WarLib: Warung Libido
(mega industri syahwat)
Dunia telah berubah. Perubahan dengan akselerasi yang demikian dahsyat sehingga menimbulkan ke-gagap-an bagi mereka yang terlambat mengikuti dinamika perubahan. Tidak hanya ke-gagap-an tetapi laju perubahan telah banyak menerabas etika dan norma yang ada di masyarakat. Perubahan menggerus etika dan norma itu, sehingga yang ditimbulkan-nya adalah sebuah anomie, sebuah masyarakat tanpa etika dan norma.
Salah satu hasil dari perubahan dan sekaligus penggerak perubahan adalah teknologi internet. Teknologi ini mampu mempercepat akselerasi perubahan sehingga perubahan kian berlari kencang. Etika dan norma semakin porak-poranda di iles-iles (diinjak-injak oleh perubahan). Internet yang menjadi anak kandung perubahan yang telah menjadi pisau bermata dua (ratus!).
Menjadi relevan dan menarik untuk kita cermati sebuah hasil penelitian TopTenReviews (2008) dalam Bu (2008) yang menyatakan bahwa “setiap detik 28.000 orang mengakses situs porno di internet”. Sebuah data yang mencengangkan. Jika kita konversi data itu menjadi satuan waktu sehari-semalam (24 jam) maka pengguna internet yang mengkomsumsi situs porno sebesar 2.419.200.000 orang (dan salah satu-nya saya!). Jika mbok Marlena tahu, pasti komentarnya “bok abo…… asoy mbok de”.
Khusus di Indonesia, penelitian Google Trend’s juga juga menobatkan Kota Semarang, Yogyakarta, Medan, Surabaya, Jakarta dan Bandung sebagai kota yang masyarakat pengguna internet-nya paling sering mengunjungi warung libido itu. Kota Malang? Belum ada data yang saya dapatkan. Tetapi melihat pola pergerakan-nya, Malang mungkin akan meyusul “kehebatan” keenam kota tadi. Mumpung lagi suasana Ulang Tahun Kota Malang, bisa digunakan sebagai momentum untuk mengejar “ketertinggalan”-nya.
Fenomena seperti ini yang mungkin menjadi pendorong pemerintah melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk membatasi “omzet” warung-warung libido yang bertebaran di internet ini. Bukan menutup warung-nya tetapi menghalangi orang untuk mendatangi warung libido itu. Entah teknologi apa yang akan dipakai, smart card (seperti wacana pembatasan BBM) atau malah “stupid card” gaya ORBA. Jika hanya sebatas ini, maka langkah ini tidak-lah akan efektif. Teori ekonomi mengatakan bahwa “keinginan selalu menciptakan pasar”. Sehingga akan lebih bijak yang di-sentuh adalah simpul kesadaran masyarakat melalui pembelajaran yang berkualitas dan ber-makna. Kesadaran untuk memendam keinginan atau bahkan menghilangkan keinginan (abstrak kan? …..)
Apa yang disediakan di dunia maya, disediakan pula di dunia nyata, termasuk pula warung libido. Dengan mudah-nya kita akan lihat pesona warung libido itu di dalam televesi, koran, majalah, mall, pasar, jalanan, koridor kampus, ruang-ruang kuliah dan ruang-ruang publik yang lain. Tidak lebih vulgar memang tetapi “hanya beda kemasan” saja. Jadi, pilihlah menu yang anda suka, dan jika ingin dianggap “bukan orang sembarangan” maka jangan coba-coba menyediakan “menu” yang sembarangan. (dasar wong pikirane….ngeres! piktor!…piktor!).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar