Siang yang cerah. Setelah gagal mendapatkan 2 buku yang ingin kubeli di Wilis, aku pulang dan menyaksikan suguhan tinju di Global TV antara Roberto Cocco dengan Mads Larsen. Sebuah partai tambahan dalam big match antara Valuev vs Hollyfield. Saat Larsen mendaratkan upper cut-nya ke dagu Cocco, HP-ku berdering…
“Assalamu’alaikum… ini Kirun Cak!” tetangga kampung yang merantau di Jabar sebagai buruh pabrik.
“Waalaikum salam… Cak Kirun?!. Njanur gunung ada apa Cak?”
“Mau tanya, utang itu apa mesti ada jaminannya to?”
“Lho…, kok pertanyaannya njanur gunung sisan?!”
“Opo ora oleh to?!”
“Miturut hukum Cak, mesti ada. Entah itu jaminan khusus atau jaminan umum”.
“Kalau jaminan khusus?”
“Jaminan khusus itu harus ada harta yang khusus atau spesifik yang diserahkan, bisa fisiknya atau bukti kepemilikannya, kepada kreditur”.
“Kalau jaminan umum?”
“Jaminan umum itu, pada dasarnya adalah semua harta yang saat ini kita punyai atau harta yang akan kita miliki semuanya sebagai jaminan atas utang yang kita buat!”
“Kalau utang negarane peno iku, jaminane opo?!”
“Jaminane yo…. Masa depan rakyate Cak!”
“Kok iso ngono?!”
“Wis Cak! Tinjune rame, Cocco KO… nanti dilanjut!!”
“Cak Su… Cak… Hallo…”
????
Pergerakan ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global. Krisis tersebut telah membuat pasar keuangan kita mengalami volatilitas harga, volume dan nilai transaksi, demikian pula sektor riil lambat laun mulai digerogoti ketahanannya secara nyata. Berbagai langkah sudah diambil. Pemerintah, otoritas moneter dan pelaku bisnis telah mengantisipasi dampak buruknya. Proses antisipasi ini menimbulkan banyak dampak, baik dampak yang disengaja maupun dampak yang tidak diinginkan. Salah satu dampaknya adalah penyesuaian portofolio utang negara kita.
Meskipun saat ini tingkat inflasi mengalami penurunan, yang disebabkan oleh melambatnya perekonomian domestik akibat krisis dan penurunan harga komoditas internasional. Tetapi indikator makro lainnya menunjukkan gelagat kinerja yang memburuk. Pertumbuhan ekonomi telah mengalami perlambatan dan akan semakin signifikan pada tahun 2009, harga saham (IHSG) menurun dan depresiasi nilai tukar rupiah. (Tinjauan Kebijakan Moneter BI, Desember 2008).
Sebagai salah satu anggota portofoliio utang, data BI menyebutkan bahwa secara rata-rata, saat ini yield Surat Utang Negara (SUN) seluruh tenor rata-rata sebesar 15.17%. Artinya bahwa yield SUN mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Penurunan yield SUN merupakan berita baik bagi pemerintah, karena berarti cost of fund yang harus dibayarkan oleh pemerintah juga semakin rendah. Meskipun yield SUN turun, tetapi penurunan ini masih dalam batas wajar karena masih memberikan insentif kepada investor untuk tetap menanamkan dana di SUN dengan tingkat yield yang masih lebih tinggi dari earning yield saham, deposito dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Kinerja Pengelolaan Utang
Rasio utang, baik dalam bentuk Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan SUN, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan yang signifikan, yaitu dari 88% pada tahun 2000 menjadi 34.5% pada tahun 2008 (data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara). Sehingga selama 8 tahun, mengalami penurunan sebesar 53.5% atau 6.68% per tahun. Namun, rasio utang terhadap PDB yang menurun tidak serta merta diikuti oleh besaran absolut utang yang masih kita tanggung. Jika kita amati data dari Dirjen Pengelolaan Utang Negara, secara absolut, baik PLN maupun SUN nilai utang kita mengalami peningkatan. Tahun 2000, PLN kita sebesar Rp. 512 triliun dan SUN kita sebesar Rp. 652 triliun. Pada tahun 2008 (posisi 31 Oktober), PLN kita sebesar Rp. 683 triliyun dan SUN kita sebesar Rp. 923 triliyun. Sehingga total utang kita adalah sebesar Rp. 1.606 triliun.
Apa yang menarik dari parodoksal ini? Yaitu kontribusi depresiasi rupiah terhadap US$ signifikan terhadap membengkaknya nilai utang kita. Jika kita lihat data stok utang PLN dalam US$ sebenanrnya perkembangan utang relatif stabil dengan nilai rata-rata sebesar US$. 63.689.250.000. (bandingkan posisi stok utang PLN tahun 2008 yang sebesar US$. 62.103.000.000). Selain faktor depresiasi, paradoksal ini juga dikontribusikan oleh kenaikan PDB dan perkembangan portofolio utang dalam bentuk SUN yang ekspansif. Sehingga kinerja pengelolaan utang jika disimplifikasi tidak akan berarti banyak jika tidak ditunjang pula dengan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap valas. Otoritas moneter diperlukan untuk membantu menciptakan stabilitas ini.
Kondisi sebenarnya sudah diantisipasi dengan penerbitan SUN yang sebagian digunakan untuk revisi portofolio utang dalam arti menurunkan utang dalam bentuk PLN dengan harapan agar nilai utang tidak berfluktuasi seiring dengan fluktuasi nilai rupiah terhadap valas. Dan penerbitan SUN yang dilakukan dalam bentuk denominasi rupiah. Data menunjukkan bahwa 90% SUN diterbitkan dengan denominasi rupiah. (Dirjen Pengelolaan Utang Negara, Oktober 2008). Penerbitan SUN jenis ini tidak akan terpengaruh (baca: secara langsung) dengan risiko fluktuasi kurs (exchange rate risk).
Portofolio Utang Kita
Pada tahun 2008, proporsi utang dalam bentuk PLN sebesar 42.53% dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 57.47%. Perubahan komposisi portofolio dapat kita lihat jika kita perbandingankan dengan data komposisi tahun 2000, dimana utang dalam bentuk PLN sebesar 43.98% dan SBN sebesar 56.02%. Sehingga sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2008 utang dalam bentuk PLN telah mengalami penurunan sebesar 1.45% dan utang dalam bentuk SBN mengalami kenaikan sebesar 1.45% pula. Revisi portofolio utang yang tampak tidak signifikan!.
Menurut denominasi total utang (PLN dan SBN) yang kita miliki, komposisinya adalah sebagai berikut: utang dalam bentuk rupiah sebesar 49.8%, yen Jepang sebesar 19.9%, dolar AS sebesar 19.9%, euro sebesar 6% dan lainnya 4.5%. Dengan data ini kita melihat bahwa 50.2% stuktur utang kita masih didenominasi valas. Struktur ini memiliki kerentanan terhadap risiko kurs (exchange rate risk) yang besar. Depresiasi rupiah terhadap valas khususnya yen dan dollar AS akan berimplikasi terhadap kenaikan nilai utang.
Proporsi PLN berdasarkan kreditur adalah Jepang 44.3%, Asian Development Bank (ADB) 16%, Bank Dunia 12.7%, Jerman 5.1%, AS 4.1% dan lainnya 15.5%. Data ini menunjukkan bahwa Jepang merupakan kreditur utama yang kita miliki. Hampir separuh dari PLN kita diberikan oleh Jepang. Sebagai “saudara tua” terlihat bahwa Jepang relatif tidak terlalu melakukan intervensi terhadap Indonesia meskipun ia kreditur terbesar kita. Sehingga meskipun komposisi ini “agak mengkhawatirkan” tetapi relatif aman dari kemungkinan intervensi yang berlebihan. (kita pernah mengalaminya dengan IMF). Tetapi dalam perspektif diversifikasi, proporsi PLN terhdap Jepang yang tinggi menuntut pula untuk segera direvisi. Dan SUN diharapkan bisa menjadi media untuk mereduksi komposisi ini.
Berdasarkan jatuh tempo, dapat kita lihat data dari Dirjen Pengelolaan Utang Negara sebagai berikut: dengan posisi PLN saat ini, maka utang dalam denominasi GBP (Jerman) akan selesai pada tahun 2022, dolar AS tahun 2034, yen Jepang dan euro akan selesai pada tahun 2040. Artinya PLN kita akan habis saat Pak SBY berusia 91 tahun., dengan syarat tidak ada tambahan utang baru lagi. Jika kita mencermati kewajiban atas PLN yang harus kita tunaikan pada tahun 2009, maka kita akan memerlukan US$ 6.515.230.000 untuk mencicil (paid) utang yang kita miliki. Nilai sebesar itu tentunya akan menjadi beban bagi APBN kita terlebih dalam kondisi menghadapi dampak krisis keuangan global ini.
Strukur SBN sebagai berikut: berdasarkan tingkat bunga, 83% diterbitkan dengan bunga tetap (fixed rate) dan 17% dengan bunga mengambang (variable rate). Struktur ini haruslah diantisipasi dengan adanya fluktuasi tingkat bunga yang terjadi. Media untuk melakukan pembelian kembali melalui fasilitas repo dan sebagainya dapat dilakukan jika tingkat bunga sudah terlalu rendah dibandingan dengan tingkat bunga saat emisi. Berdasarkan mata uang, 90% dalam rupiah dan 10% dan mata uang asing. Struktur ini tampaknya akan bergeser dengan rencana pemerintah untukmenerbitkan surat utang untuk pasar internasional dan valas (global bond) dengan nilai US$ 4 miliar. Pergeseran ini pasti juga akan memperbesar exchange rate risk yang kemungkinan terjadi.
Masalah dan Rekomendasi yang Mengiringi
Utang pastilah menyisakan masalah. Masalah bisa timbul saat pengelolaan utang atau lahir saat masa pembayaran cicilan pokok (prinsipal paid) dan bunga. Dalam pengelolaan, kemungkinan timbul penyelewengan (fraud) juga potensial. Sehingga dalam tataran ini pengelolaanya harus diawasi dengan ketat. Masalahnya adalah Quis Custodiet Ipsos Custodes? Siapakah yang harus menjadi pengawas seorang pengawas?. Potensi masalah selanjutnya adalah portofolio yang berisiko terhadap risiko fluktuasi kurs (exchange rate risk). Risiko ini bisa diminumumkan dengan merubah struktur hutang dengan komposisi denominasi rupiah yang besar, salah satunya adalah dengan menerbitkan SBN denominasi rupiah yang digunakan untuk menggantikan proporsi utang dengan valas. Untuk itu langkah sosialisasi untuk ekstensifikasi investor SBN perlu lebih ditingkatkan. Program SUN: Goes to Campuss yang telah dijalankan oleh Dirjen Pengelolaan Utang Negara perlu lebih ditingkatkan lagi. Dan rencana penerbitan SUN dengan denominasi valas (global bond) sebesar US$ 4 miliar perlu ditinjau kembali. Jikapun tetap dilakukan manajemen lindung nilai (hedging) perlu dilakukan. Tidak kalah pentingnya adalah perlu dipikirkan bagaimana potensi ekonomi yang ada bisa digunakan sebagai sumber dana pembangunan internal sehingga tidak lagi kita bergantung pada utang.
Selagi merebahkan badan. Sis Kucing menelepon.
“Cak Su, utang negoro menurut sampeyan itu tidak benar!”
“Ndak benar gimana Sis?!”
“Itu hanya utang dalam arti sempit Cak!!”
“Sempit?! Sempit piye?!”
“Lha… negara kan juga punya banyak utang pada rakyatnya!”
“Maksudmu??”
“Utang itu kewajiban to?!”
“He eh!”
“Akeh kewajibane negoro marang rakyate yang belum dibayarkan!!”
“Terus?!”
“Terus, peringatan kanggo sampeyan! Yen nulis sing bener!!!”
???
(Saya jadi teringat salah satu dialog lakon “Tumpeng Maut” dalam ludruk banyolan Kartolo di radio.
Kartolo: “Ri… Sapari, Lek koen duwe utang… gampang! Bukaan buku halaman sepuluh!”
Sapari: “Opo iku Lo..?!”
Kartolo: “Lek utangmu wis akeh…. Ndang mlayu..o!!!”)
Minggu, Desember 21, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar