Kamis, Desember 18, 2008

BHP: Perspektif Good University Governance

Part I

Gerimis mengguyur lagi!.
“Cak Su, BHP itu apa sih?!” tanya Lik Mo tetanggaku kampung melalui telepon.
“Badan Hukun Pendidikan Lik! Memangnya ada apa sih?!”
Enggak, aku kok merasa takut saja Cak!”
“Takut, memangnya kenapa kok harus takut segala?!”
“Iya… Kata mahasiswa yang demo itu biaya pendidikan akan menjadi mahal!”
“Terus?!”
Lha kalau mahal, aku kan tidak bisa kuliahkan Lastri nanti to Cak?!”
“Terus?!”
“Lha… pupuslah harapan memiliki anak sarjana!”
“Terus?!”
Welah… Cak Su ngece to… Kok terus terus thok!”
Ora Lik, aku mung pingin ngomong, biaya pendidikan akan mahal bagi kampus yang serakah, gege mongso dan gak kreatif!”
????

Rapat Paripurna DPR (17/12) yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar menyetujui RUU Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang. Persetujuan ini dicapai setelah melalui pembahasan dan penundaan beberapa kali. Proses selanjutnya hanyalah menunggu presiden mensahkannya. Aksi demontrasi seperti diduga sebelumnya, mewarnai proses paripurna persetujuan RUU BHP ini. Mahasiswa turun kejalan untuk menuntut penolakan atas RUU tersebut. Penolakan ini bersumber pada kekhawatiran mereka atas kemungkinan terjadinya komersialisasi pendidikan dan langkah lepas tangannya pemerintah terhadap pendanaan pendidikan. Anjing mengonggong kafilahpun berlalu. RUU BHP tetap disetujui!

Status BHP bagi universitas adalah bentuk otonomi diperluas yang diberikan oleh undang-undang kepadanya. Pemberian ini menuntut konsekuensi yang harus diantisipasi dan dihadapi oleh perguruan tinggi. Menerima BHP tanpa melakukan langkah penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional berarti membiarkan “maut” datang untuk menjemput “kematian” kita. Meskipun nantinya dimungkinkan ada langkah judicial review atas berlakukanya UU BHP ini, maka tidak ada ruginya jika proses penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional disegerakan. Meskipun sudah mulai terbentuk kerangka BHP di beberapa perguruan tinggi, seperti UM dengan proyek I-MHERE-nya, langkah yang lebih operasional perlu segera diterjemahkan dan dilakukan.

Prinsip Good University Governance dan Masalahnya
BHP merupakan badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Sebagai badan hukum maka BHP merupakan subjek hukum, seperti manusia, yang memiliki asset/kekayaan dan kewajiban hukum sendiri. BHP merupakan badan yang melakukan pengelolaan dana secara otonom dengan prisip nirlaba yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha maka sisa lebih tersebut harus ditanamkan kembali untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan. Pertanyaannya adalah berapa besar “sisa lebih” yang dikehendaki? Bagaimana mencapai target “sisa lebih” itu? Apa batasan/koridor hukumnya? Pada titik ini, ruang terjadinya komersialisasi pendidikan terbuka. Keinginan untuk cepat “besar” dan “berhasil” dalam investasi peningkatan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan dengan dana “sisa lebih” akan mendorong kecurigaan terjadinya komersialisasi pendidikan itu semakin tinggi.

Dalam BHP diatur beberapa prisip sebagai landasan normatif pelaksanaannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Otonomi
Merupakan kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Dalam aspek ini, otonomi memiliki 2 unsur, yaitu (1) Kewenangan, adalah unsur yang sering menjadi pendorong untuk men-segerakan BHP dan (2) Kemampuan, adalah konsekuensi atas kewenangan. Memiliki kewenangan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya merupakan kesia-siakan dari sebuah otonomi. Dengan adanya otonomi nenuntut daya responsif dan adaptif terhadap perubahan menjadi semakin cepat dan bertanggung jawab.

2. Akuntabilitas
Merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Akuntabilitas tidak seharusnya dimaknai hanya dalam aspek pelaporan administratif saja tetapi lebih kepada pertanggunganjawab atas pencapaian (progress) dari target yang telah ditetapkan. Setiap progres dan kendala merupakan hak dari stakeholder untuk meminta pertanggunganjawab dari penyelenggara pendidikan. Akuntabilitas terhadap stakeholder internal BHP tidak hanya berpola alir “dari bawah ke atas” tapi juga selayaknya “dari atas ke bawah” pula. Itu lebih berkeadilan!.

3. Transparansi
Merupakan keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Transparansi tidaklah harus dimaknai sebagai suatu kewajiban tetapi lebih tepat jika dimaknai sebagai suatu “kebutuhan”. Karena transparansi akan mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kecurangan (fraud), ketidakadilan/diskriminasi dan sekaligus berperan sebagai leading indicator terhadap pelaksanaan tata kelola organisasi (good governance). Tuntutan normatif, keharusan adanya transparansi haruslah didukung dengan seprangkat sistem yang baik dan terukur serta perubahan/penciptaan budaya (culture) organisasi yang kondusif. Akomodasi proporsional terhadap sikap kritis dari stakeholder merupakan sebuah keharusan.

4. Penjaminan Mutu
Merupakan kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Pendidikan Nasional serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan berkelanjutan.
Karena penjaminan mutu merupakan kegiatan yang sistemik, maka ia memerlukan keberadaan dan dukungan dari sub sistem yang lain. Penjaminan mutu harus meneropong dalam segala aspek operasional BHP. Dan yang pasti memberdayakan Penjaminan Mutu baik secara kelembagaan maupun “kepedulian dan kesadaran” untuk merespon hasil kerja yang dilakukan merupakan sebuah keharusan. Hal ini dapat digunakan sebagai media untuk menciptakan kondisi “SADAR MUTU” bagi segenap pihak dalam BHP.

5. Layanan Prima
Yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik.
Kepuasan dari stakeholder merupakan indikator yang paling sahih untuk menilai apakah operasional BHP sudah dilakukan dengan baik atau tidak. Segenap tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan harus sanggup untuk memberikan layanan prima. Kesanggupan ini dapat dipenuhi jika didukung dengan manajemen SDM yang baik dan penciptaan nilai (value) organisasi yang mampu menginspirasi perilaku. Ketiadaan nilai dan budaya organisasi yang baik, sulit untuk mendorong kesadaran atas tuntutan layanan prima kepada peserta didik.

6. Akses Yang Berkeadilan
Yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial dan kemampuan ekonominya. Prinsip ini menuntut perlakuan non diskriminasi terhadap input mehasiswa. Sehingga kemampuan akademik merupakan satu-satunya syarat dalam penerimaan mahasiswa baru. Bukan yang lain!. Konsekuensi-nya adalah bagaimana sistem yang dibangun dapat memberikan kesempatan yang adil bagi calon peserta didik yang memiliki kemampuan akademik tinggi tetapi tidak didukung oleh kemampuan ekonomi yang baik. Tetapkah mereka memiliki kesempatan yang sama dengan calon mahasiswa yang mendapat dukungan kemampuan ekonomi yang baik? Berpihak kemanakah BHP menyikapinya?

7. Keberagaman
Yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap terhadap berbagai pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis dan budaya masing-masing. Prinsip ini menjunjung tinggi keberagaman sebagai kondisi alamiah manusia. Tidak ada perlakuan diskriminatif dalam operasional BHP. Kesempatan berkembang bukan diberikan/difasilitasi atas dasar persamaan agama, ras, etnis dan budaya tetapi dilihat dari penilaian objektif kompetensi dan profesionalisme. Sistem dan budaya organisasi harus mendukung terciptanya tatanan yang non-diskriminasi itu.

8. Keberlanjutan
Merupakan kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada kepada peserta didik secara terus menerus dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan pelayanan.
Sebagai BHP maka status badan hukum itu bisa dicabut sesuai dengan perundangan yang berlaku. Misalnya pencabutan status BHP melalui putusan pailit. Untuk menghindari itu, maka BHP harus dilakukan dengan pola manajemen yang hati-hati (prudent), profesional dan bertanggung jawab. Pengelolaan BHP yang tidak didasari dengan perencanaan yang baik dan lebih cenderung spekulatif mendorong risiko pailit semakin besar potensinya untuk terjadi. Aspek ini terkait erat dengan pengelolaan keuangan, baik dalam aspek pendanaan (funding) maupun aspek investasi (investment). Penerapan prinsip manajemen risiko yang bertanggung jawab menjadi salah satu cara untuk meminimumkan risiko pailit ini.

9. Partisipasi Atas Tanggung Jawab Negara
Yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara.

Prinsip-prinsip operasional BHP ini menuntut disusunnya perangkat hukum yang menjadi dasar kebijakan operasional. Dan perangkat hukum ini harus mampu memberikan jaminan atas pelaksanaan kesembilan prinsip-prinsip diatas. Selanjutnya norma hukum ini harus diikuti dengan aturan pelaksanaan yang lebih operasional. Artinya tidak hanya berhenti hanya sampai dalam tataran normatif yang abstrak. Dan pada akhirnya perangkat hukum yang dibentuk tersebut diharapkan mampu membentuk nilai dan budaya organisasi yang mendukung bagi terbentuk kesadaran menjalankan prinsip-prinsip itu secara sukarela, tanpa ancaman, paksaan dan intimidasi!. Jika itu terjadi, merupakan awal dari pemenuhan harapan akan kualitas pendidikan yang baik.

Sis Kucing, tetangga kampung yang korban DO dari sebuah universitas di Malang, menelepon.
“Cak Su, kalau perguruan tinggi sampeyan nanti mau dirikan pabrik, tilpon kau ya?! Aku mau nglamar kerja!”
Lho…. Kok pabrik?! Kata siapa Sis?!”
“Enggak, kalau BHP kan nanti perguruan tinggi boleh bisnis to?!”
“Iya memang, tapi ya… apa harus pabrik to Sis?!”
“Ya mungkin Cak!”
“Iya nanti tak kabari, kalau…”
“Kalau apa Cak?!” Sis memotong bicaraku.
“Kalau aku tahu Sis!”
Waduh?! BHP akan membuat orang kampus semakin sibuk ya Cak?!”
“Mungkin?!” kataku.
“Jika sibuk, terus mahasiswa-nya juga pasti lebih sibuk lagi Cak!”
“Kok bisa?!!”
“Sibuk nyari dosen-nya yang entah sibuk apa??!”
????

Tidak ada komentar: