Paradigma Investasi Memotret Perilaku Akademisi
Sosok Pak Sanimin, guruku SD disalah satu SD Inpres di Malang Selatan, merupakan sosok yang sulit terlupakan. Dalam pendidikan formal, beliau-lah guru saya yang pertama. (tentang wafat-nya Pak Sanimin pernah saya tulis di weblog ini). Suatu hari, dalam pelajaran Kesenian, beliau pernah menyuruh saya dan teman-teman sekelas untuk mengambar sederhana dengan cara N-G-E-B-L-A-D.
"Bocah-bocah! Sekarang ayo kita menggambar!"
"Hore….. menggambar apa Pak?!"
"Ayo kita bikin uang!"
"Hore….. hore….. Kita bikin uang!!" teriak teman sekelas serempak kegirangan.
Dalam persepsi saya saat itu, begitu "uenak-nya" bisa bikin uang sendiri. Hore!!
"Kita sekarang membuat uang dengan cara sederhana, yaitu N-G-E-B-L-A-D!!, ambil uang logam seratus perak!"
Kami semua sibuk mencari-cari uang di saku kami. Ada yang menemukan uang seratusan, lima puluhan, dua puluh lima-an dan sepuluh-an.
"Pak Guru, saya cuma punya uang sepuluh rupiah saja?! Boleh Pak?!"
"Boleh!… tidak apa-apa!"
"Letakkan uang dimeja dan taruh kertas putih diatasnya!"
"Sudah Pak!"
"Terus arsir uang itu dengan pensil!"
"Hore… aku punya uang!! Aku bisa bikin uang!! Hore!! Hore…!"
Begitu senangnya, terlebih saat kami mulai mengunting "uang" itu.
"Hore… cuma N-G-E-B-L-A-D dapat uang!! Hore!!! Hore!!!
????
Winfall dan Wipe Out merupakan dua istilah yang sering dipakai dalam dunia investasi di pasar keuangan. Winfall adalah keuntungan tiba-tiba atau keuntungan yang tidak terduga yang diterima oleh investor atas instrumen keuangan yang telah dibelinya (unexpected profit). Sedangkan Wipe Out ialah kondisi dimana investor mengalami kerugian yang tidak terkira besarnya (unexpected loss). Kedua istilah ini, tampaknya relevan secara konteks jika digunakan untuk memotret perilaku sedikit akademisi kita.
Salah satu tugas dalam tri dharma seorang akademisi adalah melakukan penelitian. Pemerintah telah memfasilitasi dana bagi akademisi untuk melakukan dharma bhaktinya ini. Pada tahun 2009 telah dianggarkan dana sebesar Rp.1.2 triliun bagi kegiatan penelitian dalam bentuk hibah kompetitif penelitian.(Kompas, 13/12). Dana yang relatif besar ini akan digunakan untuk membiayai penelitian sebanyak 10.000 proposal penelitian yang sesuai dengan agenda riset nasional.
Dana yang besar ini merupakan insentif bagi akademisi untuk berkarya secara kreatif dan berkontribusi dalam pencarian solusi bangsa melalui penelitian. Penyikapan terhadap besaran dana ini oleh setiap akademisi tentulah beragam. Ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan peluang ekonomi-finansial yang menggiurkan dan ada pula yang berpendapat ini merupakan kesempatan untuk mencari jawab atas intellectual curiosity-nya. Dalam tataran praktis, sinergi atas dua penyikapan itu adalah kondisi yang mayoritas. (maaf, hanya justifikasi subjektif penulis). Tetapi sinergi ini adalah wajar dan sah jika dilandasi oleh etika akademik, norma dan perundangan-undangan yang berlaku.
Akses dana hibah kompetitif penelitian jika dipandang sebagai "oase pendapatan semata" tanpa memedulikan etika akademik, norma dan perundang-undangan kemungkinan akan berimplikasi terjadinya kecurangan (fraud) dalam proses diawal sampai diakhir. Benturan antara dorongan konsumsi dan dorongan ke-ingintahu-an intelektual peneliti, jika tidak dikelola dengan bijak akan menimbulkan masalah, bagi dirinya maupun institusinya. Besarnya dorongan komsumsi (financial driven) yang melatari akademisi melakukan penelitian merupakan ancaman bagi integritas, kredibilitas dan profesionalitas akademisi.
Technically Strong Market
Merupakan istilah investasi untuk menyebut sebuah kondisi dimana pasar keuangan mengalami peningkatan volume perdagangan yang tinggi disertai dengan peningkatan harga instrumen keuangan. Jika istilah ini direfleksikan dalam konteks bahasan ini maka kondisi yang technically strong market merupakan kondisi dimana terdapat peningkatan proposal penelitian yang diajukan oleh akademisi dan disertai dengan peningkatan kualitas usulan, baik kualitas substansial maupun kualitas setiap tahapan proses yang dijalankan. Kondisi ini merupakan situasi yang ideal!. Untuk membangun kondisi ideal ini dapat terwujud memang diperlukan langkah-langkah strategis bagi seluruh stakeholder pendidikan tinggi.
Technically Weak Market
Merupakan istilah investasi untuk menyebut sebuah kondisi dimana pasar keuangan mengalami peningkatan volume perdagangan yang tinggi tetapi disertai dengan penurunan harga instrumen keuangan. Makna ini jika dipinjam dalam konteks bahasan kita adalah sebuah kondisi dimana antusias akademisi untuk mengajukan proposal penelitian tinggi tetapi tidak didukung dengan kualitas yang baik pula, baik substansial maupun non-substansial. Kondisi ini merupakan kondisi yang harus segera mendapatkan porsi kebijakan pembenahan. Karena kalau tidak maka akan memiliki dampak yang signifikan bagi integritas, kredibilitas dan profesionalitas akademisi dan institusi-nya.
Forgery dan Dinamiter Akademisi
Kedua istilah ini juga merupakan istilah yang terdapat dalam dunia investasi. Forgery atau pemalsuan adalah istilah untuk menyebut investor yang mengubah dokumen atau tanda tangan dengan tujuan memalsukan dan merugikan orang lain. Proposal penelitian yang didorong oleh semata karena dorongan komsumsi (financial driven) akan membuka peluang bagi akademisi untuk melakukan forgery ini. Tindakan itu merupakan sebuah tindakan yang tidak akademis bahkan sudah masuk kualifikasi kriminal. Untuk itu langkah tegas perlu dilakukan bagi otoritas yang berwenang. Otoritas harus proaktif menyikapinya tanpa harus menunggu pengaduan/laporan dari pihak yang dirugikan. Jika otoritas hanya bersifat reaktif, maka nuansa terlambat akan sangat terasa. Apakah tindakan forgery ini riil ada disekitar kita? Andapun pasti tahu jawabannya!.
Dinamiter adalah sitilah untuk menunjuk pialang yang sengaja menjual instrumen keuangan yang tidak terdaftar di Bapepam-LK. Dinamiter inipun sering dimaknai sebagai P-E-N-I-P-U. Tidakkah masuk kualifikasi penipuan jika seorang akademisi yang melakukan penelitian telah melakukan pemalsuan dokumen dan mengakui secara legal bahwa karya orang lain sebagai karyanya sendiri? Pastilah semua sepakat dia PENIPU. Dalam perspektif normatif, jika tidak ada orang lain yang merasa (baca: tidak tahu telah ditipu!) maka sebenarnya ia adalah PENIPU bagi dirinya sendiri. Jika sifat seperti dinamiter ini telah meracuni akademisi maka hal itu bukan berada dalam tataran etika akademik lagi, tetapi sudah dalam tataran yuridiksi hukum. Apakah tidakan dinamiter ini riil ada disekitar kita? Andapun pasti dengan lantang akan menjawabnya.
Winfall VS Wipe Out
Tindakan forgery dan dinamiter tadi yang sangat mungkin telah dilakukan oleh sebagian kecil akademisi akan menimbulkan dampak negatif bagi institusi dan diri akademisi itu sendiri. Tetapi dalam tataran praktis ada dua kemungkinan kondisi yang mungkin muncul atas perilaku itu, yaitu winfall dan wipe out. Dua kondisi yang bertolak belakang, dengan kesamaan dalam proses yang tidak memedulikan integritas, kredibilitas dan profesionalitas akademisi serta melalaikan etika akademik, norma dan perundang-undangan yang berlaku.
Winfall
Jika tindakan forgery dan dinamiter yang telah ia lakukan tidak diketahui, maka akan lahirlah kondisi dimana ia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar secara ekonomi-finansial. Tanpa pengorbanan (tidak banyak mengeluarkan faktor produksi) ia akan memperoleh keuntungan yang besar, tidak terkira dan tidak terduga-duga. Kondisi inilah yang disebut dengan winfall profit. Pemalsuan dan penipun merupakan faktor produksi dominan yang ia pergunakan untuk memperoleh keuntungan itu. Kondisi winfall yang sering ia dapatkan dengan cara forgery dan dinamiter, tentunya akan secara kausalitas akan terus menerus ia lakukan dengan berbagai media yang lain. Untuk itu, otoritas harus bersikap tegas. Bagaimanapun juga jika kondisi ini dibiarkan akan menjadi preseden yang tidak baik!
Wipe Out
Kondisi ini merupakan kondisi terbalik dari winfall. Jika tindakan forgery dan dinamiter itu ketahuan, maka akan lahir kondisi dimana akademisi yang tuna integritas, kredibilitas dan profesionalitas itu akan terjerambab jatuh dalam sekejab. Habislah semua! Dalam dunia investasi juga ada istilah "Fallen Angel" yaitu harga saham perusahaan yang bonafide dan terkenal langsung anjlok sampai ke dasar jurang!. Habislah semua! Malaikat-pun jatuh!! Batu-bata yang disusun satu demi satu dan ketika sudah akan selesai, bangunannya roboh! Tragis! dan Memilukan!!.
Kita pilih yang mana? Winfall atau Wipe Out? Terserah anda semua memilih…
Alex Ferguson yang sudah puluhan tahun melatih Manchester United (MU) pernah mengatakan "There is No Bigger Power Than Hope". Mari kita memantik harapan agar kita tidak pernah mengalami Wipe Out dan tidak berperilaku yang tak memedulikan etika akademik, norma dan perundang-undangan dan menyalakan harapan agar kita dapat selalu berada dalam track akademisi yang ber-integritas, punya kredibilitas dan profesionalitas. Semoga!! Sekali lagi "There is No Bigger Than Hope". Entahlah…. Jika masih ada yang berharap….. "Tidak Ketahuan" F-O-R-G-E-R-Y dan D-I-N-A-M-I-T-E-R-nya!! Pilihan selalu menuntut konsekuensi kawan!!! Spekulasi selalu berisiko!!!
Setelah pensiun, Pak Sanimin membantu istrinya yang berjualan rujak cingur persis di selatan Pom Bensin di daerah Bantur Malang Selatan (sampai saat ini masih ada, jika anda wisata ke Balaikambang, silahkan mampir!!). Ketika aku mengunjunginya, teringat rentetan nasehat yang terlontar dari beliau.
"Kerjo sing ati-ati Su!"
"Inggih Pak"
"Ojo ngrusa-ngrusu!"
"Inggih Pak"
"Sing sregeb lan tekun!"
"Inggih Pak"
"Ojo iri drengki marang liyan!"
"Inggih Pak"
"Ojo seneng nggethung rejekine liyan!"
"Inggih Pak"
"Ojo gumunan!"
"Inggih Pak"
"Ojo sombong lan angkuh marang liyan!"
"Inggih Pak"
"Sing sopan lan andhap asor!"
"Inggih Pak"
"Sing iso menehi tulodho marang murid!"
"Inggih Pak"
"Ojo rokok-an!"
"Ing….. insya allah Pak!"
Mungkin jika Pak Sanimin tahu, beliau pasti menasehati:
"Ojo N-G-E-B-L-A-D karyane liyan!"
"Ing….. insya allah Pak!"
(Ketika tulisan ini kuceritakan pada Lik Mo, komentarnya cuma satu, nylekit sisan, OJO SOK KOEN CAK!!! URIP IKU AKEH GAK MESTHINE!!)
????
Sabtu, Desember 27, 2008
Menyambut Annus Horribilis 2009
Joglo Dau merupakan sebuah tempat makan yang nyaman di Malang. Ia tidak hanya menawarkan makanan aneka macam tetapi juga keasrian dan keanggunan bangunan. Libur Natal ini, saya berkesempatan mengunjunginya. Sebuah pemenuhan atas undangan yang disampaikan oleh seorang kolega kantor. Tiga belas kolega kantor yang lain juga berkesempatan menghadiri undangan itu. Obrolan-pun meluncur seperti jet coaster, turun naik, ke kanan ke kiri, ke atas ke bawah, curam landai .... mendebarkan... menyenangkan!
Ditengah laju jet coaster obrolan, aku teringat kejadian saat Lik Mo kuajak makan di Joglo Dau ini, beberapa waktu yang lalu.
"Cak Su, wong sugih iku pancen nganeh-nganehi tenan!" katanya.
"Nganeh-nganehi, bagaimana to Lik?"
"Lihat itu! Ternyata orang kaya kalau makan itu tidak hanya butuh wareg!"
"Kok iso?!"
"Wareg kethoke nomer tujuh belas, mereka butuh pengakuan!"
"Pengakuan apa to Lik, sing aneh itu ya sampeyan itu, bukan mereka!"
"Mangan itu butuhe kan mung wareg to Cak?!"
"Ora Lik… wis beda sekarang!,apa yang dimakan, cara makan, tempat makan dan dengan siapa mereka makan, terkadang bisa menentukan siapa sebenarnya mereka!"
"Lha.. itu anehnya!"
"Ora aneh Lik!"
"Sampeyan itu mbingungi Cak, jan mbingungi!! Sak jane atine sampeyan iku setuju dengan pendapatku, tapi sampeyan isin!, malu!!. Mosok dosen kok nyetujoni pendapat wong goblok!!, atine sampeyan wis keno santet sombong Cak!!"
"Wis Lik, gak usah ngajak geger!"
"Ojo dumeh Cak Su, ojo dumeh!!!, urip iku akeh gak mestine timbang mestine!!!"
????
Ketidakpastian itu mahal. Tahun 2009 merupakan tahun yang penuh ketidakpastian. Imbas krisis yang semakin mengganas serta skedul politik berupa pemilu legislatif dan pemilu presiden semakin memperlebar ketakpastian itu. Kondisi ketidakpastian itu harus dihadapi dengan modal yang saat ini kita punya. Dalam bidang ekonomi, kondisi ekonomi 2008 merupakan base line untuk menyongsong tahun 2009 dengan segala macam tantangan dan peluang yang menyertainya. Annus Horribilis, tahun yang menyeramkan!!.
Kemanakah kita menempatkan diri kita? Dalam "gelas" optimis atau "kubangan" pesimis. Salah seorang investor ternama AS pernah mengatakan bahwa optimisme itu selalu dibutuhkan untuk menciptakan peluang. Katanya "Opportunity is optimism with a plan creatively applied to the future". Sehingga untuk menyambut tahun yang penuh dengan ketidakpastian ini dibutuhkan optimisme dengan rencana kreatif untuk mengatasinya. Tidak hanya sekedar optimis tetapi juga harus kreatif menyusun rencana dan harus pula kreatif meng-implementasi-kan rencana. Disinilah peluang itu akan lahir.
Tahun 2009, setidaknya kondisi ekonomi kita akan menghadapi 3 tantangan yang berasal dari imbas krisis keuangan global, yaitu Pertama, penurunan investasi langsung/FDI (foreign direct investment). Penurunan FDI ini disebabkan oleh kelangkaan likuiditas di pasar keuangan dunia, infrastuktur investasi kita yang belum maksimal mendukung, perlambatan ekonomi dunia dan ekspektasi investor yang (masih) negatif. Hal ini diperparah pula dengan agenda politik, pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kedua, permintaan eksternal yang menurun. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia menyebabkan kuantitas barang/jasa yang bisa diserap oleh pasar dunia juga mengalami penurunan. Sehingga volume ekspor kita juga mengalami penurunan. Disisi lain, disamping volume ekspor yang menurun, nilai ekspor juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi penurunan harga-harga komoditas ekspor. Penurunan yang disebabkan oleh adanya excess supply di pasar internasional atas barang/jasa yang ditawarkan. Ketiga, penurunan daya beli (purchasing power) masyarakat. Daya beli yang menurun ini, bukan semata disebabkan oleh inflasi (karena inlasi sudah relatif menurun) tetapi lebih disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat. Bagaimana pendapatan tidak turun, jika ekonomi berjalan lambat dan besar kemungkinan akan ada PHK massal yang bakal terjadi. Beragam tantangan yang kompleks!.
Struktur APBN 2009
Wacana pemerintah dan DPR untuk segera merubah asumsi makro ekonomi dalam APBN 2009, perlu untuk segera dilakukan. Perubahan asumsi yang lebih realistis akan memberikan dampak terhadap kepercayaan dan keyakinan pelaku-pelaku ekonomi. Kepercayaaan dan keyakinan itu bisa dibentuk dengan persepsi, dan sebuah persepsi dalam bidang investasi bersifat "more powerfull than reality".
Jika menenggok struktur APBN 2009, besaran defisit APBN adalah sebesar 1% dari PDB (Produk Domestik Bruto) atau senilai Rp. 51 triliun. Kebijakan memperlebar atau mempersempit defisit akan mempengaruhi aktivitas ekonomi keseluruhan. Secara teori dikatakan bahwa dalam kondisi dimana kinerja pertumbuhan ekonomi menurun/melambat maka kebijakan defisit anggaran yang besar merupakan insentif yang baik. Tampaknya kebijakan untuk memperlebar defisit ini akan akan dilakukan oleh pemerintah dengan syarat, defisit yang besar itu dapat mengenjot pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan tarah hidup masyarakat serta tidak meningkatkan pengeluaran konsumtif masyarakat. (Kontan, 26/12).
Bagaimana defisit 1% (dari PDB) itu bisa terjadi? Dalam APBN 2009 disebutkan bahwa total belanja negara adalah sebesar Rp. 1.037 triliun. Sedangkan pendapatan negara "hanya" sebesar Rp. 985.72 trilun, dan dari jumlah ini yang dikontribusikan oleh penerimaan pajak sebesar Rp. 725.84 triliun atau sebesar 73.63%. Pajak masih merupakan primadona pos penerimaan negara. Target sebesar itu, tentunya, akan dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dengan mempertimbangkan kepentingan aktivitas investasi dan ekonomi secara umum.
Selanjutnya, bagaimana defisit ini bisa di-tambal? Sebenarnya terdapat 2 hal yang bisa dilakukan untuk menutup defisit APBN, yaitu: penghematan belanja APBN dan mencukupi belanja APBN dengan hutang. Jika alternatif pertama yang dipilih akan menimbulkan dampak yang kontra-produktif bagi aktivitas ekonomi. Ditengah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan maka sulit ditemukan stimulus ekonomi baru selain defisit APBN. Sehingga penghematan APBN merupakan pilihan yang tidak cocok dengan situasi saat ini. Maka kebijakan memperbesar belanja dengan hutang adalah solusi yang mampu memberikan stimulus ekonomi dalam kondisi saat ini.
Meskipun demikian, pengawasan atas penggunaan anggaran agar tepat sasaran perlu dilakukan. Hal ini untuk mendorong tercapainya kebijakan defisit sebagai salah satu stimulus aktivitas ekonomi. Pemerintah saat ini tengah menjajaki utang sebesar US $ 6 miliar (setara dengan Rp. 72 triliun dengan kurs Rp. 12.000/US $) dari ADB (Asian Development Bank, Jepang, Perancis dan Australia). Disamping telah tercapai komitmen dengan Bank Dunia dalam bentuk utang yang bersifat stanbyloan. Itulah harga yang harus dibayarkan untuk stimulus pertumbuhan ekonomi kita saat ini.
Inflasi, Kurs Rupiah dan BI Rate
Inflasi dan kurs rupiah terhadap mata uang asing keberadaannya ditentukan oleh mekanisme pasar. Artinya bahwa interaksi pasar dalam koridor "Hukum Permintaan dan Penawaran" terhadap barang dan jasa akan menentukan tingkat inflasi, dan interaksi pasar dalam koridor "Hukum Permintaan dan Penawaran" terhadap uang rupiah dan valas akan menentukan tingkat kurs rupiah terhadap valas. Interaksi ini bisa diredam dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara konvergen.
Sedangkan BI Rate, nilainya bersifat given dari sebuah kebijakan bank sentral sebagai hasil keputusan RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI. Nilai yang given ini ditentukan setelah melihat kondisi dan kebutuhan ekonomi saat itu. Bi Rate sebagai salah satu kebijakan moneter dapat mempengaruhi besaran nilai inflasi dan kurs rupiah terhadap valas.
Bagaimana kondisi inflasi, kurs rupiah dan BI Rate saat ini? Mampukan sebagai modal yang bermakna positif dalam menyambut sengkarut ekonomi tahun 2009?
Inflasi telah mengalami penurunan yang relatif signifikan. Penurunan ini merupakan signal yang baik bagi perekonomian. Dengan adanya penurunan inflasi maka masyarakat dengan penghasilan tetap atau investor yang menanamkan dana pada instrumen berpendapatan tetap nilai uang atau daya beli uang (purchasing power)-nya tidak mengalami penurunan. Penurunan inflasi kali ini lebih disebabkan oleh pengaruh perlambatan ekonomi dan turunnya beberapa harga komoditas (misal: minyak!). Meskipun besaran inflasi melebihi level 1 digit (10%) pada tahun 2008, diperkirakan angka itu akan menurun dan berada dalam rentang 1 digit (dibawah 10%) pada tahun 2009. Kondisi ini adalah modal yang baik.
Kurs Rupiah tetap berfluktuasi tetapi secara moderat pergerakannya berada pada kisaran Rp. 11.000/US $. Stabililisasi kurs rupiah relatif lebih diperlukan daripada sekesar apresiasi. Dalam tataran teknis, stabilisasi kurs rupiah menyebabkan mudahnya membuat perencanaan dan proyeksi bagi para pelaku ekonomi. Dan dalam tataran substansi stabilisasi akan mempersempit ruang gerak spekulasi, insentif bagi aktivitas ekspor karena produk kita relatif "murah" dengan kondisi kurs mata uang yang lemah dan secara tidak langsung akan membatasi komsumsi terhadap barang-barang impor. Penekanan pada aspek stabilisasi merupakan sebuah keniscayaan.
Dengan paparan sederhana diatas, tampaknya tahun 2009 tidaklah sepenuhnya gelap. Tergantung bagaimana menyalakan cahaya, karena sumber cahaya tidaklah tiada. Tetapi ada pada diri kita. Dan tentunya, memilih cahaya yang tidak mengerahkan dan membakar merupakan kebijakan bijak yang harus dilakukan. Tidak sekedar cahaya yang spekulatif dan berisiko. Jika cahaya tidak menyala, maka teriaklah "T-O-L-O-N-G.... T-O-L-O-N-G !!! Itulah prinsip dasar dari sebuah penyelamatan diri. Akankah kita meminta "ditolong" IMF lagi? Ataukah kita mampu menolong diri kita sendiri. Nyalakan cahaya!!
Setelah kejadian "gegeran" antara aku dan Lik Mo di Joglo Dau beberapa waktu yang lalu. Lik Mo kembali menelepon.
"Assalamu’alaikum Cak Su!"
"Waalaikum salam Lik, ada apa Lik?!"
"Cak Su!, tahun 2009 mesti ajur!"
"Lho...piye to sampeyan ini Lik. Katanya urip iku akeh gas mestine timbang mestine?!"
"Nesu... Purik yo?! Gimana dosen kok purik-an!!"
"Ancen!!".
"Tahun 2009 iku Cak, gawat!! Krisis dan pemilu sisan!"
"Terus?!"
"Menurut sampeyan Cak, pemimpin yang cocok untuk tahun 2009 itu yang Laku Hambeging Candra atau Laku Hambeging Dahana?"
"Opo iku Lik?"
"Kalau Laku Hambeging Candra itu maksudnya pemimpin itu harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan, bersinar terang benderang namun tidak panas!"
"Kalau Laku Hambeging Dahana, iku piye?"
"Laku Hambeging Dahana itu maknanya pemimpin itu harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun pertimbanganya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak membawa kerusakan di bumi!"
"Lha... lapo sampeyan ngurus pemimpin Lik! Katanya G-O-L-P-U-T!!"
"Nesu...! Purik ...!! Nesu...!! Ora njamani Cak, ono dosen kok purik-an, nesu-an!!, urip iku sing Amemangun Karyenak Tyasing Sesama".
"Opo maneh iku?!"
"Membuat orang lain senang lewat tutur kata, senyum manis, salam hormat, sopan santun, andhap asor dan entengan!!"
"Gayamu Lik... mbagusi!!"
???
(Catatan: arti Laku Hambeging Candra, Laku Hambeging Dahana dan Amemangun Karyenak Tyasing Sesama diambil dalam Javanese Encyclopedia di www.putripandanwangi.blogpot.com).
Ditengah laju jet coaster obrolan, aku teringat kejadian saat Lik Mo kuajak makan di Joglo Dau ini, beberapa waktu yang lalu.
"Cak Su, wong sugih iku pancen nganeh-nganehi tenan!" katanya.
"Nganeh-nganehi, bagaimana to Lik?"
"Lihat itu! Ternyata orang kaya kalau makan itu tidak hanya butuh wareg!"
"Kok iso?!"
"Wareg kethoke nomer tujuh belas, mereka butuh pengakuan!"
"Pengakuan apa to Lik, sing aneh itu ya sampeyan itu, bukan mereka!"
"Mangan itu butuhe kan mung wareg to Cak?!"
"Ora Lik… wis beda sekarang!,apa yang dimakan, cara makan, tempat makan dan dengan siapa mereka makan, terkadang bisa menentukan siapa sebenarnya mereka!"
"Lha.. itu anehnya!"
"Ora aneh Lik!"
"Sampeyan itu mbingungi Cak, jan mbingungi!! Sak jane atine sampeyan iku setuju dengan pendapatku, tapi sampeyan isin!, malu!!. Mosok dosen kok nyetujoni pendapat wong goblok!!, atine sampeyan wis keno santet sombong Cak!!"
"Wis Lik, gak usah ngajak geger!"
"Ojo dumeh Cak Su, ojo dumeh!!!, urip iku akeh gak mestine timbang mestine!!!"
????
Ketidakpastian itu mahal. Tahun 2009 merupakan tahun yang penuh ketidakpastian. Imbas krisis yang semakin mengganas serta skedul politik berupa pemilu legislatif dan pemilu presiden semakin memperlebar ketakpastian itu. Kondisi ketidakpastian itu harus dihadapi dengan modal yang saat ini kita punya. Dalam bidang ekonomi, kondisi ekonomi 2008 merupakan base line untuk menyongsong tahun 2009 dengan segala macam tantangan dan peluang yang menyertainya. Annus Horribilis, tahun yang menyeramkan!!.
Kemanakah kita menempatkan diri kita? Dalam "gelas" optimis atau "kubangan" pesimis. Salah seorang investor ternama AS pernah mengatakan bahwa optimisme itu selalu dibutuhkan untuk menciptakan peluang. Katanya "Opportunity is optimism with a plan creatively applied to the future". Sehingga untuk menyambut tahun yang penuh dengan ketidakpastian ini dibutuhkan optimisme dengan rencana kreatif untuk mengatasinya. Tidak hanya sekedar optimis tetapi juga harus kreatif menyusun rencana dan harus pula kreatif meng-implementasi-kan rencana. Disinilah peluang itu akan lahir.
Tahun 2009, setidaknya kondisi ekonomi kita akan menghadapi 3 tantangan yang berasal dari imbas krisis keuangan global, yaitu Pertama, penurunan investasi langsung/FDI (foreign direct investment). Penurunan FDI ini disebabkan oleh kelangkaan likuiditas di pasar keuangan dunia, infrastuktur investasi kita yang belum maksimal mendukung, perlambatan ekonomi dunia dan ekspektasi investor yang (masih) negatif. Hal ini diperparah pula dengan agenda politik, pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kedua, permintaan eksternal yang menurun. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia menyebabkan kuantitas barang/jasa yang bisa diserap oleh pasar dunia juga mengalami penurunan. Sehingga volume ekspor kita juga mengalami penurunan. Disisi lain, disamping volume ekspor yang menurun, nilai ekspor juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi penurunan harga-harga komoditas ekspor. Penurunan yang disebabkan oleh adanya excess supply di pasar internasional atas barang/jasa yang ditawarkan. Ketiga, penurunan daya beli (purchasing power) masyarakat. Daya beli yang menurun ini, bukan semata disebabkan oleh inflasi (karena inlasi sudah relatif menurun) tetapi lebih disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat. Bagaimana pendapatan tidak turun, jika ekonomi berjalan lambat dan besar kemungkinan akan ada PHK massal yang bakal terjadi. Beragam tantangan yang kompleks!.
Struktur APBN 2009
Wacana pemerintah dan DPR untuk segera merubah asumsi makro ekonomi dalam APBN 2009, perlu untuk segera dilakukan. Perubahan asumsi yang lebih realistis akan memberikan dampak terhadap kepercayaan dan keyakinan pelaku-pelaku ekonomi. Kepercayaaan dan keyakinan itu bisa dibentuk dengan persepsi, dan sebuah persepsi dalam bidang investasi bersifat "more powerfull than reality".
Jika menenggok struktur APBN 2009, besaran defisit APBN adalah sebesar 1% dari PDB (Produk Domestik Bruto) atau senilai Rp. 51 triliun. Kebijakan memperlebar atau mempersempit defisit akan mempengaruhi aktivitas ekonomi keseluruhan. Secara teori dikatakan bahwa dalam kondisi dimana kinerja pertumbuhan ekonomi menurun/melambat maka kebijakan defisit anggaran yang besar merupakan insentif yang baik. Tampaknya kebijakan untuk memperlebar defisit ini akan akan dilakukan oleh pemerintah dengan syarat, defisit yang besar itu dapat mengenjot pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan tarah hidup masyarakat serta tidak meningkatkan pengeluaran konsumtif masyarakat. (Kontan, 26/12).
Bagaimana defisit 1% (dari PDB) itu bisa terjadi? Dalam APBN 2009 disebutkan bahwa total belanja negara adalah sebesar Rp. 1.037 triliun. Sedangkan pendapatan negara "hanya" sebesar Rp. 985.72 trilun, dan dari jumlah ini yang dikontribusikan oleh penerimaan pajak sebesar Rp. 725.84 triliun atau sebesar 73.63%. Pajak masih merupakan primadona pos penerimaan negara. Target sebesar itu, tentunya, akan dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dengan mempertimbangkan kepentingan aktivitas investasi dan ekonomi secara umum.
Selanjutnya, bagaimana defisit ini bisa di-tambal? Sebenarnya terdapat 2 hal yang bisa dilakukan untuk menutup defisit APBN, yaitu: penghematan belanja APBN dan mencukupi belanja APBN dengan hutang. Jika alternatif pertama yang dipilih akan menimbulkan dampak yang kontra-produktif bagi aktivitas ekonomi. Ditengah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan maka sulit ditemukan stimulus ekonomi baru selain defisit APBN. Sehingga penghematan APBN merupakan pilihan yang tidak cocok dengan situasi saat ini. Maka kebijakan memperbesar belanja dengan hutang adalah solusi yang mampu memberikan stimulus ekonomi dalam kondisi saat ini.
Meskipun demikian, pengawasan atas penggunaan anggaran agar tepat sasaran perlu dilakukan. Hal ini untuk mendorong tercapainya kebijakan defisit sebagai salah satu stimulus aktivitas ekonomi. Pemerintah saat ini tengah menjajaki utang sebesar US $ 6 miliar (setara dengan Rp. 72 triliun dengan kurs Rp. 12.000/US $) dari ADB (Asian Development Bank, Jepang, Perancis dan Australia). Disamping telah tercapai komitmen dengan Bank Dunia dalam bentuk utang yang bersifat stanbyloan. Itulah harga yang harus dibayarkan untuk stimulus pertumbuhan ekonomi kita saat ini.
Inflasi, Kurs Rupiah dan BI Rate
Inflasi dan kurs rupiah terhadap mata uang asing keberadaannya ditentukan oleh mekanisme pasar. Artinya bahwa interaksi pasar dalam koridor "Hukum Permintaan dan Penawaran" terhadap barang dan jasa akan menentukan tingkat inflasi, dan interaksi pasar dalam koridor "Hukum Permintaan dan Penawaran" terhadap uang rupiah dan valas akan menentukan tingkat kurs rupiah terhadap valas. Interaksi ini bisa diredam dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara konvergen.
Sedangkan BI Rate, nilainya bersifat given dari sebuah kebijakan bank sentral sebagai hasil keputusan RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI. Nilai yang given ini ditentukan setelah melihat kondisi dan kebutuhan ekonomi saat itu. Bi Rate sebagai salah satu kebijakan moneter dapat mempengaruhi besaran nilai inflasi dan kurs rupiah terhadap valas.
Bagaimana kondisi inflasi, kurs rupiah dan BI Rate saat ini? Mampukan sebagai modal yang bermakna positif dalam menyambut sengkarut ekonomi tahun 2009?
Inflasi telah mengalami penurunan yang relatif signifikan. Penurunan ini merupakan signal yang baik bagi perekonomian. Dengan adanya penurunan inflasi maka masyarakat dengan penghasilan tetap atau investor yang menanamkan dana pada instrumen berpendapatan tetap nilai uang atau daya beli uang (purchasing power)-nya tidak mengalami penurunan. Penurunan inflasi kali ini lebih disebabkan oleh pengaruh perlambatan ekonomi dan turunnya beberapa harga komoditas (misal: minyak!). Meskipun besaran inflasi melebihi level 1 digit (10%) pada tahun 2008, diperkirakan angka itu akan menurun dan berada dalam rentang 1 digit (dibawah 10%) pada tahun 2009. Kondisi ini adalah modal yang baik.
Kurs Rupiah tetap berfluktuasi tetapi secara moderat pergerakannya berada pada kisaran Rp. 11.000/US $. Stabililisasi kurs rupiah relatif lebih diperlukan daripada sekesar apresiasi. Dalam tataran teknis, stabilisasi kurs rupiah menyebabkan mudahnya membuat perencanaan dan proyeksi bagi para pelaku ekonomi. Dan dalam tataran substansi stabilisasi akan mempersempit ruang gerak spekulasi, insentif bagi aktivitas ekspor karena produk kita relatif "murah" dengan kondisi kurs mata uang yang lemah dan secara tidak langsung akan membatasi komsumsi terhadap barang-barang impor. Penekanan pada aspek stabilisasi merupakan sebuah keniscayaan.
Dengan paparan sederhana diatas, tampaknya tahun 2009 tidaklah sepenuhnya gelap. Tergantung bagaimana menyalakan cahaya, karena sumber cahaya tidaklah tiada. Tetapi ada pada diri kita. Dan tentunya, memilih cahaya yang tidak mengerahkan dan membakar merupakan kebijakan bijak yang harus dilakukan. Tidak sekedar cahaya yang spekulatif dan berisiko. Jika cahaya tidak menyala, maka teriaklah "T-O-L-O-N-G.... T-O-L-O-N-G !!! Itulah prinsip dasar dari sebuah penyelamatan diri. Akankah kita meminta "ditolong" IMF lagi? Ataukah kita mampu menolong diri kita sendiri. Nyalakan cahaya!!
Setelah kejadian "gegeran" antara aku dan Lik Mo di Joglo Dau beberapa waktu yang lalu. Lik Mo kembali menelepon.
"Assalamu’alaikum Cak Su!"
"Waalaikum salam Lik, ada apa Lik?!"
"Cak Su!, tahun 2009 mesti ajur!"
"Lho...piye to sampeyan ini Lik. Katanya urip iku akeh gas mestine timbang mestine?!"
"Nesu... Purik yo?! Gimana dosen kok purik-an!!"
"Ancen!!".
"Tahun 2009 iku Cak, gawat!! Krisis dan pemilu sisan!"
"Terus?!"
"Menurut sampeyan Cak, pemimpin yang cocok untuk tahun 2009 itu yang Laku Hambeging Candra atau Laku Hambeging Dahana?"
"Opo iku Lik?"
"Kalau Laku Hambeging Candra itu maksudnya pemimpin itu harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan, bersinar terang benderang namun tidak panas!"
"Kalau Laku Hambeging Dahana, iku piye?"
"Laku Hambeging Dahana itu maknanya pemimpin itu harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun pertimbanganya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak membawa kerusakan di bumi!"
"Lha... lapo sampeyan ngurus pemimpin Lik! Katanya G-O-L-P-U-T!!"
"Nesu...! Purik ...!! Nesu...!! Ora njamani Cak, ono dosen kok purik-an, nesu-an!!, urip iku sing Amemangun Karyenak Tyasing Sesama".
"Opo maneh iku?!"
"Membuat orang lain senang lewat tutur kata, senyum manis, salam hormat, sopan santun, andhap asor dan entengan!!"
"Gayamu Lik... mbagusi!!"
???
(Catatan: arti Laku Hambeging Candra, Laku Hambeging Dahana dan Amemangun Karyenak Tyasing Sesama diambil dalam Javanese Encyclopedia di www.putripandanwangi.blogpot.com).
Rabu, Desember 24, 2008
Opportunity Cost: Otoritarian Investasi
Sebuah Paradigma terhadap Berbagai Fenomena
Akhirnya sampai juga waktu mengantar Rabu sampai disini. Hari yang sebenarnya kunanti. Ketika itu, hari masih pagi. Disaat menyiapkan bekal sekolah untuk Alam, Lik Mo menelepon.
"Cak Su, nasipe wong tuwo, ati karep tenogo cupet!"
"Ada apa Lik? Isuk-isu kok sudah ngresulo?"
"Itu tadi malam…"
"Tadi malam?!, Apa hubungannya dengan ati karep tenogo cupet?!"
"Anu… aku diajak marung sama Kaji Nur"
"Njur?!"
"Aku disuruh makan sepuasnya, terserah mau makan apa. Pokoknya diajangi ombo tenanan!"
"Terus?!""Sebenarnya aku pingin gule, tapi kok penasaran dengan makanan yang namanya tongseng. Kan aku belum pernah makan si tongseng itu!"
"Uenak to Lik?!"
"Iyo, nyamleng…jan lekoh tenan!, tapi?"
"Tapi opo Lik?!"
"Lha gulenya, perutku wis ora nutut, jadi ora sido mangan gule!"
Sebenarnya aku ingin mengatakan kepada Lik Mo, itulah opportunity cost yang harus ia tanggung karena memilih tongseng. Tapi apa ya mungkin Lik Mo bisa paham.
"Banjur?!"
"Kalau Cak Su pulang kampung, aku mbok diajak ke warung. Aku pingin gule..!!"
???
Dalam ilmu investasi uang merupakan entitas yang sangat dinamis. Uang tidak pernah diam, ia selalu mengalir. Tetapi uang bukanlah air, pola alirannya berbeda jauh. Air mengalir ke tempat yang lebih rendah menuju pangkalan terakhirnya, laut. Sedangkan uang selalu mengalir ke tempat yang lebih tinggi (baca: keuntungan tertinggi) menuju pangkalan terakhirnya yaitu kekayaan/kapitalisasi. Itulah nasib uang dalam era ekonomi yang kremanistik ini. Uang menjadi komoditas bukan lagi sekadar sebagai alat tukar. Ia telah bereinkarnasi dalam bentuk-bentuk baru sejalan dengan rekayasa keuangan (financial engineering) yang melahirkannya.
Sifat uang yang dinamis ini didorong oleh nilai riil uang yang tidak hampa dari pengaruh ekonomi. Nilai rill uang dapat diukur dari daya beli uang terhadap barang dan jasa yang ditawarkan dalam sebuah pasar. Jika lima tahun yang lalu, empat lembar seribuan bisa ditukar dengan satu bungkus Sampoerna Mild namun sekarang untuk mendapatkannya dibutuhkan sembilan lembar seribuan plus satu buah lima ratusan. Artinya sepanjang lima tahun nilai riil uang sudah turun sebesar 57.8% atau 11.57% per tahun. Potensi penurunan nilai riil uang inilah yang mendorong uang selalu mengalir keatas. Karena pemilik uang yang rasional tidak akan rela nilai riil uangnya diambil secara paksa (baca: dirampok) oleh kenaikan barang dan jasa yang ditawarkan.
Ilustrasi diatas, dalam ilmu investasi dapat dijelaskan dengan 3 perspektif, yaitu dengan sudut pandang inflasi, nilai waktu uang (time value of money) dan opportunity cost. Inflasi adalah peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu. (Pass, 1994). Adanya peningkatan harga inilah yang menyebabkan nilai riil uang mengalami penurunan. Inflasi menyebabkan kondisi dimana diperlukan jumlah nominal uang yang lebih besar untuk mendapatkan barang dan jasa dengan kuantitas serta kualitas yang sama. Inflasi ini juga menimbulkan dampak ikutan ekonomi yang signifikan seperti penurunan daya beli, perubahan struktur pinjam-meminjam (kredit), spekulasi dan persaingan perdagangan internasional.
Nilai waktu uang (time value of money). Konsep ini dapat dijelaskan dalam sebuah analog seperi berikut ini: Jika anda dihadapkan pada 2 alternatif pilihan, diberi uang Rp. 100 juta sekarang atau Rp. 100 juta satu tahun yang akan datang. Alternatif mana yang akan anda pilih? Tentunya anda akan memilih Rp. 100 juta sekarang!. Mengapa? Karena nilai itu lebih "berharga" saat ini daripada nanti satu tahun mendatang. Uang yang anda terima Rp. 100 juta sekarang, dimungkinkan nilainya lebih besar dari tahun yang akan datang (misalnya jika anda taruh di bank, maka akan mendapatkan bunga dan akan menambah nilai uang itu). Artinya uang saat ini memiliki nilai yang relatif lebih besar daripada nominal yang sama dalam waktu yang akan datang. Pertanyaan selanjutnya adalah anda memilih alternatif mana antara menerima uang Rp. 100 juta saat ini atau Rp. 120 juta setahun yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan ini akan perlu mempertimbangkan tingkat bunga atau benchmark investasi yang lain. Jika tingkat bunga yang kita pakai sebagai dasar pertimbangan, secara sederhana jika bunga pasar sebesar 20% per tahun maka nilai Rp. 100 juta sekarang dan Rp. 120 juta satu tahun yang akan datang adalah sama. Itulah time value of money!.
Sedangkan opportunity cost adalah keuntungan maksimum yang dapat diberikan oleh sebuah rencana alternatif. (Shook, 2002). Sedangkan menurut Pass (1994) opportunity cost atau economic cost adalah suatu ukuran dari biaya ekonomi dengan digunakannya sumber-sumber daya langka untuk memproduksi suatu barang atau jasa tertentu dalam kaitannya dengan alternatif lain yang harus dikorbankan. Dalam konsep investasi, misalnya kita saat ini kita memiliki uang Rp. 1 miliar dan uang itu kita biarkan berserakan di rumah. Apa yang terjadi dengan nilai uang itu? Nilai riil-nya turun dirampok oleh inflasi, hilang kesempatan kita untuk memperoleh pendapatan berupa bunga seandainya kita tempatkan uang kita di bank dalam bentuk simpanan, hilang kesempatan kita untuk memperoleh keuntungan seandainya kita gunakan untuk usaha supermarket atau usaha lainnya, hilang kesempatan kita untuk memperoleh capital gain, dividen, kupon (yield) seandainya uang itu kita belikan saham, obligasi, SUN dan sebagainya. Semua kesempatan yang hilang karena kita memilih alternatif untuk menaruh uang kita di rumah itulah yang dinamakan dengan opportunity cost. Dan konsep inilah yang mendorong terbentuk struktur ekonomi yang kremanistik dan dinamisnya uang.
Opportunity Cost Tiran Investasi
Beberapa fenomena pasar keuangan yang terjadi di penghujung tahun 2008 ini, dapat dijelaskan dengan tiran yang disebut "junta" opportunity cost itu.
Kenaikan DPK Perbankan
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, sepanjang bulan November saja, nilai simpanan di perbankan naik sebesar Rp. 32.9 triliun menjadi Rp. 1.715,80 triliun. (Kontan, 22/12). Jika kita cermati data distribusi simpanan di bank umum, peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) ini terjadi disemua katagori nilai simpanan, lebih kecil 100 juta, antara 100 sampai 200 juta, antara 200 juta sampai 1 miliar, antara 1 sampai 2 miliar, antara 2 miliar sampai 5 miliar dan 5 miliar keatas. Kenaikan yang signifikan. Ada apa ini?
Kecenderungan ini didorong oleh beberapa sebab, antara lain tingkat bunga yang menarik (meskipun BI Rate telah turun menjadi 9.25%, tetapi bunga simpanan masih relatif tidak beranjak turun), kebijakan blanket quarantee sebesar Rp. 2 miliar, kinerja pasar modal yang belum pulih dan peluang ekonomis sekor riil yang masih tidak pasti akibat krisis keuangan global. Beberapa faktor ini yang mendorong pemilik dana men-switch dananya dan dimasukkan dalam industri perbankan. Relatif lebih optimal tingkat return-nya sebanding dengan risiko yang ditanggungnya (high return high risk, low return low risk). Tetapi jika diringkas, fenomena ini adalah akibat dari "rezim" opportunity cost. Mengapa? Karena pemilik dana berusaha maksimal untuk menurunkan opportunity cost-nya. Ia memilih alternatif investasi yang memungkinkan ia mendapatkan keuntungan optimal relatif terhadap risiko.
Dalam perspektif lain, menarik juga kalau kita simak "kesenjangan" mencolok dari distribusi simpanan ini. Nilai DPK sebesar Rp. 324,60 triliun diserahkan oleh 80.453.230 rekening dengan nilai antara 0 sampai Rp. 100 juta. Sedangkan jumlah DPK sebesar Rp. 650,61 triliun disumbang oleh 28.192 rekening dengan nilai simpanan 5 miliar keatas. Hampir 38% (atau 37.91%) DPK disumbang oleh 28.192 rekening sedangkan 80.453.230 rekening "hanya" menyumbang DPK sebesar 18.91%. Sebuah kondisi yang distorsif!.
Uang Pemda Tidur di SBI
Data BI menyebutkan bahwa saat ini uang Pemda (Pemerintah Daerah) yang tersimpan di BPD (Bank Pembangunan Daerah) telah diinvestasikan di SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp. 37.88 triliun. Nilai ini merupakan peningkatan yang signifikan dari posisi awal di bulan Oktober yang "masih" sebesar Rp. 9.74 triliun. (Kontan, 24/12). Menurut teori investasi keputusan ini dapat dibenarkan. Mengapa? Karena return yang diperoleh signifikan, yaitu 10.98% untuk SBI satu bulan dan didukung pula sifat SBI yang fleksibel dalam artian sewaktu-waktu bisa dicairkan. Alasan ini merupakan pemenuhan dari "tiran" opportunity cost" juga. Rasional!.
Tetapi jika ditelisik lebih dalam, tidurnya uang Pemda di SBI memiliki implikasi negatif bagi perekonomian. Mengapa? Karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat untuk mempercepat penggunaan anggaran sebagai salah satu media untuk menggerakkan ekonomi yang sedang tidak bergairah karena krisis, membuka akses pekerjaan sehingga mampu mempertahankan tingkat daya beli masyarakat dan mengurangi kekeringan likuiditas (lack of liquidity). Besarnya dana Pemda yang parkir di SBI ini juga indikator bahwa Pemda tidak menggunakan kemampuan-nya (baca: tidak memiliki kemampuan) untuk melakukan penyerapan anggaran secara maksimal. Dan lagi, bagaimana mungkin uang negara harus pula dibayar bunganya oleh negara. Jeruk minum jeruk kan?
Kasus Investasi Bank Century
Instrumen "Antaboga Delta Sekuritas (ADS)" telah memakan banyak korban. Instrumen keuangan yang tidak tercatat di Bapepam-LK ini dijual oleh Bank Century (indikasi saat ini!: hanya menjual bukan penerbit) kepada nasabah-nya. (Kontan, 22/12). Masalahnya adalah saat "nasabah" (sebenarnya tidak tepat jika disebut nasabah, mereka telah berposisi sebagai investor) akan mengkonversi instrumen keuangan-nya menjadi uang tunai/kas, dana itu tidak bisa ditarik. Kondisi inilah yang memperparah kondisi Bank Century setalah diambil alih oleh LPS. Meskipun manajemen Bank Century merasa tidak harus yang bertanggung jawab, dengan dalih dia bukan penerbitnya.
Apa yang dilakukan oleh "nasabah" investor Bank Century itu adalah karena paksaan opportunity cost. Mereka berkeinginan agar nilai riil uangnya tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan potensi return yang tinggi. Kalaupun dana atau initial investment itu tidak kembali itulah risiko. Mereka semestinya sudah harus memahami perbedaan pokok karakteristik nasabah dan karakteristik sebagai investor. Risiko nasabah dan investor jelas berbeda. (Susidarto, 2008). Meladeni pemerkosaan opportunity cost adalah kewajaran dalam struktur ekonomi yang kremanistik, tetapi risiko juga harus menjadi pertimbangan pula dalam menentukan kebijakan investasi yang akan dilakukannya.
Misteri Produk Terstruktur Perbankan
Opportunity cost itu berkarakter seperti udara, ia memenuhi seluruh ruangan. Ruang analisis pemodal dipenuhi oleh konsep opportunity cost termasuk didalamnya adalah kemungkinan adanya kesempatan yang hilang karena adanya fluktuasi kurs (exchange rate risk), depresiasi maupun apresiasi. Hal inilah yang mendukung lahirnya Produk Terstruktur Perbankan, yaitu produk perbankan yang memberikan penawaran return yang tinggi atas penempatan dana individu atau korporasi dalam bentuk valuta asing tanpa keharusan adanya underlying trasaction.
Mekanisme produk terstruktur dapat diilustrasikan sebagai berikut: nasabah melakukan kontrak dengan bank selama 1 tahun untuk menyetorkan valas sebesar US$ 100 per bulan dengan kurs Rp. 9.500. Kontrak ini memberikan 2 kemungkinan hasil, jika rupiaha mengalami apresiasi terhadap US dolar maka nasabah akan diuntungkan karena bank akan tetap membeli US dolar kita dengan harga Rp. 9.500 tetapi sebaliknya jika rupiah mengalami depresiasi terhadap US $ maka nasabah akan mengalami kerugian, nasabah harus tetapi menyetor US$ 100 berapapun kurs dolar yang ada di pasar. Itulah risikonya!. Dalam perspektif lain produk terstruktur ini bisa memberikan dampak terhadap stabilitas rupiah, sehingga BI melarang bank mengeluarkan ataupun menjadi agen penjual produk terstruktur. (Kontan, 24/12). Uang benar-benar tidak pernah bisa tertidur!
Dalam pasar keuangan, kinerja sebuah pasar keuangan ditentukan oleh ekspektasi investor terhadap masa depan yang tidak pasti. Jika ekspektasi investor positif maka akan diikuti kesediaan untuk membeli instrumen. Adanya dorongan beli seperti ini maka akan mendorong adanya kenaikan harga instrumen. Namun sebaliknya jika ekspektasi investor negatif maka akan diikuti dengan keiklasan untuk menjual instrumen. Adanya tekanan jual akan menyebabkan harga instrumen-pun jatuh. Depresiasi dan apresiasi mata uang terhadap mata uang asing lainnya dapat pula dijelaskan dengan alur pikir seperti itu.
Dan yang pasti ekspektasi investor adalah adi bungsu sedhulur ari-ari dari opportunity cost. Begitu merajalela!.
Ditengah semaraknya keluargaku yang lengkap kembali, setelah ibu-nya Alam pulang selama 14 hari mendatang. Lik Mo, tanpa ampun, kembali menelepon.
"Cak Su, wong tani seperti saya ini gak perlu tabungan uang!"
"Maksud sampeyan iku opo Lik?!"
"Wong tani ora perlu duwit!"
"Lho…Kok enak, pripun to Lik?!"
"Tabungane petani itu cukup nabung sabar!"
"Artine Lik?!"
"Uangnya orang tani itu sekarang gak diajeni oleh pabrik!"
"Maksute?"
"Uangnya orang tani, tidak ada harganya dibandingkan dengan barang-barang yang dihasilkan pabrik! Mahal! Kampus mungkin suatu saat juga begitu. Mahal!! Nangging barang soko petani jan puol murahe!,"
"Lha tahu begitu… kok malah nabung sabar to?!"
"Yen tabungan sabar sudah habis, embuh… ora weruh!!!"
"Sabar to Lik?! Sabar…."
"Sabarku masih cukup sampai pemilu kok?!"
"Njur?!"
"G-O-L-P-U-T!!!"
????
(terbayang wajah bapak dan emak, yang semakin tampak lelah memikirkan nasib ladang yang hanya se-petak)
Akhirnya sampai juga waktu mengantar Rabu sampai disini. Hari yang sebenarnya kunanti. Ketika itu, hari masih pagi. Disaat menyiapkan bekal sekolah untuk Alam, Lik Mo menelepon.
"Cak Su, nasipe wong tuwo, ati karep tenogo cupet!"
"Ada apa Lik? Isuk-isu kok sudah ngresulo?"
"Itu tadi malam…"
"Tadi malam?!, Apa hubungannya dengan ati karep tenogo cupet?!"
"Anu… aku diajak marung sama Kaji Nur"
"Njur?!"
"Aku disuruh makan sepuasnya, terserah mau makan apa. Pokoknya diajangi ombo tenanan!"
"Terus?!""Sebenarnya aku pingin gule, tapi kok penasaran dengan makanan yang namanya tongseng. Kan aku belum pernah makan si tongseng itu!"
"Uenak to Lik?!"
"Iyo, nyamleng…jan lekoh tenan!, tapi?"
"Tapi opo Lik?!"
"Lha gulenya, perutku wis ora nutut, jadi ora sido mangan gule!"
Sebenarnya aku ingin mengatakan kepada Lik Mo, itulah opportunity cost yang harus ia tanggung karena memilih tongseng. Tapi apa ya mungkin Lik Mo bisa paham.
"Banjur?!"
"Kalau Cak Su pulang kampung, aku mbok diajak ke warung. Aku pingin gule..!!"
???
Dalam ilmu investasi uang merupakan entitas yang sangat dinamis. Uang tidak pernah diam, ia selalu mengalir. Tetapi uang bukanlah air, pola alirannya berbeda jauh. Air mengalir ke tempat yang lebih rendah menuju pangkalan terakhirnya, laut. Sedangkan uang selalu mengalir ke tempat yang lebih tinggi (baca: keuntungan tertinggi) menuju pangkalan terakhirnya yaitu kekayaan/kapitalisasi. Itulah nasib uang dalam era ekonomi yang kremanistik ini. Uang menjadi komoditas bukan lagi sekadar sebagai alat tukar. Ia telah bereinkarnasi dalam bentuk-bentuk baru sejalan dengan rekayasa keuangan (financial engineering) yang melahirkannya.
Sifat uang yang dinamis ini didorong oleh nilai riil uang yang tidak hampa dari pengaruh ekonomi. Nilai rill uang dapat diukur dari daya beli uang terhadap barang dan jasa yang ditawarkan dalam sebuah pasar. Jika lima tahun yang lalu, empat lembar seribuan bisa ditukar dengan satu bungkus Sampoerna Mild namun sekarang untuk mendapatkannya dibutuhkan sembilan lembar seribuan plus satu buah lima ratusan. Artinya sepanjang lima tahun nilai riil uang sudah turun sebesar 57.8% atau 11.57% per tahun. Potensi penurunan nilai riil uang inilah yang mendorong uang selalu mengalir keatas. Karena pemilik uang yang rasional tidak akan rela nilai riil uangnya diambil secara paksa (baca: dirampok) oleh kenaikan barang dan jasa yang ditawarkan.
Ilustrasi diatas, dalam ilmu investasi dapat dijelaskan dengan 3 perspektif, yaitu dengan sudut pandang inflasi, nilai waktu uang (time value of money) dan opportunity cost. Inflasi adalah peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu. (Pass, 1994). Adanya peningkatan harga inilah yang menyebabkan nilai riil uang mengalami penurunan. Inflasi menyebabkan kondisi dimana diperlukan jumlah nominal uang yang lebih besar untuk mendapatkan barang dan jasa dengan kuantitas serta kualitas yang sama. Inflasi ini juga menimbulkan dampak ikutan ekonomi yang signifikan seperti penurunan daya beli, perubahan struktur pinjam-meminjam (kredit), spekulasi dan persaingan perdagangan internasional.
Nilai waktu uang (time value of money). Konsep ini dapat dijelaskan dalam sebuah analog seperi berikut ini: Jika anda dihadapkan pada 2 alternatif pilihan, diberi uang Rp. 100 juta sekarang atau Rp. 100 juta satu tahun yang akan datang. Alternatif mana yang akan anda pilih? Tentunya anda akan memilih Rp. 100 juta sekarang!. Mengapa? Karena nilai itu lebih "berharga" saat ini daripada nanti satu tahun mendatang. Uang yang anda terima Rp. 100 juta sekarang, dimungkinkan nilainya lebih besar dari tahun yang akan datang (misalnya jika anda taruh di bank, maka akan mendapatkan bunga dan akan menambah nilai uang itu). Artinya uang saat ini memiliki nilai yang relatif lebih besar daripada nominal yang sama dalam waktu yang akan datang. Pertanyaan selanjutnya adalah anda memilih alternatif mana antara menerima uang Rp. 100 juta saat ini atau Rp. 120 juta setahun yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan ini akan perlu mempertimbangkan tingkat bunga atau benchmark investasi yang lain. Jika tingkat bunga yang kita pakai sebagai dasar pertimbangan, secara sederhana jika bunga pasar sebesar 20% per tahun maka nilai Rp. 100 juta sekarang dan Rp. 120 juta satu tahun yang akan datang adalah sama. Itulah time value of money!.
Sedangkan opportunity cost adalah keuntungan maksimum yang dapat diberikan oleh sebuah rencana alternatif. (Shook, 2002). Sedangkan menurut Pass (1994) opportunity cost atau economic cost adalah suatu ukuran dari biaya ekonomi dengan digunakannya sumber-sumber daya langka untuk memproduksi suatu barang atau jasa tertentu dalam kaitannya dengan alternatif lain yang harus dikorbankan. Dalam konsep investasi, misalnya kita saat ini kita memiliki uang Rp. 1 miliar dan uang itu kita biarkan berserakan di rumah. Apa yang terjadi dengan nilai uang itu? Nilai riil-nya turun dirampok oleh inflasi, hilang kesempatan kita untuk memperoleh pendapatan berupa bunga seandainya kita tempatkan uang kita di bank dalam bentuk simpanan, hilang kesempatan kita untuk memperoleh keuntungan seandainya kita gunakan untuk usaha supermarket atau usaha lainnya, hilang kesempatan kita untuk memperoleh capital gain, dividen, kupon (yield) seandainya uang itu kita belikan saham, obligasi, SUN dan sebagainya. Semua kesempatan yang hilang karena kita memilih alternatif untuk menaruh uang kita di rumah itulah yang dinamakan dengan opportunity cost. Dan konsep inilah yang mendorong terbentuk struktur ekonomi yang kremanistik dan dinamisnya uang.
Opportunity Cost Tiran Investasi
Beberapa fenomena pasar keuangan yang terjadi di penghujung tahun 2008 ini, dapat dijelaskan dengan tiran yang disebut "junta" opportunity cost itu.
Kenaikan DPK Perbankan
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, sepanjang bulan November saja, nilai simpanan di perbankan naik sebesar Rp. 32.9 triliun menjadi Rp. 1.715,80 triliun. (Kontan, 22/12). Jika kita cermati data distribusi simpanan di bank umum, peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) ini terjadi disemua katagori nilai simpanan, lebih kecil 100 juta, antara 100 sampai 200 juta, antara 200 juta sampai 1 miliar, antara 1 sampai 2 miliar, antara 2 miliar sampai 5 miliar dan 5 miliar keatas. Kenaikan yang signifikan. Ada apa ini?
Kecenderungan ini didorong oleh beberapa sebab, antara lain tingkat bunga yang menarik (meskipun BI Rate telah turun menjadi 9.25%, tetapi bunga simpanan masih relatif tidak beranjak turun), kebijakan blanket quarantee sebesar Rp. 2 miliar, kinerja pasar modal yang belum pulih dan peluang ekonomis sekor riil yang masih tidak pasti akibat krisis keuangan global. Beberapa faktor ini yang mendorong pemilik dana men-switch dananya dan dimasukkan dalam industri perbankan. Relatif lebih optimal tingkat return-nya sebanding dengan risiko yang ditanggungnya (high return high risk, low return low risk). Tetapi jika diringkas, fenomena ini adalah akibat dari "rezim" opportunity cost. Mengapa? Karena pemilik dana berusaha maksimal untuk menurunkan opportunity cost-nya. Ia memilih alternatif investasi yang memungkinkan ia mendapatkan keuntungan optimal relatif terhadap risiko.
Dalam perspektif lain, menarik juga kalau kita simak "kesenjangan" mencolok dari distribusi simpanan ini. Nilai DPK sebesar Rp. 324,60 triliun diserahkan oleh 80.453.230 rekening dengan nilai antara 0 sampai Rp. 100 juta. Sedangkan jumlah DPK sebesar Rp. 650,61 triliun disumbang oleh 28.192 rekening dengan nilai simpanan 5 miliar keatas. Hampir 38% (atau 37.91%) DPK disumbang oleh 28.192 rekening sedangkan 80.453.230 rekening "hanya" menyumbang DPK sebesar 18.91%. Sebuah kondisi yang distorsif!.
Uang Pemda Tidur di SBI
Data BI menyebutkan bahwa saat ini uang Pemda (Pemerintah Daerah) yang tersimpan di BPD (Bank Pembangunan Daerah) telah diinvestasikan di SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp. 37.88 triliun. Nilai ini merupakan peningkatan yang signifikan dari posisi awal di bulan Oktober yang "masih" sebesar Rp. 9.74 triliun. (Kontan, 24/12). Menurut teori investasi keputusan ini dapat dibenarkan. Mengapa? Karena return yang diperoleh signifikan, yaitu 10.98% untuk SBI satu bulan dan didukung pula sifat SBI yang fleksibel dalam artian sewaktu-waktu bisa dicairkan. Alasan ini merupakan pemenuhan dari "tiran" opportunity cost" juga. Rasional!.
Tetapi jika ditelisik lebih dalam, tidurnya uang Pemda di SBI memiliki implikasi negatif bagi perekonomian. Mengapa? Karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat untuk mempercepat penggunaan anggaran sebagai salah satu media untuk menggerakkan ekonomi yang sedang tidak bergairah karena krisis, membuka akses pekerjaan sehingga mampu mempertahankan tingkat daya beli masyarakat dan mengurangi kekeringan likuiditas (lack of liquidity). Besarnya dana Pemda yang parkir di SBI ini juga indikator bahwa Pemda tidak menggunakan kemampuan-nya (baca: tidak memiliki kemampuan) untuk melakukan penyerapan anggaran secara maksimal. Dan lagi, bagaimana mungkin uang negara harus pula dibayar bunganya oleh negara. Jeruk minum jeruk kan?
Kasus Investasi Bank Century
Instrumen "Antaboga Delta Sekuritas (ADS)" telah memakan banyak korban. Instrumen keuangan yang tidak tercatat di Bapepam-LK ini dijual oleh Bank Century (indikasi saat ini!: hanya menjual bukan penerbit) kepada nasabah-nya. (Kontan, 22/12). Masalahnya adalah saat "nasabah" (sebenarnya tidak tepat jika disebut nasabah, mereka telah berposisi sebagai investor) akan mengkonversi instrumen keuangan-nya menjadi uang tunai/kas, dana itu tidak bisa ditarik. Kondisi inilah yang memperparah kondisi Bank Century setalah diambil alih oleh LPS. Meskipun manajemen Bank Century merasa tidak harus yang bertanggung jawab, dengan dalih dia bukan penerbitnya.
Apa yang dilakukan oleh "nasabah" investor Bank Century itu adalah karena paksaan opportunity cost. Mereka berkeinginan agar nilai riil uangnya tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan potensi return yang tinggi. Kalaupun dana atau initial investment itu tidak kembali itulah risiko. Mereka semestinya sudah harus memahami perbedaan pokok karakteristik nasabah dan karakteristik sebagai investor. Risiko nasabah dan investor jelas berbeda. (Susidarto, 2008). Meladeni pemerkosaan opportunity cost adalah kewajaran dalam struktur ekonomi yang kremanistik, tetapi risiko juga harus menjadi pertimbangan pula dalam menentukan kebijakan investasi yang akan dilakukannya.
Misteri Produk Terstruktur Perbankan
Opportunity cost itu berkarakter seperti udara, ia memenuhi seluruh ruangan. Ruang analisis pemodal dipenuhi oleh konsep opportunity cost termasuk didalamnya adalah kemungkinan adanya kesempatan yang hilang karena adanya fluktuasi kurs (exchange rate risk), depresiasi maupun apresiasi. Hal inilah yang mendukung lahirnya Produk Terstruktur Perbankan, yaitu produk perbankan yang memberikan penawaran return yang tinggi atas penempatan dana individu atau korporasi dalam bentuk valuta asing tanpa keharusan adanya underlying trasaction.
Mekanisme produk terstruktur dapat diilustrasikan sebagai berikut: nasabah melakukan kontrak dengan bank selama 1 tahun untuk menyetorkan valas sebesar US$ 100 per bulan dengan kurs Rp. 9.500. Kontrak ini memberikan 2 kemungkinan hasil, jika rupiaha mengalami apresiasi terhadap US dolar maka nasabah akan diuntungkan karena bank akan tetap membeli US dolar kita dengan harga Rp. 9.500 tetapi sebaliknya jika rupiah mengalami depresiasi terhadap US $ maka nasabah akan mengalami kerugian, nasabah harus tetapi menyetor US$ 100 berapapun kurs dolar yang ada di pasar. Itulah risikonya!. Dalam perspektif lain produk terstruktur ini bisa memberikan dampak terhadap stabilitas rupiah, sehingga BI melarang bank mengeluarkan ataupun menjadi agen penjual produk terstruktur. (Kontan, 24/12). Uang benar-benar tidak pernah bisa tertidur!
Dalam pasar keuangan, kinerja sebuah pasar keuangan ditentukan oleh ekspektasi investor terhadap masa depan yang tidak pasti. Jika ekspektasi investor positif maka akan diikuti kesediaan untuk membeli instrumen. Adanya dorongan beli seperti ini maka akan mendorong adanya kenaikan harga instrumen. Namun sebaliknya jika ekspektasi investor negatif maka akan diikuti dengan keiklasan untuk menjual instrumen. Adanya tekanan jual akan menyebabkan harga instrumen-pun jatuh. Depresiasi dan apresiasi mata uang terhadap mata uang asing lainnya dapat pula dijelaskan dengan alur pikir seperti itu.
Dan yang pasti ekspektasi investor adalah adi bungsu sedhulur ari-ari dari opportunity cost. Begitu merajalela!.
Ditengah semaraknya keluargaku yang lengkap kembali, setelah ibu-nya Alam pulang selama 14 hari mendatang. Lik Mo, tanpa ampun, kembali menelepon.
"Cak Su, wong tani seperti saya ini gak perlu tabungan uang!"
"Maksud sampeyan iku opo Lik?!"
"Wong tani ora perlu duwit!"
"Lho…Kok enak, pripun to Lik?!"
"Tabungane petani itu cukup nabung sabar!"
"Artine Lik?!"
"Uangnya orang tani itu sekarang gak diajeni oleh pabrik!"
"Maksute?"
"Uangnya orang tani, tidak ada harganya dibandingkan dengan barang-barang yang dihasilkan pabrik! Mahal! Kampus mungkin suatu saat juga begitu. Mahal!! Nangging barang soko petani jan puol murahe!,"
"Lha tahu begitu… kok malah nabung sabar to?!"
"Yen tabungan sabar sudah habis, embuh… ora weruh!!!"
"Sabar to Lik?! Sabar…."
"Sabarku masih cukup sampai pemilu kok?!"
"Njur?!"
"G-O-L-P-U-T!!!"
????
(terbayang wajah bapak dan emak, yang semakin tampak lelah memikirkan nasib ladang yang hanya se-petak)
Minggu, Desember 21, 2008
Peta dan Masalah Utang Indonesia
Siang yang cerah. Setelah gagal mendapatkan 2 buku yang ingin kubeli di Wilis, aku pulang dan menyaksikan suguhan tinju di Global TV antara Roberto Cocco dengan Mads Larsen. Sebuah partai tambahan dalam big match antara Valuev vs Hollyfield. Saat Larsen mendaratkan upper cut-nya ke dagu Cocco, HP-ku berdering…
“Assalamu’alaikum… ini Kirun Cak!” tetangga kampung yang merantau di Jabar sebagai buruh pabrik.
“Waalaikum salam… Cak Kirun?!. Njanur gunung ada apa Cak?”
“Mau tanya, utang itu apa mesti ada jaminannya to?”
“Lho…, kok pertanyaannya njanur gunung sisan?!”
“Opo ora oleh to?!”
“Miturut hukum Cak, mesti ada. Entah itu jaminan khusus atau jaminan umum”.
“Kalau jaminan khusus?”
“Jaminan khusus itu harus ada harta yang khusus atau spesifik yang diserahkan, bisa fisiknya atau bukti kepemilikannya, kepada kreditur”.
“Kalau jaminan umum?”
“Jaminan umum itu, pada dasarnya adalah semua harta yang saat ini kita punyai atau harta yang akan kita miliki semuanya sebagai jaminan atas utang yang kita buat!”
“Kalau utang negarane peno iku, jaminane opo?!”
“Jaminane yo…. Masa depan rakyate Cak!”
“Kok iso ngono?!”
“Wis Cak! Tinjune rame, Cocco KO… nanti dilanjut!!”
“Cak Su… Cak… Hallo…”
????
Pergerakan ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global. Krisis tersebut telah membuat pasar keuangan kita mengalami volatilitas harga, volume dan nilai transaksi, demikian pula sektor riil lambat laun mulai digerogoti ketahanannya secara nyata. Berbagai langkah sudah diambil. Pemerintah, otoritas moneter dan pelaku bisnis telah mengantisipasi dampak buruknya. Proses antisipasi ini menimbulkan banyak dampak, baik dampak yang disengaja maupun dampak yang tidak diinginkan. Salah satu dampaknya adalah penyesuaian portofolio utang negara kita.
Meskipun saat ini tingkat inflasi mengalami penurunan, yang disebabkan oleh melambatnya perekonomian domestik akibat krisis dan penurunan harga komoditas internasional. Tetapi indikator makro lainnya menunjukkan gelagat kinerja yang memburuk. Pertumbuhan ekonomi telah mengalami perlambatan dan akan semakin signifikan pada tahun 2009, harga saham (IHSG) menurun dan depresiasi nilai tukar rupiah. (Tinjauan Kebijakan Moneter BI, Desember 2008).
Sebagai salah satu anggota portofoliio utang, data BI menyebutkan bahwa secara rata-rata, saat ini yield Surat Utang Negara (SUN) seluruh tenor rata-rata sebesar 15.17%. Artinya bahwa yield SUN mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Penurunan yield SUN merupakan berita baik bagi pemerintah, karena berarti cost of fund yang harus dibayarkan oleh pemerintah juga semakin rendah. Meskipun yield SUN turun, tetapi penurunan ini masih dalam batas wajar karena masih memberikan insentif kepada investor untuk tetap menanamkan dana di SUN dengan tingkat yield yang masih lebih tinggi dari earning yield saham, deposito dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Kinerja Pengelolaan Utang
Rasio utang, baik dalam bentuk Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan SUN, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan yang signifikan, yaitu dari 88% pada tahun 2000 menjadi 34.5% pada tahun 2008 (data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara). Sehingga selama 8 tahun, mengalami penurunan sebesar 53.5% atau 6.68% per tahun. Namun, rasio utang terhadap PDB yang menurun tidak serta merta diikuti oleh besaran absolut utang yang masih kita tanggung. Jika kita amati data dari Dirjen Pengelolaan Utang Negara, secara absolut, baik PLN maupun SUN nilai utang kita mengalami peningkatan. Tahun 2000, PLN kita sebesar Rp. 512 triliun dan SUN kita sebesar Rp. 652 triliun. Pada tahun 2008 (posisi 31 Oktober), PLN kita sebesar Rp. 683 triliyun dan SUN kita sebesar Rp. 923 triliyun. Sehingga total utang kita adalah sebesar Rp. 1.606 triliun.
Apa yang menarik dari parodoksal ini? Yaitu kontribusi depresiasi rupiah terhadap US$ signifikan terhadap membengkaknya nilai utang kita. Jika kita lihat data stok utang PLN dalam US$ sebenanrnya perkembangan utang relatif stabil dengan nilai rata-rata sebesar US$. 63.689.250.000. (bandingkan posisi stok utang PLN tahun 2008 yang sebesar US$. 62.103.000.000). Selain faktor depresiasi, paradoksal ini juga dikontribusikan oleh kenaikan PDB dan perkembangan portofolio utang dalam bentuk SUN yang ekspansif. Sehingga kinerja pengelolaan utang jika disimplifikasi tidak akan berarti banyak jika tidak ditunjang pula dengan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap valas. Otoritas moneter diperlukan untuk membantu menciptakan stabilitas ini.
Kondisi sebenarnya sudah diantisipasi dengan penerbitan SUN yang sebagian digunakan untuk revisi portofolio utang dalam arti menurunkan utang dalam bentuk PLN dengan harapan agar nilai utang tidak berfluktuasi seiring dengan fluktuasi nilai rupiah terhadap valas. Dan penerbitan SUN yang dilakukan dalam bentuk denominasi rupiah. Data menunjukkan bahwa 90% SUN diterbitkan dengan denominasi rupiah. (Dirjen Pengelolaan Utang Negara, Oktober 2008). Penerbitan SUN jenis ini tidak akan terpengaruh (baca: secara langsung) dengan risiko fluktuasi kurs (exchange rate risk).
Portofolio Utang Kita
Pada tahun 2008, proporsi utang dalam bentuk PLN sebesar 42.53% dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 57.47%. Perubahan komposisi portofolio dapat kita lihat jika kita perbandingankan dengan data komposisi tahun 2000, dimana utang dalam bentuk PLN sebesar 43.98% dan SBN sebesar 56.02%. Sehingga sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2008 utang dalam bentuk PLN telah mengalami penurunan sebesar 1.45% dan utang dalam bentuk SBN mengalami kenaikan sebesar 1.45% pula. Revisi portofolio utang yang tampak tidak signifikan!.
Menurut denominasi total utang (PLN dan SBN) yang kita miliki, komposisinya adalah sebagai berikut: utang dalam bentuk rupiah sebesar 49.8%, yen Jepang sebesar 19.9%, dolar AS sebesar 19.9%, euro sebesar 6% dan lainnya 4.5%. Dengan data ini kita melihat bahwa 50.2% stuktur utang kita masih didenominasi valas. Struktur ini memiliki kerentanan terhadap risiko kurs (exchange rate risk) yang besar. Depresiasi rupiah terhadap valas khususnya yen dan dollar AS akan berimplikasi terhadap kenaikan nilai utang.
Proporsi PLN berdasarkan kreditur adalah Jepang 44.3%, Asian Development Bank (ADB) 16%, Bank Dunia 12.7%, Jerman 5.1%, AS 4.1% dan lainnya 15.5%. Data ini menunjukkan bahwa Jepang merupakan kreditur utama yang kita miliki. Hampir separuh dari PLN kita diberikan oleh Jepang. Sebagai “saudara tua” terlihat bahwa Jepang relatif tidak terlalu melakukan intervensi terhadap Indonesia meskipun ia kreditur terbesar kita. Sehingga meskipun komposisi ini “agak mengkhawatirkan” tetapi relatif aman dari kemungkinan intervensi yang berlebihan. (kita pernah mengalaminya dengan IMF). Tetapi dalam perspektif diversifikasi, proporsi PLN terhdap Jepang yang tinggi menuntut pula untuk segera direvisi. Dan SUN diharapkan bisa menjadi media untuk mereduksi komposisi ini.
Berdasarkan jatuh tempo, dapat kita lihat data dari Dirjen Pengelolaan Utang Negara sebagai berikut: dengan posisi PLN saat ini, maka utang dalam denominasi GBP (Jerman) akan selesai pada tahun 2022, dolar AS tahun 2034, yen Jepang dan euro akan selesai pada tahun 2040. Artinya PLN kita akan habis saat Pak SBY berusia 91 tahun., dengan syarat tidak ada tambahan utang baru lagi. Jika kita mencermati kewajiban atas PLN yang harus kita tunaikan pada tahun 2009, maka kita akan memerlukan US$ 6.515.230.000 untuk mencicil (paid) utang yang kita miliki. Nilai sebesar itu tentunya akan menjadi beban bagi APBN kita terlebih dalam kondisi menghadapi dampak krisis keuangan global ini.
Strukur SBN sebagai berikut: berdasarkan tingkat bunga, 83% diterbitkan dengan bunga tetap (fixed rate) dan 17% dengan bunga mengambang (variable rate). Struktur ini haruslah diantisipasi dengan adanya fluktuasi tingkat bunga yang terjadi. Media untuk melakukan pembelian kembali melalui fasilitas repo dan sebagainya dapat dilakukan jika tingkat bunga sudah terlalu rendah dibandingan dengan tingkat bunga saat emisi. Berdasarkan mata uang, 90% dalam rupiah dan 10% dan mata uang asing. Struktur ini tampaknya akan bergeser dengan rencana pemerintah untukmenerbitkan surat utang untuk pasar internasional dan valas (global bond) dengan nilai US$ 4 miliar. Pergeseran ini pasti juga akan memperbesar exchange rate risk yang kemungkinan terjadi.
Masalah dan Rekomendasi yang Mengiringi
Utang pastilah menyisakan masalah. Masalah bisa timbul saat pengelolaan utang atau lahir saat masa pembayaran cicilan pokok (prinsipal paid) dan bunga. Dalam pengelolaan, kemungkinan timbul penyelewengan (fraud) juga potensial. Sehingga dalam tataran ini pengelolaanya harus diawasi dengan ketat. Masalahnya adalah Quis Custodiet Ipsos Custodes? Siapakah yang harus menjadi pengawas seorang pengawas?. Potensi masalah selanjutnya adalah portofolio yang berisiko terhadap risiko fluktuasi kurs (exchange rate risk). Risiko ini bisa diminumumkan dengan merubah struktur hutang dengan komposisi denominasi rupiah yang besar, salah satunya adalah dengan menerbitkan SBN denominasi rupiah yang digunakan untuk menggantikan proporsi utang dengan valas. Untuk itu langkah sosialisasi untuk ekstensifikasi investor SBN perlu lebih ditingkatkan. Program SUN: Goes to Campuss yang telah dijalankan oleh Dirjen Pengelolaan Utang Negara perlu lebih ditingkatkan lagi. Dan rencana penerbitan SUN dengan denominasi valas (global bond) sebesar US$ 4 miliar perlu ditinjau kembali. Jikapun tetap dilakukan manajemen lindung nilai (hedging) perlu dilakukan. Tidak kalah pentingnya adalah perlu dipikirkan bagaimana potensi ekonomi yang ada bisa digunakan sebagai sumber dana pembangunan internal sehingga tidak lagi kita bergantung pada utang.
Selagi merebahkan badan. Sis Kucing menelepon.
“Cak Su, utang negoro menurut sampeyan itu tidak benar!”
“Ndak benar gimana Sis?!”
“Itu hanya utang dalam arti sempit Cak!!”
“Sempit?! Sempit piye?!”
“Lha… negara kan juga punya banyak utang pada rakyatnya!”
“Maksudmu??”
“Utang itu kewajiban to?!”
“He eh!”
“Akeh kewajibane negoro marang rakyate yang belum dibayarkan!!”
“Terus?!”
“Terus, peringatan kanggo sampeyan! Yen nulis sing bener!!!”
???
(Saya jadi teringat salah satu dialog lakon “Tumpeng Maut” dalam ludruk banyolan Kartolo di radio.
Kartolo: “Ri… Sapari, Lek koen duwe utang… gampang! Bukaan buku halaman sepuluh!”
Sapari: “Opo iku Lo..?!”
Kartolo: “Lek utangmu wis akeh…. Ndang mlayu..o!!!”)
“Assalamu’alaikum… ini Kirun Cak!” tetangga kampung yang merantau di Jabar sebagai buruh pabrik.
“Waalaikum salam… Cak Kirun?!. Njanur gunung ada apa Cak?”
“Mau tanya, utang itu apa mesti ada jaminannya to?”
“Lho…, kok pertanyaannya njanur gunung sisan?!”
“Opo ora oleh to?!”
“Miturut hukum Cak, mesti ada. Entah itu jaminan khusus atau jaminan umum”.
“Kalau jaminan khusus?”
“Jaminan khusus itu harus ada harta yang khusus atau spesifik yang diserahkan, bisa fisiknya atau bukti kepemilikannya, kepada kreditur”.
“Kalau jaminan umum?”
“Jaminan umum itu, pada dasarnya adalah semua harta yang saat ini kita punyai atau harta yang akan kita miliki semuanya sebagai jaminan atas utang yang kita buat!”
“Kalau utang negarane peno iku, jaminane opo?!”
“Jaminane yo…. Masa depan rakyate Cak!”
“Kok iso ngono?!”
“Wis Cak! Tinjune rame, Cocco KO… nanti dilanjut!!”
“Cak Su… Cak… Hallo…”
????
Pergerakan ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global. Krisis tersebut telah membuat pasar keuangan kita mengalami volatilitas harga, volume dan nilai transaksi, demikian pula sektor riil lambat laun mulai digerogoti ketahanannya secara nyata. Berbagai langkah sudah diambil. Pemerintah, otoritas moneter dan pelaku bisnis telah mengantisipasi dampak buruknya. Proses antisipasi ini menimbulkan banyak dampak, baik dampak yang disengaja maupun dampak yang tidak diinginkan. Salah satu dampaknya adalah penyesuaian portofolio utang negara kita.
Meskipun saat ini tingkat inflasi mengalami penurunan, yang disebabkan oleh melambatnya perekonomian domestik akibat krisis dan penurunan harga komoditas internasional. Tetapi indikator makro lainnya menunjukkan gelagat kinerja yang memburuk. Pertumbuhan ekonomi telah mengalami perlambatan dan akan semakin signifikan pada tahun 2009, harga saham (IHSG) menurun dan depresiasi nilai tukar rupiah. (Tinjauan Kebijakan Moneter BI, Desember 2008).
Sebagai salah satu anggota portofoliio utang, data BI menyebutkan bahwa secara rata-rata, saat ini yield Surat Utang Negara (SUN) seluruh tenor rata-rata sebesar 15.17%. Artinya bahwa yield SUN mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Penurunan yield SUN merupakan berita baik bagi pemerintah, karena berarti cost of fund yang harus dibayarkan oleh pemerintah juga semakin rendah. Meskipun yield SUN turun, tetapi penurunan ini masih dalam batas wajar karena masih memberikan insentif kepada investor untuk tetap menanamkan dana di SUN dengan tingkat yield yang masih lebih tinggi dari earning yield saham, deposito dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Kinerja Pengelolaan Utang
Rasio utang, baik dalam bentuk Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan SUN, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan yang signifikan, yaitu dari 88% pada tahun 2000 menjadi 34.5% pada tahun 2008 (data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara). Sehingga selama 8 tahun, mengalami penurunan sebesar 53.5% atau 6.68% per tahun. Namun, rasio utang terhadap PDB yang menurun tidak serta merta diikuti oleh besaran absolut utang yang masih kita tanggung. Jika kita amati data dari Dirjen Pengelolaan Utang Negara, secara absolut, baik PLN maupun SUN nilai utang kita mengalami peningkatan. Tahun 2000, PLN kita sebesar Rp. 512 triliun dan SUN kita sebesar Rp. 652 triliun. Pada tahun 2008 (posisi 31 Oktober), PLN kita sebesar Rp. 683 triliyun dan SUN kita sebesar Rp. 923 triliyun. Sehingga total utang kita adalah sebesar Rp. 1.606 triliun.
Apa yang menarik dari parodoksal ini? Yaitu kontribusi depresiasi rupiah terhadap US$ signifikan terhadap membengkaknya nilai utang kita. Jika kita lihat data stok utang PLN dalam US$ sebenanrnya perkembangan utang relatif stabil dengan nilai rata-rata sebesar US$. 63.689.250.000. (bandingkan posisi stok utang PLN tahun 2008 yang sebesar US$. 62.103.000.000). Selain faktor depresiasi, paradoksal ini juga dikontribusikan oleh kenaikan PDB dan perkembangan portofolio utang dalam bentuk SUN yang ekspansif. Sehingga kinerja pengelolaan utang jika disimplifikasi tidak akan berarti banyak jika tidak ditunjang pula dengan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap valas. Otoritas moneter diperlukan untuk membantu menciptakan stabilitas ini.
Kondisi sebenarnya sudah diantisipasi dengan penerbitan SUN yang sebagian digunakan untuk revisi portofolio utang dalam arti menurunkan utang dalam bentuk PLN dengan harapan agar nilai utang tidak berfluktuasi seiring dengan fluktuasi nilai rupiah terhadap valas. Dan penerbitan SUN yang dilakukan dalam bentuk denominasi rupiah. Data menunjukkan bahwa 90% SUN diterbitkan dengan denominasi rupiah. (Dirjen Pengelolaan Utang Negara, Oktober 2008). Penerbitan SUN jenis ini tidak akan terpengaruh (baca: secara langsung) dengan risiko fluktuasi kurs (exchange rate risk).
Portofolio Utang Kita
Pada tahun 2008, proporsi utang dalam bentuk PLN sebesar 42.53% dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 57.47%. Perubahan komposisi portofolio dapat kita lihat jika kita perbandingankan dengan data komposisi tahun 2000, dimana utang dalam bentuk PLN sebesar 43.98% dan SBN sebesar 56.02%. Sehingga sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2008 utang dalam bentuk PLN telah mengalami penurunan sebesar 1.45% dan utang dalam bentuk SBN mengalami kenaikan sebesar 1.45% pula. Revisi portofolio utang yang tampak tidak signifikan!.
Menurut denominasi total utang (PLN dan SBN) yang kita miliki, komposisinya adalah sebagai berikut: utang dalam bentuk rupiah sebesar 49.8%, yen Jepang sebesar 19.9%, dolar AS sebesar 19.9%, euro sebesar 6% dan lainnya 4.5%. Dengan data ini kita melihat bahwa 50.2% stuktur utang kita masih didenominasi valas. Struktur ini memiliki kerentanan terhadap risiko kurs (exchange rate risk) yang besar. Depresiasi rupiah terhadap valas khususnya yen dan dollar AS akan berimplikasi terhadap kenaikan nilai utang.
Proporsi PLN berdasarkan kreditur adalah Jepang 44.3%, Asian Development Bank (ADB) 16%, Bank Dunia 12.7%, Jerman 5.1%, AS 4.1% dan lainnya 15.5%. Data ini menunjukkan bahwa Jepang merupakan kreditur utama yang kita miliki. Hampir separuh dari PLN kita diberikan oleh Jepang. Sebagai “saudara tua” terlihat bahwa Jepang relatif tidak terlalu melakukan intervensi terhadap Indonesia meskipun ia kreditur terbesar kita. Sehingga meskipun komposisi ini “agak mengkhawatirkan” tetapi relatif aman dari kemungkinan intervensi yang berlebihan. (kita pernah mengalaminya dengan IMF). Tetapi dalam perspektif diversifikasi, proporsi PLN terhdap Jepang yang tinggi menuntut pula untuk segera direvisi. Dan SUN diharapkan bisa menjadi media untuk mereduksi komposisi ini.
Berdasarkan jatuh tempo, dapat kita lihat data dari Dirjen Pengelolaan Utang Negara sebagai berikut: dengan posisi PLN saat ini, maka utang dalam denominasi GBP (Jerman) akan selesai pada tahun 2022, dolar AS tahun 2034, yen Jepang dan euro akan selesai pada tahun 2040. Artinya PLN kita akan habis saat Pak SBY berusia 91 tahun., dengan syarat tidak ada tambahan utang baru lagi. Jika kita mencermati kewajiban atas PLN yang harus kita tunaikan pada tahun 2009, maka kita akan memerlukan US$ 6.515.230.000 untuk mencicil (paid) utang yang kita miliki. Nilai sebesar itu tentunya akan menjadi beban bagi APBN kita terlebih dalam kondisi menghadapi dampak krisis keuangan global ini.
Strukur SBN sebagai berikut: berdasarkan tingkat bunga, 83% diterbitkan dengan bunga tetap (fixed rate) dan 17% dengan bunga mengambang (variable rate). Struktur ini haruslah diantisipasi dengan adanya fluktuasi tingkat bunga yang terjadi. Media untuk melakukan pembelian kembali melalui fasilitas repo dan sebagainya dapat dilakukan jika tingkat bunga sudah terlalu rendah dibandingan dengan tingkat bunga saat emisi. Berdasarkan mata uang, 90% dalam rupiah dan 10% dan mata uang asing. Struktur ini tampaknya akan bergeser dengan rencana pemerintah untukmenerbitkan surat utang untuk pasar internasional dan valas (global bond) dengan nilai US$ 4 miliar. Pergeseran ini pasti juga akan memperbesar exchange rate risk yang kemungkinan terjadi.
Masalah dan Rekomendasi yang Mengiringi
Utang pastilah menyisakan masalah. Masalah bisa timbul saat pengelolaan utang atau lahir saat masa pembayaran cicilan pokok (prinsipal paid) dan bunga. Dalam pengelolaan, kemungkinan timbul penyelewengan (fraud) juga potensial. Sehingga dalam tataran ini pengelolaanya harus diawasi dengan ketat. Masalahnya adalah Quis Custodiet Ipsos Custodes? Siapakah yang harus menjadi pengawas seorang pengawas?. Potensi masalah selanjutnya adalah portofolio yang berisiko terhadap risiko fluktuasi kurs (exchange rate risk). Risiko ini bisa diminumumkan dengan merubah struktur hutang dengan komposisi denominasi rupiah yang besar, salah satunya adalah dengan menerbitkan SBN denominasi rupiah yang digunakan untuk menggantikan proporsi utang dengan valas. Untuk itu langkah sosialisasi untuk ekstensifikasi investor SBN perlu lebih ditingkatkan. Program SUN: Goes to Campuss yang telah dijalankan oleh Dirjen Pengelolaan Utang Negara perlu lebih ditingkatkan lagi. Dan rencana penerbitan SUN dengan denominasi valas (global bond) sebesar US$ 4 miliar perlu ditinjau kembali. Jikapun tetap dilakukan manajemen lindung nilai (hedging) perlu dilakukan. Tidak kalah pentingnya adalah perlu dipikirkan bagaimana potensi ekonomi yang ada bisa digunakan sebagai sumber dana pembangunan internal sehingga tidak lagi kita bergantung pada utang.
Selagi merebahkan badan. Sis Kucing menelepon.
“Cak Su, utang negoro menurut sampeyan itu tidak benar!”
“Ndak benar gimana Sis?!”
“Itu hanya utang dalam arti sempit Cak!!”
“Sempit?! Sempit piye?!”
“Lha… negara kan juga punya banyak utang pada rakyatnya!”
“Maksudmu??”
“Utang itu kewajiban to?!”
“He eh!”
“Akeh kewajibane negoro marang rakyate yang belum dibayarkan!!”
“Terus?!”
“Terus, peringatan kanggo sampeyan! Yen nulis sing bener!!!”
???
(Saya jadi teringat salah satu dialog lakon “Tumpeng Maut” dalam ludruk banyolan Kartolo di radio.
Kartolo: “Ri… Sapari, Lek koen duwe utang… gampang! Bukaan buku halaman sepuluh!”
Sapari: “Opo iku Lo..?!”
Kartolo: “Lek utangmu wis akeh…. Ndang mlayu..o!!!”)
Jumat, Desember 19, 2008
BHP: Aset, Dana dan Investasi
Part II. Sebuah Konsep Manfaat
SERING KALI:
Kita yang memiliki,
Orang lain yang memanfaatkan.
Renungan A. Mustofa Bisri dalam “Mencari Bening Mata Air”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008).
*****************************
RUU BHP disetujui DPR bersamaan dengan 3 RUU yang lain. Jika dapat dikatakan persetujuan RUU BHP sebagai sebuah kontroversi (karena ada pro dan kontra), sensasi BHP kalah jauh dengan kontroversi persetujuan RUU Mahkamah Agung oleh DPR. Usia pensiun seorang hakim agung menjadi fokus diskusi yang sampai saat inipun masih sengit terdengar, terbaca dan terlihat. Sedangkan “rating” BHP sebagai bahan diskusi relatif rendah. Mengapa demikian?. Entahlah.
BHP memang tidak semestinya hanya didiskusikan, diseminarkan dan sejenisnya tetapi perlu disikapi dengan pemikiran dan perencanaan sebagai reaksi dan adaptasi yang lebih positif daripada sekedar berwacana. Ancaman judial review memang bergulir, tetapi adagium “sedia payung sebelum hujan” ataupun bahkan “berpayung biar tidak lebih basah kuyub” mutlak harus dilakukan. Pola pikir strategis dengan pendekatan TOWS layak disegerakan. RUU BHP merupakan Ancaman (Threat) sekaligus Peluang (Opportunity) yang akan kita hadapi dan miliki dan kedua hal itu harus kita hadapi dengan Kelemahan (Weakness) dan Kekuatan (Strength) yang saat ini kita miliki. Keempat hal inilah yang harus kita sinkronisasi dengan manajemen dan tata kelola (good university governance) yang baik untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi “kemakmuran” stakeholder.
Aset dan Manajemen Aset
RUU BHP yang disetujui DPR menyebutkan bahwa kekayaan pendiri yang dipisahkan menjadi kekayaan BHP. Dalam titik ini, maka kekayaan BHP adalah semua aset yang saat ini telah dimiliki (given). Jika ditelusuri maka aset yang bersumber dari pendiri (dalam konteks PTN adalah pemerintah pusat) ini terdiri dari 2 bentuk, yaitu aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset berwujud secara fisik dapat berbentuk sarana dan prasaranan pendidikan dalam artian luas, baik yang saat ini sudah dalam penguasaan BHP ataupun yang masih berada dalam penguasaan pihak lain.
Dalam konteks ini, maka diperlukan identifikasi dan legalisasi aset sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Identifikasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan data sebenarnya tentang jumlah dan bentuk aset yang dimiliki (kuantitas) serta identifikasi nilai ekonomis-nya (kualitas). Pelibatan peran penilai (appraisal) sangat dibutuhkan dalam tahap ini. Setelah mengetahui data rinci aset, baik kauntitas maupun kualitas, maka barulah dilakukan identifikasi potensi/manfaat ekonomis yang bisa diperoleh dari pemanfaatan aset tersebut. Masalah yang sering dihadapi adalah penguasaan aset secara fisik oleh pihak lain. Proses ini memerlukan waktu dan kadang memerlukan biaya yang relatif besar untuk mendapatkannya kembali. Sehingga diperlukan usaha dengan berbagai macam pendekatan agar aset tersebut bisa didapatkan kembali.
Aset tidak berwujud berupa kecakapan intelektual, kepemilikan ketrampilan (skill), daya inovasi dan hak milik intelektual (intellectual property right) yang dimiliki oleh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari BHP yang bersangkutan. Nilai dan potensi aset ini sangat besar, tetapi terkadang belum teridentifikasi/terpetakan dengan baik. Sehingga pengelolaan-nya juga tidak maksimal. BHP memiliki potensi memperoleh peluang ekonomis yang besar atas aset ini jika ia mampu memetakan, memberdayakan (memfasilitasi) dan mengelola aset ini dengan benar. Jika aset ini tidak dikelola dengan baik, maka yang terjadi adalah “SERINGKALI: Kita yang memiliki, Orang lain yang memanfaatkan”, seperti yang dikatakan Gus Mus seperti dikutip diatas.
Sinkronisasi antara aset berwujud dengan tidak berwujud akan menghasilkan sinergi yang baik, jika dilakukan dengan tepat. Memanfaatkan aset berwujud secara maksimal (tanpa melalaikan maintenance) dengan dukungan aset tidak berwujud secara profesional sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya akan menghasilkan sinergi yang menguntungkan bagi BHP yang bersangkutan. Sehingga pelaksanaan manajemen aset yang baik mutlak diperlukan.
Dana dan Investasi
Menurut RUU BHP yang disetujui DPR, sumber pendanaan BHP berasal dari pemerintah, masyarakat dan peserta didik. Dana yang berasal dari pemerintah memiliki sifat kaku (rigid) karena besaran dan alokasinya diatur dan ditentukan jelas. Demikan pula dana yang berasal dari peserta didik juga jelas ketentuannya. Maka akses pendanaan dari masyakarat dalam dilakukan sesuai dengan kaidah perundangan dan dilakukan dengan cara yang profesional dan bermartabat.
Efisiensi atas kegiatan operasional BHP mutlak diperlukan. Dari langkah efisiensi ini dapat diakumulasi dana yang relatif besar. Batasan kebijakan efisiensi adalah tidak mengurangi hak stakeholder internal (tenaga pendidikan, tenaga kependidikan dan mahasiswa) dan juga tidak sampai menganggu efektivitas operasional. Salah satu contoh adalah efisiensi yang dapat dilakukan terhadap konsumsi listrik, telepon, air dan lain sebagainya. Penyusunan manual/pedoman tindakan dan pembentukan etos perlu dilakukan untuk mendukung efektivitas dari langkah efisiensi ini. Selanjutnya dana dari sumber ini dapat digunakan sebagai modal kerja untuk memaksimalkan aset yang dimiliki.
Akses dana menurut RUU BHP yang disetujui DPR, juga memperbolehkan BHP mendapatkan dana melalui hutang kepada pihak lain. Pembolehan ini memerlukan penyikapan yang rasional, realistis dan terukur baik manfaat dan risiko yang kemungkinan muncul. Rasionalisasi atas kebijakan akses dana melalui kredit harus jelas. Arus kas, baik kas keluar dan kas masuk selama jangka waktu kredit harus diproyeksikan secara rasional. Disamping itu pengelolaan dananya harus profesional juga. Hal ini sebagai bentuk antisipasi terhadap risiko pailit BHP seperti yang diatur dalam RUU BHP. Prinsip Good University Governance harus menjadi ruh dalam setiap operasional BHP.
Kerjasama dengan pihak ketiga yang potensial dan kredibel merupakan salah satu alternatif yang layak dilakukan. Kerjasama yang dapat memberikan implikasi akademik maupun finansial harus direncanakan dan diupayakan secara maksimal. Kerjasama ini tidak optimal jika dilakukan secara sporadis tetapi aspek keberlanjutan harus pula dipertimbangkan. Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk pemanfaatan aset sebagai pelepas modal ataupun sebagai pengelola modal. Alternatif ini sebagai pelepas dan pengelola modal dipilih dengan mempertimbangan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks ini jejaring (networking) dan branding sebuah BHP harus pula disegerakan. Jika hal ini diupayakan secara maksimal maka akan memiliki kontribusi signifikan atas kebijakan pendanaan (funding) maupun kebijakan investasi (investment).
Sumber dana bisa pula didapatkan dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh BHP. Maksimalisasi nilai ekonomi aset dengan orientasi bisnis yang prospektif dan profitable dapat menjadi income generating bagi BHP. Untuk itu kebijakan investasi yang kreatif merupakan sebuah keharusan. Knowledge Based Economy memiliki relevansi kuat dengan kharakteristik sebuah BHP. Sehingga siklus DANA-INVESTASI-PROFITABILITAS-DANA perlu terus dikembangkan dengan konsep “The Value Cycle Spiral”-nya Roger G. Clarke.
*************************
Kesadaran adalah matahari,
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
(Rendra dalam Megatruh Kambuh, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2001)
SERING KALI:
Kita yang memiliki,
Orang lain yang memanfaatkan.
Renungan A. Mustofa Bisri dalam “Mencari Bening Mata Air”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008).
*****************************
RUU BHP disetujui DPR bersamaan dengan 3 RUU yang lain. Jika dapat dikatakan persetujuan RUU BHP sebagai sebuah kontroversi (karena ada pro dan kontra), sensasi BHP kalah jauh dengan kontroversi persetujuan RUU Mahkamah Agung oleh DPR. Usia pensiun seorang hakim agung menjadi fokus diskusi yang sampai saat inipun masih sengit terdengar, terbaca dan terlihat. Sedangkan “rating” BHP sebagai bahan diskusi relatif rendah. Mengapa demikian?. Entahlah.
BHP memang tidak semestinya hanya didiskusikan, diseminarkan dan sejenisnya tetapi perlu disikapi dengan pemikiran dan perencanaan sebagai reaksi dan adaptasi yang lebih positif daripada sekedar berwacana. Ancaman judial review memang bergulir, tetapi adagium “sedia payung sebelum hujan” ataupun bahkan “berpayung biar tidak lebih basah kuyub” mutlak harus dilakukan. Pola pikir strategis dengan pendekatan TOWS layak disegerakan. RUU BHP merupakan Ancaman (Threat) sekaligus Peluang (Opportunity) yang akan kita hadapi dan miliki dan kedua hal itu harus kita hadapi dengan Kelemahan (Weakness) dan Kekuatan (Strength) yang saat ini kita miliki. Keempat hal inilah yang harus kita sinkronisasi dengan manajemen dan tata kelola (good university governance) yang baik untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi “kemakmuran” stakeholder.
Aset dan Manajemen Aset
RUU BHP yang disetujui DPR menyebutkan bahwa kekayaan pendiri yang dipisahkan menjadi kekayaan BHP. Dalam titik ini, maka kekayaan BHP adalah semua aset yang saat ini telah dimiliki (given). Jika ditelusuri maka aset yang bersumber dari pendiri (dalam konteks PTN adalah pemerintah pusat) ini terdiri dari 2 bentuk, yaitu aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset berwujud secara fisik dapat berbentuk sarana dan prasaranan pendidikan dalam artian luas, baik yang saat ini sudah dalam penguasaan BHP ataupun yang masih berada dalam penguasaan pihak lain.
Dalam konteks ini, maka diperlukan identifikasi dan legalisasi aset sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Identifikasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan data sebenarnya tentang jumlah dan bentuk aset yang dimiliki (kuantitas) serta identifikasi nilai ekonomis-nya (kualitas). Pelibatan peran penilai (appraisal) sangat dibutuhkan dalam tahap ini. Setelah mengetahui data rinci aset, baik kauntitas maupun kualitas, maka barulah dilakukan identifikasi potensi/manfaat ekonomis yang bisa diperoleh dari pemanfaatan aset tersebut. Masalah yang sering dihadapi adalah penguasaan aset secara fisik oleh pihak lain. Proses ini memerlukan waktu dan kadang memerlukan biaya yang relatif besar untuk mendapatkannya kembali. Sehingga diperlukan usaha dengan berbagai macam pendekatan agar aset tersebut bisa didapatkan kembali.
Aset tidak berwujud berupa kecakapan intelektual, kepemilikan ketrampilan (skill), daya inovasi dan hak milik intelektual (intellectual property right) yang dimiliki oleh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari BHP yang bersangkutan. Nilai dan potensi aset ini sangat besar, tetapi terkadang belum teridentifikasi/terpetakan dengan baik. Sehingga pengelolaan-nya juga tidak maksimal. BHP memiliki potensi memperoleh peluang ekonomis yang besar atas aset ini jika ia mampu memetakan, memberdayakan (memfasilitasi) dan mengelola aset ini dengan benar. Jika aset ini tidak dikelola dengan baik, maka yang terjadi adalah “SERINGKALI: Kita yang memiliki, Orang lain yang memanfaatkan”, seperti yang dikatakan Gus Mus seperti dikutip diatas.
Sinkronisasi antara aset berwujud dengan tidak berwujud akan menghasilkan sinergi yang baik, jika dilakukan dengan tepat. Memanfaatkan aset berwujud secara maksimal (tanpa melalaikan maintenance) dengan dukungan aset tidak berwujud secara profesional sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya akan menghasilkan sinergi yang menguntungkan bagi BHP yang bersangkutan. Sehingga pelaksanaan manajemen aset yang baik mutlak diperlukan.
Dana dan Investasi
Menurut RUU BHP yang disetujui DPR, sumber pendanaan BHP berasal dari pemerintah, masyarakat dan peserta didik. Dana yang berasal dari pemerintah memiliki sifat kaku (rigid) karena besaran dan alokasinya diatur dan ditentukan jelas. Demikan pula dana yang berasal dari peserta didik juga jelas ketentuannya. Maka akses pendanaan dari masyakarat dalam dilakukan sesuai dengan kaidah perundangan dan dilakukan dengan cara yang profesional dan bermartabat.
Efisiensi atas kegiatan operasional BHP mutlak diperlukan. Dari langkah efisiensi ini dapat diakumulasi dana yang relatif besar. Batasan kebijakan efisiensi adalah tidak mengurangi hak stakeholder internal (tenaga pendidikan, tenaga kependidikan dan mahasiswa) dan juga tidak sampai menganggu efektivitas operasional. Salah satu contoh adalah efisiensi yang dapat dilakukan terhadap konsumsi listrik, telepon, air dan lain sebagainya. Penyusunan manual/pedoman tindakan dan pembentukan etos perlu dilakukan untuk mendukung efektivitas dari langkah efisiensi ini. Selanjutnya dana dari sumber ini dapat digunakan sebagai modal kerja untuk memaksimalkan aset yang dimiliki.
Akses dana menurut RUU BHP yang disetujui DPR, juga memperbolehkan BHP mendapatkan dana melalui hutang kepada pihak lain. Pembolehan ini memerlukan penyikapan yang rasional, realistis dan terukur baik manfaat dan risiko yang kemungkinan muncul. Rasionalisasi atas kebijakan akses dana melalui kredit harus jelas. Arus kas, baik kas keluar dan kas masuk selama jangka waktu kredit harus diproyeksikan secara rasional. Disamping itu pengelolaan dananya harus profesional juga. Hal ini sebagai bentuk antisipasi terhadap risiko pailit BHP seperti yang diatur dalam RUU BHP. Prinsip Good University Governance harus menjadi ruh dalam setiap operasional BHP.
Kerjasama dengan pihak ketiga yang potensial dan kredibel merupakan salah satu alternatif yang layak dilakukan. Kerjasama yang dapat memberikan implikasi akademik maupun finansial harus direncanakan dan diupayakan secara maksimal. Kerjasama ini tidak optimal jika dilakukan secara sporadis tetapi aspek keberlanjutan harus pula dipertimbangkan. Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk pemanfaatan aset sebagai pelepas modal ataupun sebagai pengelola modal. Alternatif ini sebagai pelepas dan pengelola modal dipilih dengan mempertimbangan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks ini jejaring (networking) dan branding sebuah BHP harus pula disegerakan. Jika hal ini diupayakan secara maksimal maka akan memiliki kontribusi signifikan atas kebijakan pendanaan (funding) maupun kebijakan investasi (investment).
Sumber dana bisa pula didapatkan dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh BHP. Maksimalisasi nilai ekonomi aset dengan orientasi bisnis yang prospektif dan profitable dapat menjadi income generating bagi BHP. Untuk itu kebijakan investasi yang kreatif merupakan sebuah keharusan. Knowledge Based Economy memiliki relevansi kuat dengan kharakteristik sebuah BHP. Sehingga siklus DANA-INVESTASI-PROFITABILITAS-DANA perlu terus dikembangkan dengan konsep “The Value Cycle Spiral”-nya Roger G. Clarke.
*************************
Kesadaran adalah matahari,
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
(Rendra dalam Megatruh Kambuh, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2001)
Kamis, Desember 18, 2008
BHP: Perspektif Good University Governance
Part I
Gerimis mengguyur lagi!.
“Cak Su, BHP itu apa sih?!” tanya Lik Mo tetanggaku kampung melalui telepon.
“Badan Hukun Pendidikan Lik! Memangnya ada apa sih?!”
“Enggak, aku kok merasa takut saja Cak!”
“Takut, memangnya kenapa kok harus takut segala?!”
“Iya… Kata mahasiswa yang demo itu biaya pendidikan akan menjadi mahal!”
“Terus?!”
“Lha kalau mahal, aku kan tidak bisa kuliahkan Lastri nanti to Cak?!”
“Terus?!”
“Lha… pupuslah harapan memiliki anak sarjana!”
“Terus?!”
“Welah… Cak Su ngece to… Kok terus terus thok!”
“Ora Lik, aku mung pingin ngomong, biaya pendidikan akan mahal bagi kampus yang serakah, gege mongso dan gak kreatif!”
????
Rapat Paripurna DPR (17/12) yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar menyetujui RUU Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang. Persetujuan ini dicapai setelah melalui pembahasan dan penundaan beberapa kali. Proses selanjutnya hanyalah menunggu presiden mensahkannya. Aksi demontrasi seperti diduga sebelumnya, mewarnai proses paripurna persetujuan RUU BHP ini. Mahasiswa turun kejalan untuk menuntut penolakan atas RUU tersebut. Penolakan ini bersumber pada kekhawatiran mereka atas kemungkinan terjadinya komersialisasi pendidikan dan langkah lepas tangannya pemerintah terhadap pendanaan pendidikan. Anjing mengonggong kafilahpun berlalu. RUU BHP tetap disetujui!
Status BHP bagi universitas adalah bentuk otonomi diperluas yang diberikan oleh undang-undang kepadanya. Pemberian ini menuntut konsekuensi yang harus diantisipasi dan dihadapi oleh perguruan tinggi. Menerima BHP tanpa melakukan langkah penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional berarti membiarkan “maut” datang untuk menjemput “kematian” kita. Meskipun nantinya dimungkinkan ada langkah judicial review atas berlakukanya UU BHP ini, maka tidak ada ruginya jika proses penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional disegerakan. Meskipun sudah mulai terbentuk kerangka BHP di beberapa perguruan tinggi, seperti UM dengan proyek I-MHERE-nya, langkah yang lebih operasional perlu segera diterjemahkan dan dilakukan.
Prinsip Good University Governance dan Masalahnya
BHP merupakan badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Sebagai badan hukum maka BHP merupakan subjek hukum, seperti manusia, yang memiliki asset/kekayaan dan kewajiban hukum sendiri. BHP merupakan badan yang melakukan pengelolaan dana secara otonom dengan prisip nirlaba yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha maka sisa lebih tersebut harus ditanamkan kembali untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan. Pertanyaannya adalah berapa besar “sisa lebih” yang dikehendaki? Bagaimana mencapai target “sisa lebih” itu? Apa batasan/koridor hukumnya? Pada titik ini, ruang terjadinya komersialisasi pendidikan terbuka. Keinginan untuk cepat “besar” dan “berhasil” dalam investasi peningkatan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan dengan dana “sisa lebih” akan mendorong kecurigaan terjadinya komersialisasi pendidikan itu semakin tinggi.
Dalam BHP diatur beberapa prisip sebagai landasan normatif pelaksanaannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Otonomi
Merupakan kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Dalam aspek ini, otonomi memiliki 2 unsur, yaitu (1) Kewenangan, adalah unsur yang sering menjadi pendorong untuk men-segerakan BHP dan (2) Kemampuan, adalah konsekuensi atas kewenangan. Memiliki kewenangan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya merupakan kesia-siakan dari sebuah otonomi. Dengan adanya otonomi nenuntut daya responsif dan adaptif terhadap perubahan menjadi semakin cepat dan bertanggung jawab.
2. Akuntabilitas
Merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Akuntabilitas tidak seharusnya dimaknai hanya dalam aspek pelaporan administratif saja tetapi lebih kepada pertanggunganjawab atas pencapaian (progress) dari target yang telah ditetapkan. Setiap progres dan kendala merupakan hak dari stakeholder untuk meminta pertanggunganjawab dari penyelenggara pendidikan. Akuntabilitas terhadap stakeholder internal BHP tidak hanya berpola alir “dari bawah ke atas” tapi juga selayaknya “dari atas ke bawah” pula. Itu lebih berkeadilan!.
3. Transparansi
Merupakan keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Transparansi tidaklah harus dimaknai sebagai suatu kewajiban tetapi lebih tepat jika dimaknai sebagai suatu “kebutuhan”. Karena transparansi akan mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kecurangan (fraud), ketidakadilan/diskriminasi dan sekaligus berperan sebagai leading indicator terhadap pelaksanaan tata kelola organisasi (good governance). Tuntutan normatif, keharusan adanya transparansi haruslah didukung dengan seprangkat sistem yang baik dan terukur serta perubahan/penciptaan budaya (culture) organisasi yang kondusif. Akomodasi proporsional terhadap sikap kritis dari stakeholder merupakan sebuah keharusan.
4. Penjaminan Mutu
Merupakan kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Pendidikan Nasional serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan berkelanjutan.
Karena penjaminan mutu merupakan kegiatan yang sistemik, maka ia memerlukan keberadaan dan dukungan dari sub sistem yang lain. Penjaminan mutu harus meneropong dalam segala aspek operasional BHP. Dan yang pasti memberdayakan Penjaminan Mutu baik secara kelembagaan maupun “kepedulian dan kesadaran” untuk merespon hasil kerja yang dilakukan merupakan sebuah keharusan. Hal ini dapat digunakan sebagai media untuk menciptakan kondisi “SADAR MUTU” bagi segenap pihak dalam BHP.
5. Layanan Prima
Yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik.
Kepuasan dari stakeholder merupakan indikator yang paling sahih untuk menilai apakah operasional BHP sudah dilakukan dengan baik atau tidak. Segenap tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan harus sanggup untuk memberikan layanan prima. Kesanggupan ini dapat dipenuhi jika didukung dengan manajemen SDM yang baik dan penciptaan nilai (value) organisasi yang mampu menginspirasi perilaku. Ketiadaan nilai dan budaya organisasi yang baik, sulit untuk mendorong kesadaran atas tuntutan layanan prima kepada peserta didik.
6. Akses Yang Berkeadilan
Yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial dan kemampuan ekonominya. Prinsip ini menuntut perlakuan non diskriminasi terhadap input mehasiswa. Sehingga kemampuan akademik merupakan satu-satunya syarat dalam penerimaan mahasiswa baru. Bukan yang lain!. Konsekuensi-nya adalah bagaimana sistem yang dibangun dapat memberikan kesempatan yang adil bagi calon peserta didik yang memiliki kemampuan akademik tinggi tetapi tidak didukung oleh kemampuan ekonomi yang baik. Tetapkah mereka memiliki kesempatan yang sama dengan calon mahasiswa yang mendapat dukungan kemampuan ekonomi yang baik? Berpihak kemanakah BHP menyikapinya?
7. Keberagaman
Yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap terhadap berbagai pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis dan budaya masing-masing. Prinsip ini menjunjung tinggi keberagaman sebagai kondisi alamiah manusia. Tidak ada perlakuan diskriminatif dalam operasional BHP. Kesempatan berkembang bukan diberikan/difasilitasi atas dasar persamaan agama, ras, etnis dan budaya tetapi dilihat dari penilaian objektif kompetensi dan profesionalisme. Sistem dan budaya organisasi harus mendukung terciptanya tatanan yang non-diskriminasi itu.
8. Keberlanjutan
Merupakan kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada kepada peserta didik secara terus menerus dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan pelayanan.
Sebagai BHP maka status badan hukum itu bisa dicabut sesuai dengan perundangan yang berlaku. Misalnya pencabutan status BHP melalui putusan pailit. Untuk menghindari itu, maka BHP harus dilakukan dengan pola manajemen yang hati-hati (prudent), profesional dan bertanggung jawab. Pengelolaan BHP yang tidak didasari dengan perencanaan yang baik dan lebih cenderung spekulatif mendorong risiko pailit semakin besar potensinya untuk terjadi. Aspek ini terkait erat dengan pengelolaan keuangan, baik dalam aspek pendanaan (funding) maupun aspek investasi (investment). Penerapan prinsip manajemen risiko yang bertanggung jawab menjadi salah satu cara untuk meminimumkan risiko pailit ini.
9. Partisipasi Atas Tanggung Jawab Negara
Yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara.
Prinsip-prinsip operasional BHP ini menuntut disusunnya perangkat hukum yang menjadi dasar kebijakan operasional. Dan perangkat hukum ini harus mampu memberikan jaminan atas pelaksanaan kesembilan prinsip-prinsip diatas. Selanjutnya norma hukum ini harus diikuti dengan aturan pelaksanaan yang lebih operasional. Artinya tidak hanya berhenti hanya sampai dalam tataran normatif yang abstrak. Dan pada akhirnya perangkat hukum yang dibentuk tersebut diharapkan mampu membentuk nilai dan budaya organisasi yang mendukung bagi terbentuk kesadaran menjalankan prinsip-prinsip itu secara sukarela, tanpa ancaman, paksaan dan intimidasi!. Jika itu terjadi, merupakan awal dari pemenuhan harapan akan kualitas pendidikan yang baik.
Sis Kucing, tetangga kampung yang korban DO dari sebuah universitas di Malang, menelepon.
“Cak Su, kalau perguruan tinggi sampeyan nanti mau dirikan pabrik, tilpon kau ya?! Aku mau nglamar kerja!”
“Lho…. Kok pabrik?! Kata siapa Sis?!”
“Enggak, kalau BHP kan nanti perguruan tinggi boleh bisnis to?!”
“Iya memang, tapi ya… apa harus pabrik to Sis?!”
“Ya mungkin Cak!”
“Iya nanti tak kabari, kalau…”
“Kalau apa Cak?!” Sis memotong bicaraku.
“Kalau aku tahu Sis!”
“Waduh?! BHP akan membuat orang kampus semakin sibuk ya Cak?!”
“Mungkin?!” kataku.
“Jika sibuk, terus mahasiswa-nya juga pasti lebih sibuk lagi Cak!”
“Kok bisa?!!”
“Sibuk nyari dosen-nya yang entah sibuk apa??!”
????
Gerimis mengguyur lagi!.
“Cak Su, BHP itu apa sih?!” tanya Lik Mo tetanggaku kampung melalui telepon.
“Badan Hukun Pendidikan Lik! Memangnya ada apa sih?!”
“Enggak, aku kok merasa takut saja Cak!”
“Takut, memangnya kenapa kok harus takut segala?!”
“Iya… Kata mahasiswa yang demo itu biaya pendidikan akan menjadi mahal!”
“Terus?!”
“Lha kalau mahal, aku kan tidak bisa kuliahkan Lastri nanti to Cak?!”
“Terus?!”
“Lha… pupuslah harapan memiliki anak sarjana!”
“Terus?!”
“Welah… Cak Su ngece to… Kok terus terus thok!”
“Ora Lik, aku mung pingin ngomong, biaya pendidikan akan mahal bagi kampus yang serakah, gege mongso dan gak kreatif!”
????
Rapat Paripurna DPR (17/12) yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar menyetujui RUU Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang. Persetujuan ini dicapai setelah melalui pembahasan dan penundaan beberapa kali. Proses selanjutnya hanyalah menunggu presiden mensahkannya. Aksi demontrasi seperti diduga sebelumnya, mewarnai proses paripurna persetujuan RUU BHP ini. Mahasiswa turun kejalan untuk menuntut penolakan atas RUU tersebut. Penolakan ini bersumber pada kekhawatiran mereka atas kemungkinan terjadinya komersialisasi pendidikan dan langkah lepas tangannya pemerintah terhadap pendanaan pendidikan. Anjing mengonggong kafilahpun berlalu. RUU BHP tetap disetujui!
Status BHP bagi universitas adalah bentuk otonomi diperluas yang diberikan oleh undang-undang kepadanya. Pemberian ini menuntut konsekuensi yang harus diantisipasi dan dihadapi oleh perguruan tinggi. Menerima BHP tanpa melakukan langkah penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional berarti membiarkan “maut” datang untuk menjemput “kematian” kita. Meskipun nantinya dimungkinkan ada langkah judicial review atas berlakukanya UU BHP ini, maka tidak ada ruginya jika proses penyikapan yang proaktif, kreatif dan rasional disegerakan. Meskipun sudah mulai terbentuk kerangka BHP di beberapa perguruan tinggi, seperti UM dengan proyek I-MHERE-nya, langkah yang lebih operasional perlu segera diterjemahkan dan dilakukan.
Prinsip Good University Governance dan Masalahnya
BHP merupakan badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Sebagai badan hukum maka BHP merupakan subjek hukum, seperti manusia, yang memiliki asset/kekayaan dan kewajiban hukum sendiri. BHP merupakan badan yang melakukan pengelolaan dana secara otonom dengan prisip nirlaba yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha maka sisa lebih tersebut harus ditanamkan kembali untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan. Pertanyaannya adalah berapa besar “sisa lebih” yang dikehendaki? Bagaimana mencapai target “sisa lebih” itu? Apa batasan/koridor hukumnya? Pada titik ini, ruang terjadinya komersialisasi pendidikan terbuka. Keinginan untuk cepat “besar” dan “berhasil” dalam investasi peningkatan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan dengan dana “sisa lebih” akan mendorong kecurigaan terjadinya komersialisasi pendidikan itu semakin tinggi.
Dalam BHP diatur beberapa prisip sebagai landasan normatif pelaksanaannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Otonomi
Merupakan kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Dalam aspek ini, otonomi memiliki 2 unsur, yaitu (1) Kewenangan, adalah unsur yang sering menjadi pendorong untuk men-segerakan BHP dan (2) Kemampuan, adalah konsekuensi atas kewenangan. Memiliki kewenangan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya merupakan kesia-siakan dari sebuah otonomi. Dengan adanya otonomi nenuntut daya responsif dan adaptif terhadap perubahan menjadi semakin cepat dan bertanggung jawab.
2. Akuntabilitas
Merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Akuntabilitas tidak seharusnya dimaknai hanya dalam aspek pelaporan administratif saja tetapi lebih kepada pertanggunganjawab atas pencapaian (progress) dari target yang telah ditetapkan. Setiap progres dan kendala merupakan hak dari stakeholder untuk meminta pertanggunganjawab dari penyelenggara pendidikan. Akuntabilitas terhadap stakeholder internal BHP tidak hanya berpola alir “dari bawah ke atas” tapi juga selayaknya “dari atas ke bawah” pula. Itu lebih berkeadilan!.
3. Transparansi
Merupakan keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Transparansi tidaklah harus dimaknai sebagai suatu kewajiban tetapi lebih tepat jika dimaknai sebagai suatu “kebutuhan”. Karena transparansi akan mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kecurangan (fraud), ketidakadilan/diskriminasi dan sekaligus berperan sebagai leading indicator terhadap pelaksanaan tata kelola organisasi (good governance). Tuntutan normatif, keharusan adanya transparansi haruslah didukung dengan seprangkat sistem yang baik dan terukur serta perubahan/penciptaan budaya (culture) organisasi yang kondusif. Akomodasi proporsional terhadap sikap kritis dari stakeholder merupakan sebuah keharusan.
4. Penjaminan Mutu
Merupakan kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Pendidikan Nasional serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan berkelanjutan.
Karena penjaminan mutu merupakan kegiatan yang sistemik, maka ia memerlukan keberadaan dan dukungan dari sub sistem yang lain. Penjaminan mutu harus meneropong dalam segala aspek operasional BHP. Dan yang pasti memberdayakan Penjaminan Mutu baik secara kelembagaan maupun “kepedulian dan kesadaran” untuk merespon hasil kerja yang dilakukan merupakan sebuah keharusan. Hal ini dapat digunakan sebagai media untuk menciptakan kondisi “SADAR MUTU” bagi segenap pihak dalam BHP.
5. Layanan Prima
Yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik.
Kepuasan dari stakeholder merupakan indikator yang paling sahih untuk menilai apakah operasional BHP sudah dilakukan dengan baik atau tidak. Segenap tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan harus sanggup untuk memberikan layanan prima. Kesanggupan ini dapat dipenuhi jika didukung dengan manajemen SDM yang baik dan penciptaan nilai (value) organisasi yang mampu menginspirasi perilaku. Ketiadaan nilai dan budaya organisasi yang baik, sulit untuk mendorong kesadaran atas tuntutan layanan prima kepada peserta didik.
6. Akses Yang Berkeadilan
Yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial dan kemampuan ekonominya. Prinsip ini menuntut perlakuan non diskriminasi terhadap input mehasiswa. Sehingga kemampuan akademik merupakan satu-satunya syarat dalam penerimaan mahasiswa baru. Bukan yang lain!. Konsekuensi-nya adalah bagaimana sistem yang dibangun dapat memberikan kesempatan yang adil bagi calon peserta didik yang memiliki kemampuan akademik tinggi tetapi tidak didukung oleh kemampuan ekonomi yang baik. Tetapkah mereka memiliki kesempatan yang sama dengan calon mahasiswa yang mendapat dukungan kemampuan ekonomi yang baik? Berpihak kemanakah BHP menyikapinya?
7. Keberagaman
Yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap terhadap berbagai pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis dan budaya masing-masing. Prinsip ini menjunjung tinggi keberagaman sebagai kondisi alamiah manusia. Tidak ada perlakuan diskriminatif dalam operasional BHP. Kesempatan berkembang bukan diberikan/difasilitasi atas dasar persamaan agama, ras, etnis dan budaya tetapi dilihat dari penilaian objektif kompetensi dan profesionalisme. Sistem dan budaya organisasi harus mendukung terciptanya tatanan yang non-diskriminasi itu.
8. Keberlanjutan
Merupakan kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada kepada peserta didik secara terus menerus dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan pelayanan.
Sebagai BHP maka status badan hukum itu bisa dicabut sesuai dengan perundangan yang berlaku. Misalnya pencabutan status BHP melalui putusan pailit. Untuk menghindari itu, maka BHP harus dilakukan dengan pola manajemen yang hati-hati (prudent), profesional dan bertanggung jawab. Pengelolaan BHP yang tidak didasari dengan perencanaan yang baik dan lebih cenderung spekulatif mendorong risiko pailit semakin besar potensinya untuk terjadi. Aspek ini terkait erat dengan pengelolaan keuangan, baik dalam aspek pendanaan (funding) maupun aspek investasi (investment). Penerapan prinsip manajemen risiko yang bertanggung jawab menjadi salah satu cara untuk meminimumkan risiko pailit ini.
9. Partisipasi Atas Tanggung Jawab Negara
Yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara.
Prinsip-prinsip operasional BHP ini menuntut disusunnya perangkat hukum yang menjadi dasar kebijakan operasional. Dan perangkat hukum ini harus mampu memberikan jaminan atas pelaksanaan kesembilan prinsip-prinsip diatas. Selanjutnya norma hukum ini harus diikuti dengan aturan pelaksanaan yang lebih operasional. Artinya tidak hanya berhenti hanya sampai dalam tataran normatif yang abstrak. Dan pada akhirnya perangkat hukum yang dibentuk tersebut diharapkan mampu membentuk nilai dan budaya organisasi yang mendukung bagi terbentuk kesadaran menjalankan prinsip-prinsip itu secara sukarela, tanpa ancaman, paksaan dan intimidasi!. Jika itu terjadi, merupakan awal dari pemenuhan harapan akan kualitas pendidikan yang baik.
Sis Kucing, tetangga kampung yang korban DO dari sebuah universitas di Malang, menelepon.
“Cak Su, kalau perguruan tinggi sampeyan nanti mau dirikan pabrik, tilpon kau ya?! Aku mau nglamar kerja!”
“Lho…. Kok pabrik?! Kata siapa Sis?!”
“Enggak, kalau BHP kan nanti perguruan tinggi boleh bisnis to?!”
“Iya memang, tapi ya… apa harus pabrik to Sis?!”
“Ya mungkin Cak!”
“Iya nanti tak kabari, kalau…”
“Kalau apa Cak?!” Sis memotong bicaraku.
“Kalau aku tahu Sis!”
“Waduh?! BHP akan membuat orang kampus semakin sibuk ya Cak?!”
“Mungkin?!” kataku.
“Jika sibuk, terus mahasiswa-nya juga pasti lebih sibuk lagi Cak!”
“Kok bisa?!!”
“Sibuk nyari dosen-nya yang entah sibuk apa??!”
????
Selasa, Desember 16, 2008
The Fed, Hot Money: Berkah yang Mengancam Pasar Keuangan Kita?
Syukur, selama 2 hari ini Kota Malang tidak diguyur hujan, gerimispun tidak pula menganggu. Tiadanya gerimis dan hujan memberi kesempatan untuk memperbaiki talang rumah yang bocor. Dan kupanggil Cak Yon, tukang langgananku untuk memperbaikinya.
“Cak Su! Harga bensin sudah turun lagi ya?” tanya Cak Yon.
“Iyo Cak, sekarang lima ribu rupiah seliternya!”
“We... kok lebih murah dari lenggo gas yo?!”
“Lha... minyak tanah sekarang berapa sih harganya?!”
“Enam ribu Cak, itupun kadang ada terkadang tak ada!”
“Iya... ya lebih mahal minyak tanah Cak!” gumamku lirih.
“Lha ya itu... masalahnya, kan bensin itu untuk orang kaya, kok harganya lebih murah ya!”
“Lha itu Cak... aku juga gak paham!”
“Katanya lagi bunga federal juga akan turun ya Cak?! Kreditnya dimana sih?!”
“Maksud Cak Yon, apa?!”
“Kalau bunga kredit sepeda federal turun, aku mau belikan Anton sepeda Cak!”
???
Integrasi dan globalisasi pasar keuangan menuntut langkah antisipatif yang proaktif dan rasional. Saat ini Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) tengah merumuskan kebijakan moneter yang terkait dengan kemungkinan penurunan tingkat bunga The Fed untuk mencegah deflasi (baca: yang semakin parah) di AS. Tentunya, kebijakan yang akan diambil oleh The Fed ini akan memiliki beragam implikasi kepada pasar keuangan internasional, tidak terkecuali pasar keuangan negara kita Indonesia.
Penurunan suku bunga The Fed, sudah dimulai sejak bulan September 2007 yang lalu, dari 5.25% sampai pada level 1% saat ini. (Kontan, 16/12). Penurunan ini digunakan sebagai instrumen untuk menjaga tingkat daya beli masyarakat (purchasing power) dan mereduksi tingkat kredit macet/NPL (Non Performing Loan). Jika saat ini bunga The Fed diindikasikan bakal menurun kembali, pada titik berapa bunga itu akan berhenti? The Fed sudah dalam posisi kehabisan persediaan “bunga” sebagai salah satu instrumen moneternya.
Mungkinkah bunga The Fed 0%? Dalam situasi yang masih diperangkap dalam kondisi bunga pinjaman tinggi (relatif belum ada premi risk signifikan dari perspektif deficit units), harga saham yang berkecenderungan turun dan masih adanya keengganan bank untuk menyalurkan kreditnya, bukan hal yang mustahil jika bunga The Fed suatu saat akan berada pada level zero point. Masalahnya adalah zero level akan menyebabkan penurunan margin bank yang signifikan. Jika dikaitkan dengan tingkat imbal hasil (yield) surat utang pemerintah jangka pendek di AS yang saat ini sudah dalam level yield negatif (Kontan, 15/12), artinya investor merelakan dananya mengalami penyusutan nilai semata-mata demi keamanan, akan membuat semakin dalam krisis keuangan saat ini.
The Fed dan Pasar Keuangan Indonesia: Berkah yang Mengancam?
Tidak dipungkiri bahwa pasar keuangan kita masih membutuhkan aliran dana dari investor asing. Aliran yang tidak semata-mata untuk kepentingan likuiditas instrumen keuangan tetapi juga diharapkan membantu apresiasi rupiah dan memperkokoh cadangan devisa. Aliran dana asing ke pasar keuangan kita, yang sering disebut dengan istilah hot money, sangat fluktuatif dan berkarakter cepat masuk dan cepat pula keluar. Pada bulan 5 September lalu, dana hot money yang masuk melalui SUN sebesar Rp. 108.37 triliun. Jumlah ini merupakan nilai kapitalisasi terbesar hot money sepanjang tahun ini.(Kompas, 26/9). Dana itu pada tanggal 19 September telah menyusut menjadi Rp. 105.06 trilitun. Berarti dalam waktu 14 hari dana hot money telah keluar sebesar Rp. 3 triliyun lebih. Begitulah perilaku hot money.
Harapan atas kehadiran hot money untuk kepentingan likuiditas, apresiasi rupiah dan cadangan devisa bukannya nihil risiko. Kharakter yang mudah masuk dan mudah keluar dari hot money inilah yang akan memberikan risiko instabilitas pasar keuangan. Instabilitas pasar keuangan itupun akan memicu lahirnya investasi spekulatif dan mendorong terbentuknya kepanikan pasar. Sehingga, memang dibutuhkan kebijakan untuk mengelola kharakter hot money yang liar tersebut.
Tingkat BI Rate saat ini yang berada dalam level 9.25% dan bunga The Fed yang berada dalam level 1% (kemungkinan akan menurun lagi!) merupakan insentif yang kuat untuk kembali masuknya hot money ke pasar keuangan Indonesia. Spread yang cukup lebar antara Bi Rate dan The Fed merupakan insentif menarik bagi dana asing dengan potensi perolehan imbal hasil (return) yang lebih besar jika dibandingkan dengan potensi return jika dana itu ditanamkan kepada instrumen investasi di negaranya. Keuntungan yang bisa diperolehnya dari yield maupun dari apresiasi rupiah terhadap mata uangnya (US $, misalnya). Hot money yang masuk akan mendorong rupiah mengalami apresiasi (terjadi excess demand rupiah) sehingga rupiah mengalami apresiasi, dan apresiasi rupiah akan membuat return investasi setelah disesuaikan dengan nilai tukar (exchange rate) akan semakin besar. Sehingga kemungkinan penurunan bunga The Fed hari ini akan mendorong masuknya hot money kembali ke pasar keuangan Indonesia.
Keberkahan “Semu” Hot Money
Aliran dana asing yang leluasa masuk kedalam pasar keuangan akan menyebabkan likuiditas transaksi intrumen keuangan di pasar keuangan meningkat. Likuditas yang meningkat ini akan menyebabkan kenaikan harga instrumen keuangan tersebut. Instrumen keuangan itu bisa dalam bentuk saham, obligasi ataupun SUN. Secara teoritis jika harga saham meningkat maka relatif bahwa IHSG juga akan mengalami peningkatan, harga obligasi dan SUN yang meningkat (misalnya dari 65% menjadi 74%) akan mendorong penurunan yield. Kondisi seperti ini akan mendorong investor lain untuk turut menanamkan dananya di pasar keuangan. Ada insentif untuk masuk!. Pembelian instrumen keuangan ini akan menyebabkan permintaan rupiah meningkat dan penawaran US$ meningkat (investor menjual US$ untuk membeli rupiah). Dan rupiahpun mengalami apresiasi. Rupiah yang terapresiasi relatif akan membuat kondisi moneter kondusif bagi kegiatan perekonomian. Serta sudah pasti struktur cadangan devisa kita akan membesar dari aliran dana masuk ini. Cadangan devisi yang membesar merupakan indikator dari stabilitas moneter, dalam artian adanya kemampuan untuk menjaga keseimbangan demand dan supply rupiah terhadap mata uang lainnya. Tetapi keberkahan ini adalah semu! Tidak ada jaminan sedikitpun hot money itu untuk tinggal lebih lama di pasar keuangan kita. Dan ketika dana itu keluar secara masif maka instabilitas pasar keuangan-lah hasilnya. Sehingga pasar keuangan yang ditopang oleh hot money akan sangat rapuh (fragile)! Mengancam dan membahayakan!.
Ancaman Nyata Hot Money
Stabilitas pasar keuangan merupakan ancaman nyata dari hot money. Ciri hot money yang mudah masuk dan mudah keluar merupakan pimicu lahirnya instabilitas itu. Kenaikan harga saham, obligasi dan SUN akan berbalik jika dana hot money keluar. Dan penurunan itu akan berimplikasi kepada potensi diperolehnya capital loss yang signifikan. Dalam perspektif kurs, jika hot money ini sudah memutuskan untuk pulang (dan tidak bisa dicegah lagi!) maka akan terjadi excess supply rupiah di pasar keuangan dan dilain pihak terjadi excess demand terhadap US$. Hal ini memicu depresiasi rupiah terhadap US$. Kondisi rupiah yang terdepresiasi akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) yang besar pula dalam sistem ekonomi keseluruhan. Dan kondisi selanjutnya adalah cadangan devisa kita akan tergerus untuk tetapi menjada keseimbangan dan keterpenuhan demand dan supply valuta di pasar keuangan. Akhirnya, hot money secera masif dan spartan mampu membuat instabilitas pasar keuangan riil terjadi. Ancaman seperti ini telah berkali-kali terbukti, bukan hanya “gertak sambal”. Dan terkadang otoritas moneter tidak “menghiraukan” ancaman yang bukan gertak sambal ini.
Bagaimana Otoritas Kita (seharusnya) Bersikap?
Ada beberapa langkah kebijakan yang bisa digunakan untuk menjinakkan ancaman hot money tersebut. Spread yang lebar antara BI Rate dengan bunga The Fed harus segera diperkecil jaraknya. Langkah ini tidak hanya akan mengurangi insentif hot money masuk ke pasar keuangan kita secara massal, tetapi BI Rate yang menurun akan menyebabkan sektor rill mendapatkan insentif berupa biaya modal (cost of capital) yang lebih kecil dan merupakan insentif pula bagi sektor perbankan untuk melakukan ekspansi kredit dan menekan angka NPL yang dimilikinya. Bergeraknya sektor rill, akan membawa implikasi kepada pertumbuhan dan peningkatan daya beli masyarakat. Kita akan melihat apakah dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI mendatang, akan kembali menurunkan BI rate-nya?
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah merubah stuktur cadangan devisa kita dengan tidak bertumpu pada adanya aliran dana hot money sebagai sumber devisa. Tetapi mendorong volume ekspor dan menurunkan volume impor, baik barang ataupun jasa. Cadangan devisa yang dibentuk dengan surplus ekspor yang besar lebih kondusif bagi stabilitas devisa. Meskipun dalam kondisi perlambatan ekonomi dunia, pertumbuhan ekspor relatif sulit didorong tetapi usaha dengan memberi insentif fiskal kepada eksportir mutlak diperlukan. Dan yang lebih afdol lagi adalah memberikan stimulus agar aliran dana asing (hot money) itu tidak hanya kepada pasar keuangan tetapi dalam bentuk investasi jangka panjang/FDI (foreign direct investment). Untuk itu perbaikan infrastuktur (jalan, pelabuhan, penerbangan dan energi) mutlak diperlukan dan diprioritaskan, punggutan yang menjadi sumber ekonomi biaya tinggi (high cost economy) ditertibkan (termasuk didalamnya semua peraturan daerah yang kontra investasi), birokrasi perijinan dan kepastian hukum harus mendapat prioritas untuk segera diupayakan perbaikannya. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kita akan mendapatkan dana asing yang tidak liar (hot) tetapi dana asing yang hangat-hangat kuku. Uenak tenan!!!
“Cak Su, sampeyan yakin to jika pemimpin kita itu memikirkan nasib kita?” tanya Cak Yon saat istirahat.
“Yakin to Cak, wong Pak SBY saja sekarang sudah uwanen, katanya bukti kalau beliau itu selalu berpikir dan bekerja” kataku.
“Aku kok gak yakin Cak?!”
“Piye?”
“Meraka itu hanya sibuk untuk berpikir menjabat lagi! Bukan semata untuk nasib kita!”
“Lha... lumrah to Cak!”
“Lumrah?!.. Lumrah piye?”
“Lumrah... mergo kabeh kuwi mung manungso!” kataku.
“Tapi yo sing.... lumrah ae to....!!”
????
“Cak Su! Harga bensin sudah turun lagi ya?” tanya Cak Yon.
“Iyo Cak, sekarang lima ribu rupiah seliternya!”
“We... kok lebih murah dari lenggo gas yo?!”
“Lha... minyak tanah sekarang berapa sih harganya?!”
“Enam ribu Cak, itupun kadang ada terkadang tak ada!”
“Iya... ya lebih mahal minyak tanah Cak!” gumamku lirih.
“Lha ya itu... masalahnya, kan bensin itu untuk orang kaya, kok harganya lebih murah ya!”
“Lha itu Cak... aku juga gak paham!”
“Katanya lagi bunga federal juga akan turun ya Cak?! Kreditnya dimana sih?!”
“Maksud Cak Yon, apa?!”
“Kalau bunga kredit sepeda federal turun, aku mau belikan Anton sepeda Cak!”
???
Integrasi dan globalisasi pasar keuangan menuntut langkah antisipatif yang proaktif dan rasional. Saat ini Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) tengah merumuskan kebijakan moneter yang terkait dengan kemungkinan penurunan tingkat bunga The Fed untuk mencegah deflasi (baca: yang semakin parah) di AS. Tentunya, kebijakan yang akan diambil oleh The Fed ini akan memiliki beragam implikasi kepada pasar keuangan internasional, tidak terkecuali pasar keuangan negara kita Indonesia.
Penurunan suku bunga The Fed, sudah dimulai sejak bulan September 2007 yang lalu, dari 5.25% sampai pada level 1% saat ini. (Kontan, 16/12). Penurunan ini digunakan sebagai instrumen untuk menjaga tingkat daya beli masyarakat (purchasing power) dan mereduksi tingkat kredit macet/NPL (Non Performing Loan). Jika saat ini bunga The Fed diindikasikan bakal menurun kembali, pada titik berapa bunga itu akan berhenti? The Fed sudah dalam posisi kehabisan persediaan “bunga” sebagai salah satu instrumen moneternya.
Mungkinkah bunga The Fed 0%? Dalam situasi yang masih diperangkap dalam kondisi bunga pinjaman tinggi (relatif belum ada premi risk signifikan dari perspektif deficit units), harga saham yang berkecenderungan turun dan masih adanya keengganan bank untuk menyalurkan kreditnya, bukan hal yang mustahil jika bunga The Fed suatu saat akan berada pada level zero point. Masalahnya adalah zero level akan menyebabkan penurunan margin bank yang signifikan. Jika dikaitkan dengan tingkat imbal hasil (yield) surat utang pemerintah jangka pendek di AS yang saat ini sudah dalam level yield negatif (Kontan, 15/12), artinya investor merelakan dananya mengalami penyusutan nilai semata-mata demi keamanan, akan membuat semakin dalam krisis keuangan saat ini.
The Fed dan Pasar Keuangan Indonesia: Berkah yang Mengancam?
Tidak dipungkiri bahwa pasar keuangan kita masih membutuhkan aliran dana dari investor asing. Aliran yang tidak semata-mata untuk kepentingan likuiditas instrumen keuangan tetapi juga diharapkan membantu apresiasi rupiah dan memperkokoh cadangan devisa. Aliran dana asing ke pasar keuangan kita, yang sering disebut dengan istilah hot money, sangat fluktuatif dan berkarakter cepat masuk dan cepat pula keluar. Pada bulan 5 September lalu, dana hot money yang masuk melalui SUN sebesar Rp. 108.37 triliun. Jumlah ini merupakan nilai kapitalisasi terbesar hot money sepanjang tahun ini.(Kompas, 26/9). Dana itu pada tanggal 19 September telah menyusut menjadi Rp. 105.06 trilitun. Berarti dalam waktu 14 hari dana hot money telah keluar sebesar Rp. 3 triliyun lebih. Begitulah perilaku hot money.
Harapan atas kehadiran hot money untuk kepentingan likuiditas, apresiasi rupiah dan cadangan devisa bukannya nihil risiko. Kharakter yang mudah masuk dan mudah keluar dari hot money inilah yang akan memberikan risiko instabilitas pasar keuangan. Instabilitas pasar keuangan itupun akan memicu lahirnya investasi spekulatif dan mendorong terbentuknya kepanikan pasar. Sehingga, memang dibutuhkan kebijakan untuk mengelola kharakter hot money yang liar tersebut.
Tingkat BI Rate saat ini yang berada dalam level 9.25% dan bunga The Fed yang berada dalam level 1% (kemungkinan akan menurun lagi!) merupakan insentif yang kuat untuk kembali masuknya hot money ke pasar keuangan Indonesia. Spread yang cukup lebar antara Bi Rate dan The Fed merupakan insentif menarik bagi dana asing dengan potensi perolehan imbal hasil (return) yang lebih besar jika dibandingkan dengan potensi return jika dana itu ditanamkan kepada instrumen investasi di negaranya. Keuntungan yang bisa diperolehnya dari yield maupun dari apresiasi rupiah terhadap mata uangnya (US $, misalnya). Hot money yang masuk akan mendorong rupiah mengalami apresiasi (terjadi excess demand rupiah) sehingga rupiah mengalami apresiasi, dan apresiasi rupiah akan membuat return investasi setelah disesuaikan dengan nilai tukar (exchange rate) akan semakin besar. Sehingga kemungkinan penurunan bunga The Fed hari ini akan mendorong masuknya hot money kembali ke pasar keuangan Indonesia.
Keberkahan “Semu” Hot Money
Aliran dana asing yang leluasa masuk kedalam pasar keuangan akan menyebabkan likuiditas transaksi intrumen keuangan di pasar keuangan meningkat. Likuditas yang meningkat ini akan menyebabkan kenaikan harga instrumen keuangan tersebut. Instrumen keuangan itu bisa dalam bentuk saham, obligasi ataupun SUN. Secara teoritis jika harga saham meningkat maka relatif bahwa IHSG juga akan mengalami peningkatan, harga obligasi dan SUN yang meningkat (misalnya dari 65% menjadi 74%) akan mendorong penurunan yield. Kondisi seperti ini akan mendorong investor lain untuk turut menanamkan dananya di pasar keuangan. Ada insentif untuk masuk!. Pembelian instrumen keuangan ini akan menyebabkan permintaan rupiah meningkat dan penawaran US$ meningkat (investor menjual US$ untuk membeli rupiah). Dan rupiahpun mengalami apresiasi. Rupiah yang terapresiasi relatif akan membuat kondisi moneter kondusif bagi kegiatan perekonomian. Serta sudah pasti struktur cadangan devisa kita akan membesar dari aliran dana masuk ini. Cadangan devisi yang membesar merupakan indikator dari stabilitas moneter, dalam artian adanya kemampuan untuk menjaga keseimbangan demand dan supply rupiah terhadap mata uang lainnya. Tetapi keberkahan ini adalah semu! Tidak ada jaminan sedikitpun hot money itu untuk tinggal lebih lama di pasar keuangan kita. Dan ketika dana itu keluar secara masif maka instabilitas pasar keuangan-lah hasilnya. Sehingga pasar keuangan yang ditopang oleh hot money akan sangat rapuh (fragile)! Mengancam dan membahayakan!.
Ancaman Nyata Hot Money
Stabilitas pasar keuangan merupakan ancaman nyata dari hot money. Ciri hot money yang mudah masuk dan mudah keluar merupakan pimicu lahirnya instabilitas itu. Kenaikan harga saham, obligasi dan SUN akan berbalik jika dana hot money keluar. Dan penurunan itu akan berimplikasi kepada potensi diperolehnya capital loss yang signifikan. Dalam perspektif kurs, jika hot money ini sudah memutuskan untuk pulang (dan tidak bisa dicegah lagi!) maka akan terjadi excess supply rupiah di pasar keuangan dan dilain pihak terjadi excess demand terhadap US$. Hal ini memicu depresiasi rupiah terhadap US$. Kondisi rupiah yang terdepresiasi akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) yang besar pula dalam sistem ekonomi keseluruhan. Dan kondisi selanjutnya adalah cadangan devisa kita akan tergerus untuk tetapi menjada keseimbangan dan keterpenuhan demand dan supply valuta di pasar keuangan. Akhirnya, hot money secera masif dan spartan mampu membuat instabilitas pasar keuangan riil terjadi. Ancaman seperti ini telah berkali-kali terbukti, bukan hanya “gertak sambal”. Dan terkadang otoritas moneter tidak “menghiraukan” ancaman yang bukan gertak sambal ini.
Bagaimana Otoritas Kita (seharusnya) Bersikap?
Ada beberapa langkah kebijakan yang bisa digunakan untuk menjinakkan ancaman hot money tersebut. Spread yang lebar antara BI Rate dengan bunga The Fed harus segera diperkecil jaraknya. Langkah ini tidak hanya akan mengurangi insentif hot money masuk ke pasar keuangan kita secara massal, tetapi BI Rate yang menurun akan menyebabkan sektor rill mendapatkan insentif berupa biaya modal (cost of capital) yang lebih kecil dan merupakan insentif pula bagi sektor perbankan untuk melakukan ekspansi kredit dan menekan angka NPL yang dimilikinya. Bergeraknya sektor rill, akan membawa implikasi kepada pertumbuhan dan peningkatan daya beli masyarakat. Kita akan melihat apakah dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI mendatang, akan kembali menurunkan BI rate-nya?
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah merubah stuktur cadangan devisa kita dengan tidak bertumpu pada adanya aliran dana hot money sebagai sumber devisa. Tetapi mendorong volume ekspor dan menurunkan volume impor, baik barang ataupun jasa. Cadangan devisa yang dibentuk dengan surplus ekspor yang besar lebih kondusif bagi stabilitas devisa. Meskipun dalam kondisi perlambatan ekonomi dunia, pertumbuhan ekspor relatif sulit didorong tetapi usaha dengan memberi insentif fiskal kepada eksportir mutlak diperlukan. Dan yang lebih afdol lagi adalah memberikan stimulus agar aliran dana asing (hot money) itu tidak hanya kepada pasar keuangan tetapi dalam bentuk investasi jangka panjang/FDI (foreign direct investment). Untuk itu perbaikan infrastuktur (jalan, pelabuhan, penerbangan dan energi) mutlak diperlukan dan diprioritaskan, punggutan yang menjadi sumber ekonomi biaya tinggi (high cost economy) ditertibkan (termasuk didalamnya semua peraturan daerah yang kontra investasi), birokrasi perijinan dan kepastian hukum harus mendapat prioritas untuk segera diupayakan perbaikannya. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kita akan mendapatkan dana asing yang tidak liar (hot) tetapi dana asing yang hangat-hangat kuku. Uenak tenan!!!
“Cak Su, sampeyan yakin to jika pemimpin kita itu memikirkan nasib kita?” tanya Cak Yon saat istirahat.
“Yakin to Cak, wong Pak SBY saja sekarang sudah uwanen, katanya bukti kalau beliau itu selalu berpikir dan bekerja” kataku.
“Aku kok gak yakin Cak?!”
“Piye?”
“Meraka itu hanya sibuk untuk berpikir menjabat lagi! Bukan semata untuk nasib kita!”
“Lha... lumrah to Cak!”
“Lumrah?!.. Lumrah piye?”
“Lumrah... mergo kabeh kuwi mung manungso!” kataku.
“Tapi yo sing.... lumrah ae to....!!”
????
Senin, Desember 15, 2008
Skema Investasi Ponzi: Paradoksal Madoff dan Guru Safedi
Kompas Minggu, selalu kunantikan kehadirannya. Bukan hanya karena hari minggu adalah hari yang memanjakan, tetapi lebih karena keinginan untuk segera membaca cerpen yang disajikan. Setelah selesai bersepeda keliling perumahan dengan anakku, koran Kompas juga belum datang. “Wah… pasti terlambat lagi nih?!” batinku.
“Yah! Main bola yuk!” ajak Alam.
“Ayo, tapi janji ya… kalau korannya datang, berhenti lho mainnya!”
“OK” katanya sambil mengacungkan jari jempolnya.
Kami bermain bola. Alam bersemangat sekali, kustom penjaga gawang yang kubelikan beberapa waktu lalu lengkap dipakainya. Ia punya bakat menjadi penjaga gawang! Selalu ia teriakkan nama idolannya, “Aku jadi Iker Casilas!” sambil menata batu yang menjadi tiang gawang bayangan. Kunikmati bermain bola dengan anak lelakiku itu. Alam tampak lebih menikmatinya lagi.
“Ayo Yah semangat! Yang keras dong nendangnya, masak gak pernah gol?!”
“Sudah semangat nih!, Malah ayah udah capek sekarang! Berhenti ya?!”
“Lho…kan koran kompasnya belum datang?!”
“Lha… itu!”. Kulihat Mas No, loper langganan kami meluncur mendatangi kami dengan motor Astrea 800-nya.
“Aku baca dulu ya Yah, mau lihat kompas anak-nya!” pinta Alam.
Ia mulai membuka dan membacanya. Dan akupun mengalah dengan membaca Harian Bisnis Kontan edisi Sabtu kemarin yang belum sempat kubaca.
“Waduh… Ampun!” kagetku, ketika kubaca skema investasi ponzi raksasa menelan korban lagi.
Inspirasi Seorang Charles K. Ponzi
Kata Ponzi yang mengambarkan kharakteristik investasi yang ekspansif dan spekulatif, diambil dari nama belakang seorang imigran Italia yang menetap di Boston yaitu Charles K. Ponzi. Masyarakat saat itu sering memanggilnya dengan sebutan Carlo Ponzi. Ia lahir tahun 1882 di Italia. Pada tahun 1919 ia mendirikan perusahaan yang dinamakan “The Security Exchange Company”. Dan menerbitkan surat utang (promissory notes) dengan bunga sebesar 50% per tahun. Bunga/kupon promissory notes itu adalah 10 kali lipat dari bunga bank saat itu yang berada dalam level 5% per tahun. (Prasetyantoko, 2008).
Surat utang (promissory notes) itu dijual dengan harga US$ 10-50.000. Dan karena return yang ditawarkan menarik maka dalam waktu relatif cepat Ponzi berhasil mengumpulkan kelolaan investasi sebesar US$ 15 juta dengan investor sebanyak 40.000 orang. (Rizali, 2008). Dia menggunakan skema investasi dimana “uang investor digunakan untuk membayar kewajibannya kepada investor terdahulu”. Dalam bahasa Rhoma Irama dikatakan sebagai “gali lubang tutup lubang”. Dan pada tanggal 10 Agustus 1920 “The Security Exchange Company” bangkrut. Banyak investor yang menarik dananya dan tiadanya investor baru yang menanamkan modalnya. Banyak investor yang mengalami kerugian. Iapun kabur!.
Carlo Ponzi melarikan diri ke Florida. Di kota ini, ia mengganti namanya menjadi Charles Borelli. Dan iapun menyusun skema investasi lagi seperti saat di Boston. Skema investasi inipun menimbulkan kerugian bagi banyak investor. Setelah itu ia kembali ke Italia dan sempat bekerja sebagai salah satu staf rezim Musollini. Fenomena inilah yang dalam teori investasi disebut dengan “Buble Burst” tetapi dalam pembahasannya sering menggunakan istilah Skema Ponzi. (Hadi, 2008).
Skema Ponzi banyak juga diterapkan di Indonesia. Dengan variasi dan modifikasi bentuk, skema ponzi ini telah juga memakan banyak korban. Tahun 1987, kasus ponzi Yayasan Keluarga Makmur meledak, diikuti pada tahun 1995 meledak pula kasus PT. Sapta Mitra Ekakarya (Arisan Danasonic), tahun 2001 PT. Gee Cosmos Indonesia membuat ulah, tahun 2002 PT. Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) juga memakan banyak korban. PT. Adess Sumber Hidup Dinamika (Add Farm) menggemparkan pada tahun 2003. Pada tahun 2007 giliran meledak kasus yang dibuat oleh PT. Wahana Bersama Globalindo dan PT. Sarana Perdana Indoglobal (SPI) dan pada tahun ini (2008) PT. Platinum Investment juga menelan banyak korban. Ingatkah Ponzi gaya Malangan dengan POMAS-nya?
Bernard L. Madoff dan Reinkarnasi Ponzi
Bernard L. Madoff merupakan nama yang tidak asing bagi pelaku pasar keuangan AS. Ia adalah salah satu pendiri bursa Nasdaq dan mulai tahun 2006 ia juga anggota dari komite SEC (Securities Exchange Commision). Dan reputasi ini didukung pula oleh kinerja perusahaan investasinya, yaitu Bernard L. Madoff Investment Securities LLC yang pada tahun 2001 dinobatkan sebagai salah satu dari tiga besar market maker di bursa Nasdaq. (Kontan, 15/12). Reputasi yang dibangun oleh Mardoff ini melahirkan persepsi yang positif bagi investor, sehingga ia tertarik untuk menginvestasikan dananya terhadap instrumen yang diterbitkan oleh perusahaan Madoff tersebut. Perception More Powerfull than Reality.
Madoff melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dan berhasil menerbitkan 24 instrumen keuangan yang menarik. Tingkat imbal hasil berbentuk tetap (fixed rate) sebesar 10% dan fee yang diminta juga kecil. Kesemua instrumen itu oleh Madoff disusun dengan skema Ponzi. Madoff membayar investor lama dengan uang investor baru. Skema ini sangat rapuh (fragile). Ketika investor mulai menarik dana investasinya dan tidak ada setoran dana baru dari investor baru maka itulah saat keruntuhan kartu Ponzi. Hal ini sesuai dengan adagium investasi yang terkenal “high return high risk low return low risk”.
Selama 15 tahun, Madoff berhasil menjaga keutuhan skema Ponzi yang disusunnya. Iapun berhasil mengumpulkan dana kelolaan investasi sebesar US$ 50 miliar (sekitar Rp. 550 triliun). Ketika krisis keuangan terjadi banyak hedge fund dan investor lainnya yang mengkonversi instrumennya dengan dana tunai serta tidak adanya investor baru yang masuk menanamkan dananya, maka runtuhlah skema Ponzi terbesar di dunia ini. Madoff-pun akhirnya ditangkap oleh FBI dengan tuduhan penipuan. (Kontan 13/12).
Runtuhnya skema Ponzi gaya Mardoff ini, tak ayal akan membuat krisis keuangan global semakin kencang menghantam. Karena diindikasikan banyak bank-bank besar dunia menaruh dananya dalam instrumen investasi Madoff ini. Bank besar Jepang Nomura Holding, bank ternama Perancis BNP Paribas, bank Swiss Neue Privat Bank bahkan bank terbesar kedua di Eropa Banco Santander merugi 61 triliun dari investasi instrumen Madoff ini. (Kontan, 15/12). Hal ini akan memperparah kondisi kekeringan likuiditas (lack of liquidity) dan kemungkinan melahirkan kondisi rush dengan skala tertentu.
Bagaimana investor Indonesia? Sangat mungkin terjadi investor Indonesia juga terseret dalam terbenam dalam keruntuhan kartu Ponzi Madoff ini. (Kontan, 15/12). Jika hal itu terjadi maka sudah terakumulasi banyak korban Ponzi di Indonesia, baik Ponzi lokal maupun Ponzi impor. Sehingga dalam konteks ini, semestinya regulator proaktif memeriksa semua laporan dari pelaku pasar keuangan untuk meminimumkan dampak fraud dalam penerbitan instrumen dengan memakai skema Ponzi seperti ini.
Paradoksal Madoff dan Guru Safedi
Sesudah membaca kasus Madoff dan cerpen Kompas Minggu (14/12) sungguh tampak drama paradoksal yang nyata antara nasib Mardoff dan guru Safedi yang menjadi tokoh utama cerpen Farizal Sikumbang ini. Keserakahan yang dibalut kecerdikan oleh Madoff melawan kesederhaan dan kepasrahan seorang guru honorer yang bernama Safedi.
Sebagai guru honorer, Safedi mendapatkan upah Rp. 60.000 perbulan yang dibayarkan 3 bulan sekali. Selalu ia dan istrinya yang bernama Aisia menghadapi persoalan pelik, bagaimana mengatur uang yang dimiliki untuk pengeluaran yang tidak bisa ditundanya. Membayar hutang dan selebihnya untuk hidup selama 3 bulan kedepan. Aisia sering menangis, ia tak mampu lagi bagaimana harus menjalaninya.
Guru Safedi merupakan seorang guru yang selalu bersemangat mengajar, meskipun masalah selalu menghapiri dan menamparnya. Pagi itu, didepan kelas, ia mendengar sekelompok murid mengunjingnya. “Pak Safedi itu lho, bajunya tidak pernah ganti! Itu-itu saja!”. Desir halus terasa mengalir di hatinya. Pagi itu, pudar juga semangat Pak Guru Safedi mengajar.
Apa yang digambarkan oleh F. Sikumbang ini, meskipun melankolis, menunjukkan bagaimana sebuah kesederhanaan bisa lahir dari 2 pintu, kesederhanaan yang terpaksa dan kesederhanaan yang disengaja. Antara Madoff dan Safedi jelas “jauh panggang dari api”. Tidaklah pernah Madoff mengalami masalah seperti Safedi (hutang, belanja, istri menanggis, baju gak pernah ganti!) dan Safedi-pun tidak akan kuat bermimpi untuk menjadi Madoff, mimpi membeli instrumen investasinya Madoff-pun ia tidak akan berani. Seandainya Safedi adalah fakta, maka saat ini ia akan merasa lebih beruntung daripada Madoff meskipun selalu digunjing “bajunya tidak pernah ganti!”.
Saat membaca kartun Beny dan Mice yang lagi sakit tipes, HP-ku berdering….
“Hallo… Cak Su!” suara Kang Jarno, tuan tanah kampungku telpon.
“Waalaikum salam… Wonten dawuh nopo Kang?"
“Jaman seperti ini, yang paling bagus investasi opo yo Cak?!
“Investasi akhirat Kang! Ya infak, shodaqoh, zakat dan haji Kang!”
“Gundhulmu Cak, sampeyan itu dosen opo guru ngaji?”
“Wah pripun, njenengan ini borjuis, sekuler sisan!”
“Opo… Apa? Investasi apa? Seluler? Cak!… Cak Su!!… Hallo!!!
????
“Yah! Main bola yuk!” ajak Alam.
“Ayo, tapi janji ya… kalau korannya datang, berhenti lho mainnya!”
“OK” katanya sambil mengacungkan jari jempolnya.
Kami bermain bola. Alam bersemangat sekali, kustom penjaga gawang yang kubelikan beberapa waktu lalu lengkap dipakainya. Ia punya bakat menjadi penjaga gawang! Selalu ia teriakkan nama idolannya, “Aku jadi Iker Casilas!” sambil menata batu yang menjadi tiang gawang bayangan. Kunikmati bermain bola dengan anak lelakiku itu. Alam tampak lebih menikmatinya lagi.
“Ayo Yah semangat! Yang keras dong nendangnya, masak gak pernah gol?!”
“Sudah semangat nih!, Malah ayah udah capek sekarang! Berhenti ya?!”
“Lho…kan koran kompasnya belum datang?!”
“Lha… itu!”. Kulihat Mas No, loper langganan kami meluncur mendatangi kami dengan motor Astrea 800-nya.
“Aku baca dulu ya Yah, mau lihat kompas anak-nya!” pinta Alam.
Ia mulai membuka dan membacanya. Dan akupun mengalah dengan membaca Harian Bisnis Kontan edisi Sabtu kemarin yang belum sempat kubaca.
“Waduh… Ampun!” kagetku, ketika kubaca skema investasi ponzi raksasa menelan korban lagi.
Inspirasi Seorang Charles K. Ponzi
Kata Ponzi yang mengambarkan kharakteristik investasi yang ekspansif dan spekulatif, diambil dari nama belakang seorang imigran Italia yang menetap di Boston yaitu Charles K. Ponzi. Masyarakat saat itu sering memanggilnya dengan sebutan Carlo Ponzi. Ia lahir tahun 1882 di Italia. Pada tahun 1919 ia mendirikan perusahaan yang dinamakan “The Security Exchange Company”. Dan menerbitkan surat utang (promissory notes) dengan bunga sebesar 50% per tahun. Bunga/kupon promissory notes itu adalah 10 kali lipat dari bunga bank saat itu yang berada dalam level 5% per tahun. (Prasetyantoko, 2008).
Surat utang (promissory notes) itu dijual dengan harga US$ 10-50.000. Dan karena return yang ditawarkan menarik maka dalam waktu relatif cepat Ponzi berhasil mengumpulkan kelolaan investasi sebesar US$ 15 juta dengan investor sebanyak 40.000 orang. (Rizali, 2008). Dia menggunakan skema investasi dimana “uang investor digunakan untuk membayar kewajibannya kepada investor terdahulu”. Dalam bahasa Rhoma Irama dikatakan sebagai “gali lubang tutup lubang”. Dan pada tanggal 10 Agustus 1920 “The Security Exchange Company” bangkrut. Banyak investor yang menarik dananya dan tiadanya investor baru yang menanamkan modalnya. Banyak investor yang mengalami kerugian. Iapun kabur!.
Carlo Ponzi melarikan diri ke Florida. Di kota ini, ia mengganti namanya menjadi Charles Borelli. Dan iapun menyusun skema investasi lagi seperti saat di Boston. Skema investasi inipun menimbulkan kerugian bagi banyak investor. Setelah itu ia kembali ke Italia dan sempat bekerja sebagai salah satu staf rezim Musollini. Fenomena inilah yang dalam teori investasi disebut dengan “Buble Burst” tetapi dalam pembahasannya sering menggunakan istilah Skema Ponzi. (Hadi, 2008).
Skema Ponzi banyak juga diterapkan di Indonesia. Dengan variasi dan modifikasi bentuk, skema ponzi ini telah juga memakan banyak korban. Tahun 1987, kasus ponzi Yayasan Keluarga Makmur meledak, diikuti pada tahun 1995 meledak pula kasus PT. Sapta Mitra Ekakarya (Arisan Danasonic), tahun 2001 PT. Gee Cosmos Indonesia membuat ulah, tahun 2002 PT. Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) juga memakan banyak korban. PT. Adess Sumber Hidup Dinamika (Add Farm) menggemparkan pada tahun 2003. Pada tahun 2007 giliran meledak kasus yang dibuat oleh PT. Wahana Bersama Globalindo dan PT. Sarana Perdana Indoglobal (SPI) dan pada tahun ini (2008) PT. Platinum Investment juga menelan banyak korban. Ingatkah Ponzi gaya Malangan dengan POMAS-nya?
Bernard L. Madoff dan Reinkarnasi Ponzi
Bernard L. Madoff merupakan nama yang tidak asing bagi pelaku pasar keuangan AS. Ia adalah salah satu pendiri bursa Nasdaq dan mulai tahun 2006 ia juga anggota dari komite SEC (Securities Exchange Commision). Dan reputasi ini didukung pula oleh kinerja perusahaan investasinya, yaitu Bernard L. Madoff Investment Securities LLC yang pada tahun 2001 dinobatkan sebagai salah satu dari tiga besar market maker di bursa Nasdaq. (Kontan, 15/12). Reputasi yang dibangun oleh Mardoff ini melahirkan persepsi yang positif bagi investor, sehingga ia tertarik untuk menginvestasikan dananya terhadap instrumen yang diterbitkan oleh perusahaan Madoff tersebut. Perception More Powerfull than Reality.
Madoff melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dan berhasil menerbitkan 24 instrumen keuangan yang menarik. Tingkat imbal hasil berbentuk tetap (fixed rate) sebesar 10% dan fee yang diminta juga kecil. Kesemua instrumen itu oleh Madoff disusun dengan skema Ponzi. Madoff membayar investor lama dengan uang investor baru. Skema ini sangat rapuh (fragile). Ketika investor mulai menarik dana investasinya dan tidak ada setoran dana baru dari investor baru maka itulah saat keruntuhan kartu Ponzi. Hal ini sesuai dengan adagium investasi yang terkenal “high return high risk low return low risk”.
Selama 15 tahun, Madoff berhasil menjaga keutuhan skema Ponzi yang disusunnya. Iapun berhasil mengumpulkan dana kelolaan investasi sebesar US$ 50 miliar (sekitar Rp. 550 triliun). Ketika krisis keuangan terjadi banyak hedge fund dan investor lainnya yang mengkonversi instrumennya dengan dana tunai serta tidak adanya investor baru yang masuk menanamkan dananya, maka runtuhlah skema Ponzi terbesar di dunia ini. Madoff-pun akhirnya ditangkap oleh FBI dengan tuduhan penipuan. (Kontan 13/12).
Runtuhnya skema Ponzi gaya Mardoff ini, tak ayal akan membuat krisis keuangan global semakin kencang menghantam. Karena diindikasikan banyak bank-bank besar dunia menaruh dananya dalam instrumen investasi Madoff ini. Bank besar Jepang Nomura Holding, bank ternama Perancis BNP Paribas, bank Swiss Neue Privat Bank bahkan bank terbesar kedua di Eropa Banco Santander merugi 61 triliun dari investasi instrumen Madoff ini. (Kontan, 15/12). Hal ini akan memperparah kondisi kekeringan likuiditas (lack of liquidity) dan kemungkinan melahirkan kondisi rush dengan skala tertentu.
Bagaimana investor Indonesia? Sangat mungkin terjadi investor Indonesia juga terseret dalam terbenam dalam keruntuhan kartu Ponzi Madoff ini. (Kontan, 15/12). Jika hal itu terjadi maka sudah terakumulasi banyak korban Ponzi di Indonesia, baik Ponzi lokal maupun Ponzi impor. Sehingga dalam konteks ini, semestinya regulator proaktif memeriksa semua laporan dari pelaku pasar keuangan untuk meminimumkan dampak fraud dalam penerbitan instrumen dengan memakai skema Ponzi seperti ini.
Paradoksal Madoff dan Guru Safedi
Sesudah membaca kasus Madoff dan cerpen Kompas Minggu (14/12) sungguh tampak drama paradoksal yang nyata antara nasib Mardoff dan guru Safedi yang menjadi tokoh utama cerpen Farizal Sikumbang ini. Keserakahan yang dibalut kecerdikan oleh Madoff melawan kesederhaan dan kepasrahan seorang guru honorer yang bernama Safedi.
Sebagai guru honorer, Safedi mendapatkan upah Rp. 60.000 perbulan yang dibayarkan 3 bulan sekali. Selalu ia dan istrinya yang bernama Aisia menghadapi persoalan pelik, bagaimana mengatur uang yang dimiliki untuk pengeluaran yang tidak bisa ditundanya. Membayar hutang dan selebihnya untuk hidup selama 3 bulan kedepan. Aisia sering menangis, ia tak mampu lagi bagaimana harus menjalaninya.
Guru Safedi merupakan seorang guru yang selalu bersemangat mengajar, meskipun masalah selalu menghapiri dan menamparnya. Pagi itu, didepan kelas, ia mendengar sekelompok murid mengunjingnya. “Pak Safedi itu lho, bajunya tidak pernah ganti! Itu-itu saja!”. Desir halus terasa mengalir di hatinya. Pagi itu, pudar juga semangat Pak Guru Safedi mengajar.
Apa yang digambarkan oleh F. Sikumbang ini, meskipun melankolis, menunjukkan bagaimana sebuah kesederhanaan bisa lahir dari 2 pintu, kesederhanaan yang terpaksa dan kesederhanaan yang disengaja. Antara Madoff dan Safedi jelas “jauh panggang dari api”. Tidaklah pernah Madoff mengalami masalah seperti Safedi (hutang, belanja, istri menanggis, baju gak pernah ganti!) dan Safedi-pun tidak akan kuat bermimpi untuk menjadi Madoff, mimpi membeli instrumen investasinya Madoff-pun ia tidak akan berani. Seandainya Safedi adalah fakta, maka saat ini ia akan merasa lebih beruntung daripada Madoff meskipun selalu digunjing “bajunya tidak pernah ganti!”.
Saat membaca kartun Beny dan Mice yang lagi sakit tipes, HP-ku berdering….
“Hallo… Cak Su!” suara Kang Jarno, tuan tanah kampungku telpon.
“Waalaikum salam… Wonten dawuh nopo Kang?"
“Jaman seperti ini, yang paling bagus investasi opo yo Cak?!
“Investasi akhirat Kang! Ya infak, shodaqoh, zakat dan haji Kang!”
“Gundhulmu Cak, sampeyan itu dosen opo guru ngaji?”
“Wah pripun, njenengan ini borjuis, sekuler sisan!”
“Opo… Apa? Investasi apa? Seluler? Cak!… Cak Su!!… Hallo!!!
????
Jumat, Desember 12, 2008
RUU PRT: Sebuah Dilema dalam Perspektif Ekonomi
Beberapa hari ini, Kota Malang selalu diguyur hujan. Bahkan terkadang sepanjang hari hujan tiada lelah dan tidak berhenti membasahi. Seperti sore kemarin, hujan turun begitu deras, jalan tertutup oleh air yang ditumpahkannya. Sepanjang perjalanan dari SDI Sabilillah sampai rumah, yang tampak hanyalah genangan-genangan air yang berjibaku dengan roda-roda kendaraan. Sungguh sore yang menyebalkan!. Setelah kubuka pintu rumah, air hujan telah menerobos masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Rumah bocor!
Saat membersihkan air hujan yang menggenang di lantai, HP-ku memanggil….. “Siapa pula ini!” batinku.
“Assalamu’alaikum! Kirun, Cak Su!” tetanggaku Cak Kirun menelepon.
“Welah…ada apa Cak?! Masalah konversi lagi?”
“Bukan Cak, lain!… Ini malah kabar baik!”
“Kabar baik?! Kabar baik opo?”
“Bojoku….. masalah istriku!”
“Ono opo? Hamil lagi to bojone sampeyan?”
“Bukan! Istriku bakal mulyo!”
“Mulyo? Mulyo piye?”
“Pemerintahe sampeyan akan membikin UU Pembantu Rumah Tangga, upah babu minim sebesar UMK Cak, trus diatur pula tentang jam kerja, cuti, jamsostek …..”
“Apik!, engko disambung maneh! Aku tak mbabu dhisik!” “Cak Su!… Cak Su!… Hallo!….Hallo!”
???
Setelah kemarin dikejutkan dengan rencana pemerintah membuat peraturan tentang konversi upah buruh dengan saham, hari ini kita dikejutkan lagi dengan penyusunan RUU Pembantu Rumah Tangga (PRT). Bahkan saat ini, pembahasan RUU PRT telah memasuki draf revisi yang kelima. RUU ini dipersiapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Hukum dan HAM dan Kantor Kementerian Negara Peranan Perempuan. (Kontan, 12/12).
Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Departemen Hukum dan HAM, RUU PRT merupakan salah satu bentuk perlindungan HAM dimana saat ini PRT sering mendapat perlakuan buruk oleh majikannya, tidak ada ketentuan usia minimal menjadi seorang PRT, lama jam kerja dan hari kerja tidak jelas, upah yang rendah, tidak ada kontrak kerja dan tidak diikutkan dalam program Jamsostek. RUU PRT ini diharapkan dapat memberdayakan dan memanusiakan PRT.
Data Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT menyebutkan bahwa saat ini terdapat 3 juta perempuan yang berprofesi sebagai PRT. Jumlah ini setara dengan 1.3% dari seluruh penduduk Indonesia. Jika PRT ini diberdayakan dengan memberikan perlindungan atas hak-hak yang seharusnya mereka miliki akan memberikan multiplier effect yang besar terhadap aktivitas ekonomi masyarakat.
Dalam RUU PRT ini akan diatur mengenai beberapa hal, antara lain: Usia minimal, PRT harus telah berumur minimal 15 tahun. PRT yang masih berumur 15 hingga 17 tahun hanya boleh bekerja maksimal 4 jam sehari. Upah, majikan harus membayar jasa PRT minimal sebesar UMK. Jam kerja, maksimal PRT bekerja selama 10 jam sehari. Lama kerja, PRT setiap minggu bekerja selama 6 hari dengan 1 hari libur. Cuti, dalam 12 bulan kerja, PRT berhak mendapatkan 12 hari cuti, Jamsostek, majikan wajib mengikutkan PRT-nya program Jamsostek.
Itulah beberapa hak buruh yang dijamin oleh RUU PRT. Siapkah wahai para majikan memenuhinnya?
Dilema dalam Perspektif Ekonomi
RUU PRT dalam perspektif pemberdayaan dan usaha “me-manusia-kan” serta perlindungan terhadap HAM PRT layak untuk segera diterapkan. Tetapi secara ekonomi terdapat beberapa ekses ekonomi yang perlu pula dipertimbangkan. Ekses ini bisa dilihat dalam 3 sudut pandang, yaitu: sisi permintaan (demand side), sisi penawaran (supply side) dan sisi pelipatgandaan ekonomi (multiplier economy side).
Dilema Sisi Permintaan (Demand Side Dilemmas)
Secara alamiah, RUU PRT ini memberikan rasa takut kepada majikan yang mempekerjakan PRT di rumahnya. Bagaimana tidak takut, jika RUU ini memberikan jaminan hak PRT secara jelas dan tegas yang sebelumnya tidak pernah ada. Sehingga keberadaan UU PRT (nantinya!) akan merubah perilaku dan keputusan majikan terhadap PRT yang dimilikinya.
Akan lahir perubahan mendasar secara ekonomi yang harus ditanggung oleh majikan, salah satunya adalah upah. Menurut penelitian Depnakertrans (Kontan 12/12) rata-rata upah PRT di Jawa Timur sebesar Rp. 350.000 per bulan. Hampir 1/3 dari UMP. Jika RUU sudah menjadi hukum positif maka majikan harus menyediakan uang untuk membayar upah PRT-nya 3 kali lipat dari sebelumnya. Belum lagi kewajiban untuk mengikutkan PRT dalam program Jamsostek, kewajiban memberikan THR serta membuat kontrak kerja dengan PRT.
Perubahan ini merupakan disinsentif bagi majikan untuk mempekerjakan PRT di rumahnya. Cost of Service-nya mahal!. Belum lagi jam dan hari kerja yang diatur ketat dan dijamin oleh RUU. Secara sosiologis dan psikologis, perubahan ini membawa “kerugian” riil bagi majikan. Sebagai majikan, sekarang kewenangan dan “kesenangan”-nya memerintah PRT terbatas. Keterbatasan ini yang secara ekonomi akan mempengaruhi tingkat permintaan (demand) terhadap PRT.
Dalam teori ekonomi terjadinya penurunan kegunaan (utility) ekonomi PRT dalam perspektif majikan, akan menurunkan tingkat permintaan terhadap jasa PRT. Jika permintaan menurun maka akan mempengaruhi daya serap terhadap jasa PRT. Kondisi ini jika didukung dengan penawaran jasa PRT yang meningkat dimungkinkan terjadi praktek pemekerjaan PRT secara ilegal (karena mekanisme pasar memang menuntut demikian!). Jika hal ini terjadi, patut dipertanyakan efektifitas dari peraturan perundangan tersebut.
Dilema Sisi Penawaran (Supply Side Dilemmas)
Secara alamiah pula, jaminan atas hak PRT yang jelas dan tegas seperti yang dicantumkan dalam RUU PRT akan mendorong tingkat penawaran jasa PRT semakin tinggi. Secara ekonomis, akan memberikan manfaat (utility) yang bermakna dengan menjadi PRT.
Utilitas ekonomis seperti ini didukung pula oleh minim/rendahnya syarat yang dituntut dalam penawaran jasa PRT. Hampir setiap orang bisa menawarkan jasa PRT. Tidak diperlukan sebuah kualifikasi ketat seperti halnya pekerjaan yang lain. Kondisi inilah yang akan menggeser kurva penawaran (supply curve) ke atas.
Kondisi dimana terjadi pergeseran kurva permintaan (demand curve) ke bawah dan kurva penawaran (supply curve) keatas maka akan malahirkan harga keseimbangan ekonomi (economy price equalibrium) dengan harga jasa yang lebih rendah dari harga yang “semestinya” ditawarkan dengan kuantitas permintaan yang lebih sedikit. Dalam sisi ini juga mendorong timbulnya kondisi pemekerjaan PRTsecara ilegal pula.
Dilema Efek Ganda (Multiplier Effect Dilemmas)
RUU PRT suatu saat pasti akan menjadi hukum positif berupa UU PRT. Pertanyaannya adalah multiplier effect apa yang bisa terjadi dari penerapan perundang-undangan itu?
Kemungkinan Efek Positif
Dengan asumsi jumlah PRT tetap tidak berubah setelah pemberlakukan UU PRT, yaitu 3 juta orang (berdasarkann data JALA PRT) maka UU tersebut akan meningkatkan daya beli (purchasing power) masyarakat secara signifikan. Peningkatan daya beli yang berasal dari adanya transfer kekayaan antara majikan kepada PRT-nya. Peningkatan daya beli ini akan mendorong ekonomi rumah tangga produksi dengan melakukan kegiatan produksi dan penawaran yang lebih besar. Kondisi ini akan melahirkan perolehan pendapatan sektor ekonomi produksi juga membesar dan sangat dimungkinkan lahirnya investasi baru atau penambahan kapasitas produksi dari kapasitas yang sudah ada. Dalam episode ini, efek gandanya bisa berlanjut dalam sekuel-sekuel lanjutan yang akan mempengaruhi kinerja ekonomi lainnya.
Kemungkinan Efek Negatif
Peningkatan daya beli masyarakat dapat pula menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi ini menyebabkan penurunan daya beli riil masyarakat. Penurunan ini akan berimplikasi kepada penurunan skala ekonomi yang diperoleh oleh rumah tangga produksi. Imbas ini juga akan berlanjut dalam sekuel-sekuel yang lain.
Secara ekonomi, kenikmatan ekonomi yang dimiliki dan dijamin oleh UU akan mendorong pekerja-pekerja sejenis (buruh tani, tukang kayu, tukang baru dan lain-lain) akan menuntut hal yang serupa, minimal dalam kesetaraan upah yang diterimanya dengan PRT yaitu UMK. Hal ini akan menimbulkan kerentanan terhadap pelaku-pelaku ekonomi skala kecil. Jika hal ini terjadi secara tiba-tiba maka akan menyebabkan stagnasi usaha. Dan imbas secara ekonomi juga relatif signifikan.
Pimicu Lahirnya Peluang Bisnis Substitusi PRT
Biaya jasa PRT yang “mahal” akan mendorong lahirnya peluang bisnis yang bisa men-substitusi peran PRT dalam sebuah rumah tangga. Semisal bisnis pencucian pakaian (laundry), penitipan bayi, katering makanan, cleaning servive dan lain sebagainya. Dalam teori manajemen strategi dikatakan bahwa sebuah produk (barang/jasa) selalu dihadapkan pada produk lain sejenis dari pesaing dan dihadapkan pada produk (barang/jasa) yang ditawarkan sebagai pengganti/substitusi. Jika memang bisa digantikan kenapa tidak?! Dan lebih penting lagi adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan riil yang dapat membantu bekerjanya ekonomi produktif dan memberikan akses permodalan kepada wong cilik untuk berusaha. Biar tidak selamanya mereka menjadi PRT terus.
Sesuai janjiku kepada Cak Kirun, maka setelah agak lodhang aku menelepon dia.
“Cak Kirun, selamat menikmati kemulyaan yo!” kataku.
“Ojo kesusu… aku malah ragu saiki!”
“Kok dadi ragu, kenapa?”
“Tidak, kok tiba-tiba saja!”
“Tiba-tiba gimana maksud sampeyan?!”
“Kemarin Pak SBY masih nyanyi N-G-E-R-E-P, ngeropotin dengan program konversi upah, sekarang kok tiba-tiba nyanyi N-G-E-P-O-P, populis! Piye Cak Su?!”
“Lha… yo embuh Cak! Menurut sampeyan piye?”
“Menurutku….. iki sogokan Cak Su, jelas wis! Sogokan! Wong cilik disogok!”
“Disogok opo digosok?!”
“Digosok njur disogok Cak! Wong cilik digosok atine dhisik njur disogok butuhe cangkeme!” ???
Saat membersihkan air hujan yang menggenang di lantai, HP-ku memanggil….. “Siapa pula ini!” batinku.
“Assalamu’alaikum! Kirun, Cak Su!” tetanggaku Cak Kirun menelepon.
“Welah…ada apa Cak?! Masalah konversi lagi?”
“Bukan Cak, lain!… Ini malah kabar baik!”
“Kabar baik?! Kabar baik opo?”
“Bojoku….. masalah istriku!”
“Ono opo? Hamil lagi to bojone sampeyan?”
“Bukan! Istriku bakal mulyo!”
“Mulyo? Mulyo piye?”
“Pemerintahe sampeyan akan membikin UU Pembantu Rumah Tangga, upah babu minim sebesar UMK Cak, trus diatur pula tentang jam kerja, cuti, jamsostek …..”
“Apik!, engko disambung maneh! Aku tak mbabu dhisik!” “Cak Su!… Cak Su!… Hallo!….Hallo!”
???
Setelah kemarin dikejutkan dengan rencana pemerintah membuat peraturan tentang konversi upah buruh dengan saham, hari ini kita dikejutkan lagi dengan penyusunan RUU Pembantu Rumah Tangga (PRT). Bahkan saat ini, pembahasan RUU PRT telah memasuki draf revisi yang kelima. RUU ini dipersiapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Hukum dan HAM dan Kantor Kementerian Negara Peranan Perempuan. (Kontan, 12/12).
Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Departemen Hukum dan HAM, RUU PRT merupakan salah satu bentuk perlindungan HAM dimana saat ini PRT sering mendapat perlakuan buruk oleh majikannya, tidak ada ketentuan usia minimal menjadi seorang PRT, lama jam kerja dan hari kerja tidak jelas, upah yang rendah, tidak ada kontrak kerja dan tidak diikutkan dalam program Jamsostek. RUU PRT ini diharapkan dapat memberdayakan dan memanusiakan PRT.
Data Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT menyebutkan bahwa saat ini terdapat 3 juta perempuan yang berprofesi sebagai PRT. Jumlah ini setara dengan 1.3% dari seluruh penduduk Indonesia. Jika PRT ini diberdayakan dengan memberikan perlindungan atas hak-hak yang seharusnya mereka miliki akan memberikan multiplier effect yang besar terhadap aktivitas ekonomi masyarakat.
Dalam RUU PRT ini akan diatur mengenai beberapa hal, antara lain: Usia minimal, PRT harus telah berumur minimal 15 tahun. PRT yang masih berumur 15 hingga 17 tahun hanya boleh bekerja maksimal 4 jam sehari. Upah, majikan harus membayar jasa PRT minimal sebesar UMK. Jam kerja, maksimal PRT bekerja selama 10 jam sehari. Lama kerja, PRT setiap minggu bekerja selama 6 hari dengan 1 hari libur. Cuti, dalam 12 bulan kerja, PRT berhak mendapatkan 12 hari cuti, Jamsostek, majikan wajib mengikutkan PRT-nya program Jamsostek.
Itulah beberapa hak buruh yang dijamin oleh RUU PRT. Siapkah wahai para majikan memenuhinnya?
Dilema dalam Perspektif Ekonomi
RUU PRT dalam perspektif pemberdayaan dan usaha “me-manusia-kan” serta perlindungan terhadap HAM PRT layak untuk segera diterapkan. Tetapi secara ekonomi terdapat beberapa ekses ekonomi yang perlu pula dipertimbangkan. Ekses ini bisa dilihat dalam 3 sudut pandang, yaitu: sisi permintaan (demand side), sisi penawaran (supply side) dan sisi pelipatgandaan ekonomi (multiplier economy side).
Dilema Sisi Permintaan (Demand Side Dilemmas)
Secara alamiah, RUU PRT ini memberikan rasa takut kepada majikan yang mempekerjakan PRT di rumahnya. Bagaimana tidak takut, jika RUU ini memberikan jaminan hak PRT secara jelas dan tegas yang sebelumnya tidak pernah ada. Sehingga keberadaan UU PRT (nantinya!) akan merubah perilaku dan keputusan majikan terhadap PRT yang dimilikinya.
Akan lahir perubahan mendasar secara ekonomi yang harus ditanggung oleh majikan, salah satunya adalah upah. Menurut penelitian Depnakertrans (Kontan 12/12) rata-rata upah PRT di Jawa Timur sebesar Rp. 350.000 per bulan. Hampir 1/3 dari UMP. Jika RUU sudah menjadi hukum positif maka majikan harus menyediakan uang untuk membayar upah PRT-nya 3 kali lipat dari sebelumnya. Belum lagi kewajiban untuk mengikutkan PRT dalam program Jamsostek, kewajiban memberikan THR serta membuat kontrak kerja dengan PRT.
Perubahan ini merupakan disinsentif bagi majikan untuk mempekerjakan PRT di rumahnya. Cost of Service-nya mahal!. Belum lagi jam dan hari kerja yang diatur ketat dan dijamin oleh RUU. Secara sosiologis dan psikologis, perubahan ini membawa “kerugian” riil bagi majikan. Sebagai majikan, sekarang kewenangan dan “kesenangan”-nya memerintah PRT terbatas. Keterbatasan ini yang secara ekonomi akan mempengaruhi tingkat permintaan (demand) terhadap PRT.
Dalam teori ekonomi terjadinya penurunan kegunaan (utility) ekonomi PRT dalam perspektif majikan, akan menurunkan tingkat permintaan terhadap jasa PRT. Jika permintaan menurun maka akan mempengaruhi daya serap terhadap jasa PRT. Kondisi ini jika didukung dengan penawaran jasa PRT yang meningkat dimungkinkan terjadi praktek pemekerjaan PRT secara ilegal (karena mekanisme pasar memang menuntut demikian!). Jika hal ini terjadi, patut dipertanyakan efektifitas dari peraturan perundangan tersebut.
Dilema Sisi Penawaran (Supply Side Dilemmas)
Secara alamiah pula, jaminan atas hak PRT yang jelas dan tegas seperti yang dicantumkan dalam RUU PRT akan mendorong tingkat penawaran jasa PRT semakin tinggi. Secara ekonomis, akan memberikan manfaat (utility) yang bermakna dengan menjadi PRT.
Utilitas ekonomis seperti ini didukung pula oleh minim/rendahnya syarat yang dituntut dalam penawaran jasa PRT. Hampir setiap orang bisa menawarkan jasa PRT. Tidak diperlukan sebuah kualifikasi ketat seperti halnya pekerjaan yang lain. Kondisi inilah yang akan menggeser kurva penawaran (supply curve) ke atas.
Kondisi dimana terjadi pergeseran kurva permintaan (demand curve) ke bawah dan kurva penawaran (supply curve) keatas maka akan malahirkan harga keseimbangan ekonomi (economy price equalibrium) dengan harga jasa yang lebih rendah dari harga yang “semestinya” ditawarkan dengan kuantitas permintaan yang lebih sedikit. Dalam sisi ini juga mendorong timbulnya kondisi pemekerjaan PRTsecara ilegal pula.
Dilema Efek Ganda (Multiplier Effect Dilemmas)
RUU PRT suatu saat pasti akan menjadi hukum positif berupa UU PRT. Pertanyaannya adalah multiplier effect apa yang bisa terjadi dari penerapan perundang-undangan itu?
Kemungkinan Efek Positif
Dengan asumsi jumlah PRT tetap tidak berubah setelah pemberlakukan UU PRT, yaitu 3 juta orang (berdasarkann data JALA PRT) maka UU tersebut akan meningkatkan daya beli (purchasing power) masyarakat secara signifikan. Peningkatan daya beli yang berasal dari adanya transfer kekayaan antara majikan kepada PRT-nya. Peningkatan daya beli ini akan mendorong ekonomi rumah tangga produksi dengan melakukan kegiatan produksi dan penawaran yang lebih besar. Kondisi ini akan melahirkan perolehan pendapatan sektor ekonomi produksi juga membesar dan sangat dimungkinkan lahirnya investasi baru atau penambahan kapasitas produksi dari kapasitas yang sudah ada. Dalam episode ini, efek gandanya bisa berlanjut dalam sekuel-sekuel lanjutan yang akan mempengaruhi kinerja ekonomi lainnya.
Kemungkinan Efek Negatif
Peningkatan daya beli masyarakat dapat pula menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi ini menyebabkan penurunan daya beli riil masyarakat. Penurunan ini akan berimplikasi kepada penurunan skala ekonomi yang diperoleh oleh rumah tangga produksi. Imbas ini juga akan berlanjut dalam sekuel-sekuel yang lain.
Secara ekonomi, kenikmatan ekonomi yang dimiliki dan dijamin oleh UU akan mendorong pekerja-pekerja sejenis (buruh tani, tukang kayu, tukang baru dan lain-lain) akan menuntut hal yang serupa, minimal dalam kesetaraan upah yang diterimanya dengan PRT yaitu UMK. Hal ini akan menimbulkan kerentanan terhadap pelaku-pelaku ekonomi skala kecil. Jika hal ini terjadi secara tiba-tiba maka akan menyebabkan stagnasi usaha. Dan imbas secara ekonomi juga relatif signifikan.
Pimicu Lahirnya Peluang Bisnis Substitusi PRT
Biaya jasa PRT yang “mahal” akan mendorong lahirnya peluang bisnis yang bisa men-substitusi peran PRT dalam sebuah rumah tangga. Semisal bisnis pencucian pakaian (laundry), penitipan bayi, katering makanan, cleaning servive dan lain sebagainya. Dalam teori manajemen strategi dikatakan bahwa sebuah produk (barang/jasa) selalu dihadapkan pada produk lain sejenis dari pesaing dan dihadapkan pada produk (barang/jasa) yang ditawarkan sebagai pengganti/substitusi. Jika memang bisa digantikan kenapa tidak?! Dan lebih penting lagi adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan riil yang dapat membantu bekerjanya ekonomi produktif dan memberikan akses permodalan kepada wong cilik untuk berusaha. Biar tidak selamanya mereka menjadi PRT terus.
Sesuai janjiku kepada Cak Kirun, maka setelah agak lodhang aku menelepon dia.
“Cak Kirun, selamat menikmati kemulyaan yo!” kataku.
“Ojo kesusu… aku malah ragu saiki!”
“Kok dadi ragu, kenapa?”
“Tidak, kok tiba-tiba saja!”
“Tiba-tiba gimana maksud sampeyan?!”
“Kemarin Pak SBY masih nyanyi N-G-E-R-E-P, ngeropotin dengan program konversi upah, sekarang kok tiba-tiba nyanyi N-G-E-P-O-P, populis! Piye Cak Su?!”
“Lha… yo embuh Cak! Menurut sampeyan piye?”
“Menurutku….. iki sogokan Cak Su, jelas wis! Sogokan! Wong cilik disogok!”
“Disogok opo digosok?!”
“Digosok njur disogok Cak! Wong cilik digosok atine dhisik njur disogok butuhe cangkeme!” ???
Kamis, Desember 11, 2008
Rencana Konversi Upah Buruh Dengan Saham
:Sebuah Kebijakan Etis Nan Tragis!
Saat sedang menerima konsultasi penulisan skripsi di kampus, HP-ku berdering. Terlihat sebuah nama dilayar, Cak Kirun tetangga kampungku yang menjadi buruh pabrik tekstil di Sumedang Jabar, mengajak bicara.
"Assalamu’alaikum Cak Su!" teriaknya dari seberang.
"Waalaikum salam, ada apa Cak!"
"Hanya mau ngabari saja, jika aku sekarang sudah jadi juragan, jadi pemilik perusahaan!" katanya.
"Alhamdulillah…. wis mulya sampeyan Cak, wis gak mburuh maneh!"
"Mburuh yo masih tetap, rumah ya masih ngontrak, blonjo yo tetep repot, utang juga masih banyak, rokok ya masih tingwe! Susah!!"
"Lho!! Kok iso ngono Cak?!"
"Lha itu kan pokal gawene pemerintahe sampeyan, mosok upah buruh dipotong buat beli saham perusahaan, katanya konversi upah buruh dengan saham!"
"Welah…. ??!!"
Shift I
Ada Apa Dengan Buruh?
Kompas (11/12) menulis berita yang cukup mengejutkan sekaligus membuat penasaran. Dalam berita itu disebutkan saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan tentang Konversi Upah Buruh Dengan Saham. Peraturan ini dibuat sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh atas kemungkinan terjadinya PHK karena imbas dari krisis keuangan global. Daripada di PHK lebih baik buruh bersedia untuk menerima upah yang sebagian dibayarkan secara noncash dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Kebijakan ini juga menguntungkan perusahaan, karena sumber daya ekonomi berupa "Ășang kas/tunai" yang terbatas bisa dialihkan kepada pos belanja lain, sehingga "dapur masih bisa mengepul."
Saat ini, berdasarkan data dari API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) 10% dari 2.1 juta buruh yang terlibat dalam industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) telah di PHK. Jika mengacu kepada data API tersebut maka dalam industri TPT saja telah terjadi PHK sebanyak 200.000 lebih buruh. Tetapi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) memiliki data sendiri mengenai jumlah PHK saat ini. Data itu menyebutkan bahwa dari 23.927 permohonan PHK, per tanggal 5 Desember, PHK riil sebanyak 17.418 orang dan yang berstatus dirumahkan sebanyak 6.597 orang. (Kontan (11/12).
Perbedaan data yang signifikan tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut validitas data yang dipakainya. Tetapi kedua data itu menunjukkan bahwa imbas krisis keuangan global telah sampai pada tataran PHK massal. Mengapa harus terjadi PHK? Secara ekonomis ketidakpastian akibat krisis adalah disinsentif bagi perusahaan untuk melakukan investasi baru dan penambahan kapasitas produksi, krisis juga menyebabkan cost of capital menjadi relatif lebih besar karena ada kekeringan likuiditas di pasar keuangan (lack of liquidity), penyerapan produk perusahaan oleh pasar juga rendah. Faktor-faktor inilah yang mendorong terjadinya under capacity sehingga menuntut adanya rasionalisasi termasuk terhadap buruh.
Kondisi seperti ini diramalkan oleh Bank Dunia akan semakin parah terlihat pada tahun 2009. Sesuai data yang dirilis oleh Bank Dunia, ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan sebesar 4% (target pemerintah 5.8-6%), lalu lintas modal masuk melalui Foreign Direct Investment (FDI) stagnan 0%, dan pertumbuhan ekspor kita hanya dalam rentang tumbuh 1-2%. Hal ini didukung pula oleh masih parahnya daya saing negara kita dibandingkan negara lain dalam menarik investasi asing. Data Global Competitiveness Report 2007-2008, Indonesia masih menduduki rangking 54 dari 131 negara. Jeleknya infrastruktur jalan memiliki kontribusi besar terbentuknya daya saing yang rendah.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah, FDI rendah, pertumbuhan ekspor rendah serta daya saing rendah akan semakin membuat kondisi buruh menjadi rentan terhadap PHK.
Shift II
Antara ESPP vs ESOP: Dilema Buruh Kita
Larry Ellison, CEO Oracle Corporation tahun ini dinobatkan oleh The Corporate Library sebagai CEO dengan penghasilan terbanyak. (Jawa Pos 11/12). Dari total penghasilan sebesar 4 triliyun lebih, hampir 50%-nya dihasilkan dari opsi saham yang dimilikinya dalam program ESOP (Employee Stock Ownership Program). Apakah kebijakan konversi upah buruh dengan saham dalam kerangka untuk meng-konversi buruh Indonesia menjadi Larry Ellison Larry Ellison? "Lain Lubuk Lain Belalang, Jauh Panggang Dari Api".
ESPP (Employee Stock Purchase Program)
Merupakan opsi (hak) untuk membeli sejumlah tertentu saham pada harga tetap selama periode tertentu. Biasanya opsi rencana pembelian ini dijual dengan harga diskon dengan melakukan mekanisme pemotongan gaji terhadap buruh yang dimilikinya. Atas kesediaan buruh untuk dipotong gajinya tersebut maka buruh berhak mendapatkan sebagian saham perusahaan. Secara teori sebenarnya ESPP memiliki kebaikan baik dilihat dari sisi buruh ataupun dari sisi perusahaan. Buruh mendapatkan employee benefit dengan adanya kesempatan untuk mengambil bagian dalam kesuksesan perusahaan serta berfungsi pula sebagai motivator dan bagi perusahaan merupakan bentuk pembayaran upah yang bersifat noncash.
Masalahnya adalah buruh Indonesia adalah buruh yang masih mendapatkan upah sebatas "cukup (baca: dipaksa cukup)" untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja. Itupun bagi sebagian besar buruh masih "besar pasak daripada tiang". Sehingga hutang seringkali digunakan sebagai salah satu solusi untuk berdamai dengan keadaan. Jika upah buruh yang hanya "cukup" untuk mempertahankan kondidi "hidup" saja dan harus dipotong upahnya untuk kepemilikan saham, masih mungkinkah? Kondisi buruh saat ini lebih cenderung senang memiliki uang kas/tunai daripada selembar saham. Sehingga kebijakan konversi upah dengan saham, pastilah akan mendapatkan tantangan dari serikat buruh.
ESOP (Employee Stock Ownership Program)
ESOP pada dasarnya merupakan transfer kepemilikan sebuah perusahaan kepada buruh dalam bentuk manfaat yang diterima buruh dikemudian hari. (Little, 2001). ESOP dalam konteks ini dapat digunakan sebagai salah satu bentuk kompensasi dan motivator bagi buruh karena merasa memiliki perusahaan. Kharakteristik ESOP adalah nilai tunai yang bisa dinikmati oleh buruh adalah pada masa yang akan datang yaitu saat buruh tersebut berhenti sebagai buruh (pensiun dan lain-lain). Pertanyaannya? Realistiskah ESOP dilakukan bagi buruh kita saat ini? Meminjam istilah grammar dalam bahasa inggris, kondisi buruh kita masih dalam tataran past dan present belum sampai pada tataran future terkait dengan penggunaan upah yang diterimanya. Time Horizon-nya lain.
Sehingga ESOP juga relatif sulit untuk diterapkan seperti halnya ESPP. Problem riil buruh terkait dengan kemampuan daya beli yang terbatas membuat setiap kebijakan yang mencoba "merugikan" buruh, "menganggu" besaran upah menjadi isu yang sensitif dan bisa menyulut aksi-aksi buruh yang masif. Terbukti ketika SKB 4 Menteri yang mencoba "menganggu"`buruh dalam wilayah pengupahan membentuk solidaritas diantara mereka dan berhasil memaksa pemrintah "merubah" substansi SKB 4 Menteri yang dipersoalkan itu.
Shift III
White Collar Worker vs Blue Collar Worker
Masalah buruh memang merupakan masalah yang kompleks. Kompleksitas ini bisa dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: sudut pandang ekonomi; buruh merupakan faktor produksi sehingga ia menjadi input biaya (cost), buruh juga sebagai masyarakat konsumen yang memiliki daya beli, serta buruh sebagai satu-satunya faktor produksi yang hidup, memiliki rasa, keingginan dan lain-lain sehingga pengelolaanya juga lebih rumit dan mahal. Sudut pandang politik; buruh sebagai komoditas politik, sudut pandang sosial; isu buruh bisa menjadi pemicu konflik dan keresahan sosial.
Adilkah Konversi Upah Bagi Buruh?
Untuk saat ini TIDAK ADIL. Mengapa? Karena perusahaan yang akan menjalankan kebijakan konversi upah dengan saham hanyalah perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja jelek. Jika buruh dipaksa untuk membeli saham perusahaan yang memiliki kinerja seperti itu, hal tersebut jelas akan merugikan buruh. Kemarin kemana saja Bung?! Ketika kinerja perusahaan baik dan tidak terimbas krisis, alternatif konversi upah menjadi saham dengan ESPP atau ESOP tidak dilakukan bahkan terpikirkan-pun tidak. Sekarang saat mau kolaps, buruh disuruh membeli saham perusahaan. Tidak Adil!
Dilihat dari perspektif daya beli, untuk saat ini kelompok "buruh berdasi" (white collar worker) memungkinkan untuk mengikuti konversi upah dengan saham daripada "buruh bertopi" (blue collar worker) yang hidup hanya dengan UMK. Itupun jika diasumsikan bahwa perusahaan yang melakukan program konversi tersebut masih memiliki kinerja yang baik dan mempunyai prospek bisnis yang baik pula. Tetapi jika kondisi sebaliknya yang terjadi, maka merugikan buruh baik yang "berdasi" ataupun yang "bertopi".
"Cak Su, sekarang Pak SBY suka nyanyi NGE-REP!!" kata Cak Kirun di ujung HP.
"Nge-rep gimana Cak?!"
"NGE-REP-POTIN!!!"
"Kok bisa sampeyan ngomong begitu?"
"Lha iya masak buruh yang sudah pas-pasan, met-metan, nut-nuten masih disuruh beli saham potong gaji!!!"
"Sekarang konversi upah dengan saham sudah diubah Cak?!
"Diubah gimana lagi Cak Su?"
"Konversi Upah Buruh Dengan P-A-H-A-L-A!!!"
"Wis tak nyari pahala lain saja Cak!"
"???"
Saat sedang menerima konsultasi penulisan skripsi di kampus, HP-ku berdering. Terlihat sebuah nama dilayar, Cak Kirun tetangga kampungku yang menjadi buruh pabrik tekstil di Sumedang Jabar, mengajak bicara.
"Assalamu’alaikum Cak Su!" teriaknya dari seberang.
"Waalaikum salam, ada apa Cak!"
"Hanya mau ngabari saja, jika aku sekarang sudah jadi juragan, jadi pemilik perusahaan!" katanya.
"Alhamdulillah…. wis mulya sampeyan Cak, wis gak mburuh maneh!"
"Mburuh yo masih tetap, rumah ya masih ngontrak, blonjo yo tetep repot, utang juga masih banyak, rokok ya masih tingwe! Susah!!"
"Lho!! Kok iso ngono Cak?!"
"Lha itu kan pokal gawene pemerintahe sampeyan, mosok upah buruh dipotong buat beli saham perusahaan, katanya konversi upah buruh dengan saham!"
"Welah…. ??!!"
Shift I
Ada Apa Dengan Buruh?
Kompas (11/12) menulis berita yang cukup mengejutkan sekaligus membuat penasaran. Dalam berita itu disebutkan saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan tentang Konversi Upah Buruh Dengan Saham. Peraturan ini dibuat sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh atas kemungkinan terjadinya PHK karena imbas dari krisis keuangan global. Daripada di PHK lebih baik buruh bersedia untuk menerima upah yang sebagian dibayarkan secara noncash dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Kebijakan ini juga menguntungkan perusahaan, karena sumber daya ekonomi berupa "Ășang kas/tunai" yang terbatas bisa dialihkan kepada pos belanja lain, sehingga "dapur masih bisa mengepul."
Saat ini, berdasarkan data dari API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) 10% dari 2.1 juta buruh yang terlibat dalam industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) telah di PHK. Jika mengacu kepada data API tersebut maka dalam industri TPT saja telah terjadi PHK sebanyak 200.000 lebih buruh. Tetapi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) memiliki data sendiri mengenai jumlah PHK saat ini. Data itu menyebutkan bahwa dari 23.927 permohonan PHK, per tanggal 5 Desember, PHK riil sebanyak 17.418 orang dan yang berstatus dirumahkan sebanyak 6.597 orang. (Kontan (11/12).
Perbedaan data yang signifikan tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut validitas data yang dipakainya. Tetapi kedua data itu menunjukkan bahwa imbas krisis keuangan global telah sampai pada tataran PHK massal. Mengapa harus terjadi PHK? Secara ekonomis ketidakpastian akibat krisis adalah disinsentif bagi perusahaan untuk melakukan investasi baru dan penambahan kapasitas produksi, krisis juga menyebabkan cost of capital menjadi relatif lebih besar karena ada kekeringan likuiditas di pasar keuangan (lack of liquidity), penyerapan produk perusahaan oleh pasar juga rendah. Faktor-faktor inilah yang mendorong terjadinya under capacity sehingga menuntut adanya rasionalisasi termasuk terhadap buruh.
Kondisi seperti ini diramalkan oleh Bank Dunia akan semakin parah terlihat pada tahun 2009. Sesuai data yang dirilis oleh Bank Dunia, ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan sebesar 4% (target pemerintah 5.8-6%), lalu lintas modal masuk melalui Foreign Direct Investment (FDI) stagnan 0%, dan pertumbuhan ekspor kita hanya dalam rentang tumbuh 1-2%. Hal ini didukung pula oleh masih parahnya daya saing negara kita dibandingkan negara lain dalam menarik investasi asing. Data Global Competitiveness Report 2007-2008, Indonesia masih menduduki rangking 54 dari 131 negara. Jeleknya infrastruktur jalan memiliki kontribusi besar terbentuknya daya saing yang rendah.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah, FDI rendah, pertumbuhan ekspor rendah serta daya saing rendah akan semakin membuat kondisi buruh menjadi rentan terhadap PHK.
Shift II
Antara ESPP vs ESOP: Dilema Buruh Kita
Larry Ellison, CEO Oracle Corporation tahun ini dinobatkan oleh The Corporate Library sebagai CEO dengan penghasilan terbanyak. (Jawa Pos 11/12). Dari total penghasilan sebesar 4 triliyun lebih, hampir 50%-nya dihasilkan dari opsi saham yang dimilikinya dalam program ESOP (Employee Stock Ownership Program). Apakah kebijakan konversi upah buruh dengan saham dalam kerangka untuk meng-konversi buruh Indonesia menjadi Larry Ellison Larry Ellison? "Lain Lubuk Lain Belalang, Jauh Panggang Dari Api".
ESPP (Employee Stock Purchase Program)
Merupakan opsi (hak) untuk membeli sejumlah tertentu saham pada harga tetap selama periode tertentu. Biasanya opsi rencana pembelian ini dijual dengan harga diskon dengan melakukan mekanisme pemotongan gaji terhadap buruh yang dimilikinya. Atas kesediaan buruh untuk dipotong gajinya tersebut maka buruh berhak mendapatkan sebagian saham perusahaan. Secara teori sebenarnya ESPP memiliki kebaikan baik dilihat dari sisi buruh ataupun dari sisi perusahaan. Buruh mendapatkan employee benefit dengan adanya kesempatan untuk mengambil bagian dalam kesuksesan perusahaan serta berfungsi pula sebagai motivator dan bagi perusahaan merupakan bentuk pembayaran upah yang bersifat noncash.
Masalahnya adalah buruh Indonesia adalah buruh yang masih mendapatkan upah sebatas "cukup (baca: dipaksa cukup)" untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja. Itupun bagi sebagian besar buruh masih "besar pasak daripada tiang". Sehingga hutang seringkali digunakan sebagai salah satu solusi untuk berdamai dengan keadaan. Jika upah buruh yang hanya "cukup" untuk mempertahankan kondidi "hidup" saja dan harus dipotong upahnya untuk kepemilikan saham, masih mungkinkah? Kondisi buruh saat ini lebih cenderung senang memiliki uang kas/tunai daripada selembar saham. Sehingga kebijakan konversi upah dengan saham, pastilah akan mendapatkan tantangan dari serikat buruh.
ESOP (Employee Stock Ownership Program)
ESOP pada dasarnya merupakan transfer kepemilikan sebuah perusahaan kepada buruh dalam bentuk manfaat yang diterima buruh dikemudian hari. (Little, 2001). ESOP dalam konteks ini dapat digunakan sebagai salah satu bentuk kompensasi dan motivator bagi buruh karena merasa memiliki perusahaan. Kharakteristik ESOP adalah nilai tunai yang bisa dinikmati oleh buruh adalah pada masa yang akan datang yaitu saat buruh tersebut berhenti sebagai buruh (pensiun dan lain-lain). Pertanyaannya? Realistiskah ESOP dilakukan bagi buruh kita saat ini? Meminjam istilah grammar dalam bahasa inggris, kondisi buruh kita masih dalam tataran past dan present belum sampai pada tataran future terkait dengan penggunaan upah yang diterimanya. Time Horizon-nya lain.
Sehingga ESOP juga relatif sulit untuk diterapkan seperti halnya ESPP. Problem riil buruh terkait dengan kemampuan daya beli yang terbatas membuat setiap kebijakan yang mencoba "merugikan" buruh, "menganggu" besaran upah menjadi isu yang sensitif dan bisa menyulut aksi-aksi buruh yang masif. Terbukti ketika SKB 4 Menteri yang mencoba "menganggu"`buruh dalam wilayah pengupahan membentuk solidaritas diantara mereka dan berhasil memaksa pemrintah "merubah" substansi SKB 4 Menteri yang dipersoalkan itu.
Shift III
White Collar Worker vs Blue Collar Worker
Masalah buruh memang merupakan masalah yang kompleks. Kompleksitas ini bisa dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: sudut pandang ekonomi; buruh merupakan faktor produksi sehingga ia menjadi input biaya (cost), buruh juga sebagai masyarakat konsumen yang memiliki daya beli, serta buruh sebagai satu-satunya faktor produksi yang hidup, memiliki rasa, keingginan dan lain-lain sehingga pengelolaanya juga lebih rumit dan mahal. Sudut pandang politik; buruh sebagai komoditas politik, sudut pandang sosial; isu buruh bisa menjadi pemicu konflik dan keresahan sosial.
Adilkah Konversi Upah Bagi Buruh?
Untuk saat ini TIDAK ADIL. Mengapa? Karena perusahaan yang akan menjalankan kebijakan konversi upah dengan saham hanyalah perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja jelek. Jika buruh dipaksa untuk membeli saham perusahaan yang memiliki kinerja seperti itu, hal tersebut jelas akan merugikan buruh. Kemarin kemana saja Bung?! Ketika kinerja perusahaan baik dan tidak terimbas krisis, alternatif konversi upah menjadi saham dengan ESPP atau ESOP tidak dilakukan bahkan terpikirkan-pun tidak. Sekarang saat mau kolaps, buruh disuruh membeli saham perusahaan. Tidak Adil!
Dilihat dari perspektif daya beli, untuk saat ini kelompok "buruh berdasi" (white collar worker) memungkinkan untuk mengikuti konversi upah dengan saham daripada "buruh bertopi" (blue collar worker) yang hidup hanya dengan UMK. Itupun jika diasumsikan bahwa perusahaan yang melakukan program konversi tersebut masih memiliki kinerja yang baik dan mempunyai prospek bisnis yang baik pula. Tetapi jika kondisi sebaliknya yang terjadi, maka merugikan buruh baik yang "berdasi" ataupun yang "bertopi".
"Cak Su, sekarang Pak SBY suka nyanyi NGE-REP!!" kata Cak Kirun di ujung HP.
"Nge-rep gimana Cak?!"
"NGE-REP-POTIN!!!"
"Kok bisa sampeyan ngomong begitu?"
"Lha iya masak buruh yang sudah pas-pasan, met-metan, nut-nuten masih disuruh beli saham potong gaji!!!"
"Sekarang konversi upah dengan saham sudah diubah Cak?!
"Diubah gimana lagi Cak Su?"
"Konversi Upah Buruh Dengan P-A-H-A-L-A!!!"
"Wis tak nyari pahala lain saja Cak!"
"???"
Langganan:
Postingan (Atom)