Tidak seperti anak sekolah saat ini (yang masuk SD sudah harus bisa membaca), ketika saya dulu mulai bersekolah tidak ada ujian masuk dan batasan lain untuk bisa masuk SD. Kecuali satu hal, yaitu di suruh melingkarkan tangan diatas kepala dan dilihat sudah sampai atau belum tangan tersebut memegang telingga. Jika cukup, ya loloslah masuk SD.
Sekolah Dasar tempat saya mengajar dulu berada di pinggir lapangan desa (ketika anda pergi ke pantai Balaikambang pastilah anda lewati SDN Rejosari I), sehingga setiap istirahat berlarianlah kami ke lapangan untuk main sepakbola. Kadang-kadang sampai lama istirahat (sekaligus main sepakbola) kami, karena bel sekolah terkadang memang gak pasti bunyinya. Setelah capek dan haus, kami berlarian ke rumah Pak Kethang (bapaknya teman saya yang bernama Budi dan rumahnya di sebelah lapangan) untuk minta minum dan kami terbiasa untuk langsung mengambil air di genthong dan langsung meminumnya. Segar rasanya...
Atau kalau saat itu saya kebetulan membawa uang saku maka saya akan membeli sesuatu yang ada di warung Mak Tum (yang kata teman, sekarang sudah meninggal) warungnya kecil dibelakang sekolah dan sebelah WC sekolah (yang tidak pernah ada airnya). Mak Tum itu pendek dan gemuk tubuhnya, seringkali memakai "salonpas" di kening dan tengkuk-nya. Orangnya sabar, di warung-nya ia menjual weci, tempe benguk, krupuk samiler, getas, onde-onde, tebu conthong dan lain sebagainya, yang harganya berkisar antara Rp. 5 sampai dengan Rp. 15. Oh ya, apapun makan-nya pasti minuman-nya temulawak.
Oh ya, saya pingin cerita tentang Pak Sanimin, guru saya kelas 1 yang mengajari saya (untuk pertama kali) membaca dan berhitung. Beliau-lah yang pertama kali memangilku dengan panggilan "SU" (suku kata pertama dalam namaku) dan panggilan Pak Sanimin terhadap saya itu kemudian diikuti teman-teman saya yang lain. Kami semua saat itu takut sama Pak Sanimin meskipun beliau jarang untuk ber-"ringan tangan". Beliau selalu rapi dalam berpakaian, rambutnya pun disisir dengan rapi pula. Beliau selalu datang ke sekolah dengan sepeda onthel dan pasti selalu paling pagi dibanding guru-guru yang lain... serta selalu membonceng anak perempuanya (yang menjadi teman sekelas saya) Sri Winanti namanya.
Pak Sanimin adalah guru yang sangat perhatian terhadap muridnya, teringat saat saya yang selalu kesulitan menulis dikte dengan penggunaan huruf n dan g, seperti bunga, bangga, jangan dan lain-lain. Kadang-kadang hurug "g" yang saya tuliskan "g"-nya kurang terus kadang lebih, jadi "bungga, banga dan janggan". Beliau selalu telaten menanyakan dan mengajari saya. "Su, sudah bisa apa belum? "G"-nya ada berapa? begitu selalu kata beliau.
Sampai lulus SD, beliau masih tetap ke sekolah dengan sepeda onthel-nya. Baru, ketika saya sudah mau lulus SMP kulihat beliau sudah memakai sepeda motor "honda bebek 70". Ketika saya SMA dan kuliah, saya sudah jarang bertemu dengan beliau (karena saya harus kos di kota).
Akhirnya saya berkesempatan bertemu dan mengobrol dengan beliau dengan lama beberapa bulan yang lalu. Beliau masih tetap ramah, menasehati saya, begitu perhatian-nya beliau terhadap saya (saya selalu merasa masih kecil dihadapannya). Saat itu beliau telah pensiun. Istri beliau membuatkan saya rujak cinggur yang sungguh enak dan anak putrinya Sri Winanti (yang teman sekelas saya dulu) me-nyuguh-kan teh manis. Itu semua bukan terjadi di rumahnya, tapi di warung rujak-nya. Memang setelah pensiun Pak Sanimin membuka warung rujak cingur bersama istri dan Sri Winanti (yang saat ini telah memiliki 3 anak).
Kemarin HP saya berdering menjelang tengah malam, Lukman, salah seorang temanku SD, mengabariku kabar duka. "Pak Sanimin meninggal....". Innalillahi waina illaihi roji’un.
Selamat Jalan Pak Sanimin. Terima Kasih Pak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar