Minggu, Maret 23, 2008

do ut des; sebuah kontemplasi


Do ut Des; Sebuah Kontemplasi


Beberapa waktu yang lalu, seisi rumah merasakan nikmatnya sebuah roti black forest dan beberapa produk turunan-nya. Setelah terbiasa dengan camilan weci, brontak, menjes dan semacamnya, agak berat juga indra pengecap saya ini, mencari-cari rasa nikmat dari roti ini.


Roti dan derivative product-nya itu, muncul begitu saja di meja rumah. Kata "mbak" ,roti itu oleh-oleh dari mahasiswa saat menyerahkan proposal ke rumah. Jadi dihadapan black forest terhidang pula berlembar-lembar lautan huruf yang bernama proposal. Mungkin maksud si mahasiswa, biar saya bisa mencermati proposal itu sambil makan roti. Biar..... gak nganthuk dan cepat selesai pen-cermat-annya.


Buah tangan memang menjadi sebuah kebiasaan yang telah membudaya dalam masyarakat kita. Silaturrahim sambil membawa buah tangan bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan dalam perspektif apapun, boleh dan tidak satupun etika dan norma ter-langgar. Tetapi ....


Tanpa bermaksud mencederai niat baik si pemberi roti, saya jadi teringat, apa yang pernah dikatakan seorang filsuf yang mengatakan "Do ut Des" (saya beri supaya engkau beri). Apakah saya termasuk bagian dari penganut mahzab Do ut Des ini? Engkau beri maka saya beri. Wah gawat.... (enak memang melakukan per-cermat-an sambil makan roti he he he). Do ut Des merupakan sesuatu yang tidak perlu dilakukan, karena setiap orang dalam setiap profesinya telah melekat kewajiban dan tanggung jawab-nya (Nobless Oblige) tanpa harus ada Do ut Des.


Ada maupun tiada "roti" telah melekat kewajiban dan tanggung jawab saya untuk melakukan pen-cermat-an dan saran perbaikan atas proposal yang diajukan dengan cepat (kalau memang memungkinkan). Tiada roti, ya tetap diproses dengan prosesor pentium 4 dan ada roti-pun juga diproses dengan prosesor pentium 4 (bukan pentium 2). Sehingga durasi-nya juga sama. (bukan bermaksud sombong dengan analog pentium 4, hanya contoh bos)


Saya-pun sering kali (hampir tiap hari tiap saat) bermental Do ut Des. Saya kasih senyum biar orang juga mengasih senyum saya (jika bisa tidak hanya senyum). Saya kasih informasi biar orang juga kasih juga informasi (jika perlu sebanyak ia punya). Saya kasih ia kebaikan hati biar saya juga mendapatkan kebaikan hati pula. Saya kasih keramahan.... biar... biar ... biar ...


Kalau begitu, "Pak Filsuf, apakah Do ut Des itu "pamrih" ya??? Sehingga kalau memberi tanpa pamrih boleh to? Masalahnya, membuktikan tidak ada pamrih itu yang sulit.


Kok jadi malah repot???? Saya kok jadi malah "sok" ya????

Tidak ada komentar: