Kemarin Gulf Corporation Council (Dewan Kerjasama Teluk) melakukan pertemuan di Bahrain secara mendadak (Kontan, 24 Maret 2008). Pertemuan itu dilakukan karena ada "masalah besar" yang saat ini mereka alami, yaitu kelebihan likuiditas US$-nya akibat adanya kenaikan harga minyak. Negara yang masuk dalam jajaran GCC ini adalah Bahraian, Quwait, Qatar, Oman dan Arab Saudi.
Ketika negara kita (yang juga anggota OPEC) kalang kabut akibat melambung-nya harga minyak, mereka (GCC) malah khawatir dengan banyak-nya likuiditas yang mereka miliki. Kekhawatiran itu muncul karena kondisi berlebih-nya likuiditas di pasar akan mendorong me-naik-nya inflasi akibat penggunaan likuiditas berlebih tadi untuk kegiatan konsumsi. Jika inflasi menaik maka akan menimbulkan multiplier effect lanjutan yang tidak kondusif bagi sebuah sistem ekonomi.
Kecemasan mereka, bisa jadi akan memperbesar aliran hot money ke negara kita. Apa pasal? Karena dana berlebih itu bisa masuk ke pasar keuangan negara kita dengan mengkonversi menjadi kepemilikan instrumen-instrumen keuangan yang ada di pasar. Jika kondisi ini yang terjadi maka per teori akan menyebabkan kurs rupiah akan mengalami apresiasi (karena demand terhadap rupiah semakin banyak).
Didukung pula oleh insentif bunga risk free rate sebesar 8.5% dan kemungkinan rupiah akan mengalami apresiasi , kondisi ini akan semakin memberi stimulus aliran hot money ini semakin deras. Tingkat risk free rate yang relatif besar akan memberikan potensi return yang optimal dan rupiah yang ter-apresiasi akan mengakibatkan ber-lipat-ganda-nya keuntungan setelah investasi tersebut dikonversi kembali kedalam US$.
Tentu-nya sentimen yang terjadi di pasar keuangan akibat kondisi yang terjadi secara global akan turut pula memberikan pengaruh terhadap deras tidak-nya aliran hot money tadi. Setelah international idle fund tadi keluar dari pasar keuangan internasional (karena kasus subprime mortgage dan turunan-nya) dan beralih menggasak pasar komoditas (sehingga bermacam komoditas harga-nya naik) maka per teori dana itu akan mengalir ke pasar keuangan negara-negara yang memiliki resistensi terhadap krisis subprime mortgage tadi (dan salah satunya adalah Indonesia).
Bagi Indonesia, jika dana hot money ini benar-benar mengalir deras maka akan ber-implikasi pada perbaikan posisi neraca modal dalam neraca pembayaran kita. Dan kondisi akan menyebabkan posisi cadangan devisa kita juga bertambah dan cadangan devisa yang relatif besar akan turut menjadi "penjaga" bagi stabilitas rupiah kita.
Sehingga, jika saat ini menteri keuangan kita mumet met memikirkan bagaimana caranya menyulam APBN (salah satunya dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, bea dan cukai) dilain tempat menteri keuangan mereka (GCC) mumet mau belanja (investasi) apa dan dimana ...
... mereka benar-benar sedang dimanjakan Tuhan dengan Jaman Kalasuba ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar