Jembar Negarane Cupet Pikirane Mlarat Rakyate
(luas negaranya sempit pikiran-nya miskin rakyat-nya)
Telah banyak syair lagu yang memuji keindahan dan kekayaan tanah air kita ini. Mulai lagu-lagu "perjuangan" yang wajib kita hafalkan saat SD sampai lagu pop "musik ngak ngik nguk"-nya Koes Ploes Bersaudara. Katanya "bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu,tongkat kayu dan batu jadi tanaman ….".
Relevan-kah lagu-lagu ini? Secara substansial tidak. Tidak ada lautan yang menjelma menjadi kolam susu, malah lautan pernah memporak-porandakan sebagian wilayah tanah air kita. Tsunami dan hempasan badai telah membuat lautan menjadi tidak ramah lagi. Laut menjadi salah satu ancaman bagi kehidupan, kondisi ini juga diakibatkan oleh pengelolaan pesisir pantai yang tidak baik. Tanaman bakau dimusnahkan dan pantai direklamasi untuk perumahan mewah dan lapangan golf. Sungguh keterlaluan, betul-betul animal labarons.
Saat inipun kail dan jala tidak bisa diandalkan lagi untuk menjadi sumber penghidupan. Kail dan jala telah lumbuh dan tidak bisa bertindak apa-apa untuk membantu pemiliknya yang selalu kekurangan dan semakin kekurangan. Topan dan badai setiap saat terjadi dan selalu harus diwaspadai, katanya karena pengaruh pemanasan global (global warming).
Tongkat kayu dan batu saat ini tidak bisa menjadi tanaman, tongkat kayu telah menjadi pentungan yang selalu terayun dengan beringas oleh aparat keamanan, suporter bola yang frustasi demikian pula nasib "si batu". Kedua benda ini seakan menjadi katalis frustasi sosial sebagian masyarakat tanah air kita.
Mengapa saya menggugat lagu ini? Sepanjang perjalanan hari ini, melalui radio Citra Pro 3 saya mendengarkan berita yang cukup menggenaskan dan menyesak-kan dada. Masyarakat kita harus antri berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan minyak tanah. Itupun dengan harga yang sudah melambung naik. Betapa sengsara-nya mereka. Keadaan yang persis seperti pernah saya lihat di film-film hitam putih jaman dulu. Sekarang ada lagi di jaman ini, jaman canggih.
Kelangkaan minyak tanah dan kenaikan harga barang kebutuhan pokok telah membuat masyarakat kehilangan kekuatan daya beli dan suatu saat pasti juga mereka akan kehilangan kesabaran pula. Disaat yang bersamaan, pejabat kita sibuk dengan kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri. Begitu di-manja-kan mereka dengan fasilitas sehingga sulit menemukan sebuah rasa empati atas kesengsaraan rakyat-nya.
Banyak orang yang untuk makan besok, harus mencari dulu sekarang. Tidak ada lauk yang terhidang, ada nasi thok mereka sudah syukur. Mereka tidak punya simpanan beras apalagi simpanan uang. Untuk memenuhi kebutuhan perut saja ia harus pontang-panting terlebih dahulu. Masa depan hanyalah mimpi bagi mereka dan kesejahteraan seperti "godot yang tak pernah datang". Runyam Bos!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar