Generasi Garis Miring
Ketika jaman kita sekolah dulu, pernah diajari untuk membentuk garis. Ada garis tegak atau garis vertikal dan garis mendatar atau garis horizontal. Sampai saat ini-pun “kemahiran” garis menggaris kita masih terus berguna dalam konteks yang beragam. Garis vertikal dan horizontal merupakan dua bentuk garis yang memiliki perbedaan ekstrim. Meskipun ekstrim pasti pada suatu saat dan titik, keduan-nya akan bertemu. Vertikal dan horizontal memiliki persamaan yaitu “ekspresi ketegasan” dan “sebuah konsistensi”.
Garis miring adalah garis yang terbentuk dengan kharakteristik tidak vertikal dan tidak pula horizontal. Ia miring!. Kemiringan-nya bisa beragam ekspresinya. Bisa miring dengan kecenderungan ke vertikal atau bisa pula ke horizontal. Seperti pendulum jam bandul, bisa di set kemiringan-nya sesuai dengan kebutuhan. Jadi garis miring, memiliki kharakteristik yang berbeda dengan garis vertikal dan horizontal, menunjukkan sebuah kegamangan dan hipokrit.
Garis miring secara normatif merupakan garis yang terbentuk dari titik-titik “konsesi” antara garis vertikal dan garis horizontal. Sehingga ia merupakan rentetan titik-titik yang tidak berkelamin. Tidak tegak, datar-pun tidak. Kecondongan “garis miring” itu juga tergantung kepada “kepentingan” dan semua produk-produk turunan-nya yang lain. Sepanjang garis miring adalah titik-titik “aman” dalam sebuah kerangka “penyikapan”. Dalam banyak kejadian dan situasi, banyak sikap yang diambil oleh masyarakat jika di plot pastilah berada dalam garis miring itu.
Sulit untuk bisa konsisten mempertahan-kan sebuah prinsip kebenaran yang telah kita yakini. Dalam deras-nya bombardir “intimidasi” dari faktor eksternal (iklan dan produk budaya kapitalisme-materialisme) yang sulit kita hindari dan bombordir dari dalam diri kita sendiri yang selalu mendera yang bersumber dari “ketakutan”. Takut miskin, takut kehilangan jabatan, takut tidak mendapatkan jabatan, takut kehilangan privelege dan lain-lain. Sehingga dapat dikatakan keberpihakan kita akan kemapanan (pro status quo) yang mendorong kita menjadi generasi garis miring. Termasuk saya!!
Marilah coba kita renungkan apa yang pernah ditulis oleh seorang filsuf yang mengatakan “you are important, he is important, i am not” (ajakan untuk menanggalkan egoisme). Atau tulisan Gede Prama “kebahagiaan tertinggi adalah jika kita mampu bersyukur meskipun kita hanya sebagai orang biasa”. Tetapi agar ada Action in Factum (langkah nyata) ada satu lagi yang perlu kita renungkan, pendapat dari seorang filsuf yang bernama Rene Descarter yang mengatakan "hidup laksana sebuah lukisan semua-nya adalah ekspresi, maka komtemplasi (merenung) tanpa aksi adalah kematian!!".
“bo… abo jik kerenge…sampeyan iki.”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar