Benarkah Dia Al-Amin
Saat saya masih sekolah disebuah SD Inpres dikampung, pernah suatu ketika diajari oleh Pak Somad (guru agama saya yang saat itu sudah tampak tua) tentang sifat al-amin yang melekat pada rasul Allah. Sifat itu memiliki makna "yang dapat dipercaya". Dalam kondisi apapun apa yang dilakukan dan diucapkan oleh rasul selalu dalam katagori "dapat dipercaya". Penjelasan sifat rasul itu seringkali juga selalu dilakukan saat event-event keagamaan yang lain. Arti-nya semua orang sudah paham bahwa al-amin merupakan kata yang memiliki makna "yang dapat dipercaya".
Di masyarakat kita sudah merupakan kejamakan orang tua memberikan nama kepada anak-nya sebagai sebuah tetenger identitas juga sebagai do'a dan pengharapan. Sehingga seringkali kita dengar nama-nama yang memakai sifat-sifat rasul bahkan Tuhan. Tetapi apalah arti sebuah nama, kata Shakespiere "mawar disebut dengan kata apapun bau-nya tetap harum". Kadangkala nama tidak membawa kontribusi apa-apa terhadap si pemilik-nya. Kadangkala sebaliknya, nama juga bisa sebagai media passing-off (pendomplengan reputasi) seseorang.
Beberapa saat yang lalu, KPK menangkap salah satu anggota DPR dengan sangkaan korupsi.
Dini hari wakil rakyat yang terhormat (baca: saat ini tidak lagi terhormat) tertangkap tangan dengan keberadaan sejumlah uang sebagai alat bukti. Kejadian ini membikin heboh publik, tidak hanya karena kebetulan si anggota dewan itu suami seorang selebriti dangdut tetapi juga saat hangat-hangat-nya arogansi dan "buta"-nya DPR yang akan menuntut Slank. Sehingga produsen berita memiliki beragam perspektif dan "angel" untuk memotret kejadian ini.
Saya menjadi teringat ucapan seorang filsuf yang mengatakan bahwa "ketamakan adalah kemiskinan yang sebenarnya". Dengan logika yang sederhana, tidak cukup-kah apa yang telah diberikan negara kepada anggota dewan yang terhormat saat ini? Belum ideal-kah fasilitas dan materi yang di-hibah-kan negara kepada yang terhormat anggota dewan ini sehingga ia harus korupsi? Kurang-kah apa yang telah ia terima? Jika memang masih kurang, benar-benar memang kurang ajar. Tamak itulah sumber masalah-nya, sehingga ia selalu merasa miskin dan tidak pernah merasa cukup dan bersyukur. Tamak!!!
Montesquieu (dalam Latif 2008) pernah mengatakan bahwa "suatu negeri akan karam jika kekuasaan legislatif lebih korup ketimbang eksekutif". Inilah wajah Indonesia saat ini. Jika ini terus berlanjut mungkin negeri kita akan masuk dalam peta negara yang gagal. Hasil penelitian World Economic Forum mengatakan bahwa salah satu faktor pendorong (impetus) kegagalam suatu negara adalah wabah korupsi yang merajalela. Hal ini juga didorong pula oleh hilangnya budaya malu, yang oleh Ben Anderson dikatakan sebagai "erosi budaya malu". Jika malu sudah tiada.............. ya sudah runyam! Batas moral salah satunya adalah "malu".
Terakhir, layak kita renungkan apa yang pernah diungkap oleh Aristoles (dalam Muhibbin 2008) "semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan; maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kejujuran, kebenaran dan kemanusiaan". Juga apa yang pernah ditulis oleh Robert Bellah (dalam Subagyo 2008) yang mengatakan "profesi, jabatan dan peran sosial politik tidak cukup dipahami sebagai Job (tugas) atau Career (karir) tetapi a calling on vacation (panggilan) sehingga keberhasilan tidak melulu diukur dari capaian ekonomis dan psikologis tetapi juga capaian sosial, yaitu kemaslahatan bersama". Jadi.... benarkah saya, anda, kita ....AL-AMIN....................... (biarkan hati menjawabnya).
(jatuh bangun aku ...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar