Kamis, Desember 04, 2008

krisis keuangan global: konsepsi hak publik dan corporate governance

(makalah disampaikan dalam Diskusi Panel "Krisis Keuangan Global dan Implikasinya Bagi Perekonomian Indonesia" di Sasana Budaya Universitas Negeri Malang 3 Desember 2008)

A. Sebuah “Moment Opname”
Sore itu, ditemani rokok yang selalu terselip diantara dua jarinya, Lik Mo ngah-ngoh didepan televisi 14 inch-nya. Berita yang ia tonton menyuguhkan kabar yang tidak sepenuhnya ia pahami. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengalami penurunan, nilai rupiah ter-depresiasi terhadap Dollar Amerika, kebijakan buy back saham yang digulirkan pemerintah, kebijakan Lembaga Penjaminan Simpanan yang menaikkan jaminannya dari 100 juta menjadi 2 miliar, SBY yang setelah nonton Laskar Pelanggi langsung memanggil menteri-nya untuk merapatkan sesuatu yang kelihatannya teramat penting, krisis keuangan global. “Waduh… kabar opo maneh iku” gumam Lik Mo. Berita sore yang ditontonnya hanya menyenangkan baginya kala melihat presenter yang “jauh” lebih segala-galanya dari istrinya dan kabar tentang sedhulur lanang Barack Husein Obama yang lagi nyapres AS.

Sebagai petani kecil yang tidak pernah mangan sekolahan terlalu sulit bagi Lik Mo untuk mengunyah suguhan-suguhan berita tentang IHSG, depresiasi, inflasi, blanket quarantee, BI rate, suspend, auto rejection, PDB yang oleh orang-orang selain Lik Mo seakan dijadikan dzikir dan jimat yang keramat. “Sing penting iso tuku beras!” kata Lik Mo suatu saat, “Kabeh wis ono sing ngatur, pengeran ora nate sare, pengeran ora bodho!”.

Suatu saat dipagi yang masih berselimut kabut tipis, aku melihat Lik Mo sedang menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi dengan daun kering yang berserakan dari dua pohon manga-nya. “Lik Mo” begitu aku menyapanya. Lik Mo menghampiriku dan bertanya kabar dan kapan datang. “Tadi malam Lik” sahutku. Setelah itu kami ngobrol ngalor ngidul. “Cak Su” demikian Lik Mo selalu memanggilku. “Kata wong pakar di televisi kebijakan pemerintah yang menaikkan jaminan terhadap simpanan duwite orang kaya itu hanya untuk melindungi dan sekaligus menguntungkan wong-wong sugih itu. Betul tah?” tanya Lik Mo. “Ono benere tur yo ono salahe Lik” jawabku pendek. “Gimana sampeyan itu, jarene guru perguruan tinggi kok gak teges tur ora iso negesi” komentar Lik Mo menimpali. “Lha yen itu benar, Lik Mo mau apa?” . “Sak bejo-bejone wong sing mlarat isih bejo wong kang sugih lan kuasa” guman Lik Mo sambil menatapku. Pilu…

B. Krisis dan Kontestasi Paham
Ada dan berada-nya krisis bukanlah sesuatu yang mandiri. Krisis dilahirkan dari sebuah proses “meng-ada” untuk menjadi ada. Proses inilah yang jalin-menjalin sehingga menjadi sesuatu “ada” yang disebut dengan krisis. Sehingga pertanyaan awal-nya adalah “asal muasal krisis itu darimana? Ibu yang melahirkan krisis itu siapa? Dan siapa pula laki-laki yang ikut ber-kontribusi dari kelahiran krisis ini?

Episentrum Krisis
Pasar Keuangan AS merupakan episentrum krisis keuangan global saat ini. Sebenarnya tanda-tanda krisis sudah mulai muncul sejak pertengahan tahun 2006. Hal ini ditandai dengan default-nya KPR yang bernama sub prime mortgage. (Sunarsip, 2008). Nilai KPR yang menggelembung menjadi lebih kurang US$ 10 triliyun dan ¾ dari nilai itu dikemas dalam bentuk sekuritas derivatif yang bernama MBS (Mortgage Backed Securities) dan CDO (Collateralized Debt Obligations) yang ditransaksikan di pasar modal memiliki andil dalam mempercepat krisis. Bubble KPR ini juga didukung dengan rendahnya tingkat bunga di AS pada kurun waktu 2001-2005, yang mengakibatkan pertumbuhan KPR begitu masif. Saat KPR ini default, saat itulah pasar keuangan AS mengalami kontraksi dan mulailah bertumbangan investment bank AS dan Eropa yang memiliki portofolio investasi dengan basis MBS dan CDO itu. Hal ini diperparah pula dengan kondisi fundamental ekonomi AS yang mengalami defisit ganda ( twin deficit), yaitu defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan (current account) yang sampai bulan September 2008 mencapai US$ 455 miliar (The Indonesia Economic Intellegence, 2008).

Kontribusi Kapitalisme
Kapitalisme yang dimotori oleh Adam Smith (1776) dan menjadi roh sistem ekonomi saat ini memiliki peran penting dalam kelahiran krisis. Mazhab ekonomi yang menempatkan kebebasan individu dan korporasi serta me-nihil-kan peran negara dalam aktivitas ekonomi telah menimbulkan distorsi ekonomi dengan tidak tercapainya titik keseimbangan ekonomi yang dikehendakinya. Premis tentang “Tangan Tuhan” (the invisible hand) yang diharapkan akan menolong bagi terciptanya keseimbangan ekonomi terbukti tidak bisa “berbuat banyak”. Pun, jika dipaksakan gerakan “Tangan Tuhan” ini juga akan meminta biaya ekonomi yang tidak sedikit, selayaknya Gol Tangan Tuhan saat Maradona menciptakan gol ke gawang Inggris. Kontroversial….
Paham inipun juga menyemai pergeseran aktivitas ekonomi dari ekonomi yang bersifat oeikos menjadi aktivtas ekonomi yang sarat dengan transaksi uang (cremanistik). Aktivitas yang terakhir ini memiliki kapitalisasi yang besar dan berimplikasi kepada kondisi “decoupling” yang men-jarak-kan antara pasar keuangan dengan aktivitas ekonomi sektor riil. Dan kondisi itu berlanjut dengan lahirnya kondisi timpang antara kinerja pasar keuangan dengan pergerakan ekonomi sektor rill.

Sumbangan Bad Corporate Governance (BCG)
Prinsip Good Corpoate Governance (GCG) yang meliputi fairness, tranparancy, accountability dan responsibility tidak dijalankan dengan optimal dan bertanggung jawab oleh sebagian korporasi. Lahirnya BCG didorong oleh penerapan dan penegakan hukum yang tidak maksimal, terkonsentrasinya kepemilikan saham kepada segelintir orang/korporasi (concentration ownership) yang menimbulkan masalah kompleks terhadap pengelolaan perusahaan. (Herdinata 2008). Terdapat banyak perusahaan yang bertipe “spekulatif” melakukan corporate action yang ekspansif tanpa mempedulikan kekuatan struktur modal yang dimilikinya. Kondisi ini ikut berkontribusi efektif dalam membuat krisis keuangan semakin akut. Investasi ekspansif tersebut didanai dengan menerbitkan instrumen keuangan yang ditransaksikan di pasar keuangan. Dan intrumen ini memiliki potensi default yang besar. Pada tataran akhir kondisi ini akan mendorong penurunan harga intrumen keuangan yang bersangkutan dan bisa memberikan domino efect kepada instrumen yang lain.

Contagion Effect
Semakin terintegrasinya pasar keuangan antar negara dan benua menyebabkan begitu mudahnya terjadinya “keluar-masuk” dana antar negara dan benua di pasar keuangan suatu negara. Sehingga kontraksi yang terjadi di dalam sebuah pasar keuangan suatu negara akan memiliki implikasi di pasar keuangan negara lain.
Terdapat 2 pintu masuk bagi pengaruh krisis keuangan global ke Indonesia, yaitu jalur perdagangan (trade channel) dan jalur aliran modal (capital channel). (Prasetyantoko 2008). Jalur perdagangan dimulai dari terjadinya penurunan daya serap atas produk ekspor karena melemahnya permintaan warga masyarakat negara importir sehingga menyebabkan pertumbuhan ekspor menurun dan berimplikasi kepada penurunan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus akan menyebabkan daya beli masyarakat juga mengalami penurunan. Sedangkan jalur aliran modal dimulai dari tingkat ekspektasi investor terhadap instrumen keuangan yang negatif sehingga menyebabkan terjadinya excess demand terhadap instrumen keuangan di Indonesia. Lebih lanjut kondisi ini akan menyebabkan penurunan harga instrumen keuangan.

C. Negosiasi Kebijakan (Otoritas vs Pasar)
Menyambut krisis yang terjadi ini. Pemerintah yang menjadi pemegang otoritas (ideal-nya tidak hanya di-pegang tetapi juga di-gunakan!) telah merespon dengan gegap ( tetapi tidak gempita) atas krisis ini. Bahkan lebih”gegap” daripada menyambut Hari Pahlawan kemarin. (Yang menurut Rocky Gerung-Kompas 18 Nopember 2008- hanya sebagai Dagangan Politik dengan Komoditas Kepahlawanan).

Stabilitas Sebagai Hak Publik
Terjadinya ketakstabilan ekonomi dan keuangan akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan segenap warga masyarakat. Kondisi “tidak stabil” menimbulkan ketidakpastian yang berbiaya mahal. Hal ini timbul karena terdapat premi risiko yang akan selalu diminta oleh pelaku ekonomi rasional terhadap keputusan ekonomi yang akan dilakukannya. Dalam perspektif yang lain, suasana yang tidak menentu akan memicu beberapa pelaku ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang abnormal dengan tindakan spekulasi yang mereka lakukan. Sehingga premi risk dan gairal spekulasi ini akan membuat ketidakstabilan menjadi semakin parah dan menakutkan!.
Pada titik inilah pemegang otoritas harus melakukan “sesuatu” untuk menimalisasi risiko, dan serangkaian kebijakan harus segera dilahirkan. Secara normatif langkah pemegang otoritas ini sebagai cerminan atas pemenuhan hak publik masyarakat atas “stabilitas ekonomi keuangan”.

Otoritas vs Pasar
Dalam tataran riil dominasi otoritas selalu berhadapan dengan kekuatan pasar. Ada proses “negosiasi” dalam kebijakan yang diambil. Pada tanggal 15 Oktober, SBY telah mengeluarkan 10 direktif presiden serta diikuti pula lahirnya Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Dan pada tanggal 28 Oktober 2008 yang lalu (pas 100 tahun Sumpah Pemuda), pemerintah telah memutuskan 10 langkah untuk merespon perkembangan pasar keuangan akibat dampak krisis global. Kesepuluh langkah ini bermuara pada 2 tujuan, yaitu (1) menjaga keseluruhan kegiatan ekonomi agar tidak banyak mengalami gangguan, menjaga keselamatan dan keamanan perekonomian, (2) melakukan respon terhadap kesulitan yang dihadapi pelaku ekonomidan menjaga dari dampak yang tidak menguntungkan.

D. Implikasi Negosiasi Kebijakan
Sebagai sebuah proses yang dinamis, maka negosiasi kebijakan itu pastilah menimbulkan beragam implikasi. Dan implikasi positif (atau negatif dengan taraf yang paling minimal) yang pasti diinginkan oleh pengampu kebijakan. Salah satu misal adalah SKB 4 Menteri terkait dengan upah buruh (normatif sebagai pengaman buruh akibat krisis) menimbulkan implikasi yang luas. Ketika kenaikan upah buruh diputuskan tidak boleh lebih dari pertumbuhan ekonomi, saat itu pula buruh melakukan ekspresi ketakpuasan. Sampai pada tataran akhirnya pada perubahan SKB 4 Menteri itu yang menyatakan bahwa kenaikan upah buruh senilai maksimal besaran inflasi yang terjadi. Revisi inipun masih belum memuaskan semua pihak. Kebijakan untuk menaikkan jaminan simpanan oleh LPS dari 100 juta menjadi 2 miliar pun masih menimbulkan diskursus pro dan kontra. Antara potensi terjadinya moral hazard bagi manajemen bank dan potensi terjadinya capital out flow. Interaksi negosiasi ini masih terus akan menciptakan diskursus dalam perspektif kepentingan masing-masing.

E. Rekomendasi dan Epilog
Kembali ke “moment opname” diatas, saat ini Lik Mo sedang berbual-bual di sebuah rumah tetangganya ba’da tahlilan rutin yang menjadi tradisi dikampungnya setiap malam Jum’at. Ia sedang dengan rakus-nya menguasai pembicaraan, sedang on fire. “……….maka kesimpulannya adalah krisis saat ini masih dalam tataran pengurangan kekayaan orang kaya (wealth) belum sampai pada tataran penurunan daya beli (purchasing power) sehingga pemerintah harus mencegah dan meminimumkan terjadinya dan efek dari penurunan daya beli masyarakat itu.” ia diam sejenak mengambil nafas dan sesekali menengok kiri kanan melihat reaksi “lawan-lawan” bicaranya. “….. salah satu yang dilakukan adalah memberikan insentif dalam kebijakan fiskal terhadap pelaku sektor rill dan memberikan insentif pula dengan perspektif bunga atau moneter dengan memberikan tingkat bunga acuan yang relatif lebih “kondusif”.
“Lik Mo!” panggil Sis Kucing sambil melempar korek kayu ke badan Lik Mo, “Apa yang Lik Mo katakan tadi itu benar tah ora?” tanya Sis Kucing. “Kalau ditanya benar atau tidak, ya tanya saja sama Cak Su, ndak tau aku!” jawab Lik Mo sekenannya. “Aku juga ndak tau apakah yang disampaikan Cak Su itu kepadaku tempo hari itu, apa hasil pikir-nya Cak Su sendiri, atau pikir-nya koran yang dibacanya, atau pikir-nya buku atau yang lain,….. atau jangan-jangan pikir teman-temannya atau malah hasil dari TIDAK BERPIKIR!!!” lanjut Lik Mo. “Telpon saja Cak Su, ini nomernya!!”. Lanjut Lik Mo sambil mengeja nomer HP Cak Su, 08123354850. “Atau telpon fleksi-nya saja, biar lebih murah 7553518, atau ngimil saja di lurahe_ndoko@yahoo.com” lanjut Lik Mo seperti orang belajar membaca. Kring…. kring….. “Asalamu’alaikum, ini Lik Mo……”. HP langsung kumatikan saat itu juga. Hening…… Sepi……….

Tidak ada komentar: