Jumat, Desember 05, 2008

Bencana Aids: Perspektif Hukum, Ekonomi dan Hukum Ekonomi

(pokok pikiran yang telah tersampaikan dalam rangkaian National Lifestyle Talkshow Menyambut Hari Aids Se-Dunia di halaman luar Mall Olympic Garden Malang (30 Nopember 2008) dan Sasana Budaya UM (1 Desember 2008)


Sore itu, selagi ribet menyiapkan makan malam untuk anakku, St. Ahmad Abdi Raja Semesta Alam, tiba-tiba hp-ku bergetar memanggil. Kring………
"Hallo, Asalamu’alaikum…, ini Lik Mo!"
"Waalaikum salam…, ada apa Lik?! Jawabku kepada Lik Mo, tetangga kampungku di Malang Selatan sana.
"Ini Cak Su" demikian ia selalu memanggilku, "Mau tanya, apa sih arti TALKSHOW itu?.
Waduh… ini tanda si Lik Mo yang lagi kumat wajah dhesit-nya, batinku. "Memangnya ada apa to Lik, kok tanya arti TALKSHOW segala".
"Itu lho, aku dengar berulangkali di radio Elfara FM katanya akan ada TALKSHOW di Malang"
"Oo… TALKSHOW itu tontonan koyo ludruk tapi isine wong ngobrol" jawabku sekenanya.
"Lha… kalau AKADEMISI iku opo?"
"AKADEMISI iku artine dosen" jawabku lagi, juga sekenanya.
"Ealah…. Jebule dosen omong-omongan iku iso didadekno tontonan koyo ludruk tah?!"
ELFARA FM: "Hadirilah talkshow dalam rangka Hari Aids Se-Dunia di halaman luar MOG pada tanggal 30 Nopember dan di Sasana Budaya UM pada tanggal 1 Desember 2008 dengan narasumber satu ……… dua…….tiga Subagyo, SE., SH., MM seorang ‘AKADEMISI UM’…"
"Ya sudah Cak Su, eh….. Pak Akademisi UM!!"
???!!!


Korelasi Aids dan Hukum
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh KPA (Komisi Penanggulangan Aids) terdapat 2 jalur utama yang menjadi channel bagi transmisi HIV/AIDS yaitu (1) Jalur transmisi melalui perilaku seks tidak sehat, (2) Jalur transmisi melalui pemakaian bersama jarum suntik oleh IDU’s (Injecting Drug Users) atau penasun.
Transmisi melalui seks tidak sehat bermuasal dari perilaku seks yang yang menyimpang, yaitu proses seksual yang dilakukan tidak dengan pasangan-nya. Perilaku seks seperti ini dimanjakan dengan kondisi dimana bisnis prostitusi masih beredar secara masif dengan berbagai bentuk tampilan wajah. Ada yang masih berwajah konvensional seperti kawasan wisata seks di Dolly Surabaya atau dengan topeng tersamar (salon, karaoke, panti pijat, call girl dan lain sebagainya). Memang praktek prostitusi yang sudah ada sejak jaman kalabendhu akan terus ada selalu ada dimuka bumi ini. Pertanyaannya adalah "dimana dan kemana hukum??"
Praktek prostitusi adalah kegiatan ilegal yang berarti tidak dibenarkan oleh hukum positif kita. Sehingga secara ideal (das sollen) hukum harus menunjukkan otoritasnya. Jika hukum mampu menunjukkan kewibawaan yang disandangnya, maka akan ber-implikasi pada pengurangan angka penderita HIV/AIDS melalui transmisi seks tidak sehat ini. Hukum harus menekan tingkat supply dan demand jasa yang ditawarkan oleh praktek prostitusi dengan melakukan penindakan hukum secara tegas dan semestinya.
Mengapa transmisi ini mendominasi? Hal ini disebabkan oleh tidak tampaknya gejala atau perubahan secara fisik bagi orang yang secara nyata mengidap HIV/AIDS. Sehingga pengidap ini akan dengan mudahnya (disadari ataupun tidak disadari) bisa menularkan kepada lawan-lawan aktivitas seks-nya yang lain. Sehingga jargon NO KONDOM NO SEX relevan untuk diterapkan dalam konteks realitas dimana transaksi bisnis seksual tidak bisa (baca: belum bisa) diredam oleh hukum.
Transmisi HIV/AIDS melalui pemakaian bersama jarum suntik oleh IDU’s atau penasun juga didorong masih lemahnya hukum (lebih tepatnya, aparat hukum) dalam menekan peredaran narkoba, psikotropika dan zat aditif lainnya. Saat ini kita sudah memiliki UU Narkotika, UU Psikotropika tetapi lagi-lagi UU ini kurang memiliki makna dalam tataran Legal Action sehingga tingkat supply barang-barang haram itu masih mudah didapatkan oleh para penasun. Dan kondisi ini didukung/diperparah pula oleh perilaku penasun yang menggunakan jarum suntik yang dipakainya secara bergantian/bersama-sama. Dan dalam proses inilah transmisi HIV/AIDS berjalan. Dalam perspektif ini hukum harus memberantas kegiatan produksi, distribusi yang berujung pada supply dari barang berbahaya ini, dan menggunakan pendekatan restitutif sebagai bagian dari pemidaan yang mewajibkan bagi para pecandu narkoba untuk mendapatkan rehabilitasi (medis dan sosial) sesuai dengan UU Narkotika. Tetapi dalam kenyataanya (das sein) hukum masih selalu memilih pendekatan punitif tanpa kewajiban rehabilitasi. Hal ini menyebabkan hukum tidak bisa secara efektif mengurangi supply karena pada sisi demand hukum tidak bisa mereduksinya.

Relasi Aids dan Ekonomi
Transmisi HIV/AIDS melalui channel pertama dan kedua seperti dijelaskan diatas, memiliki keterkaitan erat dengan aktivitas ekonomi dalam hal ekonomi sebagai pemicu dan ekonomi sebagai korban.
Ekonomi sebagai Pemicu
Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa sebagian besar pekerja seks komersial didorong oleh kondisi ketakmampuan secara ekonomi. Ketiadaan akses terhadap faktor modal ekonomi menyebabkan mereka menjadi pekerja seks komersial. Jalur yang relatif lebih mudah untuk mendapatkan kemampuan daya beli (purchasing power) ekonomi. Secara kodrati trasenden dan normatif tidak ada seorangpun baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki keinginan bahkan 'bayangan' menjadi seorang pelacur. Mereka bergerak ke ranah bisnis seksual karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan faktor modal ekonomi dan industri prostitusi-lah yang rela memberikan "sedekah kebaikan" bagi mereka. Dalam konteks ini maka HIV/AIDS dapat direduksi dengan kebijakan ekonomi yang ber-kemakmuran dan ber-keadilan bagi semua, sehingga akan mereduksi tingkat supply seks komersial.
Dalam perspektif pengelola dan stakeholder industri portitusi, bisnis seks komersial merupakan bisnis yang mendatangkan abnormal return yang signifikan. Dalam industri ini memiliki tingkat perputaran/peredaran uang yang sangat besar. Kalkulasi ini dapat diperoleh dari transaksi core bisnis-nya dan bisnis turunan-nya, misalnya: alat kecantikan dan kosmetika, minuman keras, makanan, restribusi parkir dan lain-lain (dan sangat mungkin obat kuat juga!). Perputaran uang yang beredar inilah yang membuat kegiatan bisnis ini lestari dan sulit untuk ter-usik. Kemungkinan terdapat rembesan rejeki terhadap berbagai pihak (stakeholder) menyebabkan sungguh teramat sayang jika bisnis ini di-"lenyapkan". Demikian pula hal-nya yang terjadi dalam industri narkotika.
Ekonomi sebagai Korban
Ini juga berdasarkan hasil penelitian, bahwa prosentase penderita HIV/AIDS 80% adalah mereka yang masuk dalam katagori usia produktif seksual dan usia produktif ekonomi. Tentunya usia produktif ekonomi yang terjangkit HIV/AIDS ini tidak akan bisa ikut berkontribusi maksimal dalam kegiatan ekonomi masyarakat-negara. Bahkan keberadaan mereka akan berimplikasi pada keharusan pengeluaran biaya ekonomi yang digunakan untuk merawat, rehabilitasi, riset dan lan sebagainya. Secara teori ekonomi harus ada biaya kesempatan (opportunity cost) yang harus dikeluarkan karena keberadaan pengidap HIV/AIDS.

Interdepensi Aids dan Hukum Ekonomi
Dalam perspektif hukum ekonomi dikatakan bahwa "setiap permintaan pasti akan dipenuhi dengan penawaran". Adanya kondisi demand terhadap barang/jasa akan memicu pelaku ekonomi untuk memuaskan keinginan/permintaan itu, dan pada akhirnya lahirlah supply.
Sehingga harus ada identifikasi yang jelas tentang faktor yang membentuk sebuah kurva permintaan dan penawaran dalan transaksi bisnis seksual dan bisnis narkotika.
Pada tataran ini hukum ekonomi hanya bisa mengurai dalam aspek motif dan prinsip ekonomi tetapi tidak akan bisa menjawab pada tataran pimicu dari faktor non ekonomi. Untuk itu diperlukan pendekatan solusi dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk mengurai masalah kemanusian ini.


"Hallo… assalamu’alaikum!"
"Ada apa lagi Lik Mo"
"Menurut sampeyan lebih enak mana koruptor sama pengidap HIV/AIDS?"
"Lha mesthi gak penak kabeh to Lik!?" jawabku.
"Seje, kalau aku yo milih dadi koruptor ae!"
"Alesane pripun?"
"Kalau pengidap HIV/AIDS sak umur-umur soro ra karuan tetapi kalau koruptor apes-apese mung siji rong taunan, pancet sugih pitung turunan"
"Lha… Lik Mo mau korupsi opo?"
"Lha… kuwi masalahe, jadi koruptor lebih sulit mergo harus punya kekuasaan nangging jadi pengidap HIV/AIDS luwih gampang carane tur……"
"Sudah Lik, ojo nglantur!!" kumatikan HP. Giliran aku disergap hening dan sepi…

(talkshow ini berlangsung dengan beberapa narasumber: penulis, Widiyatna, M.Si-Representatif HIV dari KDT Jakarta, Dr. Latief Bustami-antropolog dan konsultan UNDP, Merlin Sopjan-Duta Aids Indonesia dan Miss Waria dan Ronal Lay-Pengidap Positif HIV/AIDS)

Tidak ada komentar: