Republik Daulat Nafsu
Hari yang lalu merupakan hari "kejatuhan martabat dan kewibawaan" kejaksaan agung, saat jaksa Urip Tri Gunawan (Kepala Jaksa Pemeriksa Kasus BLBI) ditanggap KPK karena menerima suap.
Menghebohkan dan sekaligus menjengkelkan, bagaimana tidak, belum reda rasa penasaran, ketak-adilan dan marah ketika jaksa agung mengumumkan penghentian kasus BLBI bagi BCA (milik Anthony Salim) dan BDNI (Samsul Nursalim) telah disentak lagi dengan kasus Pak Urip. Waduh Pak Urip ... seadainya Bapak tidak pernah urip (hidup) pastilah Bapak tidak akan memberi malu kepada institusi kejaksaan dan ... keluarga Bapak (anak, istri, bapak, ibu dan lain-lain). Ya ... seandainya tidak hidup, atau hidup tetapi tidak tunduk pada nafsu.
Apakah Pak Urip sendirian dalam "dagelan" yang bernada minor dan unhappy ending ini? Tentulah tidak ... Pak Urip hanyalah satu noktah dalam Republik Daulat Nafsu ini.
Republik ini telah di-nakhoda-i oleh kedaulatan nafsu. Bagaimana tidak? Begitu banyak penyimpangan yang terjadi di negara ini, begitu banyak kebusukan yang kasat mata diperlihatkan kepada rakyat-nya. Tiadanya ketegasan dan keteladanan dari pemimpin kita, memperburuk situasi ini.
Semakin runyam... rakyat telah menyontek pula daulat nafsu seperti pemimpinnya. Yang kasat mata... apa yang terjadi di jalan-jalan yang kita lalui? Nafsu yang liar. Semua menyerobot ... kanan kiri ... memotong jalan ... klakson memekakkan telingga ... umpatan ... cacian ...
Di kantor-kantor juga tidak lebih baik daripada itu...
Konsep trias politica-nya Montesque sudah tidak jalan. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah tidak relevan lagi. Semua tunduk pada kekuasaan nafsu masing-masing. Dan saya setiap hari dan saat juga mengabdi dan loyalis nafsu.
Pak Urip Tri Gunawan bukanlah tersangka yang sebenarnya ... tapi nafsulah yang selayaknya jadi terpidana. Bisakan kita mem-pidana nafsu? Kata Cak Kaji Agung bisa! kalau mau ... (sebenarnya mau dan ingin ... tapi berat bos!).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar