Selasa, Januari 06, 2009

January Effect, Bargain Hunter dan Bellwethers Ekonomi

Refleksi Atas Perdagangan Perdana BEI 5/01/09

Ngopi atau ngobrol sambil minum kopi sudah merupakan kebiasaan lama saya yang mentradisi dan mendarah daging. Bahkan dulu sewaktu masih kuliah, meskipun tidak ada kegiatan kuliah, saya mesti ke kampus untuk minum kopi di salah satu warung di samping fakultas. Ternyata ngopi tidak-lah hanya sekedar mencecap hasil adukan antara pahit-nya kopi dengan manis-nya gula, tetapi cecap-pan nikmatnya nggobrol-lah yang mendorong lebih kuat untuk selalu….. ngopi di warung!

Di kantor kebiasaan itu-pun makin berkembang tumbuh. Kadang ngopi di Pujasera FIP, Pujasera KPN, sering pula di warung Pak Japan atau terkadang di WS. Salah satu sohib ngopi saya adalah Pak Suamo. Seorang pegawai administrasi di Subag Akademik FE UM. Pak Suamo merupakan sosok yang mudah bergaul dengan siapapun, memiliki rasa humor yang tinggi dan "spesialnya": suka menertawakan "kegetiran" hidup.

Disamping sebagai PNS, iapun menjadi "pengepul" besi tua, pengrajin keramik (yang saat ini lagi kempis-kempis tidak kembang), makelaran mobil dan sepeda motor, pemilik toko pracangan, menawarkan jasa terkait dengan pelayanan SAMSAT serta pimpinan sebuah kelompok musik terbang jidor. Aktivitas yang beragam merupakan indikator dari beragamnya komunitas pergaulan yang ia miliki. Ia sering memanggilku dengan sebutan "B-O-S" (sayapun tidak begitu mempedulikan dipanggil demikian) dan iapun ku panggil dengan sebutan "T-E-H" (sebutan khas, karena ia orang Madura).

Suatu hari, ketika ngopi di Pujasera FIP yang sejuk.
"Bos!, mobil sampeyan tak beli-nya po’o!" katanya.
"Ora tak jual Teh!"
"Wis talah!"
Dimulai dari dua kata "wis talah", ia tanpa lelah mulai "menggedor pendirian" saya , dari tidak niat menjual mobil menjadi "perlu" menjual mobil.
"Piro?!" tanya saya.
"Tiga puluh!"
"Ngawur peno iki!"
"Wis talah!"
Dimulai sesi II dengan dua kata "wis talah" lagi, iapun mulai lagi menggerilya "kekukuhan" saya.
"Terus?!
"Gampang! Besok tak carikan ganti!"
???
Begitulah Pak Suamo, benar-benar BARGAIN HUNTER sejati yang selalu memburu barang-barang murah!, yang sesungguhnya belum tentu murah!.
Meskipun pada akhirnya, mampu juga saya berkata "T-I-D-A-K!"
**************

Dalam dunia investasi di pasar keuangan terdapat fenomena yang disebut dengan Efek Januari (January Effect). Meskipun beberapa penelitian tidak banyak yang bisa membuktikan adanya January Effect ini di Pasar Modal Indonesia, tetapi dalam tataran praktis terkadang masih dipakai sebagai salah satu dasar pertimbangan pengambilan keputusan investasi oleh sebagian kecil investor. Sedikitnya keberadaan justifikasi ilmiah atas fenomena January Effect menyebabkan sebagian besar investor menganggap bahwa fenomena itu hanyalah sekedar mitos belaka!.

Apa sebenarnya January Effect itu?
January Effect
merupakan kecenderungan terjadinya kenaikan harga saham pekan pertama bulan Januari. Adanya kenaikan harga ini didorong oleh aktivitas investor untuk kembali menyusun portofolio-nya setelah mereka "terbenam" selama liburan akhir tahun. Permintaan investor yang meningkat terhadap instrumen keuangan inilah yang mnyebabkan harga mengalami kenaikan. Kenaikan permintaan ini didorong oleh ekspektasi investor yang positif. January Effect ini sering juga disebut dengan Year End Effect.

Secara historis, January Effect hanya akan berdampak pada saham-saham yang memiliki kapitalisasi kecil (small caps) daripada saham dengan kapitalisasi menengah (mid caps) dan besar (big caps). Hal ini secara teori dapat dijelaskan bahwa saham dengan kapitalisasi rendah memiliki akselarasi yang lebih cepat untuk meningkat harganya meskipun volume dan nilai transaksi-nya relatif tidak besar. Tetapi saham mid caps dan big caps membutuhkan volume dan nilai transaksi yang relatif lebih besar untuk menggerakkan harga sahamnya.

Akhir-akhir ini, eksistensi January Effect ini sering "digugat" dengan keberadaan Santa Claus Rally atau Desember Effect. Hal ini dikarenakan perubahan periode waktu terjadinya trend kenaikan harga saham, peningkatan harga saham sudah mulai terjadi di pekan terakhir bulan Desember. (Wikipedia). Perkembangan ini sudah mulai menggeser kekuatan bulan Januari dalam memberikan pengaruh terhadap harga saham. Dan secara empiris, saat ini sulit bagi investor untuk mendapatkan abnormal return hanya dengan berpegang pada tiang January Effect, seperti definisi-definisi mengenai January Effect masa lampau.

Apa pula Bargain Hunter itu?
Bargain Hunter
adalah pemburu saham-saham yang berharga murah. Di pasar keuangan harga murah tidak identik dengan harga rendah, keduanya berbeda signifikan. Harga rendah belum tentu murah dan harga murah belum tentu rendah. Mengapa bisa begitu? Untuk menggambarkan masalah tersebut kita ambil contoh sebagai berikut: PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memiliki sifat dan kondisi yang identik, yaitu sektor bisnis, jumlah modal disetor, total hutang, pendapatan, laba bersih dan lain-lain. Kecuali harga saham dan jumlah saham beredar, kedua perusahaan itu adalah identik.

PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memiliki modal disetor sebesar Rp. 10 miliar. Yang berbeda adalah nilai nominal sahamnya. PT. X Tbk menetapkan nilai nominal sahamnya adalah sebesar Rp. 1000 per lembar sedangkan PT. Z Tbk adalah Rp. 100 per lembar. Dari data tersebut maka jumlah saham PT. X Tbk adalah sebesar 10.000.000 (Rp.10 miliar/ Rp.1000) lembar dan PT. Z Tbk memiliki 100.000.000 (Rp. 10 miliar/Rp. 100) lembar saham. Jika diasumsikan bahwa harga saham di pasar (current market price) sama dengan nilai nominalnya, apakah bisa disimpulkan bahwa harga saham PT. Z Tbk lebih murah daripada harga saham PT. X Tbk?

Tidak sesederhana itu cara pengambilan kesimpulannya! Sekarang kita lanjutkan, seandainya PT. X Tbk dan PT. Z Tbk memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 2 miliar dan semuanya didistribusikan sebagai dividen, apa yang terjadi? Saham PT. X Tbk akan memberi dividen per lembar sebesar Rp. 200 per lembar sedangkan saham PT. Z Tbk akan memberikan dividen per lembar sebesar Rp. 2000 per lembar. Apakah anda masih akan mengatakan harga saham PT. Z Tbk lebih murah daripada harga saham PT. X Tbk? Tentu tidak!. Karena itu mahal dan murahnya saham harus pula dilihat secara lebih komprehensif, faktor fundamental dan rasio kinerja saham seperti PER (Price Earning Ratio) dan EPS (Earning Per Share) perlu diperhatikan.

Bargain Hunter ini memburu saham yang harganya murah tetapi belum tentu harga saham yang harganya rendah. Tetapi relatif paradoksal dengan investor ritel dengan dana investasi terbatas. Mereka akan menjadi Bargain Hunter dengan memburu saham dengan harga murah dan (kalau ada!) harganya juga rendah. Perilaku Bargain Hunter ini juga akan memiliki kontribusi untuk meningkatkan harga saham, khususnya saham-saham yang secara fundamental masuk dalam kualifikasi undervalue. Indikasi hadirnya kontribusi mereka dapat dirasakan pada awal perdagangan ini.

Bellwethers Ekonomi
Pernahkah anda melihat gerombolan kambing yang sedang di-"angon" (apa ya bahasa Indonesia-nya?) oleh pemiliknya?. Tanpa perlu "permufakatan" diantara mereka, kambing-kambing itu akan relatif mengikuti induknya. Kemana induknya berjalan, maka para follower ini mengikutinya. Demikian pula, jika sore sudah menjelang, si pemilik kambing itu harus mengantar pulang ke kandang. Ia hanya me-"nuntun" (apa juga ya bahasa Indonesia-nya?) induknya, dan spontan kambing-kambing yang lain mengikutinya di belakang. Itulah yang dinamakan BELLWETHERS.

Dalam bidang ekonomi, terlebih saat krisis seperti ini, pemerintah dan Bank Indonesia-lah yang menjadi bellwethers tersebut. Mereka adalah induk, dan langkah kebijakan mereka akan selalu dicermati, dianalisa, diantisipasi dan diikuti oleh pelaku pasar keuangan. Sehingga apa yang akan terjadi di pekan pertama Januari, ada atau tidaknya January Effect serta perilaku Bargaian Hunter dalam memburu saham murah akan selalu dipengaruhi oleh langkah kebijakan bellwethers ekonomi itu.

Dalam tataran investasi saham, ada pula saham yang memegang posisi sebagai bellwethers. Apa yang terjadi dan menimpa saham itu akan menjadi acuan (atau bell) bagi investor untuk menentukan kebijakan investasinya. Misalnya saham PT. Telkom Tbk (TLKM). Kapitalisasi besar yang dimiliki oleh TLKM membuat kontribusi dia dalam menciptakan Indeks Harga Saham relatif besar. Pun, saham unggulan macam TLKM merupakan rujukan utama bagi investor institusional untuk mengisi keranjang portofolio-nya. Atas keadaan yang melekat seperti ini, TLKM pun bisa berperan sebagai bellwethers saham.

January Effect, Bargain Hunter dan Bellwethers Ekonomi:
Dalam Perdagangan Perdana BEI 2009

Perdagangan perdana BEI yang dibuka oleh Presiden SBY, berhasil menaikkan IHSG sebesar 81.93 poin atau 6.04% ke level 1.437,34. (Bisnis Indonesia, 5/1). Kenaikan ini merupakan kenaikan terbesar kedua se-Asia Pasifik setelah indeks saham Thailand yang naik sebesar 6.39%. Kenaikan IHSG di awal tahun 2009 ini begitu diharapkan oleh pemerintah dan pelaku pasar keuangan. Dalam bagian pidato pembukaan, Presiden SBY meminta pelaku pasar agar tetap yakin dan optimis dalam memandang krisis keuangan global yang saat ini terjadi. Meskipun relatif hiperbolik, mudah-mudahkan kenaikan IHSG di awal tahun sebagai wujud dari optimisme itu.

Perdagangan perdana BEI 2009 ini tidak hanya mampu meningkatkan nilai IHSG tetapi nilai transaksi-nya juga mencapai angka yang relatif tinggi yaitu Rp. 2,87 triliun, lebih tinggi dari rata-rata nilai transaksi harian yang "hanya" Rp. 1 triliun saja. (Kontan, 6/1). Dan investor asing ikut berkontribusi dalam pencapaian nilai transaksi itu sebesar Rp. 63.10 miliar. Kapitalisasi yang relatif besar ini merupakan indikator awal yang baik bagi proses rebound kinerja pasar modal kita.

Terdapat beberapa penyebab dari peningkatan kapitalisasi perdagangan dan nilai IHSG ini, yaitu: Pertama, pasar regional dan global yang sedang dalam trend naik. Kedua, adanya kenaikan harga minyak yang mencapai US$ 46.60 per barel. Ketiga, faktor pengumuman BPS yang menyatakan bahwa pada bulan Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0.04% dan Keempat, (mungkin!) akibat January Effect dimana investor telah mulai kembali berperan sebagai Bargain Hunter untuk memenuhi keranjang portofolio investasinya.

Indeks bursa global hampir semuanya mengalami kenaikan. Nasdaq naik dari 1.577,03 menjadi 1.632.21, Frankfurt Dax dari 4.810,20 menjadi 4.973,07, DJIA dari 8.776,39 menjadi 9.034,69, Seoul Composite dari 1.157,40 menjadi 1.173,57, NYSE Composite dari 5.575,05 menjadi 5.915,73, Stock Exchange of Thai dari 449,96 menjadi 476,95, Taipei Weighted dari 4.591,22 menjadi 4.693,31 dan FTSE 100 dari 4.434,17 menjadi 4.561,79. (Kompas, 6/1). Kenaikan ini akibat diumumkan dan dimulai-nya paket stimulus untuk meredam dampak krisis dari berbagai negara, termasuk AS yang mengguyurkan dana stimulus sebesar US$ 1 triliun. Hal ini berimbas ke pasar keuangan negara kita yang dapat terjelaskan melalui mekanisme contangion effect atau domino effect.

Kenaikan harga minyak menyebabkan harga saham emiten yang bergerak dalam industri tersebut juga mengalami peningkatan. Harga saham PT. Bumi Resources Tbk naik Rp.30 menjadi Rp.940, PT. Perusahaan Gas Negara Tbk menguat Rp.100 menjadi Rp1.960 dan PT. Tambang Batubara Bukit Asam terbang Rp. 900 menjadi Rp. 7.800 (Bisnis Indonesia, 6/1). Kenaikan harga saham ini turut memiliki kontribusi yang relatif besar dalam peningkatan kapitalisasi dan nilai IHSG.

Pengumuman BPS tentang deflasi sebesar 0.04% pada bulan Desember 2008 yang lalu, mendorong ekspekstasi positif investor terkait dengan harapan adanya penurunan BI Rate yang signifikan pada bulan ini. Jika dalih otoritas moneter menetapkan BI Rate yang "masih" relatif tinggi digunakan untuk meredam inflasi, setelah inflasi berhasil di redam maka tidak diperlukan "dalih lain" lagi untuk tidak menurunkan BI Rate. Penurunan BI Rate akan memberikan injeksi positif bagi pasar modal dengan peningkatan kapitalisasi, harga dan IHSG karena adanya switching dana dari instrumen perbankan ke pasar modal, dan stimulus bagi sektor riil (emiten) dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Hal ini diharapkan akan berujung pada peningkatan kinerja emiten.

Sedangkan January Effect? Meskipun masihperlu diteliti lebih lanjut secara empiris, maka kenaikan kapitalisasi dan IHSG juga akibat dari efek Januari ini. Dimana pada saat ini, investor sedang asyik melakukan revisi portofolio dan kembali menyusun portofolio-nya. Kegairahan investor inilah yang mendorong peningkatan kapitalisasi dan IHSG itu. Sudah merupakan kebiasaan di awal tahun, investor selalu menata ulang portofolion-nya dan memborong saham incarannya (Kontan, 6/1).

Bellwethers Ekonomi? Kemanakah?
Gerak-gerik pemerintah tentunya mendapatkan perhatian lebih dari investor di pasar keuangan terlebih disaat krisis seperti ini. Paket stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan nilai Rp. 50 triliun pastilah tidak luput sebagai input investor dalam melakukan analisis investasi. Tidak hanya berkisar pada besaran dana stimulus tetapi implementasi dari stimulus yang dilakukan.

Belanja pemerintah juga menjadi perhatian investor karena pada tahun 2009 ini, belanja pemerintah merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi dengan kontrubusi 10.4%, naik dari tahun 2008 sebesar 10.7% (Kontan, 6/1). Belanja pemerintah ini akan berdampak kepada semakin likuid-nya pasar keuangan karena mendorong secara masif jumlah uang yang beredar dalam transaksi ekonomi yang terjadi. Belanja pemerintah ini juga diharapkan mampu sebagai "infus" bagi masyarakat agar tetap memiliki daya beli (purchasing power) yang baik. Daya beli masyarakat yang baik akan berakibat secara tidak langsung kepada tingkat pendapatan emiten atas barang dan jasa yang diproduksinya. Dan putaran itu akan terus bersiklus!

Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter juga merupakan bellwethers ekonomi. Hal yang paling ditunggu investor adalah kebijakan BI tentang bunga acuan (BI Rate). BI Rate memiliki peran yang besar dalam menyelesaikan masalah tipis-nya likuiditas yang ada di pasar keuangan dan sektor riil. Padahal likuiditas diperlukan untuk tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi. Dan BI Rate mampu pula mendorong perubahan orientasi pemilik dana (surplus unit) dari penempatan di instrumen keuangan perbankan ke instrumen keuangan pasar keuangan. Sehingga peningkatan kapitalisasi tidak-lah hanya dibaca karena January Effect dan aktivitas Bargain Hunter tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku investor yang mengikuti arah gerak Bellwethers Ekonomi.
************

Kemarin di teras Masjid Sabilillah, sambil menunggu Alam (yang saat ini lagi UAS) pulang, saya mengobrol dengan beberapa sopir pribadi yang bertugas menjemput anak-anak majikannya. Dari beberapa sopir itu ada yang majikannya juragan emas, Pak Di namanya. Ada Pak Jais, yang majikannya seorang dokter spesialis dan sekaligus dealer pulsa, Pak Isman yang ber-majikan juragan spare part mobil, ada pula Pak Tar yang majikannya mantan bupati Jombang dan Pak Samsul yang juragan-nya seorang kontraktor dan pemilik butik. Obrolan ngalor ngidul yang sering kami akhiri dengan ngakak bersama!.

Seringkali pula kami memiliki "bellwethers" yang sama yang menuntun kompak-nya gerakan mata kami. Yaitu ketika sebuah mobil Toyota Fortuner warna silver meluncur masuk gerbang masjid. Selalu kami tunggu si empu-nya mobil membuka pintu dan turun. Dan mak jleg! Sebuah kaki menginjak tanah. Dan….. muncullah dia!. Seorang perempuan! Selalu ia, selalu ramah wajahnya, tak angkuh seperti mobil-nya! Tak seorang-pun dari kami mengenalnya, yang hanya kami tahu ia selalu datang menjemput pula.

Ha ha ha ………………
Bellwethers macam apa pula itu!
Kemarin ketika ibuk-nya Alam ikut menjemput Alam, ia-pun kuberitahu sosok itu. Kutenggok iapun tersenyum……..
(Teringat sebuah kisah dimana seorang dewa menolak untuk menciptakan keindahan lagi, karena dewa itu barusan menciptakan seorang perempuan…….)
Ketika kuceritakan "bellwethers" ini kepada Lik Mo, komentarnya:
"Iku pertondho sampeyan jik urip lan jik arupo manungso!!! S-Y-U-K-U-R!!!"
?????

Tidak ada komentar: