[bakul adalah istilah kami untuk menyebut bahan kuliah, terdapat beberapa macam 'bakulan' , ada "jahe" untuk aspek hukum dalam ekonomi-hukum bisnis, "paku" untuk pasar keuangan dan "nasi" untuk manajemen keuangan internasional]
Hukum Perjanjian
Hukum Perjanjian merupakan rangkaian materi hukum bisnis yang harus dipahami oleh mahasiswa (calon pelaku bisnis). Hal ini dikarenakan hampir semua tindakan bisnis dimulai dengan perjanjian dan hampir sebagian besar sengketa bisnis dilahirkan oleh perjanjian yang telah dibuat dengan mengabaikan prinsip hukum perjanjian.
Definisi Perjanjian
Apa itu perjanjian? Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak atau lebih dimana terdapat pihak yang berhak (kreditur) dan pihak yang berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Dari definisi diatas, kita dapat mengurai unsur dari suatu perjanjian, yaitu: (1) merupakan suatu hubungan hukum. Pengertian ini memiliki makna bahwa perjanjian itu merupakan suatu perbuatan hukum yang diatur oleh hukum dan memiliki konsekuensi hukum. Sehingga jika kita telah melakukan suatu perjanjian maka kita harus menjalankan kewajiban yang datur dalam kesepakatan perjanjian dengan baik. Jika tidak, maka kita akan dihadapkan dengan implikasi hukum. (2) dibuat oleh 2 pihak atau lebih. Ini merupakan konsekuensi logis dari perjanjian. Tidak akan lahir suatu perjanjian jika tidak ada 2 pihak atau lebih. (3) terdapat pihak yang yang berhak (kreditur) dan pihak yang berkewajiban (debitur). Tetapi dalam tataran empiris dalam perjanjian yang bersifat timbal baik (reciprocal agreement) pihak kreditur sekaligus pada sisi lain juga bertindak sebagai debitur dan sebaliknya dan (4) prestasi. Apa itu prestasi perjanjian? Adalah hal yang harus dilakukan/dipenuhi dalam perjanjian. Prestasi perjanjian ini dapat berbentuk berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu dan memberi sesuatu.
Syarat Sah Perjanjian
Karena perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang diatur oleh hukum dan memiliki konsekuensi hukum. Maka hukumpun memberikan batasan dan pengaturan seperti apa perjanjian yang dikatakan sah itu.
Perjanjian dikatakan sah jika memenuhi ketentuan tentang syarat sah perjanjian yang telah diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Syarat sah tersebut adalah sebagai berikut:
(1) adanya kesepakatan. Kesepakatan memiliki makna bahwa ada persetujuan secara bebas antar para pihak tentang ketentuan/klausul yang diperjanjikan. Dianggap tidak ada kesepakatan jika terdapat penipuan (rangkaian kebohongan yang dilakukan oleh salah satu pihak sampai pihak yang lain tergerak hatinya untuk sepakat) dan kekhilafan (salah satu pihak khilaf atau salah mengidentifikasi klausul yang dibuat). (2). Adanya kecakapan. Artinya para pihak yang membuat perjanjian dianggap hukum adalah subjek yang cakap, yaitu subjek yang mampu mengemban hak dan kewajiban. Cakap secara hukum adalah orang yang telah dewasa (telah berusia 17 tahun atau kurang dari itu tetapi sudah atau pernah menikah), orang yang sehat akalnya dan orang atau badan yang tidak sedang status pailit yang diputuskan oleh pengadilan.
Kedua syarat ini disebut dengan syarat subjektif. Jika tidak terpenuhi syarat ini (salah satu atau kedua-duanya) maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Bagaimana caranya? Pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agar hakim membatalkan perjanjian. Dalam hukum terdapat asas yang mengatakan bahwa siapa yang mendalilkan/mengatakan sesuatu maka ia harus membuktikan. Maka jika saya mengatakan bahwa perjanjian itu tidak sah karena tidak terpenuhi kesepakatan, maka saya harus bisa membuktikannya.
(3) adanya hal tertentu/objek perjanjian. Yang menjadi objek perjanjian haruslah jelas dan dapat ditentukan serta patut. Objek perjanjian haruslah objek yang tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Tidak boleh meskipun telah terpenuhi adanya kesepakatan dan kecakapan jika objek yang diperjanjikan adalah barang yang dilarang oleh undang-undang untuk diperdagangkan. (4) adanya sebab/kausa yang halal. Yang dimaksud dengan kausa yang halal bukanlah motif atau alasan membuat perjanjian, tetapi isi perjanjian, sebab motif atau alasan yang mendorong seseorang membuat perjanjian tidaklah dipersoalkan oleh hukum. Dalam perjanjian berlaku sistem terbuka yang berarti semua orang bebas membuat perjanjian apapun motifnya asalkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan.
Kedua syarat ini disebut dengan syarat objektif. Jika tidak terpenuhi syarat ini (salah satu atau kedua-duanya) maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya/otomatis. Hukum menganggap bahwa tidak pernah ada perjanjian, sehingga tidak perlu proses gugatan seperti halnya tidak terpenuhi syarat subjektif.
Apa konsekuensi dari perjanjian yang telah dibuat berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata diatas? Maka ketentuan pasal 1338 (1) berlaku, yaitu "perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya".
Ingkar Janji (Wanprestasi)
Adalah keadaan dimana debitur (pihak yang berkewajiban) tidak melaksanakan prestasi (kewajibannya) yang bukan dikarenakan keadaan memaksa dan karena itu debitur dapat dimintai ganti rugi. Terdapat beragam bentuk wanprestasi, yaitu: tidak memenuhi prestasi sama sekali, terlambat memenuhi prestasi atau memenuhi prestasi tetapi tidak baik/tidak sesuai seperti yang telah disepakati.
Terkait ganti rugi yang bisa dimintakan kepada debitur yang wanprestasi, undang-undang memberikan 2 syarat, yaitu: (1) kerugian yang bisa dimintakan ganti rugi adalah kerugian yang dapat diduga atau sepatutnya diduga pada saat perjanjian dibuat, (2) kerugian yang merupakan akibat langsung dan serta merta dari suatu wamprestasi. Jika tidak memenuhi kedua syarat ini, maka gantin rugi tidak dapat diajukan.
Keadaan Memaksa (Overmacht)
Ialah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta keadaan itu tidak dapat diduga saat perjanjian dibuat.
Dari pengertian ini, kita dapat mengurai unsur-unsur yang ada dalam keadaan memaksa, yaitu: (1) suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian (artinya keadaan/peristiwa itu timbul setelah adanya kesepakatan para pihak terhadap klausul-klausul dalam perjanjian). (2) yang tidak dapat diduga pada saat perjanjian dibuat. Artinya baik debitur maupun kreditur dapat meduga secara pasti bahwa keadaan/peristiwa itu akan timbul selama perjanjian dilakukan. (3) yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasi. Artinya keadaan/peristiwa itu menyebabkan atau menjadi sebab langsung dan serta merta sehingga debitur tidak bisa memenuhi prestasi.(4) dan sebitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko. Hal ini berarti dengan keadaan/peristiwa itu menghapuskan kesalahan debitur yang tidak dapat memnuhi prestasi perjanjian, sehingga ia tidak dapat dituntut ganti rugi atau menanggung risiko.
Jenis Perjanjian dan Konsekuensi Hukumnya
Secara umum, perjanjian sesuai dengan bentuk dibedakan atas: (1) perjanjian lisan. Yaitu perjanjian yang kesepakatan/klausul yang diperjanjikan disepakati secara lisan. Perjanjian lisan seperti ini tetaplah sah, tetapi yang menjadi masalah adalah jika ada sengketa yang lahir terkait dengan perjanjian ini maka para pihak akan kesulitan melakukan pembuktian. (2) perjanjian tertulis. Bentuk perjanjian ini ada 2, yaitu perjanjian tertulis dengan kata dibawah tangan dan perjanjian tertulis dengan akta otentik. Perjanjian tertulis dengan akta dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak saja tanpa melibatkan pejabat yang berwenang. Bagaimana jika tidak disertai dengan materai? Apakah perjanjian itu sah? Perjanjian tanpa materia adalah sah, yang menjadi masalah adalah bukti tertulis dari perjanjian itu tidak bisa dijadikan alat bukti, karena hakim akan menolaknya menjadikannya sebagai alat bukti. Hal ini dikarenakan UU Bea Materai kita mengatur tentang itu. Perjanjian dengan akta dibawah tanggan ini masih memberikan ruang bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian.
Perjanjian dengan akta otentik adalah perjanjian yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat yang berwenang. Siapa pejabat yang berwenang membuat perjanjian otentik? Terdapat 2 pejabat yang berwenang yaitu notaris (untuk objek selain tanah) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT (untuk objek tanah).Konsekuensi dari perjanjian dengan akta otentik ini adalah tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian.
[selamat kuliah sahabatku mahasiswa]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar