Minggu, Januari 04, 2009

50 : 50

Sekeping 50 Rupiah Untuk 50 Saham

Salah satu karib saya saat kuliah di Unibraw adalah Iwan "Topeng" Setiawan. Seorang yang "unik" sehingga dijuluki dengan sebutan Mr. "Topeng". Sebutan ini selaras dengan keahlian dia yang mampu "berenang" dalam berbagai jenis "kolam". Dalam komunitas mahasiswa yang borjuis, si Mr. Topeng ini mampu menempatkan dirinya dengan baik, dalam komunitas mahasiswa yang hedonis diapun mampu ber-"renang" dengan cekatan. Dalam "kubangan" mahasiswa yang aktivis-idealis, si Mr. Topeng ini mampu pula menunjukkan kiprah-nya dan dalam komunitas mahasiswa proletaris, "tokoh" kita inipun ber-kawan dengan "ciamik" pula.

Saat ini, ia telah menjadi salah satu eksekutif muda di AXIS, setelah sebelumnya berlabuh di SIEMENS dan FREN. Di Brawijaya, dia juga salah satu penggagas dan pendiri FORKOMMI (Forum Komunikasi Mahasiswa Miskin Indonesia), sebuah forum karikatural yang dalam realitas "gerakan" memiliki "militansi" akut dan sampai saat ini bahkan "denyut" FORKOMMI ini masih ada disana, meskipun dalam "ruang" yang terbatas. Karena singungan dalam berbagai macam aktivitas-lah yang menyebabkan saya dan dia memiliki kedekatan "fungsional", bahkan sampai saat ini.

Pernah suatu hari, sekitar akhir 1993 (semester pertama kuliah), saya dan dia hanya memiliki uang Rp. 450. Dan dengan uang itu, masuklah kita ke sebuah warung di jalan MT. Haryono Gang XVII. Berdua kita makan dengan menu sangat "minimalis", yaitu nasi putih, sayur pepaya (jangan kates) dan sebuah krupuk bleg. Dan uang Rp. 450 itulah yang kami gunakan untuk membayar-nya. Ternyata cukup dan ndilalah P-A-S! Betapa bernilainya 7 keping koin lima puluhan itu, sehingga lapar kami pun bisa terusir saat itu.

Masih berhargakah sekeping koin Rp. 50; itu saat ini? Jawabannya adalah M-A-S-I-H!. Dengan uang Rp. 50;, kita bisa mendapatkan selembar saham!. Bahkan kita masih bisa memilih dengan 50 pilihan saham. Betulkah? Betul! Hampir tidak masuk akal, bagaimana mungkin sekeping Rp. 50; masih bisa kita gunakan untuk "belanja" saham. Untuk membeli permen saja, sekarang sudah teramat jarang yang "mau" dihargai dengan Rp. 50;. Fenomena ini terjadi sebagai salah satu buah krisis keuangan global yang terjadi saat ini. Mari kita bahas!
***********

Banting Harga atau Terbanting Terpelanting!
Imbas krisis keuangan global sudah meluber kemana-mana, salah satu yang terimbas parah adalah pasar modal kita. Selama tahun 2008, nilai IHSG telah mengalami penurunan lebih dari 50%, penurunan IHSG ini disertai pula dengan penurunan kapitalisasi perdagangan. Dan data menyebutkan bahwa 13% dari seluruh emiten yang terdaftar di BEI, memiliki harga Rp. 50 per lembar sahamnya. Harga Rp. 50 per lembar ini merupakan harga terendah yang diperkenankan oleh BEI (Kontan, 3/1).

Jika diperbandingkan dengan tahun 2007, maka saham emiten yang masuk katagori harga terbawah (50 rupiah) telah mengalami peningkatan sebesar 5000% pada tahun 2008. Pada tahun 2007 hanya ada satu saham yang dijual dengan harga Rp. 50, yaitu PT. MYOH Technology Tbk. Tetapi pada tahun 2008, jumlah itu meningkat menjadi 50 emiten. Kenaikan 5000% ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena krisis keuangan global saat ini.

Krisis telah memaksa aliran modal lari keluar (capital out flow) sehingga dominasi 60% dana asing di pasar modal kita turun. Penurunan ini menimbulkan excess supply instrumen keuangan sehingga harga juga mengalami kejatuhan. Penurunan harga komoditas juga memicu turunnya harga dan sekaligus kapitalisasi saham emiten yang bergerak di sektor komoditas yang bersangkutan. Serta kinerja emiten yang memiliki sensitifitas tinggi (nilai beta/risiko pasar/unsystematic risk) terhadap krisis keuangan global semakin menyuramkan harga saham emiten tersebut.

Dari 50 saham dengan harga Rp. 50-an itu, sebenarnya terdapat beberapa saham yang memiliki "pamor" baik dan memiliki kontribusi signifikan dalam mendukung pergerakan IHSG. Sebagian emiten ber-"pamor" tersebut adalah PT. Bakrie & Brother Tbk (BNBR), PT. Truba Alam Manunggal Enginering Tbk (TRUB), PT. Darma Henwa Tbk (DEWA), PT. Kawasan Industri JABABEKA Tbk (KIJA), PT. Indofarma Tbk (INAF) dan PT. Mobile-8 Telecom Tbk (FREN) (Kontan, 3/1). Tetapi krisis telah menempatkan mereka dalam rangking terendah dalam nilai perusahaan (value of the firm) jika di-proxy-kan dengan harga saham yang terjadi saat ini.

Sebagai gambaran, jika saat ini anda membeli saham BNBR, maka setiap 1 lot (500 lembar) saham yang anda beli, anda hanya membutuhkan uang sebanyak Rp. 25.000; saja!. Dan dengan nilai investasi sebesar itu, maka anda bisa meng-klaim bahwa anda memiliki posisi "sejajar" dengan Aburizal Bakrie sebagai pemilik PT. Bakrie & Brother Tbk. Hal ini karena karakteristik saham yang bersifat ekuitas atau kepemilikan. Andapun memiliki kesempatan untuk memperoleh imbal hasil investasi (berupa capital gain atau dividen) disamping kemungkinan timbulnya risiko yang harus anda tanggung. Pun anda berhak untuk menghadiri RUPS yang dilakukan perusahaan. Hebat kan?

Pistol Moneter, Amunisi Yang Terbatas
Tiga "raksasa" yang menjadi kontributor besar bagi perkembangan ekonomi dunia saat ini, yaitu AS, Jepang dan Uni Eropa diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi minus pada tahun 2009 ini (Kontan, 3/1). AS diprediksi mengalami pertumbuhan minus sebesar 1.6%, Jepang 1.8% dan Uni Eropa 2.6%. Jika pertumbuhan minus ini terjadi maka secara tidak langsung akan berimbas pada pasar modal kita. Salah satunya adalah kinerja emiten yang berbasis produk ekspor dengan pangsa pasar ketiga "raksasa" tersebut, hilangnya dana asing dari ketiga "raksasa" tersebut di pasar modal karena mereka lebih berorientasi pada kecukupan likuditas dengan dogma Cash is The King, dan pelambatan serapan energi konvensional akan menyebabkan pula kinerja saham emiten berbasis komoditas ikut mengalami penurunan. Jika ini yang terjadi maka, kelimapuluh emiten dengan saham lima puluhan per lembar akan sulit terangkat naik.

"Pistol Moneter" telah digunakan dengan masif oleh ketiga "raksasa" ini untuk melepaskan dirinya dari dekapan krisis keuangan global ini, selain kebijakan fiskal tentunya. Mereka telah monurunkan bunga acuanya dalam nilai yang "hampir" mendekati NOL. The Fed AS mematok bunga acuan dalam nilai 0.25%, (BoJ) Bank of Japan sebesar 0.1% dan Europen Central Bank (ECB) sebesar 2.5% (Kontan, 3/1). Penurunan ini diharapkan dapat memulihkan sektor riil ekonomi mereka yang diterkam oleh badai kesulitan likuiditas (lack of liquidity). Tetapi amunisi ‘Pistol Moneter" milik mereka sudah mendekati H-AB-I-S!. Bagaimana tidak, koridor kebijakan moneter melalui instrumen bunga yang mereka lakukan telah hampir mendekati NOL.
Pertanyaannya adalah apakah mungkin mereka akan menetapkan bunga acuan NOL atau NEGATIF? Kalau amunisi moneter habis maka tinggallah kebijakan fiskal yang menjadi media stimulan ekonomi.

Bagaimana imbas "Pistol Moneter" ini terhadap ekonomi Indonesia? Kita berharap dengan semakin tipis-nya amunisi moneter mereka akan ada aliran dana masuk ke pasar keuangan kita. Harapan ini tidak berlebihan, karena BI Rate kitas masih relatif tinggi dan masih memberikan premi yang baik bagi pemilik dana asing. Aliran dana masuk ini diharapkan dapat meningkatkan likuiditas pasar keuangan meskipun relatif berisiko. Aspek yang lain, penurunan bunga acuan mereka memberikan sedikit "keleluasaan" bagi otoritas moneter kita untuk ikut pula menurunkan bunga acuan-nya karena spread masih relatif lebar. Jika bunga BI Rate turun, maka akan berimplikasi pada semakin likuid-nya pasar keuangan kita. Hal ini akan berdampak baik bagi sektor riil maupun sektor keuangan. Bunga yang menurun akan menyebabkan harga SUN, ORI serta Obligasi Korporasi akan semakin meningkat dan likuid.

Portofolio dan Risiko
Mengapa harus portofolio? Kredo investasi mengatakan bahwa " Don’t Put Your Eggs in One Basket". Diversifikasi mutlak diperlukan dalam investasi untuk meminimalkan risiko. Secara teori banyak dijabarkan model-model untuk menyusun portofolio optimal, misalnya Safety First Model, Utility Model, Single Index Market Model, Markowitz Model dan lain-lain. Tetapi secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk membentuk portofolio harus diperhatikan Toleransi Risiko (Risk Appetite) dan Jangka Waktu (Time Horizon) investasi. (Prasetijo, 2008).

Toleransi Risiko merupakan preferensi investor dalam memandang dan menyikapi sebuah risiko investasi. Teori mengklasifikasi 3 tipe investor berdasarkan preferensi-nya terhadap risiko, yaitu konvervatif, moderat dan agresif. Investor konservatif adalah investor dengan tipe penghindar risiko (risk averse). Kredo yang mereka yakini adalah "pelan-pelan asal selamat". Investor moderat memandang risiko secara netral atau proporsional (risk neutral) dan investor agresif merupakan investor yang menyukai tantangan dan memiliki "adrenalin" investasi yang besar. Investor jenis ini sering juga disebut dengan risk seeker. Ketiga tipe investor ini tetap dalam pelangi investasi "high return high risk, low return low risk".

Jangka Waktu investasi terkait dengan karakteristik dana investasi dan kebutuhan dana tunai (kas) dari investor. Dana investasi yang benar-benar menganggur (iddle fund) dapat digunakan untuk melakukan investasi dengan time horizon jangka panjang. Investasi jangka panjang tidak perlu terpengaruh oleh isu atau rumor yang terjadi di pasar. Analisis investasi yang cocok dilakukan adalah dengan menggunakan analisis fundamental untuk mencari nilai intrinsik (nilai riil atau sesungguhnya) dan misprices instrumen keuangan. Sebaliknya jika dana itu memiliki karakteristik "dana akan segera dibutuhkan kembali" maka time horizon investasi yang layak dilakukan adalah jangka pendek. Investasi jangka pendek ini relatif lebih berisiko dari investasi jangka penajang karena relatif mudah terpengaruh oleh isu atau rumor yang terjadi di pasar. Analisis yang relevan dengan time horizon ini adalah analisis teknikal, yang dilakukan untuk mencari timing atau waktu yang tepat untuk melakukan transaksi instrumen keuangan.

Terdapat beberapa ragam instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk mengisi portofolio investasi (selain saham). Berikut beberapa instrumen itu dengan data kinerja yang mereka miliki tahun 2008 yang lalu, yaitu Reksa Dana dan Obligasi.

Reksa Dana
Reksa Dana merupakan instrumen investasi yang relatif baik bagi investor pemula. Hal ini disebabkan dana investasi yang kita tanamkan dikelola oleh Manajer Investasi yang profesional. Sehingga investor "relatif" tidak perlu dibingungkan dengan berbagai macam analisis investasi yang merepotkan dan menyita waktu. Kinerja Reksa Dana pada tahun 2008 mengalami penurunan yang signifikan dalam hal rekor jumlah dana kelolaan yang diperolehnya.
Reksa Dana Saham, dana kelolaan pada bulan Januari sebesar Rp. 38,006 trilun dan pada bulan Oktober 2008 menurun menjadi Rp. 23,426 triliun. Reksa Dana Pendapatan Tetap, pada bulan Januari sebesar Rp. 16,422 triliun dan pada bulan Oktober 2008 sebesar Rp. 13,668 triliun. Berturut-turut, Reksa Dana Campuran dari Rp. 12,761 triliun menjadi Rp. 10.041 triliun, Reksa Dana Pasar Uang dari Rp. 5,656 triliun menjadi Rp. 3.305 triliun, Reksa Dana Indeks dari Rp. 0,181 triliun menjadi 0,119 triliun, Exchange Trade Fund (ETF) dari 0,615 triliun menjadi 0,565 triliun dan Reksa Dana Terproteksi dari Rp. 20,730 triliun naik menjadi Rp. 24,524 triliun (Infovesta Utama dalam Kontan, 3/1). Secara total, dana kelolaan Reksa Dana dari bulan Januari 2008 sampai Oktober 2008 turun sebanyak Rp. 19,121 triliun atau 20.26%.

Kinerja Reksa Dana yang menurun ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, harga dan kinerja instrumen penyusun portofolio investasi yang melemah sehingga menurunkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana. Kedua, aksi penjualan kembali (redemption) yang dilakukan oleh pemegang reksa dana KIK (Kontrak Investasi Kolektif) ikut menekan kinerja Reksa Dana. Ketiga, kebijakan pemerintah yang terkait dengan pajak. Tetapi dari data diatas, kinerja Reksa Dana Terproteksi mengalami peningkatan, hal ini wajar, karena dalam kondisi ketidakpastian akibat krisis keuangan global seperti saat ini, banyak investor yang memilih reksa dana yang memberikan tingkat keuntungan minimal atas dana yang ditanamkannya.

Obligasi
Obligasi merupakan instrumen pendapatan tetap dengan maturity (jatuh tempo) jangka panjang. Kinerja obligasi selama tahun 2008 juga mengalami penurunan. Kapitalisasi Surat Utang Negara (SUN) dan ORI (Obligasi Ritel Indonesia) dari semula Rp. 1.234,72 triliun menjadi 949,47 triliun. Transaksi harian juga mengalami penurunan sebesar 20% dari rata-rata Rp. 5,02 triliun menjadi Rp. 3,91 triliun (Kontan, 3/1). Demikian pula untuk obligasi korporasi, kapitalisasi transaksi turun sebesar 23% selama tahun 2008 dan berada dalam level Rp. 52,98 triliun. Transaksi harian juga turun dari rata-rata Rp. 279 miliar turun menjadi Rp. 218 miliar.

Kinerja obligasi ini secara teori atau fundamental sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga dan tingkat inflasi. Tingkat bunga memiliki korelasi negatif dengan harga obligasi. Tingkat bunga yang tinggi akan menyebabkan investor memindahkan dananya dari istrumen obligasi ke instrumen perbankan, hal ini akan mendorong terjadinya excess supply obligasi di pasar sehingga harga turun. Sebaliknya jika tingkat bunga turun maka akan menimbulkan permintaan atas obligasi baik, karena ada premi atau insentif bagi investor untuk kembali menempatkan dananya di instrumen obligasi ini. Terjadinya excess demand menyebabkan harga obligasi naik.

Sebagai instrumen ivestasi berpendapatan tetap, maka inflasi sangat mempengaruhi orientasi dan perilaku investor. Tingginya tingkat inflasi akan berdampak pada turunya nilai investasi investor. Hal ini dikarenakan adanya penurunan daya beli uang investor terhadap barang dan jasa. Keadaan ini akan mendorong investor rasional untuk merubah kebijakan investasinya ke instrumen yang lain yang relatif tidak tergerus oleh tinggi-nya inflasi. Sebaliknya jika gempuran inflasi sudah mereka, maka kinerja obligasi akan membaik. Keadaan saat ini memungkinkan kinerja obligasi akan segera "pulih" dengan indikator pada gelagat Bank Indonesia yang akan kembali menurunkan bunga acuannya dan besaran inflasi yang sudah relatif moderat. Semoga!
**********

Setelah diberondong dengan rangkaian gerbong liburan Natal, Tahun Baru Hijriyah dan Tahun Baru Masehi, besok sampai pula-lah dalam luapan tugas kantor yang sudah menunggu. Untuk menyambut kembalinya "rutinitas" kampus, dikutip 2 nasehat yang relevan dan mudah-mudahan bermakna bagi kita.

Nasehat Martin Luther King Jr:
"Seandainya seseorang terpanggil menjadi tukang sapu, maka seharusnya ia menyapu sebagaimana halnya Michelangelo melukis, atau Bethoven mengomposisi musiknya, atau Shakespeare menuliskan puisinya".

Nasehat Lao Tzu:
"Jika engkau hanya mengerjakan segala sesuatu sebatas apa yang diharapkan darimu, maka engkau tak ubahnya seorang B-U-D-A-K. Namun, jika engkau mengerjakannya lebih dari yang diharapkan, barulah engkau menjadi manusia B-E-B-A-S".
(dua nasehat ini dikutip dari Tjahjono dalam Kompas, 3/1)

Terbersit kemungkinan komentar Lik Mo perihal 2 nasehat ini "Kelincipen Cak!!!,
jan S-O-K tenanan!!!"………….

Tidak ada komentar: