Rabu, April 23, 2008

lelaki baik yang baik-baik


Lelaki Baik Yang Baik-Baik

Membaca cerpen "Terbang" Ayu Utami dalam Kompas Minggu 20 April 2008 memberikan tambahan kosa kata dan keluasan makna kata-kata bagi saya. Cerpen ini bercerita tentang pengalaman sebuah penerbangan domestik oleh maskapai domestik yang sangat tidak menghargai "nyawa" para penumpang-nya. Ditunjukkan pula oleh Ayu Utami beberapa kasus kecelakaan pesawat yang membuat "tokoh aku" dalam cerpen itu menjadi selalu merasa "mengadaikan" nyawa-nya saat ia melakukan penerbangan. Dan itu pula yang menyebabkan "tokoh aku" selalu menolak untuk terbang bersama dengan suaminya, karena ia takut 2 orang anak-nya yang masih kecil akan menjadi yatim piatu.

Cerpen itu juga memberikan sebuah pertanyaan kesadaran yang begitu dasyat saya rasakan. Ayu Utami memberikan dikotomi tegas antara "lelaki baik" dan "lelaki baik-baik". Menurut Ayu Utami "lelaki baik" dan "lelaki baik-baik" adalah 2 makhluk yang berbeda. "Lelaki baik" menurut Ayu Utami adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol, tidak tengil dan meng-guru-i, meski belum tentu baik untuk hidup bersama. Sedangkan "lelaki baik-baik" merupakan lelaki yang setia kepada keluarga, bisa saja sangat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga.

Ketika mata saya memberikan sinyal ke otak untuk memberikan respon atas hasil baca pada bagian ini, saya hentikan aktivitas membaca sebentar. Saya kepingin "memotret" diri saya sendiri. Saya "lelaki baik" kah? Saya "lelaki baik-baik" kah? Saya "lelaki baik yang baik-baik" kah? atau ... Saya "lelaki tidak baik yang juga tidak baik-baik". Waduh... Soy yo Soy. Tulisan Ayu Utami membuat saya mengeluarkan memori-memori lama mengenai "kiprah ke-lelaki-an" saya, dalam kapasitas sebagai seorang suami dari seorang istri (tiwi nurjannati utami) dan juga dalam kapasitas sebagai seorang ayah dari seorang putra (abdi raja semesta alam) juga dalam peran sebagai kepala keluarga.

Tidak enak juga jika mem-"presentasi-kan" hasil "jepretan" diri saya oleh saya sendiri kepada anda. Tetapi yang jelas, dengan "jepretan gelang karet" Ayu Utami itu tepat mengenai wajah saya. Menjadikan saya melakukan "interogasi internal" apakah saya sudah berada dalam maqom "lelaki baik yang baik-baik". Dan biarlah juga istri dan anak saya yang akan melanjutkan "interogasi" itu kepada suami dan ayah-nya. Biarlah mereka memotret dengan kamera masing-masing yang mereka punya. Toh semuanya bisa menjadi bahan untuk ber-cermin (ber-homeostatis dan sibernetika).

Tentulah semua dari kita sesama lelaki akan spontan memberikan respon terhadap tulisan Ayu Utami itu, respon bisa beragam tergantung bagaimana "kita". Sebuah respon akan berimplikasi positif jika respon itu ber-kelindan menjadi sebuah niat dan tindakan positif. Lahirnya sebuah kesadaran untuk menjadi "lelaki baik" dan "lelaki baik-baik" yang muncul dari sebuah cerpen Ayu Utami bisa menciptakan "koridor" baru dalam bersikap dan menempatkan diri dalam lalu lintas pergaulan. Tentunya tiada seorang-pun yang me-apresiasi positif terhadap "lelaki tidak baik yang juga tidak baik-baik".

Tentunya tidak ada satupun kesempurnaan yang mampu melekat pada diri seseorang, tidak ada seorangpun yang di-"jangkiti" kesempurnaan. Tetapi akan menjadi sempurna jika mereka tahu untuk selalu memperbaiki diri. Sulit memang, tetapi akan lebih sulit lagi jika kita sudah terlanjur menjadi yang "tidak baik-baik". Menjadi seorang suami dan sekaligus kepala keluarga dapat di-analog dengan sebuah perbankan. Sebuah bisnis kepercayaan, jika kita tidak mampu mempertahankan kepercayaan itu, maka akan timbul rush kepercayaan dari istri dan mungkin anak kita. Jadi ................... menyeramkan!!!

Tetapi jika kita perluas makna "lelaki baik dan lelaki baik-baik" secara "a contrario" maka akan melahirkan para frasa "perempuan baik dan perempuan baik-baik". Sehingga jika begitu maka... "Quo Vadis Perempuan Baik Yang Baik Baik".



Jumat, April 18, 2008

hyperactive professionalism dalam unas


Hyperactive Professionalism Dalam Unas


Hari-hari ini merupakan hari yang "mencemaskan dan mendebarkan" bagi pelajar yang akan menjalani ujian akhir nasional minggu depan. Tidak hanya dirasakan oleh mereka tetapi oleh orang tua-nya pula. Bahkan "kecemasan yang mendebarkan" dari orang tua ini lebih dasyat dari yang dirasakan anak anak mereka.

Ditengah himpitan ekonomi dengan "cekik-an" kenaikan harga-harga barang dan langka-nya minyak tanah dan elpiji para orang tua harus mengalami himpitan hati karena ketakutan dan kekhawatiran anak-nya tidak lulus ujian. Ketakutan dan kekhawatiran yang beralasan karena beberapa kali try out hasilnya mengecewakan. Ujian ini tidak hanya ujian bagi pelajar-pelajar saja tetapi juga merupakan ujian mental yang dasyat bagi para orang tua.

Temperatur kecemasan dan sekaligus diiringi oleh naik-nya tekanan darah bagi orang tua merupakan keharusan yang harus diterima oleh mereka. Bagi orang tua yang memiliki kemampuan ekonomi dan daya beli yang baik, mereka bisa me-reduksi kecemasan itu dengan mengikutkan anak-nya pada bimbingan-bimbingan belajar atau bahkan mendatangkan guru privat untuk anak-nya di rumah. Tetapi bagi orang tua kebanyakan yang tidak mampu secara ekonomi jangankan mengikutkan kursus ........... mereka hanya bisa tidur dalam gelisah. Sebuah ketakberdayaan.

Dalam persepektif yang lain, ujian akhir nasional ini juga diwarnai oleh pelangi-pelangi politik. Pakde Karwo yang menjabat Sekretaris Daerah Provinsi Jatim sekaligus Cagub menampilkan foto-nya dalam buku petunjuk UAN yang dibagikan kepada para pelajar. Di Malang, Drs. Peni Suparto, M.AP, Walikota sekaligus Calon Walikota menampilkan wajah-nya dalam buku UAN yang dibagikan dalam try out yang diselenggarakan oleh sebuah partai politik. Kedua kejadian ini menjadi kontroversi. Pro dan kotra lahir menyertai kontroversi ini. Dalam konteks ini UAN bisa menjadi media menarik simpati bagi para calon kepala daerah. Dalam konteks yang lain Wakil Bupati Kabupaten Malang Rendra Kresna juga mengancam Kepala Dinas Pendidikan-nya untuk di-copot jika hasil UAN mengecewakan. UAN layak-nya sebuah pertaruhan.....

Dalam "angel" yang lain pula, fenomena UAN juga melahirkan kegiatan-kegiatan spriritual yang masif. Masjid Jami' Kota Malang beberapa waktu yang lalu telah menyelenggarakan istiqosyah yang diikuti oleh pelajar dan sekaligus orang tua pelajar. Di Kota Kepanjen dan banyak kota yang lain juga dilakukan kegiatan serupa. Kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan mendorong mereka untuk mencari dan menghadap Tuhan-nya. Sebuah anomali sikap, jika nanti saat pengumuman kelulusan, bukan sujud syukur yang dilakukan tapi KONVOI!!!

Dalam teori kriminologi terdapat teori psikiatrik kriminologik yaitu teori yang mengatakan bahwa "ancaman terhadap pencapaian cita-cita masa depan akan menyebabkan perilaku menyimpang (kejahatan). Baskara (2008). UAN bagi sebagian orang adalah sebuah ancaman terhadap "pencapaian cita-cita", sehingga sangat dimungkinkan terjadinya kejahatan atas-nya. Hal ini membuat BNSP sebagai penyelenggara UAN melibatkan aparat kepolisian dan Tim Pemantau Independen dalam pelaksanaan UAN. Itupun, tahun yang lalu UAN masih diwarnai perilaku-perilaku menyimpang dalam pelaksanaan-nya. Ada seorang kepala sekolah yang "berani karena goblog" mencuri soal ujian, demi anak didik atau demi diri-nya sendiri. Sehingga seringkali terjadi "the end justifies the means" (tujuan menyucikan cara). Wilardjo (2008).

Sehingga, kadang saya berpikir apakah UAN memang diperlukan? haruskah UAN? apakah UAN tidak hanya sebagai Hyperactive Professionalism yang merupakan "usaha maksimal melaksanakan tujuan jangka pendek tanpa orientasi jangka panjang"? hanya proyek-kah?

(kemarin saat saya ngopi di sebuah warung pingir jalan, ada rombongan pelajar SMA yang akan UAN, mereka mengatakan UAN..COK!!! )

mudah-mudahan berhasil sobat!!!!

Rabu, April 16, 2008

ethical egoism protagoras



Ethical Egoism Protagoras

Protagoras sebagai seorang filsuf pernah mengatakan bahwa "individu sebagai entitas yang bebas merdeka sehingga tidak ada kewajiban baginya untuk menyumbang apapun bagi siapapun, selain kewajiban yang diatur dalam hukum positif". (Furianto, 2008). Dengan memakai pendekatan silogisme dapat dikatakan bahwa (1) saya adalah individu yang bebas merdeka (2) individu yang bebas merdeka tidak ada kewajiban untuk menyumbang apapun bagi siapapun, maka lahir (3) saya tidak punya kewajiban untuk menyumbang apapun bagi siapapun.

Marilah kita mencoba mencari relevansi konteks dalil Protagoras ini. Telah menjadi kecenderungan masyarakat untuk berorientasi hanya pada "pengguguran" kewajiban yang telah diatur dalam hukum positif. Diluar kewajiban itu, maka tidak ada kewajiban lagi baginya. Sudah Cukup!! Tetapi masalahnya adalah kewajiban kita bukan hanya sebagai warga negara (yang sekaligus diikat dengan beragam profesi) tetapi juga berperan sebagai manusia, sehingga tidak selalu yang "menjadi wajib" diatur dalam hukum positif. Atau dengan kalimat lain bahwa kewajiban kita sebagai warga negara adalah subset dari kewajiban kita sebagai manusia.

Ke-alpa-an dalam menunaikan kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum positif akan berimplikasi pada sanksi demikian pula ke-alpa-an manusia dalam menunaikan kewajiban ke-manusiaan-nya. Kewajiban yang pertama memiliki sanksi yang bisa dipaksakan sedangkan kewajiban yang kedua merupakan sanksi yang tidak bisa dipaksakan tetapi dapat dirasakan. "Rasa" yang juga amat tergantung kepada "keunikan" masing-masing individu. Jika ndableg ya sudah ......

Tetapi jika dirasakan tentulah menjadi teramat pincang jika kita hanya berorientasi pada kewajiban hukum positif. Ada sesuatu yang lain yang menuntut kita untuk melakukan lebih dari sekedar menuntaskan kewajiban. Ideal-nya lebih dari itu. Akan lahir kebahagiaan jika kita menjadi manusia yang tidak hanya "sekedar-nya saja". Saya masih berlatih untuk itu.... dan dalam konteks ini saya ingin melawan dalil Pak Protagoras. Saya masih memiliki kewajiban lain sebagai manusia... Soy yo Soy.
(entahlah ...)

benarkah dia al-amin


Benarkah Dia Al-Amin

Saat saya masih sekolah disebuah SD Inpres dikampung, pernah suatu ketika diajari oleh Pak Somad (guru agama saya yang saat itu sudah tampak tua) tentang sifat al-amin yang melekat pada rasul Allah. Sifat itu memiliki makna "yang dapat dipercaya". Dalam kondisi apapun apa yang dilakukan dan diucapkan oleh rasul selalu dalam katagori "dapat dipercaya". Penjelasan sifat rasul itu seringkali juga selalu dilakukan saat event-event keagamaan yang lain. Arti-nya semua orang sudah paham bahwa al-amin merupakan kata yang memiliki makna "yang dapat dipercaya".

Di masyarakat kita sudah merupakan kejamakan orang tua memberikan nama kepada anak-nya sebagai sebuah tetenger identitas juga sebagai do'a dan pengharapan. Sehingga seringkali kita dengar nama-nama yang memakai sifat-sifat rasul bahkan Tuhan. Tetapi apalah arti sebuah nama, kata Shakespiere "mawar disebut dengan kata apapun bau-nya tetap harum". Kadangkala nama tidak membawa kontribusi apa-apa terhadap si pemilik-nya. Kadangkala sebaliknya, nama juga bisa sebagai media passing-off (pendomplengan reputasi) seseorang.

Beberapa saat yang lalu, KPK menangkap salah satu anggota DPR dengan sangkaan korupsi.
Dini hari wakil rakyat yang terhormat (baca: saat ini tidak lagi terhormat) tertangkap tangan dengan keberadaan sejumlah uang sebagai alat bukti. Kejadian ini membikin heboh publik, tidak hanya karena kebetulan si anggota dewan itu suami seorang selebriti dangdut tetapi juga saat hangat-hangat-nya arogansi dan "buta"-nya DPR yang akan menuntut Slank. Sehingga produsen berita memiliki beragam perspektif dan "angel" untuk memotret kejadian ini.

Saya menjadi teringat ucapan seorang filsuf yang mengatakan bahwa "ketamakan adalah kemiskinan yang sebenarnya". Dengan logika yang sederhana, tidak cukup-kah apa yang telah diberikan negara kepada anggota dewan yang terhormat saat ini? Belum ideal-kah fasilitas dan materi yang di-hibah-kan negara kepada yang terhormat anggota dewan ini sehingga ia harus korupsi? Kurang-kah apa yang telah ia terima? Jika memang masih kurang, benar-benar memang kurang ajar. Tamak itulah sumber masalah-nya, sehingga ia selalu merasa miskin dan tidak pernah merasa cukup dan bersyukur. Tamak!!!

Montesquieu (dalam Latif 2008) pernah mengatakan bahwa "suatu negeri akan karam jika kekuasaan legislatif lebih korup ketimbang eksekutif". Inilah wajah Indonesia saat ini. Jika ini terus berlanjut mungkin negeri kita akan masuk dalam peta negara yang gagal. Hasil penelitian World Economic Forum mengatakan bahwa salah satu faktor pendorong (impetus) kegagalam suatu negara adalah wabah korupsi yang merajalela. Hal ini juga didorong pula oleh hilangnya budaya malu, yang oleh Ben Anderson dikatakan sebagai "erosi budaya malu". Jika malu sudah tiada.............. ya sudah runyam! Batas moral salah satunya adalah "malu".

Terakhir, layak kita renungkan apa yang pernah diungkap oleh Aristoles (dalam Muhibbin 2008) "semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan; maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kejujuran, kebenaran dan kemanusiaan". Juga apa yang pernah ditulis oleh Robert Bellah (dalam Subagyo 2008) yang mengatakan "profesi, jabatan dan peran sosial politik tidak cukup dipahami sebagai Job (tugas) atau Career (karir) tetapi a calling on vacation (panggilan) sehingga keberhasilan tidak melulu diukur dari capaian ekonomis dan psikologis tetapi juga capaian sosial, yaitu kemaslahatan bersama". Jadi.... benarkah saya, anda, kita ....AL-AMIN....................... (biarkan hati menjawabnya).
(jatuh bangun aku ...)

Jumat, April 11, 2008

rizal ramli: mobil dan tank bekas...


Rizal Ramli: Mobil dan Tank Bekas
(Sebuah Analog Pak Rizal Tentang Kepemimpinan Nasional)
Bertempat di Aula Utama A3 Universitas Negeri Malang (UM) pada hari Jum'at 11 April 2008 , Dr. Rizal Ramli berkenan untuk memberikan kuliah tamu dengan tema "Perekonomian Indonesia dan Problem Kebijakan Subsidi". Satu jam sebelum acara dimulai, aula utama yang berkapasistas 700 orang telah penuh sesak oleh peserta (mahasiswa, dosen dan kalangan profesional di Malang). Bahkan panitia harus menyediakan puluhan kursi tambahan. Sebuah antusiasme yang begitu tinggi.

Tepat pada pukul 09.00 WIB, Dr. Rizal Ramli memasuki Aula Utama dengan diiringi tepuk tangan meriah oleh para peserta. Dr. Kusmintardjo (Pembantu Rektor Bidang Akademik) mewakili rektor memberikan sambutan pembuka dalam acara itu. Beliau melemparkan joke kepada Pak Rizal; "karena sekarang Pak Budiono masuk ke Bank Indonesia, maka ada kesemparan Pak Rizal untuk duduk kembali menjadi Menko Ekuin". Joke ini disambut Pak Rizal; "kalau menko sih sudah pernah, tentu-nya yang lebih tinggi dong... Mas Kumintardjo saja yang jadi menko saya presiden-nya". Sekedar joke atau guyonan parikeno.

Kuliah tamu segera dimulai setelah sambutan Pak Kusmintardjo selesai. Dengan dipandu oleh Dr. Supriyanto, MM sebagai moderator, Pak Rizal memulai dengan bercerita mengenai kondisi Indonesia tahun 1996 yang menurut-nya menjadi pemantik krisis multidimensional di Indonesia. Beliau menjelaskan tentang beberapa hasil kajian Econit yang dipimpin-nya tentang indikasi ekonomi Indonesia yang akan mengalami masalah. Hasil kajian yang disangsikan oleh banyak pihak, bukan saja kalangan pejabat pemerintah, pelaku usaha bahkan lembaga-lembaga asing (IMF dan Bank Dunia). Hasil kajian Pak Rizal ini bahkan dikatakan "hanya menaku-nakuti".

Beliau juga menceritakan pertemuan-nya dengan Ir. Ciputra dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh BTN, hasil kajian Pak Rizal dilecehkan oleh Ir. Ciputra. Kata Pak Rizal "saya tidak mau berdebat dengan Pak Ciputra, jadi catat saja yang saya katakan dan kita bertemu lagi tahun depan". Dan terbukti se-tahun setelah pertemuan itu apa yang dikatakan Pak Rizal terbukti kebenaran-nya. Pak Rizal yang alumni Fisika Insitut Teknologi Bandung itu mampu membunyikan alarm meskipun tidak diapresiasi dengan proporsional.

Setelah bercerita panjang lebar tentang asal mula krisis Indonesia dan sepak terjang beliau diawal krisis, cerita berlanjut dengan peran beliau sebagai menteri keuangan, menko ekuin pada rezim KH. Abdurahman Wahid berkuasa. Dan pada bagian inilah Pak Rizal Ramli terjebak pada "sejarah yang selalu menghujat". Beberapa hal yang sempat beliau katakan, pemimpin yang bermental seperti anak kos, jika kesulitan uang ya.. hutang atau ya...menjual apa saja yang ia punya, pemimpin yang lebih senang bernyanyi daripada bertindak tegas. Dan pada akhir-nya beliau memberikan tausiyah untuk tahun 2009 agar tidak memilih Mobil Bekas dan Tank Bekas. Saya membatin "Pak Rizal kan juga Mobil Bekas, Bekas Menkeu Bekas Menko...pun saat launching Komite Indonesia Bangkit, Pak Rizal juga mengumpulkan banyak Mobil Bekas dan Tank Bekas". Jadi?

Saat sesi diskusi, saya berkesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada beliau sekitar besaran subsidi di APBNP 2008 yang mencapai 33.6% dari keseluruhan total pengeluaran pemerintah dari dari jumlah itu 81.86% untuk subsidi BBM dan listrik, saya kepingin tahu komentar Pak Rizal tentang APBNP ini. Dan pada terakhir pertanyaan, saya tambahkan pula sebuah pertanyaan "Pak Rizal, kalau Bapak menjadi presiden siapa yang Bapak kehendaki menjadi wakilnya, dan jika Bapak menjadi Wapres, Bapak pingin Presiden-nya siapa?" Pertanyaan tentang APBNP 2008 beliau tanggapi dengan panjang lebar, termasuk inefisiensi pertamina dan transmision lost PLN yang menyebabkan subsidi menjadi tinggi. Dan pertanyaan Presiden dan Wapres tidak mendapatkan tanggapan sama sekali. Beliau lupa atau pertanyaan yang ngawur dan gak nyambung. Jadi ngapaian ditanggapi?

Pukul 11.20 WIB acara kuliah tamu usai. Dan beliau Dr. Rizal Ramli berkenan mengikuti sholat Jum'at di Masjid Al-Hikmah Universitas Negeri Malang (UM). Terima kasih Pak Rizal.

(dalam rombongan Pak Rizal Ramli, terdapat beberapa mantan pejabat pemerintahan dan aktivis mahasiswa yang turut mendampingi-nya)






Kamis, April 03, 2008

generasi garis miring


Generasi Garis Miring

Ketika jaman kita sekolah dulu, pernah diajari untuk membentuk garis. Ada garis tegak atau garis vertikal dan garis mendatar atau garis horizontal. Sampai saat ini-pun “kemahiran” garis menggaris kita masih terus berguna dalam konteks yang beragam. Garis vertikal dan horizontal merupakan dua bentuk garis yang memiliki perbedaan ekstrim. Meskipun ekstrim pasti pada suatu saat dan titik, keduan-nya akan bertemu. Vertikal dan horizontal memiliki persamaan yaitu “ekspresi ketegasan” dan “sebuah konsistensi”.

Garis miring adalah garis yang terbentuk dengan kharakteristik tidak vertikal dan tidak pula horizontal. Ia miring!. Kemiringan-nya bisa beragam ekspresinya. Bisa miring dengan kecenderungan ke vertikal atau bisa pula ke horizontal. Seperti pendulum jam bandul, bisa di set kemiringan-nya sesuai dengan kebutuhan. Jadi garis miring, memiliki kharakteristik yang berbeda dengan garis vertikal dan horizontal, menunjukkan sebuah kegamangan dan hipokrit.

Garis miring secara normatif merupakan garis yang terbentuk dari titik-titik “konsesi” antara garis vertikal dan garis horizontal. Sehingga ia merupakan rentetan titik-titik yang tidak berkelamin. Tidak tegak, datar-pun tidak. Kecondongan “garis miring” itu juga tergantung kepada “kepentingan” dan semua produk-produk turunan-nya yang lain. Sepanjang garis miring adalah titik-titik “aman” dalam sebuah kerangka “penyikapan”. Dalam banyak kejadian dan situasi, banyak sikap yang diambil oleh masyarakat jika di plot pastilah berada dalam garis miring itu.

Sulit untuk bisa konsisten mempertahan-kan sebuah prinsip kebenaran yang telah kita yakini. Dalam deras-nya bombardir “intimidasi” dari faktor eksternal (iklan dan produk budaya kapitalisme-materialisme) yang sulit kita hindari dan bombordir dari dalam diri kita sendiri yang selalu mendera yang bersumber dari “ketakutan”. Takut miskin, takut kehilangan jabatan, takut tidak mendapatkan jabatan, takut kehilangan privelege dan lain-lain. Sehingga dapat dikatakan keberpihakan kita akan kemapanan (pro status quo) yang mendorong kita menjadi generasi garis miring. Termasuk saya!!

Marilah coba kita renungkan apa yang pernah ditulis oleh seorang filsuf yang mengatakan “you are important, he is important, i am not” (ajakan untuk menanggalkan egoisme). Atau tulisan Gede Prama “kebahagiaan tertinggi adalah jika kita mampu bersyukur meskipun kita hanya sebagai orang biasa”. Tetapi agar ada Action in Factum (langkah nyata) ada satu lagi yang perlu kita renungkan, pendapat dari seorang filsuf yang bernama Rene Descarter yang mengatakan "hidup laksana sebuah lukisan semua-nya adalah ekspresi, maka komtemplasi (merenung) tanpa aksi adalah kematian!!".

“bo… abo jik kerenge…sampeyan iki.”.

[makalah] komunikasi cerdas ....



Komunikasi Cerdas
: Sebuah Kebutuhan “Primer” Bagi Kita

(makalah yang akan disajikan dalam LKMM Badan Eksekutif Mahasiswa FE Universitas Negeri Malang, Sabtu, 5 April 2008 di Aula Utama A3)


Kemampuan berkomunikasi telah diterimakan kepada manusia sejak kelahiran-nya. Tangisan pertama kali saat ia “terdampar” di dunia sudah “layak” untuk dimasuk-kan dalam pengertian komunikasi. Tangisan sebagai salah satu bentuk “pesan komunikasi” akan berujung pada respon yang diberikan oleh orang-orang di sekeliling-nya. Baik itu orang tua, dokter yang menolong proses persalinan-nya dan sebagai-nya.

Ragam respon atas pesan yang sama itu (tangisan bayi) merupakan hal yang wajar dalam proses komunikasi. Tergantung kepada kepentingan dan tingkat wawasan serta kedewasaan seseorang. Respon dokter dan orang tua si bayi mungkin berbeda karena kepentingan yang berbeda pula. Orang tua merasakan kebahagiaan penuh atas kepercayaan Tuhan dan mungkin sekaligus kegelisahan karena harus membayar biaya persalinan yang mahal dan si dokter mungkin akan ber-ekspresi agak lain meskipun juga “bahagia”.

Pun demikian, seiring dengan berputar-nya waktu kemampuan berkomunikasi si bayi ini juga mengalami perkembangan. Tidak hanya berupa “tangisan” tetapi sudah mulai secara verbal non verbal dengan men-“jejak-jejak”-kan kaki dan semacam-nya. Semakin lama semakin lengkap-lah kemampuan komunikasi yang ia miliki, sudah bisa “ngomong” dan ber-ekspresi secara verbal dengan lebih baik.

Setelah dewasa, si bayi itu, akan memiliki kemampuan komunikasi yang tidak hanya lengkap tetapi juga semakin canggih. Ia sudah punya maksud, tujuan dan kepentingan yang tersembunyi (hidden interest) selain maksud, tujuan dan kepentingan yang tidak tersembunyi. Tentulah si “bayi besar” itu akan berkomunikasi dengan cara yang berbeda dan mungkin media yang berbeda untuk “yang tersembunyi” dan “yang tidak tersembunyi”. Perkembangan ini seiring dengan kemampuan untuk memaknai pengaruh dari sebuah komunikasi yang akan atau telah dilakukan-nya.

Mengapa harus ber-komunikasi?
Komunikasi merupakan pembeda yang jelas dan tegas antara hidup dan mati. Setiap yang hidup pasti ber-komunikasi (seperti: bunga layu ketika lama tidak disiram, “layu” adalah sebuah pesan komunikasi) dan yang mati pastilah sudah tidak memerlukan komunikasi lagi. Dan manusia yang masih hidup merupakan makhluk yang dikarunia Tuhan sebagai makhluk yang “banyak mau”-nya. Dan komunikasi merupakan jalan untuk “mendistribusikan” kemauan-nya itu kepada manusia yang lain. Jika tidak ada distribusi kemauan, ya itulah kematian. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi diperlukan sebagai media distribusi “kemauan” manusia terhadap manusia lain.

Pemaknaan Atas Komunikasi
Bebarapa ahli memberikan definisi komukasi sebagai proses pengiriman pesan/informasi kepada pihak lain untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai sebuah proses maka komunikasi memiliki sifat dinamis. Dalam proses itu mencakup beberapa pentahapan, yaitu pengirim pesan “kepingin” mendistribusikan pesan-nya kepada pihak lain. Pihak lain ini dapat disebut sebagai penerima pesan. Distribusi pesan itu dilakukan melalui “saluran distribusi” yang ditetapkan sehingga sampai kepada penerima pesan. Dan proses itu dilanjutkan dengan lahir-nya reaksi oleh penerima pesan atas pesan yang diterima-nya. Atau dapat dikatakan bahwa proses komunikasi adalah proses aksi – reaksi, yang proses itu bisa terus ber-spiral.

Dalam komunikasi terdapat lima unsur penting (Harold Laswell dalam Fikri (2007), yaitu who (komunikator), says what (pesan), to whom (komunikan), in which channel (media) dan with what effect (umpan balik). Kelima unsur ini saling ber-taut dalam proses ber-komunikasi. Proses komunikasi itu pada dasar-nya adalah “menjalankan atau mengarak” pesan, dari komunikator kepada komunikan. Umpan balik yang diharapkan oleh komunikator merupakan tujuan dari komunikasi itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa umpan balik merupakan “produk” dari proses komunikasi atau dengan kata lain bahwa komunikasi adalah proses produksi “umpan balik”.

Tujuan Komunikasi
Secara garis besar, terdapat dua tujuan komunikasi, yaitu: Pertama, komunikasi dilakukan supaya komunikan mengetahui (informative objective) dan Kedua, komunikasi dilakukan supaya komunikan tidak hanya mengetahui tetapi tergerak untuk melaksanakan (persuasive or instructive objective). Kedua tujuan ini akan menentukan media dan srategi komunikasi yang akan dilakukan. Analog-nya jika kita mau ke Surabaya, maka kita bisa memilih naik kendaran pribadi atau kendaraan umum. Jika ingin tujuan ini tercapai maka unsur komunikasi harus diperhatikan dan di-desain sesuai dengan tujuan.

Who (Komunikator)
Sebagai pemberi pesan, maka komunikan harus mengerti dan memahami tentang substansi pesan yang akan disampaikan. Penguasaan atas materi (substansi) akan memberikan banyak kesan positif dari proses komunikasi yang dijalankan. Anda bisa membayangkan, jika ada seorang yang tidak paham tentang kalkulus sama sekali (atau setengah-setengah) dan ia harus menjelaskan tentang kalkulus, kira-kira apa yang akan terjadi? Disamping menguasai secara substansial, komunikan harus mengetahui, memahami dan memiliki ketrampilan dalam menggunakan media komunikasi yang akan dipilih, baik itu media primer (orality) atau media sekunder (literacy). Jika tidak, apa sekira-nya yang bakal terjadi?

Yang harus pula dicermati oleh komunikator adalah mengetahui keadaan komunikan. Kharakteristik ini perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan gaya, pilihan kata dan bahasa serta media. Jika memungkinkan, bentuk dan tujuan komunikasi tertentu memerlukan “potret” budaya atas komunikan. Pepatah “lain lubuk lain belalang” relevan dipakai dalam konteks ini. Jika kharakteristik ini di-tabrak saja, maka komunikasi yang dilakukan tidak-lah efektif.

Says What (Pesan)
Sebuah pesan yang akan mendapatkan respon positif jika pesan itu memang dibutuhkan oleh komunikan. Pesan yang memang sudah di-ingin-kan “kehadiran”-nya. Selayak-nya sebuah produk, kemasan atas pesan juga harus diperhatikan. Sebuah kemasan yang menarik akan menentukan keberhasilan komunikasi. Jika kemasan sudah diperhatikan maka cara “penyajian”-nya juga harus dipertimbangkan. Kemasan dan cara penyajian yang baik, akan meng-konversi “ke-enganan” komunikan untuk merespon sebuah pesan menjadi kesenangan meskipun pesan itu sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.

to Whom (Komunikan)
Setiap komunikan punya kharakteristik. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan komunikan,yaitu: budaya, etnosentrime (rasisme), prasangka dan stereotif. (Fikri, 2007). Dalam budaya terdapat tatanan nilai yang hidup dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai itu harus sudah teridentifikasi dan dipahami sebelum komunikasi dilakukan. Etnosentrisme (rasisme) yang masih ada juga harus diidentifikasi, misal-nya pada sebuah masyarakat tertentu terdapat kecenderungan untuk tidak mau menerima “semua”informasi yang berasal dari komunikator yang berasal dari komunitas tertentu (masyarakat desa VS masyarakat kota). Prasangka juga harus pula dijernihkan sebelum komunikasi berlanjut lebih jauh dan stereotif yang masih hidup dalam masyarakat komunikan juga harus diperhatikan pula.

In Which Channel (Saluran/Media)
Per teori terdapat beberapa saluran/media komunikasi, yaitu: saluran primer dan saluran sekunder. Saluran primer merupakan saluran komunikasi yang menuntut adanya tatap muka langsung antara komunikator dengan komunikan. Pilihan atas saluran ini memiliki keunggulan dan sekaligus memiliki kelemahan. Sedangkan saluran sekunder merupakan saluran komunikasi yang tidak menuntut tatap muka lansung. Komunikasi melalui saluran ini dapat berlangsung melalui televisi, media cetak, surat konvensional atau-pun elektronik, website dan lain-lain. Sama dengan saluran primer, saluran sekunder-pun memiliki kelamahan dan keunggulan.

Kelemahan dan keunggulan pilihan atas saluran komunikasi dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai (informatif atau-pun persuasif) merupakan pekerjaan yang harus sudah tuntas sebelum komunikasi dilakukan. Kesalahan dalam pertimbangan ini akan memberikan konsekuensi yang fatal.

Disamping itu, terdapat juga sebagian ahli komunikasi yang memberikan pemilahan saluran komunikasi menjadi 2 hal yang lain, yaitu: Orality dan Literacy. Orality terkait dengan saluran komunikasi dengan melibat-kan instrumen suara sedangkan Literacy dengan pelibatan simbol-simbol yang bermakna (tulisan dan lain-lain). Tetapi dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) maka saluran-saluran komunikasi tidak bisa dipilah-pilah secara konvensional karena dalam praktek akan lahir saluran komunikasi baru atau saluran komunikasi penggabungan dari primer-sekunder-orality-literacy. Kita ikuti saja perkembangan-nya!


with What Effect (Respon/Umpan Balik)
Respon atau umpan balik dari sebuah komunikasi merupakan titik penting yang harus dicapai oleh kemunikator sesuai dengan tujuan-nya. Ada 2 tujuan komunikasi, yaitu: komunikan mengetahui dan komunikan melaksanakan. Tujuan komunikasi dengan target “mengetahui” tidak berarti hanya sekedar komunikan “tahu” tetapi lebih kepada terciptan-nya kondisi “paham”. Sehingga format komunikasi yang dibangun haruslah memperhatikan derajad pemahaman komunikan atas informasi. Untuk mencapai tujuan komunikasi dalam hal “melaksanakan” tentulah harus dimulai dari keadaan “tahu” kemudian “paham” dan selanjutnya secara sadar”melaksanakan”. Derajad dari tujuan komunikasi inilah yang perlu disikapi dengan baik, sehingga cara, strategi dan media komunikasi yang dipilih efektif bagi tercapai-nya tujuan komunikasi yang telah ditetapkan.

Ekspresi komunikan sebagai respon atas komunikasi harus juga mendapatkan perhatian dari komunikator. Ekspresi yang dilakukan oleh komunikan merupakan indikator awal dari sukses tidak-nya komunikasi yang dilakukan. Sehingga ekspresi atas respon ini dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan perbaikan-perbaikan cara, strategi dan media komunikasi. Dan proses ini akan terus berlanjut ber-spiral terus menerus.

Komunikasi VS Negoisasi
Secara prinsip, komunikasi dan negosiasi tidak bisa terlepas dalam setiap gerak manusia. Selalu, manusia terlibat secara aktif maupun pasif (langsung atau tidak langsung) dalam proses komunikasi dan negosiasi. Sehingga, keberadaan 2 hal ini haruslah dipahamai agar kita dapat memasuki aras kehidupan yang baik dan ber-martabat.

Komunikasi dan negosiasi merupakan sebuah subset, dimana dalam komunikasi terdapat bagian negosiasi dan sebaliknya setiap negosiasi tidak terlepas dari kominikasi. Komunikasi merupakan pengiriman informasi, negosiasi adalah pengiriman argumentasi sehingga benar bahwa merupakan merupakan suatu subset.

Manusia pada prinsipnya adalah penjual dengan komoditas yang didistribusikan adalah ide, gagasan, maksud baik, kehendak, kemauan, wacana, ambisi dan lain-lain. Untuk dapat mewujudkan itu semua manusia perlu melakukan komunikasi dan negosiasi. Sehingga diperlukan kemampuan atau ketrampilan untuk berkomunikasi dan ber-negosiasi dengan baik.

Kunci Sukses Komunikasi
Barlo dalam Fikri (2007) mengatakan bahwa kunci sukses komunikasi adalah SMCR (sources, messges, channel, receiver). Untuk efektivitas diperlukan kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan sistem sosial dan kebudayaan. Dan yang harus pula dipahami bahwa kemampuan berkomunikasi merupakan proses up grading terus menerus, sehingga setiap waktu kita harus mengasah kemampuan itu, baik secara orality maupun literacy.

................. Selamat Berkarya...................
selalu harus ada Action in Factum (langkah nyata)

Selasa, April 01, 2008

ulang tahun kota malang ...




Ulang Tahun Kota Malang
Antara Must Be Done dan Can Be Done.

Saat ini, bertepatan dengan tanggal 1 April Kota Malang merayakan Ulang Tahun-nya yang ke-94. Serangkaian acara untuk merayakan ulang tahun ini telah dimulai awal Maret yang lalu dan akan diakhiri rangkaian-nya pada akhir Mei, sebuah pesta ulang tahun 3 bulan penuh. Entah berapa dana yang harus dikeluarkan demi sukses-nya hajatan multi-event ini. Kata Walikota Malang, Drs. Peni Suparto, MAP “pemerintah berkewajiban menyediakan ruang ekspresi bagi rakyat-nya dan rangkaian kegiatan ini sebagai media-nya” (wawacara dengan Citra Pro 3 FM).

Sebuah media yang absurd. Benarkah rangkaian kegiatan itu merupakan media ekspresi rakyat atau-kah malah merupakan media presentasi diri pejabat? Atau dengan kalimat lain sambil menyelam minum air. Terlebih dengan agenda pilkada yang sudah menjelang, maka praduga menyelam minum air menjadi sesuatu ke-“jamak’-an sebuah pendapat. Memang sulit dipisahkan antara Ulang Tahun Kota Malang, Walikota Drs. Peni Suparto, MAP dan Calon Walikota Malang Drs.Peni Suparto, MAP (yang diusung PDI-P untuk pilkada mendatang dan seorang incumbent). Sebuah keuntungan politis yang melekat pada-nya karena bisa memposisikan diri sebagai walikota dan dilain sisi sebagai calon walikota (dalam setiap tampilan-nya) vice versa.

Masalah lain-nya adalah apakah sejumlah mata acara dalam rangkaian ulang tahun ini sudah pada frame “must be done” atau hanyalah terbingkai dalam frame “can be done”? Ditengah masyarakat yang masih “kesrakat” secara ekonomi masih relevan-kah menghamburkan uang untuk sebuah pesta ulang tahun? Bijak-kah melakukan hura-hura ditengah huru hara dan haru biru kelangkaan minyak tanah, elpiji dan melambung-nya harga-harga yang mencekik masyarakat? Dimana compassion dan empathy pemerintah terhadap penderitaan rakyat? Apakah kesederhaan sebuah pesta megurangi ke-bermakna-an sebuah ulang tahun? Tidak-kah rangkaian kegiatan ini men-ciderai rasa keadilan masyarakat? Rasional-kah hura-hura ini disaat realisasi belanja pembangunan tersedot 45.87% (tahun 2007) untuk belanja aparatur daerah dan sisa-nya untuk pelayanan publik? (advetorial pemkot Malang di Kompas 1 April 2008).

Biarlah pertanyaan-pertanyaan itu mencari jawaban-nya sendiri, biarkan pertanyaan berlarian pontang-panting menemukan jawaban di setiap relung kesadaran atau biarkan pula pertanyaan-pertanyaan ini menemukan nasib-nya sendiri (amor fati) serta biarkan pula pertanyaan itu menyadari bahwa “the end justifies the means” (tujuan menyucikan cara). Seandainya bisa, saya ingin pertanyaan itu menjadi marka jalan atas Acverdo Humanitario (jalan kemanusiaan) kita. Tampak-nya tidak mungkin, tetapi ketidakmungkinan adalah sesuatu yang harus dilawan. (waduh… jadi semakin binggung nih…. melawan ketidakmungkinan atau tidak mungkin melawan……………). Ya sudah…. pokok’e:

“SELAMAT ULANG TAHUN KOTA MALANG”
Arthur B. Sylvester pernah mengatakan bahwa "kebohongan adalah hak yang melekat pada penguasa untuk membela diri".

warlib: warung libido



WarLib: Warung Libido
(mega industri syahwat)

Dunia telah berubah. Perubahan dengan akselerasi yang demikian dahsyat sehingga menimbulkan ke-gagap-an bagi mereka yang terlambat mengikuti dinamika perubahan. Tidak hanya ke-gagap-an tetapi laju perubahan telah banyak menerabas etika dan norma yang ada di masyarakat. Perubahan menggerus etika dan norma itu, sehingga yang ditimbulkan-nya adalah sebuah anomie, sebuah masyarakat tanpa etika dan norma.

Salah satu hasil dari perubahan dan sekaligus penggerak perubahan adalah teknologi internet. Teknologi ini mampu mempercepat akselerasi perubahan sehingga perubahan kian berlari kencang. Etika dan norma semakin porak-poranda di iles-iles (diinjak-injak oleh perubahan). Internet yang menjadi anak kandung perubahan yang telah menjadi pisau bermata dua (ratus!).

Menjadi relevan dan menarik untuk kita cermati sebuah hasil penelitian TopTenReviews (2008) dalam Bu (2008) yang menyatakan bahwa “setiap detik 28.000 orang mengakses situs porno di internet”. Sebuah data yang mencengangkan. Jika kita konversi data itu menjadi satuan waktu sehari-semalam (24 jam) maka pengguna internet yang mengkomsumsi situs porno sebesar 2.419.200.000 orang (dan salah satu-nya saya!). Jika mbok Marlena tahu, pasti komentarnya “bok abo…… asoy mbok de”.

Penelitian yang menambah tingkat kemirisan kita ada lagi, yaitu sebuah penelitian yang dilakukan oleh GoogleTrend’s (2008) dalam Bu (2008) yang menyimpulkan bahwa melalui internet kita dapat menemukan 662.000.000 situs porno dan 568.881 video porno. Sebuah hasil penelitian yang menakjubkan!. Terdapat ratusan juta “warung libido” yang ada di internet dan dijual dengan harga sangat murah-nya. (ratusan juta….. waduh jadi banyak PR nih untuk download yang lain…..).

Khusus di Indonesia, penelitian Google Trend’s juga juga menobatkan Kota Semarang, Yogyakarta, Medan, Surabaya, Jakarta dan Bandung sebagai kota yang masyarakat pengguna internet-nya paling sering mengunjungi warung libido itu. Kota Malang? Belum ada data yang saya dapatkan. Tetapi melihat pola pergerakan-nya, Malang mungkin akan meyusul “kehebatan” keenam kota tadi. Mumpung lagi suasana Ulang Tahun Kota Malang, bisa digunakan sebagai momentum untuk mengejar “ketertinggalan”-nya.

Fenomena seperti ini yang mungkin menjadi pendorong pemerintah melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk membatasi “omzet” warung-warung libido yang bertebaran di internet ini. Bukan menutup warung-nya tetapi menghalangi orang untuk mendatangi warung libido itu. Entah teknologi apa yang akan dipakai, smart card (seperti wacana pembatasan BBM) atau malah “stupid card” gaya ORBA. Jika hanya sebatas ini, maka langkah ini tidak-lah akan efektif. Teori ekonomi mengatakan bahwa “keinginan selalu menciptakan pasar”. Sehingga akan lebih bijak yang di-sentuh adalah simpul kesadaran masyarakat melalui pembelajaran yang berkualitas dan ber-makna. Kesadaran untuk memendam keinginan atau bahkan menghilangkan keinginan (abstrak kan? …..)

Apa yang disediakan di dunia maya, disediakan pula di dunia nyata, termasuk pula warung libido. Dengan mudah-nya kita akan lihat pesona warung libido itu di dalam televesi, koran, majalah, mall, pasar, jalanan, koridor kampus, ruang-ruang kuliah dan ruang-ruang publik yang lain. Tidak lebih vulgar memang tetapi “hanya beda kemasan” saja. Jadi, pilihlah menu yang anda suka, dan jika ingin dianggap “bukan orang sembarangan” maka jangan coba-coba menyediakan “menu” yang sembarangan. (dasar wong pikirane….ngeres! piktor!…piktor!).

simpul kenikmatan dan moh limo



Simpul Kenikmatan dan Moh Limo

Ketika menyampaikan dakwah di tengah masyarakat Jawa, salah seorang Wali Songo yang bernama Sunan Ampel memperkenalkan konsepsi ajaran “Moh Limo”. Ajaran ini mengandung makna bahwa seseorang akan mendapatkan “bahagia hakiki” jika mampu melakukan Moh Limo, yaitu Moh Maling, Moh Madon, Moh Ngombe, Moh Madat dan Moh Main (tidak mau mencuri, tidak mau ber-zina, tidak mau minum-minuman keras, tidak mau menghirup narkoba dan semacam-nya dan tidak mau berjudi).

Simpul Kenikmatan
Jika kita amati lima hal yang dilarang itu merupakan sebuah simpul kenikmatan manusia, simpul kenikmatan lahir. Maling atau mencuri adalah sumber diperolehnya kenikmatan lahir bagi sebagian orang. Dengan mencuri mereka mendapatkan suntikan daya beli, dan dengan daya beli yang mereka miliki, mereka bisa melampiaskan keserakahan diri-nya dengan membeli bermacam-macam simbol-simbol kepitalisme. Kata maling juga telah mengalami eufemisme makna. Maling yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa bukan disebut maling tetapi korupsi bahkan ada lagi yang menyebut-nya kesalahan prosedur. Korupsi bukanlah kesalahan prosedur, tetapi korupsi adalah maling.

Mengapa maling? Tentulah banyak ragam motivasi, mulai dari motivasi untuk memenuhi kebutuhan perut, kebutuhan diatas perut bahkan kebutuhan “di bawah perut”. Sebuah keberagaman yang masuk akal. Tindakan maling tentunya akan diikuti dengan ber-bohong. Jika maling adalah striker dalam permainan sepakbola maka bohong adalah play maker-nya dan gol-nya adalah peningkatan daya beli (benar-benar hamba kapitalis yang serakah bin tamak).

Mo yang kedua adalah Moh Madon yaitu tidak mau ber-zina (lebih relevan disebut daripada diterjemahkan dengan main perempuan karena “bias gender” sebab seorang perempuan-pun bisa juga main laki-laki). Hal ini ada karena “ideologi bawah perut” merupakan “ideologi” yang paling purba dan belum menjadi sejarah (bahkan masih progresif membuat sejarah). Keinginan apa yang mendorong? Tentulah banyak hal. Muara-nya adalah kooptasi dan hegemoni nafsu yang distimulasi oleh produk-produk kapitalis yang anomie (tanpa norma) yang melahirkan gaya hidup hedonis. Tidak gaul rasa-nya jika tidak ber-pihak kepada produk-produk anomie itu. Semakin permisif-nya masyarakat terhadap gejala sakit sosial ini mendorong semakin subur-nya doktrinisasi “ideologi bawah perut” ini. Jadi?...................so what gitu loh?! Jangan “sok” ah kamu!!

Jika kita maknai Moh Madon dengan penafsiran yang diperluas (ekstensifikasi makna) maka melahirkan sebuah makna bahwa kita-pun harus bersikap tidak “melacurkan” prinsip akan kebenaran yang kita yakini. Artinya diperlukan sebuah kegigihan moral dan keberanian untuk selalu konsisten dengan prinsip yang kita yakini kebenaran-nya. Jika kita selalu pragmatis, maka sama artinya kita dengan melacurkan prinsip kita. Asalkan “di bayar maka pakailah saya” (do ut des). (sebagian sudut hati saya mencerca saya; kamu semakin sok bos!!)

Mo yang ketiga adalah Moh Ngombe yaitu tidak mau meminum minuman keras dan semacamnya. Moh Ngombe ini merupakan penghormatan terhadap akal sehat. Minum minuman keras merupakan keinginan untuk migrasi dari akal sehat menjadi akal tidak sehat (akal sakit), berarti mereka melecehkan akal sehat. Mabuk-mabuk-an ini bisa menjadi impetus (pendorong) orang melakukan kejahatan atau dengan bahasa yang lain dapat dikatakan bahwa keinginan untuk “mabuk” bisa memaksa orang berbuat kejahatan dan setelah “mabuk” orang bisa melakukan kejahatan. Sehingga, keresahan sosial bisa lahir jika terdapat komunitas pemabuk didalamnya.

Jika kita coba lagi untuk memaknai-nya secara lebih luas, maka kita akan menemukan makna bahwa jangan-lah kita gampang mabuk dan terbuai dengan seluruh atribut-atribut hedonisme kapitalisme. “Ojo Gumum-nan!”. Bagaimana tidak, setiap saat dan dalam setiap ruang kita selalu dibombardir dengan berondongan iklan-iklan yang datang tanpa ketuk pintu dan etika sama sekali. Petuah emak-saya; “Ojo Gampang Kepincut!”. Jika tidak sabar dan segera sadar, kita akan sepenuh-nya “mabuk”.

Moh yang ke-empat yaitu Moh Madat. Kita tidak mau terjebak dalam gaya hidup “madat”. Hampir sama dengan mabuk, kalau mabuk merupakan perubahan akal sehat menjadi akal sakit dengan cairan, maka sebaliknya, jika madat kita merubah akal sehat menjadi akal sakit dengan benda-benda padat (narkotika dan semacam-nya). Tidak ada yang lebih superior atau inferior antara mabuk dan madat, semuan-nya merupakan pelecehan terhadap akal sehat. Pertanyaan-nya, mengapa mereka ter-perangkap dalam “kecelakan sosial” semacam ini? Tentunya banyak hal yang menjadi motivasi-nya. Ada yang menyatakan ini merupakan ventilasi dari kepengapan hidup.

Moh yang ke-lima adalah Moh Main (tidak mau ber-judi). Saat ini begitu banyak jenis permaianan judi yang ada di masyarakat. Permaian judi disediakan oleh kapitalis sebagai salah satu bentuk akumulasi modal dan sebagai “timpat tidur” sosial bagi masyarakat pemimpi. Judi dan perjudian merupakan salah satu sebab terbentuknya masyarakat yang terus menerus menjadi pemimpi atau pemimpi abadi. Masyarakat yang gampang menyerah dan menjadi penunggu setia keajabaian, yang tidak selama-nya keajaibaban itu konsisten untuk datang. Jadi… jangan undi nasip kita dan jangan selalu amor fati (menunggu nasib) saja.

Gusti Dunya dan Gusti Allah
Jika kita sedikit ber-pretensi, kecenderungan tidak ber-Moh Limo ada karena masyarakat yang meng-hamba kepada Gusti “Dunya” (menuhankan harta benda/materialisme dengan segala warna produk turunan-nya) bukan gusti yang semesti-nya. Tetapi semua-nya adalah pilihan dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih ber-Moh Limo atau sebaliknya. Sebagai akhir marilah kita renungkan apa yang pernah dikatakan oleh Gede Prama bahwa “kebahagiaan tertinggi adalah saat kita mampu bersyukur meski kita hanya menjadi orang biasa”. Jika kita sudah demikian adanya, maka tidak perlu-lah kita ikut "imunilasi moral" lagi.

soy yo soy; sebuah keinginan


Soy yo Soy; Sebuah Keinginan

Dalam bahasa salah satu negara di Amerika Latin, parafrasa Soy yo Soy didefinisikan sebagai Saya adalah Saya. Sebuah pemaknaan akan sebuah keinginan eksistensi. Dalam lingkup interdependensi global yang kapitalistik-materialistik seperti saat ini untuk bisa menjadi Saya adalah Saya memerlukan perjuangan yang maha dasyat. Diperlukan kegigihan moral untuk bisa meraihnya. Jika tidak maka kita akan habis dilumat dengan keserakahan kapitalisme global ini.

Apakah menjadi Soy yo Soy merupakan salah satu bentuk dari sebuah kesombongan? Atau apakah keinginan menjadi Saya adalah Saya hanyalah (bisa pula dibaca: biar dianggap) sebuah perlawanan budaya (counter culture)? Perlu atau Relevankah? Atau apakah perjuangan menjadi Soy yo Soy adalah kelanjutan dari sebuah kegenitan sosial? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menyeruak sesaat ketika saya memikirkan hal ini ditengah kesesakan budaya kapitalis saat ini.

Salah satu filsuf sempat mengatakan bahwa manusia adalah “Homo Symbolikum” sebuah makhluk yang di dalamnya melekat simbol-simbol dalam presentasi dirinya. Jika kita amati, ke-saya-an dalam perspektif ini, maka lahir sebuah pertanyaan “apakah simbol yang melekat pada diri kita saat melakukan presentasi diri di masyarakat merupakan simbol tulen atau simbol untuk permainan persepsi semata?”. Entahlah, setiap pribadi tentunya memiliki jawaban masing-masing.

Saat ini simbol yang terasa amat kasat mata adalah simbol-simbol materialisme yang ada dalam diri kita. Sebuah penjajahan oleh budaya kapitalis telah melahirkan persepsi bahwa kekayaan (material) merupakan sebuah ukuran atas prestise dan prestasi seseorang. Maka kekayaan menjadi sesuatu yang wajib di-nyatakan, di-pamerkan dan di-arak ke ruang publik (masyarakat). Sehingga individu-individu berbondong-bondang melakukan “migrasi simbol” seperti kemauan baru-nya yang dibimbing oleh budaya kapitalis.

Pakaian telah menjadi simbol yang kasat tentang eksistensi orang. Pakaian tidak hanya dipandang secara fungsional. Tetapi pakaian telah dinobatkan menjadi komoditas persepsi atas prestise dan prestasi seseorang. Tidak hanya aspek estetika, tetapi faktor “merk” telah menjadi sebuah keberpihakan total. Merk adalah simbol. Kita selalu dibimbing oleh tangan tidak terlihat (invisble hand) untuk memaksakan diri memilih merk-merk yang menurut umum paling wah.

Kondisi diatas, tidak hanya berlaku pada pakaian semata. Telepon genggam (handphone), betapa kapitalis memanjakan kita dengan pilihan-pilihan HP yang menggiurkan. Tidak hanya sekedar pemuasan secara fungsional tetapi dilengkapi pula dengan atribut-atribut kemewahan sebagai simbol prestise. Akhirnya kita kalah, dan membeli ….. prestise (gawat!). Alat transportasi juga demikian kondisi-nya. “Migrasi simbol” dalam benda yang bernama mobil ini bukan main deras-nya. Sangat di-paksa oleh budaya kapitalis-materialis. Tidak sekedar alat transportasi, tetapi lebih kepada “Lihat!!, ini lho saya!!!”.

Jika kita telisik sedikit demi sedikit, maka akan banyak terlacak simbol-simbol yang melekat pada diri kita yang diakibatkan oleh menang-nya kapitalisme menghempaskan kesabaran dan kesadaran kita. Tidakada ruang yang luput dari serbuan kapitalis untuk menciptakan simbol-simbol baru. Tidak hanya dikantor, di rumah-pun kolonialisasi kapitalis dilakukan tanpa adab. Masuk ke kamar mandi, dapur, ruang tamu, ruang keluarga, ruang kerja dan bahkan kamar tidur yang paling privasi sekalipun!!!.

Bagian lain dari otak saya menggugat! Apakah juga tidak berlebihan dan “sombong”-kah orang yang melekatkan dalam diri-nya simbol-simbol “kemiskinan” dalam tubuh-nya. Apakah tidak hanya permainan persepsi semata biar dianggap sederhana, pelawan budaya dan asketis? Atau biar hanya kelihatan nyleneh ditengah deru kapitalisme saat ini. Menjadi relevan merenungkan kembali pendapat Aristoteles seperti yang dikutip oleh Muhibbin (2008) yang mengatakan “semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kejujuran, kebenaran dan kemanusiaan”.

Sehingga pilihan-nya adalah jadi orang kaya yang sok miskin, orang miskin yang sok kaya atau …………………..jadi Saya adalah Saya, Soy yo Soy atau …………………..main yoyo……………..