Rabu, April 23, 2008

lelaki baik yang baik-baik


Lelaki Baik Yang Baik-Baik

Membaca cerpen "Terbang" Ayu Utami dalam Kompas Minggu 20 April 2008 memberikan tambahan kosa kata dan keluasan makna kata-kata bagi saya. Cerpen ini bercerita tentang pengalaman sebuah penerbangan domestik oleh maskapai domestik yang sangat tidak menghargai "nyawa" para penumpang-nya. Ditunjukkan pula oleh Ayu Utami beberapa kasus kecelakaan pesawat yang membuat "tokoh aku" dalam cerpen itu menjadi selalu merasa "mengadaikan" nyawa-nya saat ia melakukan penerbangan. Dan itu pula yang menyebabkan "tokoh aku" selalu menolak untuk terbang bersama dengan suaminya, karena ia takut 2 orang anak-nya yang masih kecil akan menjadi yatim piatu.

Cerpen itu juga memberikan sebuah pertanyaan kesadaran yang begitu dasyat saya rasakan. Ayu Utami memberikan dikotomi tegas antara "lelaki baik" dan "lelaki baik-baik". Menurut Ayu Utami "lelaki baik" dan "lelaki baik-baik" adalah 2 makhluk yang berbeda. "Lelaki baik" menurut Ayu Utami adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol, tidak tengil dan meng-guru-i, meski belum tentu baik untuk hidup bersama. Sedangkan "lelaki baik-baik" merupakan lelaki yang setia kepada keluarga, bisa saja sangat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga.

Ketika mata saya memberikan sinyal ke otak untuk memberikan respon atas hasil baca pada bagian ini, saya hentikan aktivitas membaca sebentar. Saya kepingin "memotret" diri saya sendiri. Saya "lelaki baik" kah? Saya "lelaki baik-baik" kah? Saya "lelaki baik yang baik-baik" kah? atau ... Saya "lelaki tidak baik yang juga tidak baik-baik". Waduh... Soy yo Soy. Tulisan Ayu Utami membuat saya mengeluarkan memori-memori lama mengenai "kiprah ke-lelaki-an" saya, dalam kapasitas sebagai seorang suami dari seorang istri (tiwi nurjannati utami) dan juga dalam kapasitas sebagai seorang ayah dari seorang putra (abdi raja semesta alam) juga dalam peran sebagai kepala keluarga.

Tidak enak juga jika mem-"presentasi-kan" hasil "jepretan" diri saya oleh saya sendiri kepada anda. Tetapi yang jelas, dengan "jepretan gelang karet" Ayu Utami itu tepat mengenai wajah saya. Menjadikan saya melakukan "interogasi internal" apakah saya sudah berada dalam maqom "lelaki baik yang baik-baik". Dan biarlah juga istri dan anak saya yang akan melanjutkan "interogasi" itu kepada suami dan ayah-nya. Biarlah mereka memotret dengan kamera masing-masing yang mereka punya. Toh semuanya bisa menjadi bahan untuk ber-cermin (ber-homeostatis dan sibernetika).

Tentulah semua dari kita sesama lelaki akan spontan memberikan respon terhadap tulisan Ayu Utami itu, respon bisa beragam tergantung bagaimana "kita". Sebuah respon akan berimplikasi positif jika respon itu ber-kelindan menjadi sebuah niat dan tindakan positif. Lahirnya sebuah kesadaran untuk menjadi "lelaki baik" dan "lelaki baik-baik" yang muncul dari sebuah cerpen Ayu Utami bisa menciptakan "koridor" baru dalam bersikap dan menempatkan diri dalam lalu lintas pergaulan. Tentunya tiada seorang-pun yang me-apresiasi positif terhadap "lelaki tidak baik yang juga tidak baik-baik".

Tentunya tidak ada satupun kesempurnaan yang mampu melekat pada diri seseorang, tidak ada seorangpun yang di-"jangkiti" kesempurnaan. Tetapi akan menjadi sempurna jika mereka tahu untuk selalu memperbaiki diri. Sulit memang, tetapi akan lebih sulit lagi jika kita sudah terlanjur menjadi yang "tidak baik-baik". Menjadi seorang suami dan sekaligus kepala keluarga dapat di-analog dengan sebuah perbankan. Sebuah bisnis kepercayaan, jika kita tidak mampu mempertahankan kepercayaan itu, maka akan timbul rush kepercayaan dari istri dan mungkin anak kita. Jadi ................... menyeramkan!!!

Tetapi jika kita perluas makna "lelaki baik dan lelaki baik-baik" secara "a contrario" maka akan melahirkan para frasa "perempuan baik dan perempuan baik-baik". Sehingga jika begitu maka... "Quo Vadis Perempuan Baik Yang Baik Baik".



Tidak ada komentar: