Simpul Kenikmatan dan Moh Limo
Ketika menyampaikan dakwah di tengah masyarakat Jawa, salah seorang Wali Songo yang bernama Sunan Ampel memperkenalkan konsepsi ajaran “Moh Limo”. Ajaran ini mengandung makna bahwa seseorang akan mendapatkan “bahagia hakiki” jika mampu melakukan Moh Limo, yaitu Moh Maling, Moh Madon, Moh Ngombe, Moh Madat dan Moh Main (tidak mau mencuri, tidak mau ber-zina, tidak mau minum-minuman keras, tidak mau menghirup narkoba dan semacam-nya dan tidak mau berjudi).
Simpul Kenikmatan
Jika kita amati lima hal yang dilarang itu merupakan sebuah simpul kenikmatan manusia, simpul kenikmatan lahir. Maling atau mencuri adalah sumber diperolehnya kenikmatan lahir bagi sebagian orang. Dengan mencuri mereka mendapatkan suntikan daya beli, dan dengan daya beli yang mereka miliki, mereka bisa melampiaskan keserakahan diri-nya dengan membeli bermacam-macam simbol-simbol kepitalisme. Kata maling juga telah mengalami eufemisme makna. Maling yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa bukan disebut maling tetapi korupsi bahkan ada lagi yang menyebut-nya kesalahan prosedur. Korupsi bukanlah kesalahan prosedur, tetapi korupsi adalah maling.
Mengapa maling? Tentulah banyak ragam motivasi, mulai dari motivasi untuk memenuhi kebutuhan perut, kebutuhan diatas perut bahkan kebutuhan “di bawah perut”. Sebuah keberagaman yang masuk akal. Tindakan maling tentunya akan diikuti dengan ber-bohong. Jika maling adalah striker dalam permainan sepakbola maka bohong adalah play maker-nya dan gol-nya adalah peningkatan daya beli (benar-benar hamba kapitalis yang serakah bin tamak).
Mo yang kedua adalah Moh Madon yaitu tidak mau ber-zina (lebih relevan disebut daripada diterjemahkan dengan main perempuan karena “bias gender” sebab seorang perempuan-pun bisa juga main laki-laki). Hal ini ada karena “ideologi bawah perut” merupakan “ideologi” yang paling purba dan belum menjadi sejarah (bahkan masih progresif membuat sejarah). Keinginan apa yang mendorong? Tentulah banyak hal. Muara-nya adalah kooptasi dan hegemoni nafsu yang distimulasi oleh produk-produk kapitalis yang anomie (tanpa norma) yang melahirkan gaya hidup hedonis. Tidak gaul rasa-nya jika tidak ber-pihak kepada produk-produk anomie itu. Semakin permisif-nya masyarakat terhadap gejala sakit sosial ini mendorong semakin subur-nya doktrinisasi “ideologi bawah perut” ini. Jadi?...................so what gitu loh?! Jangan “sok” ah kamu!!
Jika kita maknai Moh Madon dengan penafsiran yang diperluas (ekstensifikasi makna) maka melahirkan sebuah makna bahwa kita-pun harus bersikap tidak “melacurkan” prinsip akan kebenaran yang kita yakini. Artinya diperlukan sebuah kegigihan moral dan keberanian untuk selalu konsisten dengan prinsip yang kita yakini kebenaran-nya. Jika kita selalu pragmatis, maka sama artinya kita dengan melacurkan prinsip kita. Asalkan “di bayar maka pakailah saya” (do ut des). (sebagian sudut hati saya mencerca saya; kamu semakin sok bos!!)
Mo yang ketiga adalah Moh Ngombe yaitu tidak mau meminum minuman keras dan semacamnya. Moh Ngombe ini merupakan penghormatan terhadap akal sehat. Minum minuman keras merupakan keinginan untuk migrasi dari akal sehat menjadi akal tidak sehat (akal sakit), berarti mereka melecehkan akal sehat. Mabuk-mabuk-an ini bisa menjadi impetus (pendorong) orang melakukan kejahatan atau dengan bahasa yang lain dapat dikatakan bahwa keinginan untuk “mabuk” bisa memaksa orang berbuat kejahatan dan setelah “mabuk” orang bisa melakukan kejahatan. Sehingga, keresahan sosial bisa lahir jika terdapat komunitas pemabuk didalamnya.
Jika kita coba lagi untuk memaknai-nya secara lebih luas, maka kita akan menemukan makna bahwa jangan-lah kita gampang mabuk dan terbuai dengan seluruh atribut-atribut hedonisme kapitalisme. “Ojo Gumum-nan!”. Bagaimana tidak, setiap saat dan dalam setiap ruang kita selalu dibombardir dengan berondongan iklan-iklan yang datang tanpa ketuk pintu dan etika sama sekali. Petuah emak-saya; “Ojo Gampang Kepincut!”. Jika tidak sabar dan segera sadar, kita akan sepenuh-nya “mabuk”.
Moh yang ke-empat yaitu Moh Madat. Kita tidak mau terjebak dalam gaya hidup “madat”. Hampir sama dengan mabuk, kalau mabuk merupakan perubahan akal sehat menjadi akal sakit dengan cairan, maka sebaliknya, jika madat kita merubah akal sehat menjadi akal sakit dengan benda-benda padat (narkotika dan semacam-nya). Tidak ada yang lebih superior atau inferior antara mabuk dan madat, semuan-nya merupakan pelecehan terhadap akal sehat. Pertanyaan-nya, mengapa mereka ter-perangkap dalam “kecelakan sosial” semacam ini? Tentunya banyak hal yang menjadi motivasi-nya. Ada yang menyatakan ini merupakan ventilasi dari kepengapan hidup.
Moh yang ke-lima adalah Moh Main (tidak mau ber-judi). Saat ini begitu banyak jenis permaianan judi yang ada di masyarakat. Permaian judi disediakan oleh kapitalis sebagai salah satu bentuk akumulasi modal dan sebagai “timpat tidur” sosial bagi masyarakat pemimpi. Judi dan perjudian merupakan salah satu sebab terbentuknya masyarakat yang terus menerus menjadi pemimpi atau pemimpi abadi. Masyarakat yang gampang menyerah dan menjadi penunggu setia keajabaian, yang tidak selama-nya keajaibaban itu konsisten untuk datang. Jadi… jangan undi nasip kita dan jangan selalu amor fati (menunggu nasib) saja.
Gusti Dunya dan Gusti Allah
Jika kita sedikit ber-pretensi, kecenderungan tidak ber-Moh Limo ada karena masyarakat yang meng-hamba kepada Gusti “Dunya” (menuhankan harta benda/materialisme dengan segala warna produk turunan-nya) bukan gusti yang semesti-nya. Tetapi semua-nya adalah pilihan dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih ber-Moh Limo atau sebaliknya. Sebagai akhir marilah kita renungkan apa yang pernah dikatakan oleh Gede Prama bahwa “kebahagiaan tertinggi adalah saat kita mampu bersyukur meski kita hanya menjadi orang biasa”. Jika kita sudah demikian adanya, maka tidak perlu-lah kita ikut "imunilasi moral" lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar