Selasa, April 01, 2008

soy yo soy; sebuah keinginan


Soy yo Soy; Sebuah Keinginan

Dalam bahasa salah satu negara di Amerika Latin, parafrasa Soy yo Soy didefinisikan sebagai Saya adalah Saya. Sebuah pemaknaan akan sebuah keinginan eksistensi. Dalam lingkup interdependensi global yang kapitalistik-materialistik seperti saat ini untuk bisa menjadi Saya adalah Saya memerlukan perjuangan yang maha dasyat. Diperlukan kegigihan moral untuk bisa meraihnya. Jika tidak maka kita akan habis dilumat dengan keserakahan kapitalisme global ini.

Apakah menjadi Soy yo Soy merupakan salah satu bentuk dari sebuah kesombongan? Atau apakah keinginan menjadi Saya adalah Saya hanyalah (bisa pula dibaca: biar dianggap) sebuah perlawanan budaya (counter culture)? Perlu atau Relevankah? Atau apakah perjuangan menjadi Soy yo Soy adalah kelanjutan dari sebuah kegenitan sosial? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menyeruak sesaat ketika saya memikirkan hal ini ditengah kesesakan budaya kapitalis saat ini.

Salah satu filsuf sempat mengatakan bahwa manusia adalah “Homo Symbolikum” sebuah makhluk yang di dalamnya melekat simbol-simbol dalam presentasi dirinya. Jika kita amati, ke-saya-an dalam perspektif ini, maka lahir sebuah pertanyaan “apakah simbol yang melekat pada diri kita saat melakukan presentasi diri di masyarakat merupakan simbol tulen atau simbol untuk permainan persepsi semata?”. Entahlah, setiap pribadi tentunya memiliki jawaban masing-masing.

Saat ini simbol yang terasa amat kasat mata adalah simbol-simbol materialisme yang ada dalam diri kita. Sebuah penjajahan oleh budaya kapitalis telah melahirkan persepsi bahwa kekayaan (material) merupakan sebuah ukuran atas prestise dan prestasi seseorang. Maka kekayaan menjadi sesuatu yang wajib di-nyatakan, di-pamerkan dan di-arak ke ruang publik (masyarakat). Sehingga individu-individu berbondong-bondang melakukan “migrasi simbol” seperti kemauan baru-nya yang dibimbing oleh budaya kapitalis.

Pakaian telah menjadi simbol yang kasat tentang eksistensi orang. Pakaian tidak hanya dipandang secara fungsional. Tetapi pakaian telah dinobatkan menjadi komoditas persepsi atas prestise dan prestasi seseorang. Tidak hanya aspek estetika, tetapi faktor “merk” telah menjadi sebuah keberpihakan total. Merk adalah simbol. Kita selalu dibimbing oleh tangan tidak terlihat (invisble hand) untuk memaksakan diri memilih merk-merk yang menurut umum paling wah.

Kondisi diatas, tidak hanya berlaku pada pakaian semata. Telepon genggam (handphone), betapa kapitalis memanjakan kita dengan pilihan-pilihan HP yang menggiurkan. Tidak hanya sekedar pemuasan secara fungsional tetapi dilengkapi pula dengan atribut-atribut kemewahan sebagai simbol prestise. Akhirnya kita kalah, dan membeli ….. prestise (gawat!). Alat transportasi juga demikian kondisi-nya. “Migrasi simbol” dalam benda yang bernama mobil ini bukan main deras-nya. Sangat di-paksa oleh budaya kapitalis-materialis. Tidak sekedar alat transportasi, tetapi lebih kepada “Lihat!!, ini lho saya!!!”.

Jika kita telisik sedikit demi sedikit, maka akan banyak terlacak simbol-simbol yang melekat pada diri kita yang diakibatkan oleh menang-nya kapitalisme menghempaskan kesabaran dan kesadaran kita. Tidakada ruang yang luput dari serbuan kapitalis untuk menciptakan simbol-simbol baru. Tidak hanya dikantor, di rumah-pun kolonialisasi kapitalis dilakukan tanpa adab. Masuk ke kamar mandi, dapur, ruang tamu, ruang keluarga, ruang kerja dan bahkan kamar tidur yang paling privasi sekalipun!!!.

Bagian lain dari otak saya menggugat! Apakah juga tidak berlebihan dan “sombong”-kah orang yang melekatkan dalam diri-nya simbol-simbol “kemiskinan” dalam tubuh-nya. Apakah tidak hanya permainan persepsi semata biar dianggap sederhana, pelawan budaya dan asketis? Atau biar hanya kelihatan nyleneh ditengah deru kapitalisme saat ini. Menjadi relevan merenungkan kembali pendapat Aristoteles seperti yang dikutip oleh Muhibbin (2008) yang mengatakan “semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kejujuran, kebenaran dan kemanusiaan”.

Sehingga pilihan-nya adalah jadi orang kaya yang sok miskin, orang miskin yang sok kaya atau …………………..jadi Saya adalah Saya, Soy yo Soy atau …………………..main yoyo……………..

Tidak ada komentar: