihi ONH yang telah dibayarkan) dan belanja oleh-oleh haji yang hampir sebagian besar dibelanjakan di sini. Aktivitas ini mendorong aktivitas bisnis dengan omzet miliaran rupiah.

Masih dalam tautan Idul Kurban, menurut sebagian orang yang masih menganut dan meyakini astrologi Jawa, bulan "besar" ini merupakan waktu yang baik untuk melangsungkan hajatan pernikahan dan kegiatan lain sejenisnya. Hal ini juga merupakan pendorong signifikan bagi proses kapitalisasi Idul Kurban. Sehingga pada akhirnya dapat dikatakan bahwa kegiatan keagamaan dan kegiatan budaya pastilah memberikan sumbangsih bagi berjalannya interaksi ekonomi. Semua kegiatan itu akan memberikan pengaruh kepada sumber daya ekonomi masyarakat.

Produksi dan Distribusi Kebahagiaan
Dalam struktur ekonomi yang sederhana sesungguhnya semua kegiatan ekonomi terpusat pada kegiatan produksi dan distribusi kebahagiaan. Proses produksi barang dan jasa pada hakekatnya merupakan proses penciptaan kebahagiaan. Pemenuhan keinginan atas barang dan jasa oleh masyarakat konsumen adalah pemenuhan untuk membangun kebahagiaan. Komoditas "kebahagiaan" inilah yang kemudian didistribusikan untuk menjangkau masyarakat sasaran, untuk membangun dan/atau merawat kebahagiaan yang telah dimilikinnya.
Setiap barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku ekonomi menawarkan kebahagiaan bagi pembelinya. Pastilah jika terdapat orang yang melakukan kegiatan ekonomi dalam bentuk pembelian hewan kurban, ia sedang dalam proses memupuk kebahagiaan. Kebahagiaan yang diperoleh dengan didapatnya ketentraman karena telah sanggup memenuhi permintaan tuhannya. Dan kebahagiaan ini kemudian didistribusikan dalam wujud fisik berupa daging korban yang terbagikan. Lahir pertanyaan lanjutan, apakah sebenarnya kebahagiaan itu? Relatif-kah ia? Universal-kah ia?..... Dimanakah ia sembunyi?

"Cak Su, Pak SBY katanya kurban sapi, Pak JK juga kurban sapi, Pak Aburizal Bakrie kurbane yo akeh sisan!" kata Lik Mo.
"Ya harus itu Lik, kan Pak Aburizal itu juga seorang pengusaha yang kaya raya!"
"Kok harus, gimana sampeyan itu?!"
"Lha iya to, njur piye?!"
"Pak Aburizal itu kurban sapi dan ngorbankan wong Porong!!!!"
???

2008: Korban Banjir, Korban PHK, Korban Longsor, Korban Gusuran, Korban Krisis, Korban….., Korban ……, Korban …..
(selamat idul kurban 2008)

Tidak ada komentar: