Minggu, Maret 02, 2008

homeostasis dan sibernetika



Homeostasis dan Sibernetika


Arnold Toynbe mengatakan bahwa kita harus memberikan respon baru terhadap tantangan baru. Katanya tidaklah bijak jika kita dihadapkan dengan tantangan baru tetapi menghadapinya dengan respon yang lama, tantangan itu akan menjadi ancaman bagi kita. Tetapi yang kita perlukan bukan hanya respon yang asal baru tetapi juga harus berupa respon yang berkualitas.


Tantangan yang dihadapkan kepada kita bersifat dinamis dan terus menerus beralih rupa jika tantangan lama telah kita "taklukan". Tantangan yang terus bertubi-tubi datang kadang-kadang tidaklah kita hadapi dengan respon yang lama. Musuh kita sudah membawa senjata bazoka kita masih memakai bambu runcing untuk menghadapinya. Sehingga menjadi relevan untuk ditanyakan, apakah kita sudah menyiapkan respon-respon baru dan berkualitas untuk menghadapi segala tantangan yang datang dan akan datang esok hari?


Kebanyakan dari kita (yang pasti saya) mudah terjebak masuk pada titik keseimbangan (equilibrium point) dan titik itu membuat saya terlena dan merasa bahwa "saya sudah pada titik yang ideal/cukup". Kepuasan dan kemapanan seperti ini yang menjadikan kita tidak lagi merasa perlu untuk lebih mengembangkan diri dan tidak menyadari bahwa tantangan sudah berubah demikian ganasnya. Kita sudah dalam kunkungan "status quo".


Padahal jika kita renungkan titik keseimbangan itu tidaklah tetap. Kita harus selalu menciptakan titik keseimbangan baru sesuai dengan dinamika yang ada diluar diri dan lingkungan kita. Stafford Beer dalam Sudjatmiko (2008) mencetuskan konsep "homeostasis". Menurut Beer, manusia secara individual atau sebagai bagian dari organisasi dan bahkan organisasi itu sendiri haruslah selalu mencari titik-titik keseimbangan baru secara aktif dan berkembang dan tidak terjebak dalam kepuasan titik keseimbangan lamanya. Seandainya Stafford Beer ketemu saya dan bertanya "sudahkah titik keseimbanganmu bergeser naik?" Pastilah kalau saya jujur maka jawaban yang meluncur dari bibir saya " I’m sorry Sir, I’m still ndlahom". Saya sering merasa pada titik ini saya sudah merasa cukup. Dan tidak perlu lagi macam-macam.


Apakah saya rugi? Ya, karena saya saat ini tidaklah lebih baik dari kemarin. Waduh… Kalau begitu sebenarnya konsep homeostasis Stafford Beer itu konsep yang sama dengan konsep agama saya. Sering saya mendengar konsep ini di mimbar-mimbar Jum’at yang dikatakan dengan bahasa yang agak lain. Tetapi kuping saya ini teramat malas untuk menginformasikan berita itu ke otak dan hati saya. Benar-benar rugi dan membahayakan.


Apa yang bisa kita lakukan untuk mengeser equilibrium point itu menjadi lebih baik? Saya tertarik dengan konsep "sibernetika"-nya Norbert Wiener (Sudjatmiko, 2008). Untuk menjadi lebih baik maka kita harus menyerap nilai dari dinamika yang positif dan membuang dinamika yang mengandung nilai negatif. Konsep sibernetika ini dengan bahasa kampung saya mungkin bisa dikatakan "sing elek tinggalen sing apik gawe en" (yang baik ambil dan yang jelek tinggalkan).


Di sekeliling kita banyak dinamika yang memiliki nilai positif, itulah yang perlu kita identifikasi dan kita respon dengan respon yang berkualitas. Dan dinamika yang mengandung nilai negatif kita respon dengan tegas no way!. Ah… saya jadi ingat, kaos kelas waktu di SMA dulu jargonya tertulis "Our Turn To Be The Best", nampak relevan dengan homeostasis dan sibernetika meskipun agak berbau takabur.

Tidak ada komentar: